Membaca dinamika politik agraria menurut Leonard Blusse sejarah - TopicsExpress



          

Membaca dinamika politik agraria menurut Leonard Blusse sejarah bukan hanya milik orang-orang besar, para pahlawan dan penguasa. Sejarah juga milik orang-orang kecil, yang kalah dan tertindas dari hegemoni kolonial. Sejarah juga tidak ditulis dari apa yang dibuat, dikatakan, dan disimpan oleh para penguasa. Sejarah juga bisa lahir dari apa yang dilakukan oleh rakyat jelata dan tertindas. (2004). “ Persoalan agraria hinggá hari ini, ia lahir akibat sejarah perkembangan feodalisme, kolonialisme, kapitalis dan modernisasi. Tak salah bila persoalan ketimpangan penguasaan, rusaknya layanan alam, hancurnya martabat petani, hilangnya produksi rakyat dan hancurnya kesejahteraan rakyat menjadi gambaran di semua wilayah areal jajahan. Berbagai pembantaian dan penghisapan agraria beserta warganya menyertai potret arena kolonial. Kecakapan mengeksploitasi, dominasi itu di wujudkan dalam berbagai model pengelolaan agraria, sistem politik dan sistem sosial. Dalam sistem agraria, System perkebunan baik berupa wilayah kelola perkebunan ataupun wilayah kelola kehutanan tak lain merupakan bentuk system perekonomian pertanian komersial yang bercorak Kolonial. Dan system perkebunan ini didirikan oleh korporasi kapitalis kolonial. Bukan lahir dari kecakapan dan kematangan kaum warga terjajah yang diturunkan secara tardisional. Artinya model kelola ini tak lain dari wujud kongkrit system perkebunan Eropa. Tentu implikasinya tak bisa di ragukan mengakibatkan perubahan peradaban penting terhadap kehidupan masyarakat jajahan. Dan malapetaka bisa di telusuri di berbagai wilayah jajahan. Mengalirnya para warga pribumi jadi budak kaum jajahan, menjamurnya kaum aristokrat memperpanjang tangan kolonial. Lebih jauh terlihat berubahnya agraria menjadi arena konvensional bercorak individual dan pasar. Tak lagi menjadi potensi populis para warga. Dan tentu pengelolaan kaum kolonial itu Berbeda dengan system kebun yang dikenal selama ini oleh warga jajahan. Dan yang harus di ingat gerakan kolonialisme dalam melakukan perubahan system pertanian tradisional menjadi system pertanian komersial berprinsip pada dominasi, eksploitasi, diskriminasi dan depedensi. Bahkan dengan diterbitkannya Undang-undang agraria 1870 merupakan tonggak baru sejarah menandai permulaan jaman baru bercorak ekonomi liberal. Tentu korban yang berserakan di tiap jengkal tanah tak lain dari warga sendiri yang masih kukuh menolak penghisapan dan perbudakan. Dan pembumihangusan mempercepat penghisapan melalui implementasi kebijakan itu (agraris west), tak bisa digunakan dengan cara kooperatif, kedermawanan , dan keikhlasan , namun menggunakan model represif. Dan system tanam paksa menjadi alternative model mendorong proses eksploitasitif agraria. Pelaksanaan system tanaman paksa pada dasarnya melibatkan berbagai unsur, antara lain birokrasi pemerintahan barat, para kepala-kepala pribumi, organisasi desa, tanah pertanian rakyat, tenaga kerja rakyat, pengusaha dan modal swasta barat. Tujuan dari impelemntasi ini lebih jauh untuk mempertinggi produksi tanaman ekspor yang dilakukan dengan organisasi yang rapih. Akibat tujuan ekploitasi penyimpangan tak bisa dihindari di dilakukan di lapangan. Ber-akhirnya rejim colonial menjadi angin segar bagi kaum tani yang telah puluhan tahun hilang martabat dan kemanusiaannya. Melihat tumbuhnya harapan masa depan bagi petani yang di amanatkan para Panding Pather Negara, kebijakan populis untuk mengantarkan kesejahtaraan dan kehormatan rakyat petani menjadi pilihan terpenting. Ini terbaca dengan di terbitkannya UUD 45 pasal 33 ayat 3 tak lain merupakan bukti kongkrit keberpihakan pada sietem ekonomi populis sikap Negara indoensia. Selang beberapa tahun kemudian UU No 5 tahun 1960 yang lebih dikenal dengan nama UUPA diterbitkan. UU ini lahir, guna mengikat seluruh penyelengara Negara yang menjalankannya agar menemptkan agraria bagi kepentingan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Dan keberadaan kebijakan ini tak lain dari tumbuhnya rasa komitmen tinggi menghendaki secara formal yuridis memfungsikan hukum agrarian nasional sebagai alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan ekonomi. Selain hendak mencapai kehormatan dan martabat warga yang telah tercabik akibat kolonialisme. Untuk itu kebijakan UUPA merupakan wujud dari ekpresi rasa keadilan rakyat. Beberapa alasan penting dari tujuan dari diterbitkannya UUPA yakni : pertama, Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membangun kemakmuran, keadilan bagi negara dan rakyat, terutama kaum tani miskin dalam rangka masyarakat adil dan makmur. Kedua, Meletakkan kesatuan dasar-dasar untuk mengadakan kesaatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan. Ketiga, Meletakkan dasar untuk kepastiaan hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia ( disini jelas bahwa akar persoalan bangsa terletak pada ketidakadilan, struktur warisan feodalisme, kolonial dan imperialisme). Adapun prinsif-prinsif nya : pertama,Negara mengatur kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat, kedua,Negara membatasi luas maksimum pemilikan tanah (pasal 7 jo pasal 17),ketiga, Negara memiliki wewenang untuk memberikan kepastian hukum (pasal 9 jo pasal 21), keempat,Tanah harus dikerjakan sendiri secar aktif (pasal 10) melarang tanah-tanah absente. Sementara Landasan filosopis nya : pertama,Dasar kesatuan yang maha esa, religuitas, (konsideran butir (a), pasal 14 ayat 1, pasal 49 ayat (2). Kedua, Dasar kemanusiaan yang adil dan beradab /memiliki semangat populis.(pasal 10 tentang kewajiban mengerjakan sendiri dan mencegah cara-cara pemerasan. Pasal 7 pencegahan pemusatan penguasaan agraria). Ketiga,Dasar persatuan/ waasan kebangsaancdan demokrasi (pasal 9 ayat 1 hanya arga indonesia yang mempunyai hubungan dengan agraria. Keempat,Dasar gender (pasar 9 ayat 2 laki dan perempuan memiliki hak yang sama). Kelima, Dasar keadilan sosial (bagi golongan ekonomi lemah pasal 11 ayat 2, pasal yang mengetur landreform 10, 7, 17, 53).Selanjutnya landasan politik UU pertanahan yakni : Anti kolinialisme, imperilisme dan eksploitasi ( konsideran butir (a) (b) pasal 2 ayat 1, pasal 6 tanah mempunyai fungsi sosial). Untuk mewujudkan mandate itu maka : Lahir UU No 56 Prp tahun 60 (UU landreform), Tap MPRS No 11/MPRS/60 pembebasan petani dari pengaruh kolonialisme, imperialisme, feodalisme, dan kapitaliesme sebagai syarat pokok dalam pembangunan).PP 224 tahun 1961 tentang pelaksanaan pembagian tanah. Pengadilan landreform UU No 21 tahun 1964, dan peraturan lainnya Rupanya kehendak populis itu tak bisa di rasakan rakyat yang telah kehilangan harkat dan martabatnya. Pemerintahan orde lama di paksa dengan mobilisasi masa untuk berhenti dari jabatannya. Yang lebih celaka lagi penyelengara Negara baru yang dikelan Orde baru menempatkan fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial. Artinya mazhab ini menempatkan hukum sebagai alat /intrumen dari pembangunan. Akibatnya selama orde baru UUPA tak lagi ditempatkan sebagai dasar-dasar kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat. Bahan yang pada mulanya UUPA ini hendak dijadikan Undang-undang induk atau pokok dari seluruh peraturan peraturan perundang-undangan yang mengatur soal penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, air ruang angkasa, dan segala kekayaan alam yang terdapat baik di permukaan maupun di dalam perut bumi. Masa berkuasanya rezim orde baru prioritas arah pembangunan tak lagi berorientasi pada kepastian kaum tani akan kelolanya, tapi memberikan perhatian penuh kepada lahirnya usaha-usaha untuk mengundang investasi dari badan-badan usaha untuk melakukan eksploitasi dalam sekala besar terhadap tanah dan kekayaan alam. Ini artinya usaha-usaha penataan ulang ketimpangan penguasaan sumber daya agraraia akibat kolonialisme di hentikan. Untuk melangsungkan hidupnya badan-badan usaha yang di fasilitasinya, orde baru membuat UU No 1 tahun 1967 tentang modal asing dan UU No 6 tahun 1968 tentang penanaman modal dalam negeri. Selain tahap berikutnya menerbitkan sejumlah peraturan sektoral yang tidak beralas pada UUPA No 5 tahun 1960. bahkan masa Orde Baru untuk memudahkan cita-citanya seketika meng-petiemaskan UUPA. Bahkan mengkampanyekan bahwa kebijakan itu serat dengan muatan gerakan kelompok kiri. Sebagai upaya memberangus kebijakan populis, rezim yang baru berkuasa mengeluarkan Kebijakan sektoral itu seperi UU No 5 tahun 1967 tentang Kehutanan jo UU No 41 tahun 1999, UU No 11 tahun 1967 tentang pokok-pokok pertambangan, UU No 11 tahun 1974 tentang pengairan. Perkembangan ini tak biasa di pungkiri memperparah tara ruang kelola rakyat atas agrarian yang turun temurun di jaga dan di pelihara. Bahkan tak hanya itu rezim orde baru mengeluarkan UU penataan Ruang tahun 1992. sebagai upata sentralisai pengendalian sumber daya agrarian beserta peruntukannya. Lebih jauh Kita tengok kekayaan bangsa ini yang sekarang telah hilang diantaranya : Sejumlah BUMN besar yang dikuasai asing dan selalu membukukan keuntungan antara lain PT Telkom Tbk, PT Indosat Tbk, PT Semen Gresik Tbk, PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, PT Kimia Farma Tbk, PT Adhi Karya Tbk, PT Perusahaan Gas Negara Tbk dan PT Bukit Asam Tbk. Tahun ini Pemerintah merencanakan menjual lagi 28 BUMN. Belum lagi dari sekitar 200 perusahaan besar di Indonesia yang bergerak di bidang produksi dan distribusi, sebanyak 70 persennya adalah perusahaan asing. telah menguasai perekonmian Indonesia dan wilayah udara kita. selanjutnya, Singapura menguasai saham Bank Internasional Indonesia (BII) lewat holding company-nya, Temasek, Telkomsel lewat SingTel,Indosat lewat Singapore Technologies and Telemedia, pengelolaan pelabuhan Jakarta International Container Terminal lewat Hutchinson Pty. Ltd. BUMN yang diusulkan untuk diprivatisasi adalah PT Asuransi Jasa Indonesia, BTN, Jakarta Lloyd, Krakatau Steel, Industri Sandang, PTB Inti, Rukindo, Bahtera Adi Guna, PT Perkebunan Nusantara III, PT Perkebunan Nusantara IV, PT Perkebunan Nusantara VII, dan Sarana Karya. Selain itu, Semen Batu Raya, Waskita Karya, Sucofindo, Surveyor Indonesia, Kawasan Berikat Nusantara, Kawasan Industri Medan, Kawasan Industri Makasar, Kawasan Industri Wijaya Kusuma, BNI Persero, Adhi Karya (direncanakan rights issue), Pembangunan Perumahan (melalui IPO), Kawasan Industri Surabaya, dan Rekayasa Industri (ada saham negara hampir 5 persen). PT Dirgantara Industri, Boma Vista, PTB Barata, PTB Inka, Dok Perkapalan Surabaya, Dok Perkapalan Koja Bahari, Biramaya Karya, Yodya Karya, Kimia Farma dan Indo Farma (keduanya mau merger), PT Kraft Aceh, dan Industri Kapal Indonesia. Pegunungan Grasberg di Papua sudah habis dikuras dan Sekarang sudah jadi cekungan, sebentara lagi datang hujan Pegunungan Grasberg sudah menjadi danau raksasa. Perusahaan pertambangan emas,perak dan tembaga milik Freeport McMoran tersebut pada 2002, menurut company profile-nya, mencapai rekor volume penjualan tembaga sebesar1.5 pound net; 2,3 juta ounce emas, dan mengapalkan rata-rata 2,8 jutametrik ton per tahun. Tapi company profile tersebut tidak menjelaskan hasil tambang lain, seperti uranium dsb., yang juga terkandung didalam tanah yang dikuras dan dibawa ke Amerika itu. PT Newmont Minahasa sudah mengeduk hasil tambang emas di Buyat dan meninggalkan penderitaan berbagai penyakit pada penduduk kampong daerah tersebut, menurut sejumlah LSM; Newmont juga sudah mulai mengelola tanah-tanah pertambangan di Sumatera Utara lewat anak perusahaannya, PT Newmont Pacific Nusantara. Begitu juga dengan penambangan emas yang dilakukannya di Nusa Tenggara yang basecamp-nya Newmont Nusa Tenggara di kawasan Buklit Elang, Desa Tatebal, Kecamatan Ropang, kabupaten Sumbawa, dibakar massa pada pertengahan Maret yang lalu. Di Cepu, Jabar, Exxon Mobil sudah mengambil alih pengelolaan tambang minyak itu. Di udara, Satelit Palapa dan Indosat sudah dikuasai Singapura. Lewat penguasaan udara itu, kita praktis sudah dijajah Singapura, karena hampir semua pembicaraan telepon, faks, h/phone,pengiriman data, gambar dsb. Harus melalui satelit yang sudah dikuasai Singapura itu. Tak hanya cukup dengan itu, rezim orde baru mengintegrasikan system pertanian tradisional rakyat dengan system modernisasi melalui revolusi hijau. Artinya ini merupakan sikap politik orde baru yang jelas-jelas tidak menghendaki adanya perubahan struktur agraria. Dan upaya ini tak lain dari usaha merintis membangun perubahan yang mengintegrasikan diri dalam system global (kapitalis dunia. Desa menjaadi unit eksploitasi dan permainan idiologi besar di luar. Malapetaka tak bias dihentikan. Semua unit penting dari kelola bersama jadi genting dan terancam. Tiap putaran jarum jam, kehormatan dan martabat orang, barang, informasi , modal dan tanah menipis dan hangus. Nyawa hanya berharga sehelai daun dan ranting yang jatuh ke tanah. Tak ada lagi penghargaan dan penghormatan. Modal dan pasar jadi tuan baru. Agama baru yang dipuja dan di gandrungi. Berbagai pasilitas mempermudah kekuatan itu menjadi menara gading di bangun. Berbagai intrumen yang menjaga dan mempermudah menyebarnya pirus kapitalis di ciptakan. Berbagai birokrasi tak lagi menjadi penyelamat bangsan dan warganya. Ia menjadi lawan dari tuntutan rakyat. Ruang pelayanan bagi warga yang tertindas hanyut di telan kerakusan. Semua barang publik menjadi arena perampasan kaum modal. Tak puas dengan itu, rezim warga pasar mengukuhkan Kebijakan Sektoral sebagai alat represif dan imperilisme baru, sementara sudah keluar UU sektoral seperti kehutanan, pertambangan, perkebunan yang kenyataannya adalah sebuah rancangan UU yang tidak ada jaminan bagi kaum buruh tani dan petani miskin yang hidup di pedesaan dan wilayah lain yang bisa mewujudkan kesejahteraannya. Sehingga kedepan hendak kemanakah kita, dimana UU penanaman modal asig memebri ruang pihak perusahaan untuk menguasai agraria selama 90 tahun. Bahkan dijelaskan dalam Ketetapan MPR RI No . XV / MPR / 1998 ini sendiri tentunya tidak dapat di lepaskan dari keberadaan TAP MPR RI No . X/ MPR / 1998 tentang pokok-pokok repormasi pembangunan dalam rangka penyelamatan dan Normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan Negara , yang pada hakikatnya : “merupakan pernyataan kehendak rakyat untuk mewujudkan pembaruan di segala bidang pembangunan nasional , terutama bidang – bidang ekonomi , politik, hukum , serta agama dan sosial budaya ”. Dalam bagian Bab II Butir B, di nyatakan pula bahwa : “ tatanan kehidupan politik yang di bangun selama tiga puluh dua tahun telah menghasilkan stabilitas politik dan keamanan . Namun demikian , pengaruh budaya masyarakat yang sangat kental corak peternalistik dan kultur neo- feodalistiknya mengakibatkan proses partisipasi dan budaya politik dalam sitem politik nasional tidak berjalan sebagai mana mestinya” . Sehingga tidak ada alasan lain bila perubahan menjadi pilihan terbaik. Begitupun berkenaan dengan soal agrraia, pembaharuan agraria merupakan jalan satu-satunya memastikan agar orang miskin memperoleh akses atas agraria maupun atas akses reform. Menurut Tap MPR No IX tahun 2001 pasal (2) “Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia”. Gunawan Wiradi menjelaskan bahwa: ”Pembaruan agraria merupakan perjuangan yang terus-menerus, berkelanjutan, yang setiap langkahnya ke depan perlu dibentengi ... terutama terhadap kekuatan pasar bebas yang semakin meningkat yang lahir dari kegiatan yang semakin meluas dari TNC ... ... Pembaruan agraria “by-leverage” bukan merupakan program hitam-putih yang dapat direalisir dalam satu malam. Ia merupakan proses yang memerlukan waktu. Sebab, bagaimanapun, pembaruan agraria, seperti juga pembaruan-pembaruan lainnya tetap memerlukan kekuasaan. Namun, agar rakyat tidak ‘terkhianati’, maka pemberdayaan politik dari bawah perlu dikembangkan ... Posisi tawar yang kuat dari rakyat akan dapat mendesakkan aspirasinya untuk dituangkan dalam kebijakan- kebijakan pembaruan.” Adapun arah kebijakan pembaruan agraria di jelaskan dalam pasal (5) : (1) “Arah kebijakan pembaruan agraria adalah : a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini. b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat. c. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform. d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini. e. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi. f. Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi. Dalam pelaksanaannya dalam pasal 6 dijelaskan : “Menugaskan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bersama Presiden Republik Indonesia untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan ini. Selanjutnya dalam pasal 7 dengan tegas bahwa : “Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia untuk segera melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam serta melaporkan pelaksanaannya pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.” Salah satu agenda nasional yang layak mendapatkan catatan di penghujung tahun 2011 dan awal 2012 ialah rencana pemerintah yang dipimpin Presiden SBY mulai pelaksanaan reforma agraria dengan prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat (31 Januari 2007). Sebelumnya (28 September 2006) Presiden telah memanggil Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian, dan Kepala BPN RI yang menetapkan 8,15 juta ha hutan produksi konversi dialokasikan bagi program reforma agraria untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran. Hasil rapat kabinet mengenai reforma agraria (22 Mei 2007), Presiden RI berencana menerbitkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria; akan diadakan pertemuan presiden dengan gubernur, bupati/walikota, serta; launching PPAN oleh presiden. Rencana ini, tampaknya masih butuh waktu hingga adanya kebulatan tekad di istana. Tentu, guna mewujudkan cita-cita mulia itu tidak hanya cukup dengan politik will dari penyelenggara negara, berbagai institusi, masyarakat ataupun elemen lainnnya perlu melakukan kesiapan agar berbagai kemungkinan sejarah kelam dimasa orde lama dapat terjaga dan diminimalisasi.
Posted on: Sun, 15 Sep 2013 14:52:01 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015