Kisah Sepasang Rajawali Bab 24 Dua orang putera Jenderal Kao - TopicsExpress



          

Kisah Sepasang Rajawali Bab 24 Dua orang putera Jenderal Kao itu, yang bernama Kao Kok Tiong berusia enam belas tahun dan Kao Kok Han berusia tiga belas tahun, mengangguk dan meninggalkan kamar untuk melakukan perintah ayah mereka. Kedua orang pemuda ini, seperti juga ayah mereka, sejak kecil sudah menerima gemblengan ilmu silat dan ilmu perang, mereka memiliki kepandaian yang lumayan dan amat taat serta tunduk kepada ayah mereka, sikap perajurit-perajurit yang amat baik! "Kao-goanswe, dia bukan arwah, dia manusia biasa," Kian Bu berkata. Jenderal itu menggeleng kepala dan memandang dua orang pemuda itu, wajahnya masih pucat sekali dan pandang matanya sayu. "Aku belum menceritakan tentang dia secara panjang lebar kepada kalian dan kepada Puteri Milana. Akan tetapi kalau tidak ada Nona Lu Ceng atau Candra Dewi itu, sekarang aku tentu sudah menjadi setan penasaran di dalam sumur maut." Ketika dua orang puteranya kembali bersama pelayan yang membawa meja dan segala keperluan sembahyang, jenderal itu menceritakan tentang usaha pemberontak menjebaknya di sumur maut dan betapa Lu Ceng telah menyelamatkan nyawanya dengan pengorbanan dirinya. "Akan tetapi, kami berdua pernah berjumpa dengan dia, Goanswe! Bahkan kami membantu dia menghadapi segerombolan orang liar yang merupakan ahli-ahli tentang racun di Lembah Bunga Hitam!" Kian Bu kembali membantah. "Dan memang dia amat berubah dibandingkan dengan dahulu, dia menjadi liar dan ganas, akan tetapi...." Dia tidak melanjutkan karena di ujung bibirnya sudah terdapat kata-kata pujian terhadap gadis itu. "Yang kalian jumpai tentulah orang lain, Siauw-sicu. Tidak mungkin dia, karena aku melihat dengan mata sendiri betapa dia terjerumus ke dalam sumur maut, bahkan Gak-taihiap yang mencoba untuk menyelidikinya, sudah pingsan ketika baru tiba di tengah sumur." "Akan tetapi dia tadi...." Kian Bu mencoba membantah. "Yang muncul tadi jelas adalah arwahnya. Sungguh gadis yang amat baik.... sampai mati pun masih berusaha menemui dan melindungiku. Dia menghilang bersama asap putih, dia.... dia arwah Nona Ceng.... akan terus berkeliaran dan penasaran kalau tidak kusembahyangi." "Tapi...." Kian Lee menyentuh tangan adiknya sehingga Kian Bu tidak banyak bicara lagi. Dengan hati tidak karuan rasanya, bingung dan juga penasaran, Kian Lee melihat betapa jenderal itu mengeluarkan sehelai gambar nona yang telah menarik hatinya itu, memasang gambar itu pada meja sembahyang, kemudian dia menyalakan lilin dan berkata kepada isteri dan kedua orang puteranya, "Kalian lihat baik-baik wajah itu. Dialah yang telah menyelamatkan nyawaku dengan mengorbankan diri dan nyawanya sendiri. Dialah mgndiang Nona Lu Ceng atau Nona Candra Dewi dari Bhutan." Sebelum jenderal itu mengajak isteri dan dua orang puteranya bersembahyang, tiba-tiba muncul seorang penjaga yang memberi hormat kepada jenderal itu dan melapor bahwa di luar datang seorang tamu yang berkeras menyatakan hendak bertemu dengan keluarga Jenderal Kao Liang. Jenderal Kao mengerutkan alisnya dan sepasang matanya memandang penjaga itu dengan marah, "Engkau mengatakan bahwa aku berada di sini?" Penjaga itu cepat memberi hormat dengan berlutut. "Tentu saja tidak, Taijin. Saya telah menegurnya bahwa malam seperti ini bukan waktunya orang bertemu, dan saya malah mengatakan bahwa tuan rumah, yaitu Jenderal Kao Liang, bertugas di benteng utara. Akan tetapi dia berkeras minta bertemu dengan keluarga jenderal, katanya ada urusan yang amat penting. Sikap orang itu mencurigakan dan andaikata paduka tidak ada di sini, tentu saya akan mengerahkan teman-teman untuk mengusirnya dengan kekerasan. Akan tetapi karena paduka berada di sini, saya tidak berani lancang dan terpaksa melapor...." Wajah yang tadinya marah itu kini berseri. "Bagus! Kau melakukan tugasmu dengan baik. Kalau begitu, antarkan dia masuk!" "Ayah....!" Kao Kok Tiong berseru khawatir. "Biarkan aku yang menemuinya." Ayahnya menggeleng. "Orang yang datang malam-malam begini tentu hanya mempunyai dua maksud, yaitu kalau baik tentu dia membawa kabar yang amat penting bagiku, sebaliknya kalau buruk tentu dia berbahaya sekali. Maka biar dia langsung ke sini dan kuhadapi sendiri." Kian Lee dan Kian Bu mengangguk setuju dan menganggap sikap jenderal ini amat bijaksana. Mereka berdua pun merasa curiga sekali karena orang yang datang bertamu malam hari begitu, apalagi dalam keadaan yang penuh ketegangan karena kehadiran Jenderal Kao di sini adalah suatu rahasia, memang merupakan kejadian yang aneh dan amat mencurigakan. Mereka berdua sudah siap menghadapi segala kemungkinan, karena mereka menduga bahwa orang yang datang itu lebih banyak membawa bahaya daripada membawa kebaikan. Tak lama kemudian terdengar derap langkah dua orang menuju ke kamar itu. Semua orang memandang ke pintu dengan hati tegang. Penjaga itu muncul, memberi hormat dan melapor, "Tamu telah datang menghadap!" Jenderal Kao memberi isyarat supaya penjaga itu mundur. Penjaga itu melangkah keluar dan muncullah tamu yang dinanti-nanti itu. "Aha, kiranya engkau yang datang, orang muda yang gagah?" Jenderal Kao berseru girang sekali ketika melihat bahwa tamu yang muncul itu bukan lain adalah pemuda tinggi besar yang pernah menolongnya dari tangan penculiknya ketika dia hendak dibakar hidup-hidup di dalam kuil tua. Sambil memegang lengan pemuda tinggi besar itu, Jenderal Kao menoleh kepada kedua orang pemuda Pulau Es dan kepada anak-anak dan isterinya, "Inilah dia pemuda gagah perkasa yang telah menyelamatkan nyawaku, akan tetapi yang sama sekali tidak mau menyebutkan namanya! Mari masuk, dan duduklah." Pemuda tinggi besar itu kelihatan canggung dan sungkan. Dia menjura kepada jenderal itu dan semua orang, kemudian berkata kepada Jenderal Kao, "Harap Tai-ciangkun sudi memaafkan kedatanganku yang mengganggu ini. Sebetulnya, terpaksa sekali aku datang mengganggu...." "Aihhh! Engkau adalah seorang pemuda perkasa, penolongku yang budiman, bagaimana bisa mengucapkan kata-kata mengganggu?" "Sungguh, kalau tidak terpaksa saya tidak akan datang ke sini, Tai-ciangkun. Kedatanganku ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan peristiwa yang lalu diantara kita. Akan tetapi karena aku mendengar bahwa Tai-ciangkun adalah komandan di utara, maka aku datang untuk minta keterangan tentang diri seorang perwira yang belasan tahun yang lalu bertugas di sana, dan tentu dia adalah anak buah Tai-ciangkun. Aku sedang mencari-cari orang itu, maka harap Tai-ciangkun berbaik hati untuk memberitahu kepadaku di mana adanya orang itu." Jenderal Kao mengerutkan alisnya dan mengangguk. "Tentu saja aku akan berusaha sedapat mungkin untuk membantumu, orang muda. Siapakah adanya orang yang kaucari itu?" "Iiihhh...." Jerit tertahan dari isteri jenderal ini membuat semua orang memandang kepadanya. Wanita ini sedang memandang pemuda itu dengan mata terbelalak dan muka pucat. "Kenapa kau?" Jenderal itu membentak heran. Isterinya hanya menggeleng kepala lalu menutupi mukanya. "Nah, orang muda, katakan siapa orang yang kaucari itu?" "Aku.... aku tidak tahu namanya...." Pemuda itu menjawab gagap dan kelihatan bingung. Memang dia bingung sekali. Ketika dia masih kecil dan tersesat di gurun pasir, dia mengalami penderitaan yang amat mengerikan, seolah-olah melihat maut mendekati dirinya sedikit demi sedikit sehingga berkali-kali dia pingsan dan siuman kembali, batinnya mengalami tekanan yang amat hebat dan berat. Ketika dia ditemukan oleh suhunya, Si Dewa Bongkok, yang diingat hanyalah namanya sendiri, bahkan she-nya (nama keluarga)nyapun dia sudah lupa, apalagi nama ayahnya. Akan tetapi samar-samar dia masih ingat bahwa ayahnya adalah seorang perwira dan mengingat bahwa dia tersesat di gurun pasir utara, maka tentu ayahnya itu seorang perwira di benteng utara. Kao Liang memandang tajam dengan alis berkerut, penuh iba dan penasaran. "Orang muda yang baik, bagaimana aku bisa membantumu kalau kau tidak tahu nama orang yang kaucari itu? Apakah dia musuhmu?" "Dia.... dia adalah ayahku.... akan tetapi aku tidak tahu namanya.... hanya kuingat bahwa dia adalah seorang perwira...." Tiba-tiba Nyonya Kao bangkit dari tempat duduknya, wajahnya masih pucat dan dia menghampiri pemuda tinggi besar itu, langsung bertanya dengan bibir gemetar, "Kau.... kau.... siapa namamu....?" Tentu saja sikap dan perbuatan nyonya ini mengherankan semua orang. Pemuda tinggi besar itu memandang Nyonya Kao dengan ragu-ragu, kemudian menjawab lirih, "Nama saya Kok Cu...." "Kok Cu....?" Teriakan ini keluar dari mulut empat orang, yaitu Jenderal Kao sendiri, isterinya, dan dua orang puteranya. "Kok Cu anakku....!" Nyonya Kao sudah menubruk dan merangkul leher pemuda tinggi besar itu sambil menangis. "Kok Cu, ya Tuhan.... engkau ini....?" Jenderal Kao juga sudah mencengkeram pundak pemuda tinggi besar itu, mukanya pucat matanya terbelalak dan bibirnya bergetar menahan keharuan hatinya. "Twako....!" Kao Kok Tiong memegang lengan kakak sulungnya. "Twako...!" Kok Han juga mendekat. Tentu saja Kok Cu, pemuda tinggi besar yang berambut panjang terurai itu, terkejut setengah mati dan sejenak dta terlalu bingung. Kenyataan yang dihadapinya terlalu mengejutkan dan sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya. Siapa menyangka bahwa pembesar gagah perkasa yang ditolongnya di tengah perjalanan itu, yang kemudian dia ketahui Jenderal Kao yang dijunjung tinggi seluruh rakyat di daerah utara, ternyata adalah ayah kandungnya sendiri! Sukar untuk menerima dan mempercayai kenyataan yang amat mengejutkan ini. "Ayah dan ibuku....? Ah, bagaimana....?" Dia dipeluki empat orang yang sudah menangis saking bahagia dan terharu itu. Jenderal Kao melihat kebingungan pemuda itu. "Mari kita semua duduk. Kok Cu, dengarlah baik-baik. Ketika engkau dan ibumu kubawa ke utara, pada suatu hari engkau lenyap ketika sedang bermain-main di luar benteng. Pada waktu itu terjadi badai yang amat besar, maka kami semua mengira bahwa engkau tentu telah terseret badai dan terkubur di dalam gurun pasir karena berhari-hari kami mengerahkan pasukan mencarimu tanpa hasil. Ketika itu engkau baru berusia sepuluh tahun. Adikmu Kao Kok Tiong ini baru berusia setahun, dan adikmu yang bungsu Kao Kok Han belum terlahir. Memang ketika itu aku belum menjadi jenderal, akan tetapi sudah menjadi komandan dari benteng kecil di utara." Jenderal itu lalu menuturkan dengan jelas sehingga Kok Cu baru tahu bahwa dia adalah bermarga keluarga Kao. "Ayah...., Ibu....!" Akhirnya dia menjatuhkan dirinya berlutut di depan kedua orang tuanya itu. Ibunya memeluknya dan Jenderal Kao tertawa bergelak, menenggak araknya sambil menoleh kepada Kian Lee dan Kian Bu. "Ha-ha-ha-ha, susah dan senang memang sudah menjadi pakaian manusia hidup! Suka dan duka bersilih ganti menjadi bumbu manis dan pahit dalam hidup! Ji-wi Siauw-sicu, di dalam keprihatinan yang hebat bertemu dengan anak yang hilang, bukankah ini merupakan hiburan yang amat menggembirakan?" "Kao-goanswe, kami berdua menghaturkan kionghi (selamat) kepadamu!" Kian Lee berkata sambil membungkuk bersama adiknya. "Terima kasih, terima kasih....!" "Mengapa kalian begitu bodoh?" Nyonya Kao yang masih merangkul puteranya itu berkata. "Apakah kalian tidak melihat betapa miripnya dia dengan ayahnya? Lihat saja, bentuk badannya, mulutnya, hidungnya! Begitu melihatnya, aku sudah menduganya.... aihh, Kok Cu, kedatanganmu menambah umur ibumu...." Wanita itu tertawa dengan air mata bercucuran. "Ayah...." Sebutan yang amat asing ini keluar dari bibir pemuda tinggi besar itu dengan kaku. "Siapakah dua orang sahabat yang gagah ini?" "Hayo kuperkenalkan! Mereka ini adalah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu, dua orang pemuda sakti putera dari Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es, adik-adik dari Puteri Milana, cucu dari Kaisar...." "Cukuplah semua kementerengan itu, Kao-goanswe!" Kian Bu berteriak sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. "Saudara Kao Kok Cu, terimalah ucapan selamat kami!" Kian Lee berkata. Kok Cu balas memberi hormat dan ketika ayahnya menceritakan akan pertolongan kedua orang pemuda itu ketika ayahnya terancam bahaya, dia pun menghaturkan terima kasihnya. Pemuda tinggi besar ini sikapnya tenang, agak kasar karena tidak biasa berbasa-basi, bahkan hampir buta huruf, akan tetapi memiliki pribadi yang menarik, jujur, terbuka, dan tidak berpura-pura, sungguhpun terlalu dalam untuk diukur, seakan-akan menyimpan rahasia yang gelap dengan sikap diamnya. "Ibu, saya melihat persiapan sembahyang.... siapakah...." "Hai, Kok Cu, ayahmu telah terlalu banyak menerima budi kebaikan orang!" Jenderal Kao berkata sambil memegang tangan puteranya dan menariknya ke depan meja sembahyang. "Kami sekeluarga sedang menyembahyangi arwah seorang penolong yang budiman. Engkau sebagai putera sulungku, harus mengetahui mereka yang telah melepas budi kepada kita, agar kelak kalau ayahmu tidak mampu membalas budi mereka, engkau sebagai anak sulungku akan selalu mengingatnya." Jenderal ini bersama isterinya dan tiga orang puteranya kini mulai bersembahyang, mengacungkan hio (dupa biting) dengan penuh hormat kepada gambar yang dipasang di meja sembahyang. Melihat betapa gambar gadis yang amat menarik hatinya itu disembahyangi seperti telah mati, Kian Lee merasa jantungnya seperti ditusuk dan dia memejamkan matanya. Ketika tangan Kian Bu menyentuh lengannya, dia sadar dan membuka mata. "Mereka itu salah duga...." Kian Bu berbisik. "Dia belum mati." Kian Lee mengangguk dan menghela napas panjang. "Akan tetapi tidak perlu kita menyangkal dan berdebat dengan mereka...." "Ahhh....!" Semua orang terkejut melihat pemuda tinggi besar, Kok Cu, yang tadinya ikut bersembahyang meloncat ke belakang seperti diserang ular kakinya, mukanya pucat dan dia memandang kepada gambar di atas meja sembahyang. "Hei, kau kenapa, Kok Cu?" Jenderal Kao menegur. Mereka telah selesai bersembahyang dan tentu saja mereka terkejut menyaksikan sikap pemuda itu. "Ayah, siapa.... siapa yang kita sembahyangi ini? Gambar siapa itu?" Dia menunjuk ke arah gambar Ceng Ceng di atas meja. "Aku belum menceritakan tentang dia kepadamu, Kok Cu. Mari duduk, akan kuceritakan padamu. Dia bernama Lu Ceng, seorang gadis perkasa yang telah tewas mengorbankan diri dalam usahanya menyelamatkan nyawa ayahmu. Kalau tidak ada dia ini, kiranya hari ini engkau tidak akan dapat bertemu dengan ayah kandungmu." Lalu Jenderal Kao menceritakan semua peristiwa yang terjadi di sumur maut. Setelah dia selesai bercerita, dia bertanya, "Kenapa kau kelihatan kaget melihat gambar mendiang Nona Lu Ceng?" Kok Cu menundukkan mukanya. Hanya dia yang tahu betapa hatinya seperti diremas-remas, seperti ditusuki jarum-jarum beracun. Perih dan penuh penyesalan hebat, membuat dadanya sesak dan mukanya pucat. Terbayang di depan matanya peristiwa di dalam guha, tampak jelas olehnya betapa dia telah melakukan hal yang amat hina di luar kehendaknya, betapa di suatu saat dia seperti telah berubah menjadi seekor binatang buas, menjadi setan yang amat jahat. Betapapun dia melawan, dia tidak dapat mengusai nafsu birahinya yang didorong oleh racun-racun amat hebatnya sehingga terjadilah perbuatannya yang amat keji, memperkosa seorang dara cantik jelita dan gagah perkasa, dara yang muncul untuk menolongnya! Dia telah membalas pertolongan orang dengan perbuatan yang sejahat-jahatnya, sekeji-kejinya yang dapat diderita seorang wanita, yaitu memperkosa wanita yang menjadi penolongnya itu! Kini, hatinya lebih parah lagi ketika mendapat kenyataan bahwa dara itu pun telah menyelamatkan nyawa ayahnya tanpa mempedulikan keselamatan nyawanya sendiri! Manusia macam apa dia ini! Dan ayahnya adalah seorang panglima besar yang amat gagah, seorang yang dijunjung tinggi oleh seluruh rakyat di utara, ibunya seorang wanita yang demikian lemah lembut dan halus budi pekertinya, kedua orang adiknya pun demikian tampan dan gagah. Dia.... ah, dia lebih keji dari binatang, lebih jahat daripada setan. Dia tidak layak menjadi putera Jenderal Kao Liang, tidak layak berada diantara keluarga terhormat itu! "Kok Cu, kau kenapa? Mengapa wajahmu pucat begitu?" Ibunya bertanya. "Kok Cu, kau tadi kelihatan kaget ketika melihat gambar mendiang Nona Lu Ceng. Mengapa?" Jenderal Kao bertanya pula. "Ayah, Ibu.... aku terkejut karena.... karena aku pernah bertemu dengan Nona ini...." jawabnya. "Dia.... dia belum mati, Ayah." "Nah, apa kata kami tadi, Kao-goanswe? Nona itu memang belum mati. Saudara Kao Kok Cu, ketahuilah bahwa baru saja nona itu malah muncul di kamar ini!" Kian Bu berseru saking girangnya bahwa mereka berdua memperoleh teman untuk menjadi saksi bahwa nona itu belum mati! Akan tetapi dia sendiri terkejut melihat betapa mata Kok Cu terbelalak liar dan memandang ke kanan kiri seolah-olah pemuda itu ketakutan mendengar bahwa gadis itu tadi berada di tempat itu! Jenderal Kao Liang menghela napas panjang. "Aku sendiri pun kalau bisa mohon kepada Thian agar dia masih hidup! Dan mudah-mudahan begitulah! Akan tetapi, bagaimana mungkin orang dapat bertahan hidup setelah terjerumus ke sumur maut itu? Dan andaikata benar dia hidup, mengapa dia tadi tidak menjumpai aku? Antara dia dan aku sudah seperti ayah dan anak sendiri. Mengapa kalau dia masih hidup, dia bersikap demikian penuh rahasia?" Tidak ada orang yang dapat menjawabnya, dan kedua saudara Suma terpaksa harus mengakui keanehan ini di dalam hati mereka. Akan tetapi Kok Cu mempunyai dugaan lain. Tentu saja nona itu berubah sikapnya setelah mengalami peristiwa terkutuk itu, setelah menderita karena kebiadabannya! Siapa tahu nona itu telah menjadi gila karenanya! "Kok Cu, sekarang kauceritakan pengalamanmu semenjak kau lenyap di dalam badai," perintah Jenderal Kao. Seperti orang dalam mimpi karena semua pikirannya masih hanyut terbawa lamunannya terhadap nona yang diperkosanya, Kok Cu menceritakan pengalamannya dengan singkat, betapa dia ditolong oleh seorang manusia sakti berjuluk Si Dewa Bongkok penghuni dari Istana Gurun Pasir, diambil murid dan baru sekarang diperkenankan meninggalkan istana itu. "Selain berusaha mencari ayah dan ibu yang sudah kulupa namanya, aku pun memikul tugas dari suhu untuk mencari kitab yang hilang tercuri orang. Dalam pengejaran mencari kitab itulah aku tertipu dan tertangkap di Lembah Bunga Hitam, dan aku bertemu dengan Nona Lu Ceng di sana...." Pemuda itu menghentikan ceritanya, bulu tengkuknya meremang karena dia teringat akan perbuatannya terhadap dara itu dan baru saja mendengar bahwa nona itu telah memasuki rumah orang tuanya. "Kok Cu, kalau aku tidak salah menghitung, usiamu sudah dua puluh enam tahun sekarang. Engkau telah memiliki kepandaian tinggi, itu bagus sekali. Aku akan mengusahakan tempat bagimu di dalam barisan, dan setelah engkau memperoleh kedudukan, kami akan mencari jodoh untukmu." "Benar sekali ucapan ayahmu, Kok Cu. Aku sudah sering bermimpi menimang-nimang seorang cucu!" ibunya menambahkan. "Maaf Ayah, dan Ibu. Terpaksa malam ini juga aku minta diri karena aku harus memenuhi dulu perintah Suhu. Setelah urusan ini selesai barulah aku akan kembali ke sini dan menghabiskan sisa usiaku untuk berbakti kepada Ayah dan Ibu." Ibunya hendak membantah, akan tetapi Jenderal Kao memberi isyarat kepada isterinya, lalu berkata, "Engkau benar! Kalau tidak ada suhumu, tentu engkau sudah tewas di padang pasir. Budi suhumu sampai mati pun takkan dapat dibalas lunas, maka satu-satunya perintah itu harus kaulaksanakan dengan sebaiknya sampai berhasil. Akan tetapi...., besok pagi-pagi aku sendiri akan kembali ke utara bersama kedua orang Suma Siauw-sicu ini. Apakah engkau tidak bisa menanti sampai besok dan kita semalam ini bercakap-cakap di sini?" "Maaf, Ayah. Karena harus mengikuti petunjuk dan jejak, malam ini pun aku harus melanjutkan perjalanan mencari kembali kitab suhu itu...." Akhirnya ayah dan ibunya tidak dapat mencegah lagi dan setelah memberi hormat kepada semua orang, sekali berkelebat lenyaplah tubuh tinggi besar itu melalui jendela. Semua orang, termasuk kedua orang kakak beradik Suma, merasa kagum sekali. Seperti setan cepatnya, Kok Cu meninggalkan gedung orang tuanya. Hatinya tidak karuan rasanya. Dia girang dan merasa berbahagia sekali karena berhasil bertemu dengan ayah bunda dan adik-adiknya, akan tetapi perasaan ini bercampur dengan perasaan menyesal dan berduka. Dia merasa tidak patut menjadi anggauta keluarga yang mulia dan terhormat itu, dia merasa telah mengotori nama besar dan kehormatan ayahnya dengan perbuatannya terhadap Lu Ceng, dara yang dianggap sebagai bintang penolong keluarganya! Dan baru saja, menurut ayahnya, Lu Ceng telah datang ke tempat orang tuanya. Hal ini berarti bahwa gadis itu telah berada di kota raja! Dengan pikiran melayang-layang, pemuda itu meloncat dari genteng sebuah rumah ke genteng lain, tanpa tujuan namun hati dan pikirannya penuh dengan bayangan Lu Ceng! *** Ceng Ceng menangis di dalam kamar penginapan, sampai mengguguk akan tetapi dia menutupi mukanya dengan bantal agar tidak ada suara tangisnya keluar dari kamar itu. Makin diingat, makin hancur rasa hatinya. Tidak mungkin dia dapat bertemu dengan Jenderal Kao yang telah menyembahyanginya itu. Dia tidak pantas bertemu dengan jenderal gagah perkasa itu, merasa betapa dirinya sudah kotor. Dan pula, jelas bahwa pemuda laknat yang dicarinya tidak berada di tempat itu, tidak berada bersama Jenderal Kao. Kalau ada, tentu tadi dia sudah melihatnya. Ingin sekali dia mengunjungi istana Puteri Milana yang dijunjung tinggi oleh mendiang kakeknya, siapa tahu Syanti Dewi telah berada di situ. Akan tetapi bagaimana dia mampu bertemu muka dengan seorang puteri yang demikian mulia? Dan dia merasa malu juga bertemu dengan Syanti Dewi karena sekali bertemu dengan kakak angkatnya itu, tentu dia tidak lagi dapat menyimpan rahasianya, tentu dia akan menceritakan segalanya dan hal ini hanya berarti mati membunuh diri saking malunya. Teringat olehnya akan nasibnya yang amat buruk. Sejak kecil tidak melihat ayahnya, bahkan ibunya meninggalkannya menjadi seorang anak yatim piatu di dalam asuhan kakeknya. Dan kakeknya.... "Aihh, Kong-kong...!" Dia merintih dan tangisnya makin menjadi-jadi ketika dia teringat kepada kakeknya yang tewas secara menyedihkan itu. Teringat pula dia akan peristiwa yang paling hebat, yang sekaligus menghancurkan hidupnya, peristiwa di dalam guha yang menimbulkan dendam yang sedalam lautan, kebencian yang setinggi langit. Hidupnya kini hanya untuk satu tujuan saja, mencari dan membunuh pemuda laknat yang telah memperkosanya itu! "Ahhh....!" Dia mengepal tinju dan menggigit gigi. Dia tahu bahwa pemuda laknat itu memperkosanya di bawah pengaruh racun yang hebat. Akan tetapi hal ini tidak mengurangi kebenciannya, tidak mengurangi dendamnya. Kalau diingat betapa dia telah berusaha menolong pemuda itu! Menolongnya, membebaskannya dari ancaman maut, dari dalam kerangkeng, akan tetapi pemuda itu malah membalasnya dengan perbuatan yang lebih keji daripada kalau membunuhnya! Pemuda itu telah mendatangkan siksa dan derita hebat sehingga dia dalam keadaan mati tidak hiduppun tidak. Betapa dendam memainkan peran penting di dalam kehidupan manusia, bahkan dendam mencengkeram sebagian besar dari kehidupan manusia sehingga di seluruh pelosok dunia terjadilah pertentangan, permusuhan, benci-membenci dan akhirnya membesar menjadi perang antara bangsa, perang antara negara. Dendam yang menimbulkan kebencian bersumber kepada si aku. Si aku yang dirugikan lahir maupun batin melahirkan kemarahan dan dendam, kebencian, maka timbullah kekerasan dari dendam dan kebencian ini. Aku diganggu dan dirugikan, keluargaku diganggu, hartaku, namaku, kedudukanku, kepercayaanku, bangsaku, maka aku menjadi marah, dendam dan benci! Segala hal yang tampak maupun yang tidak tampak, yang menjadi kepunyaan si aku, tidak boleh diganggu. Kalau yang diganggu itu keluarga, harta benda, kedudukan, agama, bangsa dan negara orang lain, biasanya kita tidak peduli. Maka si akulah yang menjadi sumber timbulnya dendam dan kekerasan yang mengikutinya. Di mana terjadi pertentangan dan permusuhan yang disusul dengan bentrokan, tentu ada yang kalah dan ada yang menang. Pihak yang kalah atau lebih tepat lagi, pihak yang dirugikan, tentu akan mendendam dan selalu rindu akan kesempatan untuk membalas dendam itu. Setelah kesempatan tiada maka terjadilah kekerasan yang lain lagi dan hal ini menimbulkan dendam kepada pihak yang kalah, baik perorangan maupun kelompok, maupun negara. Maka dendam-mendendam tidak habisnya di dunia ini, diantara manusia, diantara bangsa dan negara. Jika dendam masih mencengkeram manusia tidak mungkin ada perdamaian dalam hidup manusia. Selama dendam belum lenyap dari batin manusia, segala macam usaha ke arah perdamaian akan sia-sia belaka. Akan tetapi, apabila dendam dan kebencian tidak lagi bertahta di dalam batin manusia, apakah akan ada permusuhan, apakah akan ada perang lagi? Kiranya tidak perlu orang bersusah payah mengadakan usaha perdamaian lagi karena tidak akan ada lagi permusuhan dan perang! Jika dendam kebencian masih bernyala di hati dan pikiran kita, maka segala usaha kita untuk berdamai dengan musuh yang kita benci merupakan kepalsuan dan hanya akan menghasilkan perdamaian palsu belaka. Hanya setelah kita bebas dari dendam kebencian, baru kita dapat hidup damai dengan orang laln, dan tidak perlu lagi usaha perdamaian itu karena kita tidak mempunyai musuh siapa pun, tidak mendendam maupun membenci siapa pun! Yang penting harus disadari bahwa sumber segala dendam kebencian terletak kepada si aku, yaitu si pikiran yang menciptakan si aku. Kita selalu ingin merubah yang di luar, untuk disesuaikan demi kesenangan dan keenakan si aku, kita lupa bahwa sumber segala kekacauan terletak kepada si aku. Diri sendirilah yang harus berubah, si sumber yang harus berubah. Dan perubahan akan terjadi apabila ada pengertian dan pengenalan diri sendiri, melihat dengan mata terbuka akan kekotoran yang memenuhi diri sendiri. Melihat tanpa pamrih, tanpa keinginan apa pun, tanpa ingin merubah, tanpa ingin memperbaiki, menambah atau mengurangi. Dari penglihatan ini timbul pengertian karena penglihatan tanpa pamrih ini merupakan kewaspadaan, menimbulkan kesadaran penuh dan otomatis akan timbul tindakan-tindakan dari pengertian dan kesadaran itu yang akan menimbulkan perubahan. Sayang bahwa Ceng Ceng tidak sadar akan semua kenyataan sederhana itu. Dia merasa sengsara, diracuni oleh dendam dan kebencian sehingga seperti seorang yang mabok, dia kadang-kadang menangis, kadang-kadang beringas dan beberapa kali dia hampir-hampir mengambil keputusan nekat untuk membunuh diri! Tiba-tiba dia bangkit duduk, tidak bergerak dan perhatiannya tertarik oleh suara burung malam yang lapat-lapat di atas genteng. Bagi telinga orang biasa, tentu akan menganggap bahwa itu adalah suara burung malam tulen. Namun pendengaran Ceng Ceng yang terlatih menangkap sesuatu yang aneh dalam suara itu, apalagi ketika dia mendengar suara berkeresekan di atas genteng rumah penginapan, kecurigaannya timbul. Ditiupnya lilin di dalam kamarnya, disambarnya buntalan pakaian dan pedang Ban-tok-kiam, dibereskan kembali pakaiannya yang kusut, kemudian dia membuka jendela dan meloncat keluar jendela, menuju ke belakang rumah penginapan dan meloncat ke atas genteng. Dari situ tampak olehnya dua orang yang berpakaian hitam bergerak di atas genteng bagian depan rumah itu, maka dia cepat mendekati dan membayangi. Dua sosok bayangan itu melayang turun dengan gerakan yang ringan sekali. Ceng Ceng mengintai dari atas dan mendengarkan percakapan singkat mereka. "Sudah pastikah engkau, Twako?" "Sudah jelas dia, siapa lagi? Pangeran itu masuk dengan menyamar sebagai pedagang sayur dan sekarang disembunyikan oleh perwira itu di rumahnya." "Kalau begitu kita harus cepat menangkapnya sebelum dia sempat menghadap istana!" "Memang perintahnya begitu, akan tetapi kita menunggu teman-teman yang dikirim ke sini untuk membantu kita." Tidak terlalu lama mereka menunggu karena segera muncul lima orang laki-laki yang memiliki gerakan ringan dan cepat. Setelah berbisik-bisik dan berunding, tujuh orang itu lalu berlari ke jurusan utara. Ceng Ceng cepat mengejar dan terus membayangi tujuh orang itu tanpa turun tangan karena dia ingin tahu apa yang hendak dilakukan oleh mereka itu. Yang jelas, mereka itu mempunyai niat buruk terhadap diri seorang pangeran. Dia teringat akan Puteri Milana yang dipuji-puji mendiang kakeknya. Puteri Milana juga keluarga Kaisar, maka tentu masih ada hubungan dengan Pangeran ini. Maka sepantasnyalah kalau dia menyelidiki dan melindungi Pangeran itu. Siapakah tujuh orang itu dan siapa pangeran yang hendak mereka tangkap? Tujuh orang itu adalah kaki tangan Pangeran Tua Liong Khi Ong yang menyamar sebagai orang-orang biasa dan memang banyak terdapat kaki tangan pangeran ini berkeliaran di kota raja. Sungguhpun mereka tidak berani banyak bergerak karena di kota raja terdapat banyak pula anak buah Puteri Milana, namun mereka ini merupakan penyelidik-penyelidik dari Pangeran Liong Khi Ong. Adapun pangeran yang hendak mereka tangkap adalah Pangeran Yung Hwa. Telah diceritakan di bagian depan bahwa Pangeran Yung Hwa adalah pangeran putera Kaisar dari selir, seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang amat tampan dan halus gerak-geriknya, seorang ahli sastra yang halus budi bahasanya dan romantis jiwanya. Pangeran Yung Hwa ini pernah mendengar berita tentang kecantikan Puteri Syanti Dewi dari Bhutan sehingga dia tergila-gila oleh berita itu. Tidaklah mengherankan kalau seorang seperti pangeran muda ini tergila-gila kepada seorang dara yang belum pernah dilihat sebelumnya, tergila-gila hanya karena mendengarkan berita tentang puteri itu! Memang jiwa seorang yang suka akan seni seperti Pangeran Yung Hwa amat romantis, amat peka dan halus, mudah tergerak dan mudah terpesona. Mendengar tentang Puteri Syanti Dewi yang kabarnya ahli dalam hal seni sastra, tari dan lukis, pandai pula meniup suling dan mainkan alat tetabuhan lain, bahkan kabarnya pandai pula menari pedang, di samping memiliki kecantikan yang luar biasa seperti seorang dewi dari kahyangan, hatinya tergerak dan sekaligus dia telah jatuh cinta! Karena tergila-gila dan tidak dapat pula menahan rindunya, dia menghadap ayahnya, yaitu Kaisar, dan mengajukan permohonan agar dia dilamarkan Puteri Syanti Dewi dari Bhutan itu! Akan tetapi Kaisar yang telah dipengaruhi oleh adik tirinya, Pangeran Liong Bin Ong, berpendapat lain. Kaisar menolak permintaan puteranya ini, bahkan melamar Puteri Bhutan itu untuk dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong yang sudah berusia lima puluh tahun dan sudah mempunyai banyak selir! Mendengar ini, remuklah hati Pangeran Yung Hwa dan dengan berani dia menulis sajak memaki-maki pamannya itu sebagai seorang tua yang tidak tahu malu, yang mata keranjang dan lain-lain untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya. Kemudian dia lolos dari istana melarikan diri! Pangeran Liong Khi Ong tentu saja marah sekali kepada keponakannya ini karena sajak yang memaki-makinya itu dipasang di kuil besar dekat istana sehingga sebentar saja banyak orang yang tahu dan dia menjadi buah tertawaan orang. Dengan seijin Kaisar yang memang sudah mendengar akan hal itu dan hendak menghukum puteranya, Pangeran Liong Khi Ong mengerahkan pasukan untuk menangkap kembali Pangeran Yung Hwa yang minggat. Di bagian depan dari cerita ini telah diceritakan betapa Pangeran Yung Hwa yang sedang melarikan diri dalam kereta dan dikejar oleh pasukan Pangeran Liong Khi Ong, secara kebetulan bertemu dengan Gak Bun Beng dan Syanti Dewi yang menyamar, lalu pangeran muda itu mendapat pertolongan Gak Bun Beng sehingga lolos dari bahaya. Akan tetapi tentu saja dia tidak pernah menduga bahwa dara cantik yang berada bersama penolongnya itu bukan lain adalah Puteri Bhutan yang menjadi gara-gara semua keributan itu! Dengan bantuan seorang pamannya, yaitu saudara dari ibunya yang menjadi selir Kaisar, dia bersembunyi di luar kota raja. Ketika dia mendengar dari pamannya akan gerakan pemberontakan yang agaknya dikendalikan darl kota raja oleh kedua orang pangeran tua, Yung Hwa terkejut sekali. Dia segera melakukan penyelidikan-penyelidikan, kemudian pada malam hari itu, dengan bantuan pamannya dia berhasil menyelundup masuk ke kota raja dengan niat menghadap ayahnya untuk minta ampun dan untuk menyampaikan hasil-hasil penyelidikannya tentang gerakan pemberontakan dua orang pangeran tua. Pangeran Yung Hwa tidak tahu bahwa penyeludupannya itu telah diketahui oleh kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong yang cepat melapor kepada pangeran tua itu. Pangeran Liong Khi Ong segera memerintahkgn tujuh orang kaki tangannya itu untuk menangkap Pangeran Yung Hwa. Ketika Ceng Ceng melihat betapa tujuh orang itu yang harus diakuinya memiliki gerakan yang ringan dan gesit sekali dan diketahuinya merupakan lawan-lawan yang berat, mengepung sebuah rumah di ujung kota, dia lalu langsung menghampiri pintu rumah itu dan mengetuknya. Dia maklum bahwa perbuatannya itu diintai oleh tujuh orang itu dengan penuh keheranan dan perhatian, namun dia tidak peduli dan mengetuk terus dengan kuat sampai terdengar suara seorang laki-laki dari sebelah dalam, "Siapakah di luar?" "Aku ingin berjumpa dengan Pangeran," kata Ceng Ceng. Hening sejenak di belakang pintu itu, kemudian penutup lubang digeser dan tampak sebuah mata mengintai dari balik lubang. Ketika orang di balik pintu itu melihat bahwa yang mengetuk pintu hanyalah seorang dara cantik dan sendirian pula, sinar matanya membayangkan kelegaan hati. "Nona, engkau siapakah dan apa maksud kedatanganmu?" "Biarkan aku masuk, aku ingin berjumpa dengan Pangeran. Dia terancam bahaya dan aku ingin melindunginya." Sinar mata itu kelihatan terkejut dan heran, lalu nampak ragu-ragu. Pengintai ini adalah Perwira Chi yang melindungi dan menyembunyikan Pangeran Yung Hwa sebelum Pangeran itu sempat menghadap ayahnya di istana Kaisar. "Bukalah sebelum terlambat," Ceng Ceng berbisik. "Rumah ini sudah mereka kurung!" Perwira itu makin kaget dan cepat dia membuka daun pintu, membiarkan Ceng Ceng menyelinap masuk dan cepat menutupkan kembali pintunya. "Di mana dia?" Ceng Ceng bertanya. Laki-laki berusia empat puluh tahun lebih itu mengangguk dan memberi isyarat kepada dara itu untuk mengikutinya ke sebelah dalam rumahnya. Dalam perjalanan menuju ke ruangan dalam ini, Ceng Ceng bertemu dengan isteri Perwira Chi dan tiga orang anaknya yang masih kecil-kecil, berusia di bawah sepuluh tahun, dan dua orang pelayan. Mereka kelihatan takut-takut dan memandang kepada Ceng Ceng dengan muka pucat. Ketika Ceng Ceng mengikuti orang itu masuk ke sebuah ruangan, seorang pemuda bangkit dari duduknya dan menyambut kedatangannya dengan pandang mata penuh selidik. Begitu berhadapan, diam-diam Ceng Ceng harus mengakui bahwa baru sekali ini dia berjumpa dengan seorang pemuda yang demikian tampannya! Pemuda itu usianya tentu sudah dua puluh tahun lewat, wajahnya yang berkulit putih itu bentuknya tampan sekali, dan ada keagungan dalam sikapnya. Wajah itu agak bundar, dengan alis hitam tebal dan hidung mancung. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh gairah hidup, dan mulutnya selalu tersenyum. Bentuk tubuhnya sedang dengan sikap seorang yang berhati tabah dan merasa lebih tinggi daripada orang lain. Pakaiannya serba indah, sungguhpun bentuknya sederhana. "Paman Chi, siapakah Nona ini?" Suaranya halus sekali ketika dia mengajukan pertanyaan ini dan dari sikapnya yang agak membungkuk dan pandang matanya, jelas bahwa dia terheran akan tetapi juga menghormat, sehingga Ceng Ceng juga segera menjura dengan hormat mengingat bahwa pemuda tampan ini adalah seorang pangeran! Ceng Ceng tidak menanti perwira itu menjawab karena dia maklum bahwa perwira itu tentu saja juga tidak mengenalnya, maka dengan singkat dia berkata, "Apakah Paduka seorang pangeran?" Pangeran Yung Hwa tersenyum dan Ceng Ceng memandang kagum. Begitu tersenyum pemuda ini kelihatan makin tampan dengan deretan giginya yang putih seperti mutiara. "Benar, Nona. Aku adalah Pangeran Yung Hwa, dan baru padamulah aku berterus terang." "Saya bernama Lu Ceng, dan tadi saya melihat ada tujuh orang yang mengurung rumah ini. Saya mendengar percakapan mereka bahwa mereka akan menyerbu dan menangkap paduka, oleh karena itu saya sengaja datang untuk melindungi paduka." Perwira itu kelihatan terkejut, mengeluarkan suara perlahan di tenggorokannya dan mencabut pedang dari pinggangnya, mukanya pucat dan matanya memandang ke kanan kiri. Akan tetapi Pangeran Yung Hwa tenang saja, senyumnya tidak pernah meninggalkan wajahnya yang tampan. "Tenanglah, Paman Chi, Nona Lu, kalau boleh aku bertanya, mengapa Nona menempuh bahaya dan bagaimana pula Nona akan melindungi aku?" "Mendengar bahwa paduka seorang Pangeran yang terancam bahaya, sudah sementinya kalau saya berusaha melindungi dan biarpun sedikit, saya pernah belajar ilmu dan tidak takut menghadapi tujuh orang itu." "Ah, kiranya Nona adalah seorang pendekar wanita!" Pangeran itu memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar. "Masih begini muda...., betapa mengagumkan! Akan tetapi.... sebaiknya kalau Nona cepat pergi dari sini. Nona masih amat muda, kalau dalam melindungiku sampai Nona tertimpa bencana, aku Yung Hwa selama hidupku akan menyesal." Ceng Ceng memandang sejenak dan ada perasaan lembut mengelus perasaannya. Pemuda bangsawan ini benar-benar seorang pemuda yang selain tampan dan halus, juga amat berbudi, tidak mengingat diri sendiri saja. Betapa jauh bedanya kalau dibandingkan dengan pemuda-pemuda nakal dan ceriwis yang dijumpainya tiga kali, pertama kali di pasar kuda, kedua kalinya ketika dia terkurung oleh banyak pengeroyok di Lembah Bunga Hitam dan mereka berdua membantunya, ketiga kalinya ketika dia melihat mereka mengejarnya di rumah Jenderal Kao. Lebih jauh lagi bedanya kalau dibandingkan dengan Ang Tek Hoat, pemuda jahat yang menjadi kaki tangan pemberontak itu! Dan makin jauh lagi kalau dibandingkan dengan pemuda laknat, pemuda tinggi besar yang telah memperkosanya! "Harap paduka jangan khawatir, dan sebaiknya Paduka bersembunyi di kamar ini saja. Paman, harap Paman menjaga beliau dan keluarga Paman juga sebaiknya dikumpulkan semua di kamar ini. Biar aku sendiri yang menghadapi kalau mereka berani masuk!" Sambil berkata demikian, Ceng Ceng mencabut pedangnya. "Singgg....!" Perwira Chi berseru kaget melihat berkelebatnya sebatang pedang yang begitu menyilaukan mata dan yang mengandung hawa dingin menyeramkan. "Lu-siocia (Nona Lu)....!" Pangeran Yung Hwa berkata. "Sekali lagi kumohon kepadamu, jangan mempertaruhkan nyawa demi aku. Aku adalah seorang laki-laki dan sudah biasa akhir-akhir ini menghadapi ancaman bahaya. Akan tetapi kau.... tidak boleh engkau menghadapi bahaya maut untukku, Nona!" "Awas....! Trang-cring-cring-cring....!" Pedang di tangan Ceng Ceng berkelebatan dan membentuk sinar bergulung-gulung ketika menangkis datangnya puluhan batang senjata rahasia yeng menyambar-nyambar dari atas genteng di empat penjuru. "Kau hebat, Nona.... tapi aku tetap khawatir...." Pangeran Yung Hwa memuji ketika menyaksikan kelihaian Ceng Ceng, akan tetapi Perwira Chi yang sudah datang bersama anak isterinya dan dua orang pelayan, mendesaknya agar memasuki ruangan dalam yang tidak berjendela sehingga tidak dapat diserang dari luar. Kemudian dia menutupkan pintu ruangan itu dan meloncat keluar dengan pedang di tangan, berdiri di dekat Ceng Ceng sambil berkata, "Terima kasih, Lihiap. Saya bersedia membantumu dan melindungi Beliau dengan taruhan nyawa." Akan tetapi diam-diam Ceng Ceng merasa khawatir sekali. Tadi ketika dia menggunakan pedang menangkis, lengan kanannya sampai tergetar hebat, tanda bahwa para musuh yang melepas senjata rahasia itu memiliki tenaga yang amat kuat! Kalau tujuh orang yang pandai itu semua menyerbu ke tempat yang sempit ini, terpaksa dia harus menggunakan racun, dan hal ini bahkan akan membahayakan perwira ini, mungkin juga membahayakan Pangeran dan keluarga Perwira Chi. "Paman, harap Paman masuk saja ke dalam ruangan dan menjaga mereka di dalam, dan jangan Paman atau siapa saja keluar karena di depan pintu ruangan ini akan kusebari racun agar tidak ada yang dapat masuk. Percayalah kepadaku!" Perwira itu membelalakkan mata. Dia maklum bahwa dara yang muda ini tentu memiliki kepandaian tinggi, dan memang hatinya akan lebih tenang kalau dia menjaga Pangeran dan keluarganya di bawah matanya sendiri, maka dia mengangguk dan membuka pintu, lalu meloncat ke dalam dan menutupkan pintunya kembali. Ketika pintu terbuka sebentar itu, Ceng Ceng melihat betapa Pangeran Yung Hwa duduk dengan tenang dan tersenyum lalu mengangguk kepadanya. Hati dara ini makin kagum. Dalam keadaan menegangkan seperti itu, Pangeran itu kelihatan tenang saja. Sungguh sikap yang luar biasa gagahnya bagi seorang pangeran yang lemah. Setelah Perwira Chi memasuki ruangan itu dan menutupkan pintu satu-satunya dari ruangan itu, Ceng Ceng lalu mengeluarkan bubuk racun berwarna putih dari saku bajunya. Bubuk racun itu tinggal sedikit, dan sisa ini ditaburkan semua di depan pintu ruangan, dari pintu sampai dua meter jauhnya sehingga siapa pun yang akan memasuki ruangan melalui pintu itu tentu akan menginjak bubuk racun yang telah ditaburkannya dan tidak tampak itu. Kemudian Ceng Ceng lalu meloncat keluar dan langsung dia melayang ke atas genteng. Baru saja tubuhnya mencelat dan hinggap di atas genteng, dari empat penjuru dia diserang oleh tujuh orang kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong itu. Ceng Ceng yang sudah siap, tidak menjadi gentar dan cepat dia memutar pedang Ban-tok-kiam untuk melindungi tubuhnya sedangkan tangan kirinya menyebarkan bubuk racun merah yang juga tinggal bersisa sedikit dan tadi sudah dipersiapkannya. Bubuk racun merah ini merupakan racun yang memabokkan dengan keharumannya yang luar biasa, dan sungguhpun lawan tidak akan tewas oleh racun ini, akan tetapi yang mencium baunya tentu akan roboh dan lemas, pening dan tidak dapat bertanding lagi. "Awas racun....!" Seorang diantara tujuh lawan itu berseru nyaring dan cepat meloncat mundur. Kawan-kawannya juga meloncat mundur, namun seorang diantara mereka terhuyung dan roboh di atas genteng, setengah pingsan karena dia telah mencium racun itu! Enam orang yang lain, seorang diantara mereka berpakaian perwira menjadi marah dan menyerbu lagi setelah mereka menutup hidung mereka dengan kapas yang sudah dicelup obat penawar. Melihat ini, Ceng Ceng makin khawatir. Kiranya mereka itu pun merupakan orang-orang lihai yang mengerti sedikit banyak tentang racun. Dan kini Ceng Ceng terdesak hebat. Biarpun dia sudah memutar pedang Ban-tok-kiam sekuatnya dan secepatnya, namun senjata pedang dan golok itu menekan berat sekali. Dalam belasan jurus saja dia sudah mandi keringat. Celakanya, dorongan pukulan tangan beracun dari tangan kirinya agaknya kurang kuat bagi enam orang lawan ini yang menangkis dengan hawa pukulan sin-kang dari jauh sehingga tidak pernah bersentuhan tangan. "Mampuslah....!" Ceng Ceng membentak marah, pedangnya menusuk tiga kali yang merupakan serangkaian serangan ke arah tiga orang lawan, sedangkan kepalanya bergerak ke kanan kiri, dan dari mulutnya yang manis bentuknya itu meluncur air ludah yang beracun ke arah tiga orang lawan yang lain! "Aduhhh....!" Seorang diantara mereka, yang memandang rendah serangan ludah itu, dengan tepat terkena percikan ludah di lehernya dan dia berteriak-teriak sambil memegangi lehernya yang seperti dibakar rasanya, lalu bergulingan roboh di atas genteng, tidak dapat bertanding lagi. Akan tetapi pada saat itu, sebuah tendangan kilat mengenal pinggul Ceng Ceng. Dara ini mengeluh, terhuyung dan hanya berkat kecepatan gerak pedangnya saja yang diputar melindungi diri maka dia terhlndar dari bahaya maut ketika lima orang itu menerjang secara berbareng ketika dara itu terhuyung. "Trang-cring-cring-cring....!" Ceng Ceng bergulingan di atas genteng sambil menggerakkan pedang Ban-tok-kiam menangkisi pedang dan golok yang mengejarnya. Banyak genteng pecah oleh gerakannya ini dan tubuhnya terus bergulingan karena lima orang lawannya tidak memberi kesempatan kepadanya untuk meloncat berdiri. Dia terdesak benar-benar sampai bergulingan ke pinggir atas dan nyaris terjatuh ke bawah. Terpaksa dia menghentikan gerakannya dan terus menangkisi pedang dan golok yang bertubi-tubi menyerangnya. Lima orang itu bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka adalah pengawal-pengawal kelas satu yang menjadi kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong, maka tentu saja mereka memiliki kepandaian yang tinggi. Selain itu, juga mereka telah berpengalaman di dunia kang-ouw, maklum bahwa gadis yang dikeroyoknya itu biarpun ilmu silatnya tidak terlalu hebat, namun memiliki kepandaian tentang racun yang mengerikan, karena inilah mereka tidak berani sembarangan menggunakan tangan kiri menyerang agar tubuh mereka tidak bersentuhan dengan gadis beracun itu, melainkan menggunakan pedang atau golok mereka untuk menyerang. Tendangan tadi yang mengenai pinggang Ceng Ceng, tentu akan mencelakakan yang menendang kalau saja dia tidak memakai sepatu kulit tebal. "Wuuuutt-plak-plak-plak!" Lima orang itu terkejut sekali, terhuyung ke belakang karena sambaran angin dorongan yang amat kuat. Ketika mereka melihat bahwa yang mendorong mereka itu adalah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka buruk sekali, mereka terkejut dan maklumlah mereka bahwa orang ini memiliki sin-kang yang amat hebat. Maka mereka lalu berpencar, ada yang meloncat ke atas wuwungan yang lebih tinggi untuk bersiap-siap dengan senjata rahasia mereka. Ceng Ceng sendiri terkejut dan cepat bangkit, menggigit bibir karena pinggangnya terasa nyeri. Pada saat itu, laki-laki tinggi besar bermuka buruk itu membuka mulut dan mengeluarkan teriakan melengking yang amat dahsyat, teriakan yang seolah-olah membuat semua atap di sekitar tempat itu tergetar, genteng-genteng banyak yang merosot dan lima orang pengeroyok itu mengeluh, senjata mereka terlepas dan tubuh mereka terguling di atas genteng dalam keadaan pingsan! Ceng Ceng sendiri merasa betapa tubuhnya seperti kemasukan tenaga yang dahsyat, telinganya seperti akan pecah rasanya, dan dia terhuyung-huyung. Akan tetapi tiba-tiba sebuah tangan yang besar menepuk punggungnya dan dia sadar kembali, memandang laki-laki tinggi besar itu dengan penuh kagum dan juga serem. Wajah orang ini sungguh buruk dan menakutkan. Kulit mukanya kasar seperti kulit punggung buaya, agak hitam kemerahan, mulutnya yang lebar seperti tidak pernah tertutup, hidungnya besar bengkok dan matanya besar sebelah, rambutnya riap-riapan dan panjang sedangkan sepasang mata yang besar sebelah itu mengeluarkan sinar yang aneh. Sungguh wajah yang menakutkan seperti wajah setan dalam dongeng! "Kau pergilah, kenekatanmu tadi berbahaya...." Orang itu berkata dan Ceng Ceng makin terheran-heran. Mukanya begitu buruk menakutkan, akan tetapi suaranya halus dan kepandaiannya luar biasa tingginya. Sejenak Ceng Ceng termangu, kemudian secara tiba-tiba dia menggerakkan pedangnya menyerang. Serangan kilat ini dilakukan dengan dahsyat karena mereka berdiri saling berhadapan dalam jarak dekat. Ban-tok-kiam meluncur ke arah dada orang tinggi besar itu dan agaknya tidak ada jalan lagi bagi orang tinggi besar untuk dapat meinghlndarkan diri dari bahaya maut ini, apalagi karena tangan kiri Ceng Ceng yang mengerahkan tenaga beracun mencengkeram ke arah perut dan kepalanya digerakkan sedemikian rupa sehingga rambutnya juga menyambar ke arah kedua mata lawan. Benar-benar serangan tiba-tiba yang amat berbahaya. "Ahhh....!" Laki-laki bermuka buruk mengeluarkan seruan kaget, dan hanya mengangkat tangan kirinya ke depan dan menyambar pedang itu dari samping dan membiarkan rambut dan tangan kiri Ceng Ceng mengenai sasaran. Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati dara ini ketika tangan kirinya bertemu dengan perut yang keras seperti baja, membuat jari-jari tangannya tidak dapat mencengkeram bahkan terasa nyeri, sedangkan rambutnya yang menyambar mata itu tiba-tiba membuyar ditiup oleh mulut Si Buruk Rupa, dan pedangnya ditangkap oleh tangan lawan! Pedangnya, Ban-tok-kiam yang ampuh, yang mengandung racun mujijat, ditangkap oleh tangan begitu saja seolah-olah hanya sebatang pedang kayu yang tidak berbahaya! Dia mengerahkan tenaga membetot, namun sia-sia, bahkan ketika laki-laki itu menggerakkan tangan, dia tidak mampu mempertahankan dan pedangnya terlepas, lalu dilempar di atas genteng oleh laki-laki itu. "Apakah kau sudah gila?" laki-laki itu menegur. Ceng Ceng segera menjatuhkan dirinya berlutut dan laki-laki itu mendengus heran. "Memang kusengaja untuk menguji kepandaianmu In-kong, aku mohon kepadamu agar kau suka menerimaku sebagai murid!" Mata yang besar sebelah itu berkedip-kedip penuh keheranan. "Kau.... kau seorang yang aneh, Nona. Selamat tinggal...." Dia membalikkan tubuh membelakangi Ceng Ceng yang masih berlutut. "In-kong...., jangan pergi dulu." Ceng Ceng berseru dan laki-laki itu berdiri di wuwungan, membelakangi Ceng Ceng dan bersedakap. "Mau bicara apa lagi?" terdengar suaranya yang halus. "In-kong, aku ingin sekali menjadi muridmu, belajar ilmu yang tinggi untuk kupergunakan membalas dendamku kepada seorang pemuda laknat yang amat lihai dan selamanya aku tidak akan melupakan budimu.... In-kong....!" Namun Ceng Ceng hanya dapat bangkit berdiri dengan muka pucat dan hati kecewa sekali karena selagi dia bicara tadi, laki-laki bermuka buruk itu telah berkelebat dan lenyap, meninggalkannya tanpa menjawab sedikitpun juga. Dengan kekecewaan hebat Ceng Ceng memungut pedangnya, lalu melayang turun setelah melihat bahwa tujuh orang itu masih rebah malang melintang dengan pingsan di atas genteng. Ketika dia memasuki rumah dan menghampiri pintu ruangan di mana Pangeran Yung Hwa dan sekeluarga Perwira Chi bersembunyi, tiba-tiba pintu itu terbuka dan Pangeran Yung Hwa muncul, memandang kepadanya dengan wajah girang sekali sambil berkata, "Ah, syukur kepada Thian bahwa kau selamat, Nona....!" "Haiii, jangan keluar....!" Ceng Ceng berteriak kaget melihat Pangeran itu hendak melangkah keluar. Seruannya terlambat, maka dia cepat meloncat seperti seekor burung walet, langsung menubruk dan merangkul tubuh Pangeran itu yang sudah melangkahkan kakinya sehingga mereka berdua terlempar kembali ke dalam ruangan, bergulingan seperti saling berpelukan! Dengan kedua dengan masih memeluknya, Pangeran Yung Hwa membuka matanya, memandang terheran-heran. Ketika Ceng Ceng meronta, dia melepaskan kedua lengannya. "Ah maaf....!" Muka Pangeran itu menjadi merah sekali. Bersama Ceng Ceng dia bangkit berdiri, melihat dara itu mengebut-ngebutkan pakaiannya. "Akan tetapi, mengapa Nona....?" "Pangeran, di luar pintu itu tadi kusebarkan racun untuk menghalangi orang luar memasuki ruangan ini, dan hampir saja kau yang menjadi korban!" Ceng Ceng mengomel, lupa bahwa dia bicara dengan seorang putera Kaisar sehingga dia seenaknya saja menyebut "kau"! Sepasang mata yang indah dari pangeran itu terbelalak. "Aihh.... kiranya baru saja kau kembali setelah menyelamatkan nyawaku, Nona Lu!" Dia memandang ke atas lalu bertanya, "Bagaimana dengan mereka?" "Semua pingsan," jawab Ceng Ceng sederhana. "Ah, sungguh hebat! Bagaimana aku dapat membalas budimu, Nona Lu?" Yung Hwa berkata lagi sambil menjura. "Lihiap, bagaimana baiknya sekarang?" Perwira Chi yang masih pucat, wajahnya itu tiba-tiba bertanya. "Kalian semua harus cepat pergi dari sini, kalau tidak, berbahaya sekali," jawab Ceng Ceng. "Mari kalian semua ikut dengan aku!" Yung Hwa berkata. "Kita harus malam ini juga masuk ke istana, barulah aman." "Akan tetapi...." perwira itu meragu. "Beliau berkata benar," Ceng Ceng memotong. "Memang sebaiknya kalau sekarang juga kalian semua menyelamatkan diri ke dalam istana. Kiranya tidak akan sukar bagi Pangeran Yung Hwa untuk memasuki istana." "Akan tetapi kalau ada pencegatan di tengah jalan?" Perwira Chi masih meragu. "Aku akan mengawal," Ceng Ceng menjawab. "Ah, budimu makin bertumpuk, Nona Lu!" Pangeran Yung Hwa berseru terharu, akan tetapi Ceng Ceng cepat membuka pintu dan membersihkan racun dari lantai depan pintu. "Aku tidak yakin apakah sudah bersih betul, sebaiknya kaubawa keluargamu meloncat sampai dua meter lebih dari pintu, Chi-ciangkun (Perwira Chi)!" Ceng Ceng berkata. Perwira itu mengangguk, memondong isteri dan anak-anaknya bergantian dan membawa mereka meloncat. "Maukah engkau membantu aku, Nona?" Yung Hwa berkata, matanya memandang tajam penuh harapan dan penuh selidik. Wajah Ceng Ceng menjadi merah, akan tetapi dengan sederhana dia mengangguk dan mengeluarkan tangannya. "Kau berpeganganlah pada tanganku, Pangeran!" Setelah mereka saling berpegang tangan, Ceng Ceng meloncat dan menarik tubuh pangeran itu ke atas bersamanya. "Ahhh....!" Pangeran Yung Hwa memuji dengan kagum dan agaknya dia lupa bahwa dia masih memegang tangan yang berkulit halus itu, sampai Ceng Ceng dengan halus menarik tangannya. "Mari kita berangkat dan kalau ada pencegatan di jalan, biarkan aku menghadapi mereka akan tetapi lanjutkan perjalanan kalian ke istana," Ceng Ceng memesan dan berangkatlah mereka semua meninggalkan rumah Perwira Chi menuju ke istana. Di sepanjang jalan, Pangeran Yung Hwa yang kelihatan tenang saja tidak seperti Perwira Chi sekeluarganya yang nampak gugup dan tegang, tiada hentinya memuji-muji kelihaian Ceng Ceng. Tidak ada halangan sesuatu di jalan sampai mereka tiba di pintu gerbang istana yang terjaga ketat oleh sepasukan pengawal istana. Ketika mereka melihat Pangeran Yung Hwa yang mengepalai rombongan kecil itu, tentu saja mereka mengenalnya dan cepat memberi hormat kepada pangeran yang mereka kenal sebagai seorang pangeran yang baik budi dan halus itu. "Mereka ini adalah tamuku dan malam ini kami perlu sekali menghadap ibuku di istana," kata Pangeran Yung Hwa kepada para penjaga yang tidak berani melarang. "Kalau begitu, kita berpisah di sini," kata Ceng Ceng. "Selamat berpisah, Pangeran dan Chi-ciangkun." "Eh, eh.... kau harus ikut dengan kami memasuki istana, Lu-siocia!" pangeran itu berseru. "Harus....?" Ceng Ceng memandang dengan sikap angkuh dan matanya seolah-olah hendak mengatakan bahwa tidak ada seorang pun manusia di dunia ini yang mengharuskannya berbuat sesuatu! "Eh, maksudku...." Pangeran Yung Hwa mendekati nona itu dan berbisik, "Harap Nona mengawal kami sampai kami aman berada di tempat tinggal ibuku. Di dalam istana itu banyak kaki tangan pemberontak." Mendengar ini, Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Memang kalau dia lepaskan mereka di situ kemudian mereka itu tetap saja terjatuh ke tangan musuh yang tentu menyebar anak buahnya di dalam lingkungan istana, akan sia-sialah semua pertolongannya. "Baiklah....!" katanya dan wajah pangeran itu menjadi berseri, jelas bahwa dia merasa girang sekali. to be continue. . .
Posted on: Sun, 25 Aug 2013 17:20:16 +0000

Trending Topics



yle="min-height:30px;">
Ace Does The Baseball Race and Doesnt Go Crazy!! We changed the
HONDA FIT HYBRID 2011 Keyless Entry . PKR 1550,000 Manucturer

Recently Viewed Topics




© 2015