Pariwisata Badung Sumbang Kehancuran Bali Kebijakan pembangunan - TopicsExpress



          

Pariwisata Badung Sumbang Kehancuran Bali Kebijakan pembangunan sektor pariwisata di Bali, khususnya di Kabupaten Badung, cenderung pragmatis dan permisif. Kebijakan yang lebih berorientasi ke bisnis dan pertumbuhan ekonomi ini makin memperlebar ruang bagi pemodal besar untuk memenangkan kompetisi perebutan sumber daya ekonomi Bali yang jumlahnya sangat terbatas. Dengan dalih menyejahterakan rakyat, pesatnya pembangunan sektor pariwisata justru menimbulkan berbagai kerusakan, baik pada lingkungan maupun sosial budaya masyarakat. Hal itu terungkap dalam diskusi terbatas bertemakan 'Pesatnya Perkembangan Pariwisata di Badung dan Pengaruhnya bagi Bali' yang digelar, Sabtu (3/8) lalu. Diskusi dihadiri Ketua Program Studi Industri Perjalanan Wisata IGP Bagus Sasrawan Mananda, S.ST.Par., M.M. M.Par., Sekretaris HKTI Badung I Ketut Sugiana, Kabid Objek dan Daya Tarik Wisata Dinas Pariwisata Badung I Gde Made Suastika dan tokoh masyarakat Kuta Selatan I Nyoman Mesir. Sasrawan Mananda mengatakan, akomodasi pariwisata di Badung Selatan sudah luar biasa padatnya. Menariknya, meskipun sudah padat, pembangunan tetap tak bisa diredam. Pembangunan di Badung seakan jalan terus tanpa perencanaan jelas. Aturan sebenarnya sudah ada. Misalnya jika mengacu pada PP No. 26 Tahun 2008, sudah diatur mengenai kawasan strategis yang di antaranya kawasan strategis keamanan, ekonomi, budaya serta fungsi dan daya dukung lingkungan. Kawasan strategis untuk fungsi dan daya dukung lingkungan contohnya Tahura Ngurah Rai dan DAS Tukad Mati. Tetapi pada kenyataannya, kawasan-kawasan tersebut justru dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata. 'Ini akibat kebijakan pembangunan Bali yang pragmatis dan permisif, dalam artian kebijakan yang dilakukan terlalu berorientasi pada bisnis, kurang berorientasi terhadap lingkungan, budaya dan agama. Kalau sudah ada aturan seharusnya diikuti. Jangan sembunyi-sembunyi. Investor main belakang dan pemerintah menerimanya. Semestinya terbukalah semua ke publik. Dua belah pihak, baik pemerintah maupun investor harus komit ikuti aturan,' tegasnya. Diungkapkannya, pembangunan di Badung mayoritas dikuasai kapitalis luar dengan mengatasnamakan orang Bali. Ini perlu diwaspadai karena investor semacam itu cenderung berbuat demi kepentingan sesaat dan masyarakat Bali hanya menikmati ampasnya. Jika kondisi ini terlalu lama dibiarkan, lambat laun Bali bakal seperti Hawaii. Masyarakat aslinya tergusur karena invasi ekonomi Amerika. Hal senada juga diungkapkan Ketut Sugiana. Mantan anggota DPRD Badung ini menyebutkan, pemangku kebijakan di Bali tak pernah menghitung dengan cermat kerusakan akibat pesatnya pembangunan sektor pariwisata. Ironisnya lagi, pemimpin di Bali cenderung mengabaikan kerusakan yang ada. 'Jangan hanya menghitung arus uang yang mengalir akibat pariwisata. Pernahkah dihitung ongkos sosial akibat pembangunan pariwisata? Apakah sudah seimbang? Kita mendengungkan pariwisata budaya, tetapi apa ada insentif bagi pelaku budaya? Masyarakat Bali tiap hari melakukan aktivitas budaya, tetapi siapa yang menikmati dolarnya?' sindir Sugiana. Dari sisi lingkungan, banyak penelitian menyebutkan bahwa dalam dasawarsa terakhir alih fungsi lahan pertanian mencapai seribu hektar per tahun. Dengan alih fungsi lahan yang begitu besar dalam skup wilayah teritorial Bali yang begitu kecil, dampaknya makin ketatnya perebutan sumber daya ekonomi, terutama air. Celakanya, ke depan krama Bali dikhawatirkan tak mampu bersaing dalam perebutan sumber daya ekonomi tersebut. 'Saya khawatir, ke depan masyarakat Bali tidak mampu memperebutkan sumber daya terutama air karena telah dikuasai badan privat, pemodal-pemodal besar. Maka dari itu, mulai sekarang kita mesti berbenah terutama meningkatkan kualitas SDM krama Bali,' katanya. (ded/nik) Bali Post, 7 Agustus 2013.
Posted on: Wed, 07 Aug 2013 01:33:26 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015