Operasi Penumpasan Loyalis Presiden Soekarno di Kalimantan - TopicsExpress



          

Operasi Penumpasan Loyalis Presiden Soekarno di Kalimantan Barat 22 Oktober 2013 pukul 15:59 Operasi Menumpas LOYALIS SOEKARNO Jenderal (Purn) Abdullah Makhmud Hendropriyono meluncurkan buku berjudul Operasi Sandi Yudha, Menumpas Gerakan Klandestin. Buku yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas ini menceritakan pengalaman tempur Hendro sebagai perwira pertama Pusat Pasukan Khusus (kini Kopassus) TNI AD di Kalimantan Utara. Banyak hal menarik yang ditulis Hendro dalam buku ini. Hendro melukiskan kondisi politik setelah Orde Lama runtuh dan digantikan Orde Baru. Banyak kebijakan yang langsung berubah 180 derajat. Termasuk soal konfrontasi dengan Malaysia. Di era Soekarno, Indonesia jor-joran mendukung perlawanan rakyat Serawak dan Kalimantan Utara memerangi Malaysia dan Inggris. Pemerintah bahkan melatih komandan Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) Bong Kee Chok dan adiknya, Bong Hon. Mereka dilatih oleh Badan Pusat Intelijen, RPKAD, Marinir, Pasukan Gerak Tjepat Angkatan Udara dan Mobile Brigade Polri. Seluruh perhatian pemerintah Indonesia tahun 1964-1965 tercurah pada konfrontasi dengan Malaysia. Pemerintah juga menyuplai senjata untuk Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU). Bahkan sejumlah pasukan elite Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dikirim sebagai sukarelawan dan bergabung dengan TNKU. Mereka bertempur dengan pasukan komando Inggris di belantara Kalimantan. Tapi saat Presiden Soekarno lengser dan digantikan Presiden Soeharto, kebijakan berubah drastis. Orde Baru yang menuding konfrontasi dengan Malaysia disusupi komunis. Pemerintah Indonesia pun kemudian menghentikan dukungan pada PGRS dan TNKU. Mereka meminta gerilyawan PGRS meletakkan senjata dan menghentikan perlawanan. Dari 838 anggota TNKU hanya 99 orang yang taat meletakkan senjatanya dan menyerahkannya pada pos polisi atau pos tentara terdekat. Selebihnya 739 orang membangkang. Jumlah senjata yang tidak dikembalikan sekurang-kurangnya 538 pucuk, terdiri atas bren, stengun, senapan dan pistol. Selain itu ada juga granat-granat tangan buatan Pindad, kata Hendropriyono (hal 64). Maka ABRI dan Polri dikirim kembali ke Kalimantan Utara, tapi kali ini untuk memerangi para muridnya sendiri yang dulu dilatih untuk berjuang melawan neokolonialisme. Gerilyawan PGRS dan Paraku yang berada di hutan-hutan belum mengetahui hal ini. Setelah tahu mereka kini harus saling berhadapan, para anggota PGRS, TNKU, ABRI dan Polri itu banyak yang menangis tersedu-sedu dan saling berangkulan sebelum mereka menyatakan perpisahan. Tapi sebagai alat negara, tugas berat itu tetap harus dikerjakan ABRI dan Polri. Kenyataan bahwa politik kerap kali membuat alat negara melaksanakan tugas dengan beban mental yang sangat berat. Perubahan haluan politik ini sangat menyakitkan, sehingga rasa kemanusiaan mereka hanyut dalam arus kekecewaan yang sangat dalam, beber Hendro. Kisah Ironi Operasi Militer Menumpas Gerilyawan Kalimantan Utara. PGRS adalah murid para prajurit ABRI. Berjuang bersama melawan Inggris di Kalimantan Utara dan Serawak. Kini guru harus membunuh anak-anak murid sendiri. PGRS harus melawan gurunya sendiri yang sangat dihormati dan dicintai. Itu semua karena perubahan haluan politik Indonesia yang berdamai dengan Malaysia. Maka walau pahit, guru dan murid saling berhadapan di rimba Kalimantan. Tak mudah memerangi PGRS yang sangat mengenal baik medan gerilya dan mendapat dukungan masyarakat. ABRI melatih mereka dengan baik sehingga pasukan PGRS paham intelijen, konsep gerilya, hingga menyerang dengan senyap dan terkoordinasi. Tahun 1967 PGRS pimpinan Lim Fo Kui alias Lin Yen Hoa dan Bong Khe Chok mengadakan pertemuan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) di bawah pimpinan S.A Sofyan dam Tan Bu Hiap di Bukit Bara, sebelah Timur Sambas, Kalimantan Barat. Mereka membentuk suatu koalisi perjuangan yang dinamakan BaRA atau Barisan Rakyat. Salah satu poin kesepakatan, PGRS akan mendirikan negara komunis Serawak yang merdeka. Suatu pasukan baru bernama Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) didirikan. Ketangguhan PGRS/Paraku terbukti saat mereka menyerang Pangkalan Singkawang II Angkatan Udara RI di Sangau Ledo. Operasi ini berjalan sangat baik. Mereka berhasil merampas 153 pucuk senjata AURI dari berbagai jenis. Serangan direncanakan dengan baik, terkoordinasi dan rapi. Mereka mempraktikkan apa yang diajarkan ABRI pada mereka. Ini merupakan suatu hal yang hanya lazim dapat dilakukan oleh pasukan komando regular yang terlatih sangat baik. Tidak seperti oleh pasukan gerilya yang tidak teratur, puji Hendro. Pemerintah Indonesia pun terkejut atas keberhasilan tersebut. Sebagai balasan, Mabes ABRI menggelar Operasi Bersih II. Pasukan Kodam XII Tanjungpura kini diperkuat satuan Puspassus TNI AD. Peperangan guru melawan murid pun berkobar. Pedih, tapi harus dilakukan. merdeka/peristiwa/kisah-ironi-operasi-militer-menumpas-gerilyawan-kalimantan-utara.html Bong Kee Chok, komandan gerilya bermata harimau Akhir 1960an hingga 1970an awal, Bong Kee Chok alias Yusuf Said menjadi target utama pasukan gabungan Indonesia-Malaysia. Ribuan prajurit kedua negara memburunya di kelebatan hutan Kalimantan.Bong Kee Chok dilatih tentara Indonesia saat konfrontasi dengan Malaysia. Dia mendirikan Pasukan Gerilya Serawak (PGRS) untuk memerangi Inggris bersama tentara Indonesia. Kemudian kebijakan Orde Baru, berbalik memusuhi PGRS, karena dicap komunis. Maka walau pedih, Bong Kee Chok memerangi gurunya sendiri, tentara Indonesia.Bukan perkara mudah menangkap komandan gerilya ini. Indonesia dan Malaysia mengerahkan satuan elitenya untuk terus melacak jejak Bong Kee Chok.Salah satunya adalah AM Hendropriyono dan tim pasukan elite baret merah TNI AD. Hendro saat itu masih menjadi perwira pertama. Hendro berhasil menangkap atau menewaskan tokoh-tokoh gerilyawan di Kalimantan, tetapi pria yang digelari si tikus hutan ini tak tertangkap.Baru pada November 1973, akhirnya Bong Kee Chok mau keluar hutan dan menandatangani perjanjian damai dengan pemerintah Malaysia.Pada tahun 2005, Hendropriyono yang sudah pensiun dari TNI dan berpangkat jenderal baru bisa melihat wajah Bong Kee Chok. Pertemuan itu digelar di Hotel Four Seasons Singapura berkat jasa kenalan Hendro.Maka setelah 38 tahun, Hendro akhirnya bisa bertemu bekas musuhnya. Tak ada amarah atau dendam, hanya rasa hormat dan kagum dari dua prajurit tua ini.Ini jagoan yang saya tunggu tunggu. Ternyata ia tidak tinggi, cuma sekitar 163 cm. Kulit dan matanya tidak mencerminkan ia seorang China. Sama sekali saya tak menyangka. Berpakaian sederhana dengan potongan rambut ala militer, otot-otot lengan untuk lelaki berusia 70 tahun (saat itu), dengan sorot mata laksana harimau, jelas menunjukkan ia seorang pemimpin, seorang pemberani, dan seorang yang cerdas, kata Hendro melukiskan pertemuan pertama tersebut.Keduanya berbincang akrab. Ternyata Bong Kee Chok kehilangan jari tengah dan telunjuk tangan kanan saat bergerilya. Penyebabnya ternyata granat tua dari Indonesia yang meledak sebelum dilempar. Sementara luka-luka lama Hendro saat berduel dengan salah satu pimpinan PGRS, Ah San, juga masih ada.Banyak pikiran yang berkecamuk, seperti kenapa dulu saling bertempur dan saling menyiksa hanya karena perang yang mau memaksakan ideologi, keyakinan atau kehendak suatu pihak kepada pihak yang lain?Tapi keduanya tak menyesal dengan pilihan yang diambil. Hendro sadar dirinya prajurit Indonesia yang wajib membela negara. Dalam bertempur pilihannya membunuh atau dibunuh.Sementara Bong Kee Chok tidak menyesal terhadap perjuangan PGRS di masa lampau karena perjuangannya itu merupakan sebutir batu dari sejumlah batu-batu sandungan bagi kapitalisme kuno yang ortodoks, jelas Hendro.Keduanya berjabat tangan erat sebelum berpisah. Tertawa. Mengenang pengalaman masa muda mereka sebagai sesama prajurit tempur. merdeka/peristiwa/bong-kee-chok-komandan-gerilya-bermata-harimau.html Bermodal cinta terlarang, intelijen TNI bongkar sarang gerilya Butuh kerja keras bagi TNI untuk memadamkan pemberontakan anggota Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) dari tahun 1967-1974. Mereka sangat mengenal medan di perbatasan Kalimantan. Sebagian rakyat di sana juga mendukung perjuangan PGRS/Paraku sehingga gerilyawan tetap mendapatkan suplai logistik. Maka intelijen TNI harus putar otak. Sebab perang melawan gerilya tak bisa dilakukan selalu dengan kekerasan. Merebut hati lawan agar mau berbalik bekerjasama dengan TNI jauh lebih menguntungkan.Cerita menarik soal sepak terjang intelijen ini dibeberkan oleh Jenderal Purn AM Hendropriyono dalam berjudul Operasi Sandi Yudha, Menumpas Gerakan Klandestin yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas tahun 2013. Untuk mengetahui persembunyian dan mengenali para tokoh PGRS/Paraku, tentu dibutuhkan mantan pejuang organisasi tersebut yang mau bekerja sama. Kapten Hendropriyono kemudian mencarinya di dalam penjara Sei Raya Pontianak. Di sinilah para tokoh PGRS/Paraku yang sudah diadili dipenjara. Kapten Hendro menemukan Phang Lee Chong, bekas komandan Pasukan Barisan Rakyat yang pernah menyerang Pangkalan Angkatan Udara Singkawang II. Setelah bercakap-cakap, Hendro yakin Phang Lee Chong dapat mengenali target-target utama TNI. Phang pun akhirnya mau bekerjasama dengan TNI. Salah satu kunci agar musuh mau bekerja sama dengan TNI adalah dengan memperlakukan tawanan dengan baik. Membujuk musuh menyerah melalui keluarga yang didekati serta memberi iming-iming hadiah.Maka Phang Lee Chok menyamar menjadi polisi lalu lintas. Bersama Tim Halilintar, pimpinan Hendro, mereka merazia pengendara mobil dan motor. Seorang pemuda bernama Atet ikut terjaring. Ternyata Atet adalah mantan kekasih seorang wanita bernama Siat Moy. Si jelita ini malah kemudian dinikahi oleh Ah San, salah satu petinggi PGRS/Paraku dengan jabatan Sekretaris Wilayah III Mempawah. Atet kemudian disingkirkan oleh Ah San ke Comittee wilayah II. Kami mulai mencari data tambahan tentang hubungan asmara antara Atet dan Siat Moy. Ternyata walau Siat Moy telah menjadi istri Ah San, cinta kasih mereka tetap membara. Dengan pendekatan secara pribadi yang hati-hati disertai dukungan fasilitas yang relevan, bara cinta tersebut menyala kembali. Sampai mereka sepakat untuk menjalin kembali pertautan hati yang menjadi retak selama ini, beber Kapten Hendropriyono. Akhirnya Siat Moy mau menunjukkan pos komando wilayah III dan persembunyian Ah San, asalkan saya berjanji juga untuk tidak membunuh Ah San, lanjut Hendro.Dengan informasi dari Siat Moy akhirnya tim berhasil mendekati kurir Ah San yang bernama Akau. Untuk menggoyang pendirian Akau, Atet menunjukkan surat dari ayah Akau. Lalu diputar cassette player yang berisi suara ayah dan adik Akau meminta Akau kembali ke tengah keluarga. Akau terperangah ketika mendengar suara adik bungsunya yang memohon dia untuk kembali mengantarnya ke sekolah seperti dulu dilakukannya, jelas Hendro.Maka dengan bekal itu, Kapten Hendro mulai menyiapkan tim. 11 Anggota Puspassus disiapkan hanya bersenjatakan pisau komando. Operasi senyap untuk menangkap Ah San hidup-hidup. 11 Orang ini siap bertarung satu lawan satu dengan Ah San dan pengawalnya. Operasi penangkapan Ah San berlangsung seru. Sayangnya Ah San tak bisa ditangkap hidup-hidup. Dia tewas lewat duel yang seru dengan kapten Hendro. merdeka/peristiwa/bermodal-cinta-terlarang-inteljen-tni-bongkar-sarang-gerilya.html Operasi Para Komando di Kalimantan, senyap dan maut Dalam perang, pasukan elite mengemban misi khusus untuk menghancurkan lawan. Jumlahnya jauh lebih dari pasukan reguler, tapi daya gempurnya berkali-kali lipat. Merekalah kunci utama untuk memenangkan pertempuran.Jenderal TNI (Purn) AM Hendropriyono meluncurkan buku Operasi Sandi Yudha, Menumpas Gerakan Klandestin yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas tahun 2013. Hendro mengikuti operasi khusus untuk menumpas Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) tahun 1968-1974. Di buku ini Hendro memaparkan jalannya operasi pasukan baret merah dengan cukup detil.Ketika pertama mengikuti operasi Pasukan Khusus Angkatan Darat (Passusad, sekarang Kopassus) di Kalimantan, Hendro masih berpangkat letnan dua. Passusad merupakan satuan elite yang berkualifikasi Para Komando (Parako). Para artinya pasukan terjun, sementara komando adalah prajurit yang terlatih bertempur di segala medan.Dalam kesatuan Parako, jumlah personelnya relatif sangat sedikit dibanding kesatuan biasa atau reguler berhubung dengan sifat operasinya yang serba khusus, kata Hendro.Seringnya mereka beroperasi dalam formasi kelipatan empat orang. Empat, delapan, dua belas dan seterusnya. Tugasnya adalah infiltrasi atau melakukan penyusupan ke sarang musuh secara diam-diam. Yang sering jadi target adalah pusat atau tempat komando pengendalian (Kodal). Sasaran ini strategis, karena bernilai menentukan atau berpengaruh besar terhadap keberhasilan operasi secara keseluruhan.Targetnya menghancurkan Kodal atau melakukan sabotase sampai tidak berfungsi. Tapi sering juga targetnya adalah personel, komandan gerilya atau panglima musuh.Pimpinan gerilya merupakan target utama. Berbeda dengan tentara reguler, pimpinan gerilya umumnya dipilih, bukan ditunjuk. Orang nomor satu dalam gerakan militer, sehingga jika tewas, sulit dicari gantinya. Sebisa mungkin pimpinan gerilya harus ditangkap hidup-hidup untuk keperluan intelijen.Tugas lain dari pasukan Para Komando adalah melakukan pembunuhan dalam medan pertempuran. Pembunuhan itu pun harus dilakukan tanpa suara, beber Hendro.Sasaran pasukan Para Komando adalah key person atau key point yang umunya berdislokasi jauh di belakang garis musuh, lanjut Hendro.Karena itu pendidikan dan latihannya juga sangat berat. Setiap personel harus mampu berkelahi dengan tangan kosong, melempar pisau dan menembak sasaran dengan tepat. Kemampuan fisik juga harus melebihi kemampuan manusia biasa. Mereka mampu menyusup lewat darat, laut dan udara secara senyap.Selain Para Komando ada Sandi Yudha. Personel Sandi Yudha memang diambil dari Parako, tetapi tugasnya lebih luas.Saat bertempur dengan PGRS/Paraku, Hendro menerapkan operasi intelijen untuk melawan gerilya yang dinamakan Operasi Balik. Intinya menghadapkan musuh dengan musuh. Termasuk membalikkan aset komunikasi musuh, seperti kurir mereka menjadi agen intelijen mereka. Termasuk menggunakan musuh yang tertangkap menjadi pasukan paramiliter untuk membantu serangan kita.Kunci keberhasilan operasi antigerilya adalah mengambil hati rakyat. Jangan sampai rakyat terus membantu gerilya. Selama gerilyawan mendapat dukungan logistik dan komunikasi dari rakyat, maka perlawanan akan terus terjadi.Istilah yang tepat adalah memisahkan ikan dari air. Tanpa air, ikan akan mati.Maka secara perlahan, TNI terus mengambil hati rakyat hingga tak mau menjadi gerilyawan. Cara yang efektif biasanya mendekati keluarga. Dibina pelan-pelan hingga mau memberikan informasi bahkan membujuk para gerilyawan untuk menyerah.Di lain pihak, pengejaran dan penghancuran terhadap kekuatan gerilyawan terus dilakukan. Sehingga operasi militer bisa berhasil. merdeka/peristiwa/operasi-para-komando-di-kalimantan-senyap-dan-maut.html Duel maut satu lawan satu Kopassus vs gerilyawan Kalimantan Jenderal Purn AM Hendropriyono meluncurkan buku berjudul Operasi Sandi Yudha, Menumpas Gerakan Klandestin yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas tahun 2013. Buku ini mengisahkan operasi militer pasukan khusus Angkatan Darat melawan gerombolan Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) sekitar tahun 1968-1974. Banyak kisah menarik di dalamnya.Salah satu hal yang menarik adalah upaya penangkapan petinggi PGRS/Paraku dengan jabatan Sekretaris Wilayah III Mempawah Siauw Ah San. Tim Halilintar pimpinan Kapten Hendropriyono bisa mendapatkan info soal Ah San dari Tee Siat Moy, istrinya yang berkhianat. Siat Moy mau membantu TNI dengan syarat Ah San tak dibunuh.Maka Hendro memimpin 11 prajurit Halilintar Prayudha Kopasandha (kini Kopassus) untuk meringkus Ah San hidup-hidup. Mereka tidak membawa senjata api, hanya pisau komando sebagai senjata. Hanya Hendro yang membawa pistol untuk berjaga-jaga. Setiap personel dilengkapi dengan handy talky (HT).3 Desember 1973 pukul 16.00, tim mulai merayap ke sasaran yang jauhnya sekitar 4,5 km melewati hutan rimba yang lebat. Kecepatan merayap pun ditentukan. Kode hijau artinya merayap 10 meter per menit, kode kuning berarti lima meter per menit. Sedangkan kode merah artinya berhenti merayap.Ditargetkan mereka bisa sampai di titik terakhir pukul 22.00. Lalu melakukan operasi penyerbuan di gubuk Ah San pukul 04.00, keesokan harinya. Baru setengah jam merayap, tim sudah dihadang ular kobra. Ada juga yang ternyata melintasi sarang kobra. Untung saat latihan komando mereka sudah praktik menjinakkan ular kobra sehingga tak ada yang kena patuk.Di tengah kegelapan malam, anak buah Hendro juga berhasil melumpuhkan beberapa penjaga secara senyap.Pukul 22.25 WIB, tim sudah sampai di lokasi yang ditentukan. Masih cukup lama menunggu waktu operasi. Namun rupanya kemudian lewat HT, Intelijen melaporkan Ah San tak ada di pondok tersebut. Seluruh tim sangat kecewa.Baru pukul 14.00 Siat Moy dan perwira intelijen Kodim Mempawah memastikan Ah San ada di pondok. Maka kembali kegembiraan melingkupi seluruh anggota tim.Dengan kecepatan kuning mereka terus merayap mendekati sasaran hingga akhirnya dari jarak 200 meter terlihatlah pondok kayu. Itulah rumah persembunyian Ah San.Tiba-tiba anjing-anjing penjaga pondok tersebut berloncatan ke arah tim Halilintar sambil mengonggong keras. Hendro segera meneriakkan komando Serbuuuuu, katanya sambil lari sekencang-kencangnya ke arah pondok.Abdullah alias Pelda Kongsenlani mendahului saya lima detik untuk tiba di sasaran. Dia mendobrak pintu dengan tendangan mae-geri dan langsung masuk. Saya mendobrak jendela dan meloncat masuk, beber Hendro.Hendro berteriak pada Ah San. Menyerahlah Siauw Ah San, kami bukan mau membunuhmu.Tapi Ah San enggan menyerah. Dia menyabet perut Kongsenlani dengan bayonet hingga usus prajurit itu terburai. Hendro menyuruh anak buahnya keluar pondok. Dia sendiri bertarung satu lawan satu dengan Ah San.Dengan sigap saya lemparkan pisau komando ke tubuh Ah San. Tapi tidak menancap telak, hanya mengena ringan di dada kanannya, Hendro menggambarkan peristiwa menegangkan itu.Kini Hendro tanpa senjata harus menghadapi Ah San yang bersenjatakan bayonet. Memang ada senjata yang ditaruh di belakang tubuh Hendro, tapi mengambil senjata dalam keadaan duel seperti ini butuh beberapa detik. Hendro takut Ah San keburu menusuknya.Hendro lalu melompat dan menendang dada Ah San. Berhasil, tetapi sebelum jatuh Ah San sempat menusuk paha kiri Hendro hingga sampai tulang. Darah langsung mengucur, rasanya ngilu sekali.Ah San kemudian berusaha menusuk dada kiri Hendro. Hendro berusaha menangkis dengan tangan. Akibatnya lengannya terluka parah dan jari-jari kanannya nyaris putus.Celakanya pistol di pinggang belakang Hendro melorot masuk ke dalam celananya. Butuh perjuangan baginya untuk meraih pistol itu dengan jari-jari yang nyaris putus. Akhirnya Hendro berhasil meraihnya. Perwira baret merah ini menembak dua kali. Tapi hanya sekali pistol meletus, satunya lagi macet. Pistol segera jatuh karena Hendro tak mampu lagi memegangnya.Peluru itu mengenai perut Ah San. Membuatnya limbung, Hendro yang juga kehabisan tenaga membantingnya dengan teknik o-goshi. Kemudian Hendro menjatuhkan tubuhnya keras-keras di atas tubuh Ah San.Duel maut itu selesai. Ah San tewas, tetapi Hendro pun terluka parah. Beruntung anak buahnya segera datang menyelamatkan Hendro. Rupanya saat diserang tadi Ah San sudah membakar gubuknya sendiri. Tujuannya agar pasukan penyerang sama-sama mati terbakar.Hendro sempat meminta maaf pada Siat Moy tak bisa menangkap Ah San hidup-hidup. Sambil menangis Siat Moy mengaku bisa memaklumi hal ini.Saya lihat sendiri, Atew (panggilan untuk Hendro) telah berusaha dan memang Siauw Ah San yang keras kepala. Saya sangat sedih melihat Atew seperti ini, kata Siat Moy.Hendro menderita sebelas luka di tubuhnya. Kondisinya cukup parah, namun Hendro masih meminta anak buahnya untuk memakamkan Ah San secara layak.Mau dimakamkan pakai ritual apa, dia tidak punya agama, kata Phang Lee Chong, mantan tokoh PGRS/Paraku yang kini berpihak pada TNI.Hendro menukas, Namanya Siauw Ah San alias Hasan, makamkan saja secara Islam.Luka-luka Hendro dan Kongsenlani berhasil disembuhkan. Hendro mendapat Satya Lencana Bhakti, tanda jasa khusus bagi tentara yang terluka dalam pertempuran. merdeka/peristiwa/duel-maut-satu-lawan-satu-kopassus-vs-gerilyawan-kalimantan.html
Posted on: Tue, 22 Oct 2013 09:35:27 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015