Love isnt Like a Joke By hanaruppi - TopicsExpress



          

Love isnt Like a Joke By hanaruppi -------------------------------------------------------------------------------- Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto Warning: OOC mungkin, rumit, gaje, lama update Happy reading! -------------------------------------------------------------------------------- Itachi berdiri kaku menatap mata onyx ayahnya. Selama sepersekian detik dia bergeming, berkedip pun tidak, bahkan menahan napasnya. Berita yang baru saja didengar dari sang ayah membuatnya seolah hilang kesadaran. Mitsushinpo membatalkan kontrak? tanya Itachi kemudian, tatapan matanya belum berubah. Uchiha Fugaku yang tengah duduk di sofa panjang menghadap pemuda itu, mengangguk pelan. Membaca ekspresi wajah si Uchiha muda, dia tahu bagaimana perasaan putra sulungnya itu setelah menerima kabar buruk yang dibawanya. Entah karena lelah berdiri atau memang tak sanggup lagi menahan lemas di lututnya, Itachi beralih ke sofa berlengan di dekat tempat ayahnya duduk. Setelah menghela napas, ditatapnya lagi sang ayah. Kenapa mereka tiba-tiba saja berbalik arah? dia bertanya lagi, kali ini dengan nada suara yang lebih tenang. Mereka sudah dengar soal kelakuan Sasuke waktu itu, kata Fugaku, entah dari mana mereka tahu. Menurut mereka, tindakan Sasuke sangat tidak profesional, dan mereka menuntut agar dia diganti. Kini Itachi melihat penyesalan pada wajah ayahnya. Dia tahu betul bagaimana besarnya rasa sayang sang ayah pada Sasuke—yang selalu terasa lebih besar dibandingkan yang dicurahkan pada dirinya. Sasuke sejak dulu menjadi anak kebanggaan. Meskipun bersalah, Fugaku akan selalu menganggap hal itu sebagai kewajaran; kesalahan itu selalu dimaklumi. Termasuk ulah Sasuke beberapa waktu lalu mengacau dalam preproduction meeting. Namun sang ayah melupakan begitu saja ulahnya itu saat Sasuke meminta kembali posisinya dalam penggarapan film, hanya karena alasan dia sedang mabuk saat mengatakan itu. Kini ulah Sasuke berbuntut panjang. Tapi Fugaku lebih memilih kehilangan satu sponsor besar dari pada harus melepas anak emas-nya. Tentu saja. Dia selalu percaya anak itu bisa berbuat lebih baik—selalu ada kesempatan untuk Sasuke. Dan yang membuat Itachi gemas, ayahnya tak pernah memberi kesempatan padanya untuk membuka mata bahwa anak bungsunya perlu sekali saja diberi pelajaran. Namun Itachi sangat memahami sang ayah, dia tidak perlu memaksakan diri untuk membuatnya mengerti. Lagi pula dia sudah terlalu dewasa untuk merengek egois. Karena dia bukan Sasuke. Aku yang bertanggung jawab soal itu, kata Itachi. Kalau hanya itu masalahnya, biar kujelaskan langsung pada agen Mitsushinpo. Lagian, bukannya mereka yang tidak profesional? Membatalkan kontrak karena masalah internal yang seharusnya tidak mereka ketahui? Lalu menyampaikan pembatan langsung pada presiden direktur, bukan pada produser? Menghela napas, Fugaku berkata, Maaf, Nak. Aku tidak lagi bisa meyakinkan mereka—Mitsushinpo tidak lagi percaya padamu. Hati Itachi tertohok mendengar itu. Namun, dia tidak bisa menyalahkan sang ayah. Masalah yang sudah terlanjur terjadi membuat semua rencana jadi kacau. Itachi juga tidak ingin menyalahkan Sasuke—meskipun penyebab utama kekacauan ini adalah adiknya itu. Bukan saatnya untuk menyalahkan siapa-siapa, pikir Itachi. Punggungnya bersandar tak berdaya ke punggung sofa. Itachi memijit-mijit keningnya sambil memejamkan kedua mata. Kita kehilangan sponsor utama, tepat satu minggu sebelum produksi dimulai, gumamnya seperti orang putus asa. Aku sudah menyuruh Obito untuk mencari sponsor baru, Fugaku berusaha menghibur. Itachi mengalihkan mata padanya. Dalam waktu tujuh hari saja? Sekalipun Ayah yang mencarinya, waktunya tidak akan cukup, ucapnya dengan menahan suara, tidak ingin sang ayah tersinggung. Tapi apa yang diutarakannya memang masuk akal. Bukan berarti Itachi suka mengeluh atau tak bisa berpikir optimis saat ini. Kita bisa memundurkan jadwal beberapa hari saja. Tidak bisa. Ayah tahu sendiri, satu jam saja tidak sesuai dengan jadwal, seluruh rencana akan jadi berantakan. Itu bisa mengecewakan pihak sponsor pendukung. Kita tidak bisa mengorbankan mereka. Aku tahu, gumam Fugaku. Maafkan aku untuk semua kekacauan ini. Jangan meminta maaf. Ini bukan salah Ayah. Itachi bangkit dari sofa, berjalan mendekati dinding kaca, memandang jauh ke luar gedung. Dengan atau tanpa sponsor utama, film ini akan tetap kuselesaikan, katanya. -------------------------------------------------------------------------------- Chapter 8 Kesempatan? -------------------------------------------------------------------------------- Sakura mempercepat langkahnya di sepanjang lorong. Saat terakhir mengintip jam tangannya, dia tahu waktunya sudah sangat mepet. Preproduction meeting pasti sudah mulai saat dia tiba di ruangan. Namun saat berbelok di tikungan, sosok Itachi yang tengah berjalan terburu-buru menghilangkan sedikit kekhawatirannya. Itachi-san! Sakura berlari menyusul. Meeting-nya belum dimulai? Sepertinya begitu, karena aku juga terlambat, katanya. Pembicaraan dengan ayahku membuatku hampir lupa waktu. Mereka tiba di depan ruangan berpintu ganda, salah satu pintunya terbuka lebar. Langkah Itachi dan Sakura tertahan di ambang pintu, saat melihat seorang pemuda tengah membungkuk rendah di hadapan banyak orang. Sakura mengenali wajahnya. Uchiha Sasuke. Tidak salah lagi. Namun yang membuatnya tidak percaya adalah apa yang dilakukannya saat ini. Sasuke nampak seperti sedang memohon pada orang-orang itu. Yang seperti itu bukan cara Sasuke, pikir Sakura. Harga dirinya terlalu tinggi untuk memohon, apalagi sampai membungkuk serendah itu. Entah terbentur apa kepalanya. Lagi pula, ada masalah apa ini sebenarnya? Anak itu… gumam Itachi. Dia terperangah menatap adiknya, nampak sama tidak percaya seperti Sakura. Gomen, kata Sasuke. Dia masih membungkuk, menunggu tanggapan dari sekian orang yang sampai saat ini masih diam menatapnya. Maaf? Seorang gadis berkulit gelap mencibir. Pusat perhatian orang-orang itu kini beralih padanya. Setelah semua yang kau lakukan, kau masih merasa pantas dimaafkan, Uchiha Sasuke? Mata besarnya yang berwarna kuning seperti mata kucing menatap tajam pada Sasuke yang kini telah menegakkan punggung. Kau lupa apa yang sudah kau lakukan pada kami? tanyanya lagi dengan suara yang lebih tinggi. Aku ingat. Dan sekarang aku sadar itu salah, kata Sasuke. Nada suaranya datar, begitu tenang, sama sekali tidak terpancing oleh kemarahan gadis itu. Makanya aku minta maaf— Jangan harap! gadis itu hampir berteriak. Tampak sekali emosinya sedang meluap-luap. Kau boleh merasa besar di London, tapi di sini kau bukan siapa-siapa. Kalau bukan karena perusahaan ayahmu, tidak ada yang mau memberi kesempatan buat amatir seperti kau. Bersikap seenaknya begitu, merendahkan orang lain hanya karena kau tidak suka, tidak profesional sekali! Setelah semua penghinaan itu, sekarang mengharapkan maaf dari kami? Jangan bercanda! Kurasa tidak ada salahnya anak itu diberi kesempatan kedua, suara seorang wanita dari belakang kerumunan menarik perhatian seluruh orang. Wanita berambut biru yang sedang duduk dengan sikap tak peduli itu bicara lagi. Sikapnya malam itu bisa dimaklumi… Tapi Konan-san— gadis yang sebelumnya bermaksud melancarkan protes, namun langsung disela oleh Si Rambut Biru. Aku belum selesai bicara, Karui, katanya. Matanya tidak sekalipun beralih dari alat pengikir kuku yang sedang dimainkan di ujung jari-jari tangannya. Jujur saja, yang dikatakan Sasuke waktu itu benar. Naskahmu masih banyak berantakan di scene-scene terakhir. Dan ada plot yang jumping di tengah cerita— Ini pertama kalinya aku diminta menuliskan naskah film action, Karui tak tahan untuk segera membela diri. Sebelumnya pun aku sudah mendiskusikan naskah itu dengan Produser, dan dia tidak banyak komentar seperti adiknya. Tatapan menyindir terlempar pada Sasuke. Kenapa kau senang sekali menyela pembicaraan? Konan menggerutu, terdengar mulai kesal namun masih sibuk dengan kuku-kukunya. Maaf, Konan-san. Tapi aku bukan bicara atas diriku sendiri, kata Karui lagi. Teman-teman yang lain juga merasakan sakit yang sama. Bagaimana tidak, mereka tanpa kecuali dihina! Tidak ingat waktu itu Sasaki sampai menangis? Darui-senpai juga berani dikatainya. Gadis itu menatap lelaki yang juga berkulit gelap dan bertubuh kekar di seberang tempatnya berdiri—untuk mencari dukungan. Buatku tidak masalah, gumam Darui tak acuh. Eh? Lelaki itu mengabaikan wajah-tak-percaya Karui. Dia mengipasi dirinya dengan bosan. Aku sudah sering dengar caci-maki. Telingaku sudah tuli buat yang begituan, katanya. Apalagi cuma cacian dari anak ingusan yang sedang mabuk. Tidak ada pengaruhnya buatku. Bukan itu masalahnya! Anak amatir ini bertingkah sok jadi pemimpin. Meskipun dia sutradara, bukan berarti dia bisa bersikap kurang ajar pada crew yang lain. Orang seperti itu tidak pantas jadi pemimpin—bagaimanapun hebatnya dia. Darui mengatupkan kipasnya, lalu menyelipkannya ke balik punggung. Ditatapnya gadis berambut merah yang tengah menggebu-gebu itu. Dia paham betul Karui bukan orang yang mudah memaafkan, apalagi setelah disakiti hatinya. Ucapan-ucapannya saat ini didominasi oleh rasa sakit hatinya. Darui khawatir, gadis itu bisa memanipulasi crew yang lain untuk menolak Sasuke kembali. Kalau sudah begitu, tidak ada harapan lagi buat anak itu. Jujur saja dalam hatinya, Sasuke-lah yang paling cocok untuk menangani film mereka kali ini. Meskipun keputusan akhirnya ada di tangan produser. Namun entah mengapa sampai saat ini Itachi belum juga muncul. Dia harus berbuat sesuatu untuk menutup mulut Karui. Kau kenal Jiraiya? tanya Darui kemudian. Karui tertawa mencibirnya. Siapa yang tidak kenal dia? Film-filmnya selalu jadi rival kita di setiap festival film. Musuh abadi—Tapi apa hubungannya dengan ini? Darui tersenyum simpul. Jauh sebelum menjadi pemilik rumah produksi itu, dia adalah sutradara brengsek yang kerjaannya setiap hari mencaci-maki para crew, dan itu berlangsung sejak film pertamanya. Kipas di balik punggung diambilnya lagi. Apa yang dikatakan Sasuke malam itu tidak sepenuhnya salah. Dia cuma mencoba menyampaikan masukan. Hanya saja dia tidak mengerti bagaimana menyampaikan gagasan dengan cara yang baik. Yah, mungkin dia akan jadi tipe sutradara brengsek yang kesekian. Setelah Darui berkata begitu, para crew yang berkumpul dalam ruangan itu berbisik-bisik, mempertimbangkan bahwa mungkin yang dikatakan Darui benar. Lagi pula, lelaki itu adalah anggota tim paling senior. Pengalaman kerjanya yang sudah begitu banyak membuatnya disegani. Ucapannya akan lebih banyak didengar. Selain itu, Konan juga telah menyatakan akan memberi Sasuke kesempatan kedua. Dari sudut pandangnya sebagai aktris—apalagi dia juga sudah bisa dibilang senior dan sering ambil bagian di film-film produksi Uchiha Pictures—penilaiannya terhadap kelakuan Sasuke membuat lelaki itu dirasa pantas ditolerir oleh yang lainnya. Namun kelihatannya tidak bagi Karui. Dia sudah terlanjur sakit hati akibat penghinaan Sasuke pada hasil karyanya. Dia memang menyadari naskah yang ditulisnya masih banyak kekurangan. Tapi bukan berarti dia sudi seorang amatir seperti Sasuke menginjak-injak harga dirinya di depan orang banyak. Jangan bercanda, dia menggeram, berusaha menekan amarahnya yang seakan ingin meledak. Semua mata tertuju padanya, sementara matanya sendiri terpaku pada Sasuke. Tatapan itu penuh kebencian. Sudah kubilang orang seperti dia tidak pantas jadi pemimpin. Kalau diteruskan, film ini tidak akan pernah selesai. Lagi pula, bukankah Produser sudah mendapatkan sutradara baru? Itachi yang sejak tadi hanya memerhatikan dari belakang pintu, memutuskan segera menampakkan diri begitu situasinya semakin rumit. Sudah saatnya dia turun tangan. Otomatis perhatian seisi ruangan beralih padanya. Makanya aku ingin meluruskan ini dulu, katanya. Sasuke akan tetap bersama kita. Reaksi para crew yang hadir dalam ruangan itu memang tampak tidak terlalu berarti. Namun tentu saja Karui yang sejak tadi mati-matian menolak Sasuke, menanggapi dengan sikap paling mencolok. Dia menatap penuh selidik Uchiha Itachi, seolah melupakan fakta bahwa lelaki itu masih atasannya. Apa maksudnya ini? Atas dasar apa anak itu tetap dipertahankan? Banyak, jawab Itachi, tanpa kehilangan sedikitpun wibawanya. Lalu bagimana dengan sutradara baru? Bukannya Produser sudah mendapatkannya? Siapa namanya? Haruno…? Itachi mengangguk. Dan saat itu dia baru menyadari bahwa Sakura tidak ada di dekatnya. Saat menoleh, gadis itu masih berdiri canggung di ambang pintu. Segera saja Itachi mengisyaratkannya untuk datang mendekat. Dengan hati berdebar-debar Sakura melangkah memasuki ruangan dan menghadapi orang-orang yang kini memusatkan perhatian padanya. Saat matanya tanpa sengaja bertemu dengan Sasuke, gadis itu cepat-cepat berpaling dan membungkuk pada seluruh crew di sana. Hajimemashite, Sakura menggumam. Setelah melihat kemampuannya yang mengagumkan, aku dapat ide untuk memadukannya dengan kemampuan Sasuke, kata Itachi kemudian. Aku tidak mau menyia-nyiakan dua bakat bagus itu. Kalau film kita bisa luar biasa, untuk apa mengharapkan yang biasa saja? Sasuke memperhatikannya dari ekor mata. Tidak menyangka kakaknya mau repot-repot berkoar untuk meyakinkan orang-orang yang telah dibuatnya sakit hati. Yah, kalau soal urusan memanipulasi orang lain, Itachi memang jagonya. Tidak heran dia sukses jadi produser. Untuk yang satu ini mungkin dia harus berterima kasih secara khusus pada kakaknya itu. Sudah kuputuskan, Sasuke dan Sakura akan berkolaborasi untuk menggarap film kali ini, kata Itachi. Kalau ada yang keberatan, silakan katakan saat ini juga. Pandangannya mengedar, berpindah dari wajah satu ke wajah lainnya. Tak ada tanda-tanda seseorang ingin mengajukan protes. Karui-lah satu-satunya orang yang nampak tidak setuju. Namun alih-alih mengajukan protes lanjutan, dia menyambar tas selempangnya yang tergeletak di atas meja, beranjak ke sudut belakang ruangan dan menjatuhkan diri dengan kasar di atas sebuah kursi sambil mengunyah berisik permen karet yang baru dilahapnya. Gadis itu tidak mau lagi peduli pada apa yang akan orang-orang itu katakan. Kelihatannya mereka juga bagus, kata Darui tak acuh. Dia masih sibuk dengan kipas di tangannya. Sekali lagi ucapannya berpengaruh pada crew yang lain. Mereka mengangguk-angguk setuju. Suasana tegang dalam ruangan itu kini lenyap. Masing-masing crew kembali ke kursi yang diletakkan mengitari meja oval yang besar. Sebelum pembahasan agenda meeting hari itu dimulai, Itachi terlebih dulu memperkenalkan tiap crew pada Sakura. Yang pertama ditunjuk Itachi adalah Darui, lelaki yang sejak tadi Sakura perhatikan bersikap bosan. Dia adalah director of photography (DOP), sudah hampir enam tahun bekerja di Uchiha Pictures—anggota yang paling lama bekerja dengan Itachi. Kemudian Ogata, cameramen tunggal. Tubuhnya yang jenjang dan wajah tidak bersemangat mengingatkan Sakura pada Kakashi. Hanya saja rambutnya hitam dan tidak dibentuk bergaya seperti dosennya itu. Duduk di seberangnya seorang lelaki bertubuh gempal—baru saja memesan dua donat coklat pada petugas pantry yang lewat. Kacamata bulat yang dipakainya membuat wajahnya yang lebar terlihat lucu. Itachi dan semua orang memanggilnya Kabo—Sakura yakin sekali alasan mengapa dia dipanggil dengan nama itu (kabocha artinya labu, mungkin karena bentuk tubuhnya bulat seperti buah labu). Dia sangat ramah, bahkan menawarkan satu donatnya pada Sakura saat pesanannya tiba, namun gadis itu cepat-cepat menolak dengan sopan. Kabo adalah editing leader. Perkenalan berlanjut pada gadis berambut merah yang duduk di sudut belakang ruangan—masih dengan wajah kesal, Karui. Saat Sakura menundukkan sedikit kepala, gadis itu tak peduli. Setelah berdehem untuk menegurnya, Itachi memberitahukan bahwa Karui adalah penulis naskah yang dikontrak ekslusif oleh Uchiha Pictures. Berdasarkan pengamatan Sakura, Karui bukan orang yang mudah diajak bersahabat. Lebih baik jangan berulah di hadapannya jika tidak ingin dapat masalah, pikir Sakura. Saat mengalihkan pandangan, tanpa sengaja Sakura bertemu mata dengan wanita cantik berambut biru yang duduk tidak jauh dari Karui. Sakura menundukkan kepala, wanita itu membalasnya dengan anggukan dan senyuman tipis. Meski terlihat keangkuhan dalam keanggunan sikapnya, wanita itu cukup ramah juga. Sakura kenal betul siapa dia. Konan, aktris muda papan atas yang selalu bersinar bersama Uchiha Pictures. Satu-satunya selebriti Jepang yang tidak pernah tersentuh pers. Semua berita dan kontroversi yang menyangkut dirinya tidak lain hanya karangan pers sendiri. Satu-satunya pernyataan yang pernah keluar langsung dari mulutnya adalah kalimat Kehidupan pribadiku bukan untuk umum. Sakura sudah lama mengagumi Konan. Baginya, tak ada yang bisa berakting sepandai wanita berambut biru itu. Dia pernah bercita-cita, suatu saat ingin Konan berperan dalam film yang digarapnya. Namun Sakura sama sekali tidak menyangka impiannya bisa terwujud begitu cepat. Itachi kemudian memperkenalkan anggota crew lainnya yang tergabung dalam staf teknis, seperti orang-orang yang menangani lighting, audio, dan peralatan pengambilan gambar; tim artistik yang dipimpin oleh pemuda cuek, Sou; serta tim make up dan wardrop yang ditangani oleh gadis pendiam bernama Sasaki. Kata Itachi, masih banyak yang tidak hadir dalam meeting ini, termasuk beberapa aktor dan aktris lainnya. Sakura akan bertemu mereka pada saat produksi nanti. Beberapa saat kemudian Sakura disodori proposal naskah setebal kamus Bahasa Inggris yang sudah lama disimpan dalam rak di kamarnya. Di balik sampul depannya, tertulis besar-besar judul film, After Rain Drop. Halaman selanjutnya berisi deskripsi singkat tentang film yang bersangkutan. Sakura membaca sinopsis yang terlampir di halaman berikutnya. Setelah dibuat semakin penasaran dengan keseluruhan cerita, dia mengintip dialog-dialog dari beberapa scene yang dibukanya secara acak. Sementara Sakura sibuk dengan proposal naskah, Itachi membicarakan persiapan yang harus dilakukan oleh masing-masing tim yang sudah dibagi sebelumnya, karena jadwal produksi akan dimulai satu minggu lagi. Ogata menyerahkan camera card pada Sasuke untuk diteliti kembali bersama Darui. Sasaki dan Sou masing-masing mengecek catatan mengenai wardrop dan properti, memastikan semua yang dibutuhkan sudah siap, dan melaporkan hasilnya pada Itachi. Kabo yang juga bertindak sebagai koordinator tim perlengkapan produksi, melaporkan kelengkapan alat-alatnya. Itachi puas, persiapan untuk produksi filmnya hampir seratus persen siap. Semua peralatan dan materi yang dibutuhkan telah komplit. Hanya tinggal menyelesaikan masalah dana yang menunggak besar hingga saat ini, terutama dana yang dikeluarkan untuk sewa lokasi syuting dan biaya transportasi. Sebenarnya urusan hitung-menghitung bisa ditunda hingga proses produksi selesai, karena pihak pengelola tempat yang dipakai untuk lokasi syuting setuju untuk dilunasi belakangan. Namun mengenai masalah dana ini, ada hal penting yang harus disampaikan Itachi pada tim kerjanya. Tentu saja ini tentang pembatalan kontrak oleh sponsor utama mereka. Saat diberitahukan soal itu, tak satupun orang di sana yang tidak terkejut. Semuanya menatap Itachi dengan pandangan menuntut jawaban. Mereka mulai ribut, mempertanyakan masalahnya. Ini mendadak sekali! Kenapa mereka tiba-tiba membatalkan kontrak? Itachi meredam suara-suara cemas itu dengan berdehem keras-keras. Aku tahu ini buruk. Aku menyesal tidak bisa mempertahankan mereka. Bukannya tenang, orang-orang itu semakin cemas dan pertanyaan-pertanyaan berdesis semakin keras. Sudah jelas kan? Karui berdiri, suaranya lantang dan nyaring. Tatapannya terlempar pada Sasuke. Mitsushinpo pasti sudah dengar soal itu. Menerima kembali orang yang tidak profesional hanya akan membuat kita dicap sebagai tim yang tidak profesional juga. Sasuke mendengus. Masih belum puas ya? gumamnya. Dia tak ambil peduli apapun yang masih akan dilakukan gadis itu terhadapnya. Tidak akan berpengaruh apa-apa. Tidak ada hubungannya dengan itu, sahut Itachi. Padahal dia tahu apa yang dikatakan Karui adalah kebenaran. Tapi Itachi tak punya pilihan. Mau tak mau, dia perlu melindungi Sasuke, untuk ayahnya. Berhentilah menyudutkan Sasuke-kun, kata Sasaki, membuat Karui luar biasa terkejut. Waktu itu mungkin dia salah, tapi bukan berarti dia pantas disalahkan untuk masalah yang lain. Ada apa denganmu, eh? Malam itu menangis sesegukan, sekarang kau bela dia? Karui mencibir. Aku tidak menyudutkan. Ini bukan masalah yang lain, dan seseorang harus bertanggung jawab untuk ini. Semuanya tahu siapa orang itu. Oi, Karui, bisa kau tutup mulutmu sebentar? Darui yang sejak tadi bersikap tak peduli, kini menatapnya dengan wajah kesal. Banyak bicara itu tidak baik. Sadarlah, kau satu-satunya orang yang berbeda pendapat di sini, gumam Konan. Pandangan angkuhnya membuat Karui semakin jengkel. Lama dia menatap wajah-wajah dalam ruangan itu, dan yang terakhir diarahkan pada Sasuke; tatapan yang penuh rasa muak. Dia tahu percuma saja terus-terusan mempertahankan argumen. Namun tidak sedikitpun dia berniat mengalah. Rasa kesal dan jengkel itu berkumpul seperti gumpalan daging yang ingin segera dimuntahkannya. Karui menyambar tas yang disampirkan ke punggung kursi, cepat-cepat dia meninggalkan ruangan. Kau memang brengsek, Sasuke! umpatnya sebelum menghilang di balik pintu. Sakura yang sejak tadi memerhatikan gelagat Karui sampai sosoknya menghilang, terdiam di bangkunya. Melihat Karui begitu, dia seperti melihat dirinya sendiri. Dia ingat terakhir kali lelaki itu membuatnya uring-uringan, saat bertemu di lift beberapa hari yang lalu. Waktu itu rasa jengkelnya tidak lagi tertahankan, sampai membuatnya meneteskan air mata. Padahal Sakura tak ingin menangis. Namun rasa sakit atas sikap dan ucapan Sasuke saat itu benar-benar membuat hatinya pedih. Sakura melemparkan mata pada Sasuke. Lelaki itu sedang berlagak sibuk dengan kertas-kertas dalam genggamannya; camera card yang dibuat Ogata. Orang itu semakin menjengkelkan saja. Apa aku bisa membuat film ini dengannya? Ya Tuhan… ~LilJo~ Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sakura sudah harus mengayuh sepeda menuju studio Uchiha Pictures. Itachi telah menyusun jadwal untuknya. Sementara anggota crew lain menyiapkan materi masing-masing yang masih harus dilengkapi, Sakura akan melakukan peninjauan lokasi syuting bersama Itachi, Sasuke, dan Karui. Sialnya rantai sepedanya lepas di pertengahan jalan, membuatnya datang terlambat. Sebenarnya hanya terlewat beberapa menit saja dari waktu perjanjian. Namun Sasuke memanfaatkan itu untuk mencecarnya. Lelaki itu bersandar bosan pada pintu mobil saat Sakura tiba. Baru begini saja sudah terlambat, sindirnya. Maaf, sahut Sakura tak acuh, sambil memarkirkan sepedanya agak jauh dari sedan Sasuke. Apa boleh buat, rantai sepedaku lepas, katanya, tak peduli lelaki itu mendengarnya atau tidak. Lagian cuma terlambat tiga menit. Sasuke mendengus. Seenaknya saja meremehkan waktu. Dalam hitungan tiga menit itu, kita sudah melewati gerbang tol. Astaga! Perhitungan sekali! Tapi Sakura tahu itu hanya usaha Sasuke untuk merusak mood-nya. Dia berusaha tak ambil pusing. Lagi pula Itachi belum kelihatan. Dari gelagat Sasuke yang sebentar-sebentar melihat jam, sepertinya kakaknya itu juga terlambat. Namun sosok yang muncul kemudian bukan lelaki mirip Sasuke yang berambut panjang. Pria itu belum pernah dilihat Sakura. Garis tegas rahangnya, rambutnya yang juga berwarna hitam raven, dan tinggi tubuhnya, menegaskan bahwa lelaki itu juga bagian dari keluarga Uchiha. Di kiri dan kanan, tangannya menggandeng dua gadis kecil yang nampak menggemaskan; sepasang anak kembar. Rambut mereka diikat dua dengan ikat rambut yang berhias dua buah chery merah, kontras dengan warna rambutnya. Ohayou! lelaki itu menyapa riang. Dua anak kembar dalam gandengannya meniru dengan suara nyaring yang lucu. Ohayou gozaimasu, Sakura balas menyapa. Dia tersenyum gemas pada sepasang gadis cilik itu. Kau pasti Haruno Sakura, kata lelaki itu, ditanggapi dengan anggukan oleh Sakura. Aku Uchiha Obito, manajer produksi departemen film. Hari ini aku menggantikan Itachi untuk menemani kalian meninjau lokasi syuting. Sou ka? Ada apa dengan Itachi-san? Dia ada pertemuan mendadak dengan calon sponsor baru. Karena dia mau menanganinya sendiri, jadi terpaksa janjinya denganmu hari ini harus kuambil alih. Bisa Sakura bayangkan bagaimana sibuknya Itachi saat ini. Pembatalan sponsor yang begitu mendadak pasti menjadi pukulan telak buatnya. Banyak yang harus dilakukan Itachi untuk memperbaiki keadaan demi kelangsungan produksi film itu. Sakura, sebagai orang yang dipilih langsung oleh Itachi, juga merasa harus berusaha keras, jangan sampai mengecewakan lelaki yang telah memercayainya itu. Siapapun yang datang, tidak masalah buatku, kata Sakura. Ya… ya. Tapi tidak perlu bawa-bawa mereka kan? Sasuke menatap sebal sepasang anak kembar itu, seolah mereka sebentar lagi akan berubah menjadi monster. Apa salahnya? sahut Sakura. Mereka kan cuma dua gadis kecil yang manis. Tunggu saja sampai mereka berulah, gumam Sasuke dingin sebelum membuka pintu mobil dan duduk di balik kemudi. Dua anak itu menjulurkan lidah pada Sasuke sebelum Sakura melihatnya. Kemudian mereka bersikap manis lagi layaknya malaikat kecil yang tidak mengerti kebencian di hadapan Sakura. Siapa nama kalian? tanya Sakura, berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan si kembar. Aku Rieko, jawab gadis yang di sebelah kanan. Aku Erika, jawab yang di kiri. Sakura bergantian menatap keduanya. Tak satupun dia menemukan suatu ciri khas yang bisa membedakan mereka—tahi lalat, misalnya. Rieko dan Erika benar-benar identik. Pakaian terusan kotak-kotak merah tanpa lengan dan sepatu karet pink yang mereka pakai persis sama. Sakura tidak tahu bagaimana nanti dia harus membedakannya. Dia kemudian teringat beberapa tangkai permen di dalam tasnya. Diambilnya dua, dan diberikannya pada si kembar. Hadiah untuk kalian. Wajah-wajah mungil itu tampak senang sekali. Arigato, Sakura-neechan, kata mereka serempak setelah menerima permen di tangan masing-masing. Sakura mengacak-acak gemas rambut mereka. Dari dulu dia ingin sekali punya adik. Tapi sepertinya Tuhan hanya menakdirkannya hidup sebagai anak semata wayang. Karena itu, dia selalu senang terhadap anak kecil. Maaf ya, Sakura, aku terpaksa membawa Eri dan Rie, kata Obito. Ibunya sedang ada urusan pekerjaan di luar kota. Ibuku, nenek mereka, sedang di rawat di rumah sakit. Ini hari libur, tidak ada yang menjaga si kembar di rumah. Ii yo. Aku senang mereka ikut. Tiba-tiba Sakura teringat pada seseorang yang belum juga nampak. Karui-san belum datang? Dia juga tidak akan datang. Saat semalam kutelepon, dia bilang sedang tidak enak badan. Untuk yang satu itu, Sakura sudah paham sebabnya. Karui pasti masih jengkel dengan Sasuke. Mana mau dia repot-repot datang. Suara klakson mobil yang ditekan berkali-kali mengejutkan mereka. Kepala Sasuke melongok dari jendela. Sudah siang nih! gerutunya. Sambil mengumpat dalam hati, Sakura mengambil alih si kembar dan mengajaknya masuk ke mobil, duduk di jok belakang. Obito duduk di sebelah Sasuke yang masih nampak kesal. Langsung saja dia menancap gas, membawa sedan biru metaliknya melesat menuju kota Suna. Sekitar satu jam kemudian, mereka tiba di depan bangunan berpagar beton tinggi. Mobil Sasuke melewati gapura yang bagian atasnya berbentuk setengah lingkaran setelah gerbang besi membuka lebar, berhenti di pelataran bangunan besar bergaya Victoria klasik. Mereka disambut oleh air mancur patung kuda yang terbuat dari marmer kuning gading di seberang pintu utama. Sinar matahari terhalang oleh pohon-pohon palem besar yang ditanam sejajar pagar beton, mengelilingi bangunan. Si kembar berebut turun dari mobil dan merengek minta diizinkan bermain di halaman. Setelah berjanji pada Obito untuk tidak bertingkah nakal, Eri dan Rie berlarian gembira menuju halaman belakang seperti dua ekor kelinci yang baru dilepaskan dari kandang. Sakura menyusul turun dari mobil dengan pandangan takjub. Bangunan dengan desain yang begitu asing, menciptakan suasana seperti bukan berada di Jepang. Tanaman perdu-perduan dan palem di halaman, tanpa ada satupun tanaman khas Jepang, membuat tempat itu terasa makin asing saja. Namanya Victorian House, kata Obito begitu turun dari mobil. Milik keluarga Shoseki yang menyukai budaya Eropa klasik. Tempat ini biasa dipakai untuk keperluan komersil. Gadis itu mengangguk-angguk, sambil membayangkan saat-saat pengambilan gambar di sana. Selama dalam perjalanan tadi, Obito menjelaskan bahwa Victorian House akan dipakai sebagai rumah Keluarga KanO, geng yakuza dalam film mereka. Itachi dan Karui yang memilih tempat itu, berdasarkan kebutuhan setting yang sesuai dengan penggambaran dalam skenario. Obito membawanya menjelajahi seisi rumah. Di dalam, Sakura lebih takjub lagi pada bangunan itu. Desainnya kental dengan nuansa klasik khas Eropa yang ditunjukkan oleh pintu-pintu tinggi dan jendela berdaun ganda, pagar-pagar balkon yang dibuat melengkung, dan tangga berputar di tengah bangunan dengan besi ulir sebagai pegangannya. Yang paling unik dan mencolok adalah bagian bangunan yang menjulang mirip menara, disertai jendela mengeliling di bagian ujung teratasnya yang membiarkan sinar matahari masuk. Dinding sebagian ruangan dibuat dengan tekstur bata merah. Sakura membayangkan bangunan itu seperti kastil kecil di tengah kota. Sambil berkeliling, Obito menunjukkan ruangan-ruangan yang dijadikan setting film. Sakura menyimak sambil sedikit-sedikit menengok naskah yang sudah dia fotokopi untuk dirinya sendiri dan menjilidnya dibagi berdasarkan plot agar tidak terlalu tebal. Diam-diam dia menggambar blocking kamera pada lembaran kosong fotokopian naskahnya. Saat Sasuke melihatnya, lelaki itu mencibir. Dia tidak setuju beberapa titik peletakkan kamera saat pengambilan gambar yang dirancang Sakura. Jangan mengarang sendiri, kata Sasuke. Buat apa ada deskripsi visual dalam naskah kalau tidak diikuti? Kalau sudut pandangku berbeda, bukan berarti aku mengarang, Sakura menyahut tanpa menatap lawan bicaranya sedikitpun. Tangannya masih sibuk menyelesaikan sketsa. Sama saja seperti menggambar pohon yang disinari matahari. Siapapun bebas menentukan di sebelah mana mau menggambar matahari, bebas menentukan seberapa panjang atau seberapa besar bayangan yang ditimbulkannya. Itu artinya kau mengubah rasa, balas Sasuke. Perbedaan letak matahari akan mempengaruhi waktu. Perbedaan waktu akan mempengaruhi suasana hati. Bukankah itu sama saja dengan kau mengubah penjiwaan adegan ini? Bukan mengubah, tapi mendramatisi. Sasuke membelalakkan mata. Kau… Obito yang sejak tadi hanya diam memperhatikan mereka, cepat-cepat menahan Sasuke. Bukankah sebaiknya kita ke Ishi? Nanti keburu sore, katanya sambil menunjukkan jam di pergelangan tangannya. Kedua anak muda itu tanpa bicara sepatah kata pun sepakat untuk membatalkan perdebatan. Mereka kembali ke mobil. Masih ada satu lokasi lagi yang harus ditinjau hari itu. Setelah Obito membawa kembali Rie dan Eri ke dalam mobil, mereka langsung saja meninggalkan Victorian House menuju Ishi, pantai paling selatan Oto. Pantai Ishi berbeda dengan Pantai Shizu, tempat kencan rahasia Sasuke-Karin yang sempat menghebohkan beberapa hari lalu. Ishi merupakan pantai laut lepas yang tidak diberdayakan sebagai tempat wisata komersil. Ishi lebih dikenal sebagai pelabuhan nelayan. Meskipun begitu, pemandangan di sana sangat indah, tak kalah indah dengan pantai manapun. Pohon-pohon nyiur tumbuh besar di sepanjang garis pantai. Pasirnya bersih, berkilau-kilau memantulkan cahaya matahari. Perahu-perahu kecil para nelayan berbaris di sepanjang dermaga, ditambatkan dengan tambang besar pada pasak yang menancap kokoh ke dasar laut. Lidah ombak menjilat-jilat bebatuan licin yang memisahkan pantai dengan lautan, meninggalkan buih. Desirnya terdengar bagai harmoni yang berpadu dengan desau dedaunan nyiur dan koakan burung-burung laut. Kami mau bikin istana pasir, sorak Rie dan Eri begitu turun dari mobil. Keduanya langsung berlari ke dataran pasir putih tanpa seorangpun bisa mencegah mereka. Jangan lepas sepatu ya! Banyak pecahan kulit kerang, teriak sang ayah. Sudah kubilang jangan ajak mereka, Sasuke mendesis saat berlalu meninggalkan mobilnya menuju ke arah dermaga. Sakura melempar tatapan sewot. Dia sebal sekali dengan Sasuke yang terus-terusan berlagak dingin pada si kembar. Bahkan terhadap anak kecil dia tak juga bisa bersikap ramah, pikir Sakura. Tidak ingin memikirkannya lama-lama lagi, Sakura mengajak Obito ke tepi pantai. Tanpa Sasuke, gadis itu mereka-reka sendiri pengambilan adegan yang akan dilakukan di sepanjang pantai itu sampai ke dermaga. Saat tadi Obito mengajaknya bergabung, Sasuke mengatakan lebih suka bersandar di pagar dermaga sambil menghabiskan rokoknya. Sakura tak peduli. Lagi pula mengikutkan lelaki itu hanya akan melanjutkan perdebatan sengit mereka yang tertunda. Take dimulai dari sana, Obito menunjuk pondokan di dekat satu-satunya pohon nyiur berbatang bengkok. Kemudian jarinya bergerak lurus mengarah ke laut. Scene terakhir dilakukan di atas laut, saat adegan Tatsu membawa kabur Ann dengan kapal, katanya. Aku sudah menyewa speed boat. Ayo, Sakura, kita lihat-lihat sedikit ke tengah laut. Sakura mengikuti Obito ke tepi dermaga, menuju sebuah speed boat besar. Rie dan Eri langsung saja meninggalkan istana pasir yang masih berbentuk gundukan pasir basah yang tak jelas bentuknya, begitu mendengar sang ayah dan Sakura akan berpesiar ke tengah laut. Tiba-tiba saja ketertarikan mereka terhadap permainan membuat-istana-pasir lenyap. Susah payah si kembar merengek agar diizinkan ikut. Obito yang tidak pernah tahan dengan tatapan penuh harap kedua putrinya, akhirnya membolehkan, dengan syarat ini dan itu. Saat speed boat mereka meninggalkan dermaga, si kembar bersorak-sorak girang di tempat duduknya. Sakura menahan tawa melihat tingkah mereka yang menggemaskan. Dibilang menggemaskan pun, tetap saja ada satu orang yang tidak beranggapan begitu. Sakura lihat dari tempatnya, Sasuke buang muka sambil mengepulkan asap rokok dari mulut. Dasar orang berhati dingin! Diambilnya fotokopi naskah dari dalam tas selempang. Sakura kembali menggambar blocking kamera untuk setting ini. Dia juga menambahkan banyak catatan untuk konsep story board yang nanti ingin dia buat. Sasuke memang mentah-mentah menolak rancangannya, tapi masih ada satu orang lagi yang bisa diajak berdiskusi, Darui. Sebagai DOP, Darui pasti mau mempertimbangkan masukannya. Oneechan lagi nulis apa? tanya Erika. Matanya melirik penasaran naskah dalam genggaman Sakura. Membuat catatan untuk pekerjaan, supaya nanti tidak lupa, jawabnya disertai senyum. Boleh aku lihat? kini Rieko tertular rasa penasaran saudara kembarnya. Sakura membolehkan, dan memberikan naskahnya pada mereka. Erika yang duduk persis di sebelah Sakura langsung menyambar naskah itu. Rieko tak terima. Kan aku yang minta. Sini berikan padaku! Aku juga mau lihat, Eri tak mau kalah. Dia bersikeras menguasai naskah itu sendirian, sementara Rie berusaha merebutnya. Sakura mencoba mendamaikan mereka. Namun usahanya sia-sia. Naskahnya berpindah dari tangan Eri ke Rie, kemudian berpindah lagi. Obito yang tengah sibuk mengemudikan speed boat tak bisa memisahkan kedua anaknya, dia berteriak-teriak—padahal tidak dipedulikan si kembar. Saat Rie berhasil lagi merampas naskah dari kembarannya, benda itu terbang terhempas angin kencang. Sakura panik, tanpa pikir panjang dia melompat dari tempatnya duduk, mengejar naskahnya. Dan saat dia sadar, tubuhnya yang sudah di pinggiran kapal tertarik grafitasi untuk jatuh menghantam air laut. Ayah, Sakura-neechan kecebur! si kembar memekik bersamaan. Kepala Sakura timbul tenggelam di permukaan air. Dia tersedak, terbatuk-batuk, rasanya kini paru-parunya sudah dipenuhi air. Kakinya mengepak-ngepak, tangannya menggapai-gapai. Kepanikan dan rasa takut menguasai dirinya. Sakura baru ingat dia tidak bisa berenang. Tubuhnya mulai lemas. Tak ada lagi yang bisa dilakukannya untuk menyelamatkan diri. Tanpa berdaya, tubuh Sakura tenggelam, semakin jauh ke dalam kegelapan air laut. Dalam kesadaran yang semakin menipis, Sakura merasa seperti ada yang menarik tangannya. Tubuhnya didekap, ditarik ke permukaan. Dia akhirnya bisa merasakan udara. Namun penglihatannya semakin kabur dan gelap. Siapa yang membawa tubuhnya ke atas? Sasuke…? To be continued…
Posted on: Mon, 02 Dec 2013 12:56:24 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015