Pencurian Tanah Secara Besar-besaran : Undangan kepada yang - TopicsExpress



          

Pencurian Tanah Secara Besar-besaran : Undangan kepada yang terhormat Tuan Neo-Kolonialis James Petras Axis of Logic Nov 30, 2008, 18:23 axisoflogic/artman/publish/article_28905.shtml “Perundingan antara perusahaan Daewoo –dari Korea Selatan- dengan Pemerintah Madagascar membuktikan kerakusan perusahaan tersebut. Kasus ini bahkan tampak sebagai bukti nyata kasus beroperasinya neo-kolonialis..... Rakyat Madagascar kehilangan separuh tanah garapannya” - Editorial ‘Financial Times’, 20 November 2008 “Kamboja sedang melakukan perundingan dengan beberapa Pemerintah negara-negara Asia dan Timur Tengah dalam rencananya untuk memperoleh investasi di bidang pertanian yang bernilai $AS 3 milyar dengan cara memberikan konsesi kepada para investor jutaan lahan pertanian....” – ‘Financial Times’, 21 November 2008 “Kami kelaparan di tengah terjadinya panen besar dan meningkatnya ekspor” – Unemployed Rural, Landless Worker, Para State, Brasilia, 2003 ________________________________________ Pendahuluan Pembangunan kekuasaan model kolonial berulang kembali dan terjadi secara besar-besaran. Dan itu dilakukan oleh kolonialis baru -yang merupakan pendatang baru- yang secara ‘ngotot’ berupaya bersaing dengan para predator Eropa dan AS. Dengan dukungan penuh pemerintahnya masing-masing –termasuk dalam hal penyediaan dana- kekuatan neo-kolonial ekonomi yang baru muncul (ENEP - the newly emerging neo-colonial economic powers) menguasai wilayah tanah subur yang luas yang ‘diambil-alihnya’ dari negara-negara miskin di Afrika, asia, dan Amerika Latin melalui intermediasi pemerintah lokal yang korup dan rezim pasar bebas. Jutaan hektare telah diberikan kepada ENEP - yang dalam banyak hal secara gratis – karena menjanjikan penanaman modal di bidang infrastruktur untuk memfasilitasi pengangkutan produk pertanian hasil perampokannya yang akan dikirim ke pasar di negaranya. Selain itu, ENEP juga membayar upah kepada para petani yang telah dimiskinkannya dengan nilai kurang $AS 1.- per hari. Proyek dan ‘perjanjian kerjasama’ -antara ENEP dengan rezim neo-kolonial yang ‘baik hati’ dan ‘luwes’- bertujuan untuk menambah pengambil-alihan tanah yang lebih luas guna mencukupi tambahan kebutuhan akan puluhan juta tanah pertanian di masa mendatang. Pengambil-alihan tanah secara besar-besaran dilakukan pada saat jumlah petani-tanpa (buruh tani) tanah meningkat jumlahnya diberbagai wilayah, dan petani kecil telah diusir secara paksa oleh penguasa neo-kolonial serta bangkrut karena ketidak-mampuannya mengembalikan hutang dan ketidak-tersediaan kredit murah. Jutaan petani-tanpa tanah dan buruh pedesaan yang berjuang untuk menggarap tanah dituduh melakukan tindakan kriminal, ditekan, dibunuh atau dipenjara dan keluarganya diusir ke daerah perkotaan yang kumuh sumber penyakit. Dalam konteks sejarah, para pelaku ekonomi dan metode pembangunan kekuasaan usaha pertanian mengandung kesamaan dan perbedaan dengan pembangunan kekuasaan model kuno dari abad-abad yang lalu. Eksploitasi Imperialis-pertanian gaya kuno dan model baru Selama lima abad dominasi imperialis, eksploitasi dan ekspor produk pertanian dan mineral memainkan peran sentral dalam memperkaya para penguasa Eropa dan Amerika Utara. Sampai dengan abad ke-19, perkebunan skala besar,-yang diusahakan di sekitar tanaman pokok-, sangat bergantung pada buruh-kerja paksa dan model lain, misalnya ‘mandor-pemilik’ buruh atau buruh yang berasal dari para tahanan-, yang bertujuan untuk memupuk kekayaan dan laba bagi para pemukim kolonial, investor di negara asal dan ‘kocek perbendaharaan’ negara imperialis. Wilayah kekuasaan -pertanian- tersebut dipertahankan dengan cara • menaklukkan warga asli setempat, • mendatangkan budak dan membuat perjanjian kerja dengan buruh, • penguasaan secara paksa dan menghapus tanah-tanah komunal, • menunjuk/menugasi para aristokrat, bangsawan, kepala suku, minoritas yang pro penguasa sebagai administrator dalam lembaga pemerintahan penguasa, serta • merekrut warga/penduduk asli -yang sudah dimiskinkan dan sudah ‘dipreteli’ haknya- sebagai serdadu kolonial di bawah kepemimpinan perwira Eruro-Amerika yang berkulit putih. Dalam abad ke-19 dan pertengahan awal abad ke-20, imperialisme pertanian model kolonial menghadapi ‘gempuran’ gerakan kemerdekaan nasional yang berbasis massa. Dan mencapai puncaknya dengan bangkitnya kekuasaan nasional yang merdeka di seluruh Afrika, Asia (kecuali Palestina) dan Amerika Latin. Sejak awal pemerintahannya, negara-negara yang baru merdeka mempraktikkan kebijakan yang berbeda-beda terhadap kepemilikan dan eksploitasi tanah model era kolonial. Sedikit sekali pemerintah radikal, sosialis dan nasionalis yang akhirnya menyita sebagian atau keseluruhan milik tuan tanah asing sebagaimana yang terjadi di Cina, Kuba, Indocina, Zimbabwe, Guyana, Angola, India dan lain-lainnya. Banyak ‘penyitaan’ tersebut mengarah ke pengalihan tanah (‘land transfers’) kepada borjuasi pasca-kolonial yang sedang ‘naik daun’, dan membiarkan buruh pedesaan dalam jumlah yang banyak berstatus buruh-tanpa tanah (‘bukan pemilik tanah’) atau hanya memiliki akses ke tanah komunal. Pada umumnya, transisi dari rezim kolonial ke rezim pasca kolonial dilakukan dengan jaminan dalam bentuk perjanjian politik yang menjamin kesinambungan pola kolonial dalam kepemilikan tanah, penggarapannya, pemasaran hasil-hasilnya dan dalam hubungan perburuhan (yang disebut sebagai ‘sistem ekspor produk pertanian neo-kolonial’. Dengan beberapa pengecualian, sebagian besar pemerintahan negara yang telah merdeka gagal mengubah ketergantungannya pada tanaman ekspor, diversifikasi pasar ekspor, mengembangkan swa-sembada pangan atau menyediakan dana untuk memukimkan kaum miskin pedesaan di kawasan pertanian milik negara yang subur, namun tidak tergarap. Ketika dilakukan pembagian tanah, para rezim tersebut gagal melakukan investasi yang memadai bagi berbagai organisasi pedesaan dalam hal kepemilikan lahan, yaitu lahan keluarga, koperasi atau komunal tetapi malahan membentuk perusahaan milik negara skala besar yang sepenuhnya dikendalikan oleh pusat yang terbukti dikelola secara inefisien, gagal memberikan dukungan berupa insentif bagi produsen langsung, sehingga para produsen tersebut dieksploitasi untuk membiayai pengembangan industri perkotaan. Akibatnya, banyak pertanian dan perkebunan milik negara dan koperasi yang akhir bangkrut dan bubar. Banyak negara yang menghadapi persoalan ketiadaan kepemilikan tanah oleh warga pedesaan dalam jumlah yang besar, sehingga mereka tetap hidup dalam kemiskinan, tanpa memiliki tanah atau lahan garapan dan menjadi obyek pemerasan kolektor pajak lokal, penguasa militer dan lintah darat yang bengis, malah seringkali diusir dari rumahnya oleh spekulan tanah, perusahaan perumahan dan pejabat lokal maupun nasional. Neo-Liberalisme dan Kebangkitan Imperialisme Baru Pertanian Karakteristik neo-imperialisme-agro (NIA) dapat dilihat pada pengambil-alihan setengah luas lahan pertanian di Madagaskar, yaitu sekitar 1,3 juta hektar, untuk disewa selama 70 sampai dengan 90 tahun oleh Daewoo Logistics Corporation dari Korea Selatan. Sesuai dengan kontrak untuk perkebunan/pembudidayaan jagung dan kelapa sawit untuk ekspor, Daewoo tidak dibebani kewajiban untuk membayar sepeser pun. 1 Di Cambodia, beberapa neo-imperialis-agro (NIA) dari negara-negara Asia dan Timur Tengah sedang ‘berunding’ dengan pemerintah Cambodia untuk ‘mengambil-alih’ jutaan hektar lahan subur. Tentu saja ‘disertai’ dengan ‘upeti’ yang nilai sangat fantastik alias buanyaak buangeet serta ‘iming’iming’ untuk memberikan saham kepada para politisi lokal sebagai ‘mitra’. 2 Lingkup dan tingkat kedalaman ekspansi NIA dalam pemiskinan daerah pedesaan di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin jauh melampaui ‘prestasi’ imperialis-kolonialis sbelum abad ke-20. Baru-baru ini website GRAIN menerbitkan penjelasan terinci tentang negara NIA dan koloni-koloninya. 3 Kekuatan pendorong agro-imperialis kontemporer yang menguasai dan menyerobot tanah dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu 1. kelompok minyak yang kaya dari Arab, kebanyakan dari negara-negara Teluk (sebagian melalui dana miliknya yang luar biasa banyak); 2. negara-negara NIA Asia (Cina, India, Korea Selatan dan Jepang) dan Israel; 3. negara imperialis yang terdahulu, yaitu AS dan Eropa, ditambah dengan kelompok Bank Dunia dan bank-bank investasi dari Wall Street serta kumpulan bermacam-macam perusahaan spekulator keuangan. Setiap blok lahan pertanian dikuasai dan dikendalikan oleh sekitar satu atau tiga negara. Misalnya, • kelompok negara-negara Teluk, Arab Saudi dan Kuwait, • sedangkan di Asia : Cina, Korea dan Jepang adalah penyerobot besar, • predator tanah diantara AS, negara-negara Eropa dan Bank Dunia terdapat sederetan perusahaan monopoli-imperialistik di bidang pertanian (agro-imperialist monopoly firms) mulai dari Goldman Sachs, Blackstone di AS, hingga Louis Dreyfuss di Negeri Belanda dan Deutschbank di Jerman. Semakin luas,- dalam hitungan ratusan juta are (acres)-, lahan pertanian telah atau sedang dalam proses untuk ‘dirampas’ oleh kapitalis pemilik-tanah terbesar di dunia yang merupakan konsentrasi terbesar perusahaan swasta dalam kepemilikan tanah dalam sejarah pembangunan kekuasaan. Proses pembangunan kekuasaan imperialis-agro,-sebagian besar-, melalui mekanisme politiks dan keuangan,-yang dalam beberapa hal-, didahului oleh kudeta militer, intervensi negara-negara asing dan kampanye destabilisasi guna membangun ‘partners’ neo-kolonial yang ‘luwes’, atau lebih tepatnya, kolaborator yang bersedia bekerjasama dalam penyerobotan atau perampasan lahan pertanian secara besar-besaran. Dengan ‘sekali tepuk’, rezim neo-kolonial Afrika-Asia-Amerika Latin memaksakan dilaksanakannya agenda neo-liberal yang mencakupi • ‘pemecahan’ tanah-tanah komunal, • promosi strategi ekspor hasil-hasil pertanian, • penindasan setiap gerakan ‘land-reform’ lokal yang menuntut redistribusi ‘lahan tidur’ milik negara maupun pribadi/swasta. Kebijakan pasar bebas dari rezim neo-kolonial menghapus atau mengurangi hambatan tarif bagi impor bahan pangan yang berkadar subsidi tinggi dari AS dan Eropa. Kebijakan tersebut membuat petani pasar lokal bangkrut, sehingga menaingkatkan jumlah lahan pertanian yang digadaikan atau dijual kepada negara-negara imperialis-agro dan perusahaan-perusahaan multinasional. Kekuatan militer dan polisi memainkan peran kunci dalam menggusur petani yang telah dimiskinkan, terbelit hutang dan dalam kondisi kelaparan, sekaligus mencegah pemukim ‘liar’ untuk menguasai dan memanfatkannya untuk bercocok-tanam di lahan yang subur untuk kebutuhan konsumsi lokal. Sekali rezim kolaborator neo-kolonial berkuasa dan agenda ‘pasar-bebas’-nya dilaksanakan, maka ‘panggung’ telah siap untuk menyambut masuknya negara dan investor imperialis-agro untuk mengambil-alih lahan pertanian yang sangat luas. Israel merupakan pengecualian utama dari pola perampokan imperialis-agro, karena Israel mengandalkan pada pola mendukung penggunaan kekuatan militer/bersenjata melawan keseluruhan bangsa Palestina untuk menggusur para petaninya dan menguasasi kawasan melalui pemukim kolonial – sebagaimana model Euro-Amerika kolonial imperialisme dulu. 4 ‘Penyerahan’ lahan pertanian secara besar-besaran lazimnya menempuh cara : • negara-negara imperialis baru (NIB) mengambil prakarsa, atau • NIB ‘diminta dengan hormat’ oleh rezim neo-kolonial untuk menanamkan modal dalam ‘pembangunan pertanian’. Hal itu segera ditindaklanjuti dengan ‘perundingan’ yang bersifat sepihak dan diikuti dengan realisasi transfer dana dari kas negara imperialis-agro kepada rekening ‘mitra-mitra’-nya, yaitu NIB, di bank di luar negeri. Persyaratan-persyaratan dalam perjanjian dan kontrak tanpa keseimbangan dan keadilan antar pihak dalam hal hak dan kewajiban, misalnya pangan dan komoditas pertanian hampir semuanya diekspor kembali ke pasar negara imperialis-agro, meskipun penduduk ‘negara tuan rumah’ sedang kelaparan dan sangat tergantung pada pengiriman pangan secara darurat dari badan/lembaga ‘kemanusiaan’ negara imperialis. ‘Pembangunan’,-termasuk janji untuk melakukan penanaman modal secara besar-besaran-, ditujukan untuk membangun jalan, transportasi, pelabuhan dan fasilitas penyimpanan yang secara khusus digunakan untuk memfasilitasi pengiriman produk-produk pertanian dari luar negeri oleh perusahaan-perusahaan besar imperialis-agro. Hampir semua lahan pertanian diambil –alih secara ‘gratis’ atau sekedar membayar ‘fee’ yang rendah, yang ternyata masuk ke kantong elit politik atau ‘dibelokkan’ ke arah pasar perumahan kawasan perkotaan dan impor barang-barang mewah untuk memenuhi kebutuhan orang-rang kaya lokal. Kecuali bagi kerabat atau kroni kolaborator penguasa neo-kolonial, hampir semua direktur/pimpinan yang bergaji tinggi, eksekutif senior dan staf teknis berasal dari negara imperialis sebagaimana tradisi kolonial masa lalu. Kelas menengah,-pada umumnya terdiri dari pegawai teknis dan administratif-, diisi oleh serombongan orang yang bergaji rendah, terdidik atau berkebangsaan lain. Hal ini mencegah kemungkinan terjadinya alih teknologi atau keterampilan kepada warga setempat. Sebagian besar manfaat yang ‘digembar-gemborkan’ sebagai reklame ‘manfaat’ kepada negara neo-kolonial adalah lapangan kerja bagi pekerja (buruh) kasar perkebunan yang sangat jarang berupah lebih dari $AS 1 – 2 sehari serta dalam keadaan ditindas secara kejam dan dicabut haknya untuk berserikat. Secara kontras, perusahaan-perusahaan dan rezim imperialis-agro secara leluasa melakukan ‘panen’ laba dengan yang sangat tinggi, memperoleh pasokan makanan dengan harga yang bersubsidi, bebas menyebar-luaskan pengaruh politik atau mendominasi pengendalian terhadap elit kolaborator dan membangun ‘pijakan’ untukmemperluas investasinya serta memfasilitasi (memberikan kemudahan) pengambil-alihan sektor-sektor keuangan, perdagangan dan industri pengolahan. Negara-negara sasaran Meski terjadi persaingan yang seru dan ‘tumpang-tindih’ antar negara neo-imperialis dalam ‘merampok’ negara-negara tujuan, kecenderungannya adalah terjadi semacam ‘pengkaplingan’ wilayah sebagai berikut • rezim Arab yang kaya minyak fokus kepada neo-koloni di Asia Selatan dan Asia Tenggara; • negara-negara yang disebut ‘Asian Economic Tiger’ berkonsentrasi pada Afrika dan Amerika Latin; • sedangkan perusahaan multinasional AS-Eropa mengeksploitasi negara-negara eks-komunis di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet serta Afrika dan Amerika Latin; • Bahrain menguasai lahan di Pakistan, Philippina dan Sudan untuk mencukupi kebutuhannya akan beras. • Cina,-mungkin merupakan NIA yang paling agresif saat ini-, telah melakukan investasi di Afrika, Amerika Latin dan Asia Tenggara untuk memastikan perolehan pasokan yang bahan berharga murah : kedele terutama dari Brazilia, beras di Kuba (5000 hektar), Birma dan Kamerun (10.000 hektar), Laos (100.000 hektar) Mozambique (dengan 10.000 pemukim Cina sebagai pekerja di lahan pertanian, Philippina (1.24 juta hektar) dan Uganda. • Negara-negara Teluk memproyeksikan alokasi dana sekitar $AS 1 milyar untuk membiayai pengambilan-alihan lahan pertanian dai Utara dan Sub-Sahara Afrika; • Jepang telah membeli 100.000 hektar lahan pertanian di Brazilia untuk kedele dan jagung serta memiliki lahan pertanian seluas 12 juta hektar di Asia Tenggara dam amerika Selatan; • Kuwait menguasai lahan-lahan pertanian di Birma, Kamboja, Maroko, Yaman, Mesir, Laos, Sudah dan Uganda. • Qatar telah mengambil-alih sawah di Kamboja dan Pakistan, serta lahan untuk jagung dan biji tanaman untuk ‘biofuel’ (minyak jarak) di Sudan dan di Vietnam untuk ‘cereals’, buah-buahan, sayuran dan untuk peternakan (‘livestock’); • Arab Saudi telah ‘ditawari’ 500.000 hektar sawah di Indonesia dan ratusan ribu hektar lahan subur di Ethiopia dan Sudan. Bank Dunia telah memainkan peran utama dalam mempromosikan pengambil-alihan lahan pertanian dengan mengalokasikan $AS 1,4 milyar untuk membiayai pengambil-alihan yang disebut sebagai ‘lahan yang kurang dimanfaatkan secara optimal’. Dana pinjaman dari Bank Dunia kepada neo-koloni mengandung persyaratan,-sebagai halnya yang diberlakukan kepada Ukraina-, dalam pembukaan lahan-lahan yang ayang dieksploitasi oleh investor asing. 5 Setidaknya dua negara ‘kuat’ yang baru muncul, yaitu Brazil dan Cina, sangat bergantung pada atau dipengaruhi oleh ‘penyerobotan’ tanah yang dilakukan oleh negara-negara imperialis yang lebih ‘maju’ dan menjadi ‘agen’ kolonisasi pertanian. Perusahaan multinasional Jepang, Eropa dan Amerika Utara mengeksploitasi Brazil, bahkan ketika pemukim dan industrialis pertanian Brazil telah mengambil-alih sederetan lahan di perbatasan di Paraguay, Uruguay dan Bolivia. Pola yang sama terjadi di Cina ketika lahan pertanian yang sangat bagus dan bernilai tinggi dieksploitasi oleh Jepang dan kapitalis Cina perantauan, maka pada saat yang bersamaan Cina menguasai lahan-lahan subur di negara-negara miskin di Afrika dan Asia Tengara. Konsekuensi Imperialisme-agro – sekarang dan di masa mendatang Rekolonisasi yang dilakukan oleh negara imperialis baru atas kawasan pertanian yang luas dan subur di negara-negara dan wilayah termiskin di Afrika, Asia dan Amerika Latin merupakan akibat dari mendalamnya polarisasi antara, - di satu pihak, negara-negara Arab yang kaya minyak, milyarder Asia, para pemukim Yahudi yang didanai oleh negara yang kaya dan para spekulator Barat, dengan - di pihak lain-, ratusan juta petani yang kelaparan, tanpa tanah, tunawisma yang sangat miskin di Sudan, Madagaskar, Ethiopia, Kamboja, Palestina, Birma, Cina, Indonesia, Brazil, Philippina, Paraguay dan dimana saja. Imperialisme-agro masih berada dalam tahap awal, yaitu tahap pengambil-alihan kawasan pertanian yang sangat luas, merampok petani dan mengeksploitasi pekerja pedesaan tanpa tanah sebagai buruh harian. Tahap berikutnya,-yang mulai tampak-, adalah mengambil alih pengendalian atas sistem transportasi, prasarana dan sistem perkreditan, yang terjadi bersamaan dengan pertumbuhan ekspor hasil-hasil pertanian. Monopoli prasarana, kredit dan laba dari benih, pupuk, industri pengolahan, pajak dan pembayaran bunga atas pinjaman secara nyata mendorong terjadinya pemusatan kendali atas ekonomi kolonial dan berlanjut dengan tumbuh dan berkembangnya pengaruh atas politisi lokal, para penguasa dan kolaborator dalam birokrasi. Struktur kelas yang diwarnai oleh neo-kolonisasi,-terutama dalam sistem yang berbasiskan ekonomi pertanian-, tumbuh menjadi sistem empat tingkatan kelas, yaitu : - para kapitalis asing beserta ‘anthek’-nya berada pada tingkat paling tinggi – yang hanya berjumlah kurang 1% dari jumlah penduduk; - lapis kedua, berjumlah sekitar 10% dari jumlah penduduk terdiri dari elit politik lokal dan ‘anthek’ serta kroninya, termasuk birokrat dan perwira militer dalam rangka penugasan oleh penguasa dari lapis tertinggi – yang memperkaya diri melalui usaha kemitraan (‘joint ventures’) dengan penguasa neo-kolonial ataupun dengan cara menyogok/menyuap dan penyerobotan tanah.; - kelas menegah lokal,-yang selalu terancam ‘bahaya’ untuk merosot ke arah kemiskinan akibat krisis ekonomi dunia-, berjumlah sekitar 20%; - kelas terbawah terdiri dari petani-tanpa tanah, buruh pedesaan, pengungsi pedesaan, pemukim ilegal di kawasan perkotaan dan petani kelas ‘teri’ yang hidup serba pas-pasan (kaum Marhaen) berjumlah hampir 70%. Dalam model neo-kolonial yang berorientasi pada ekspor produk-produk pertanian, komposisi kelas menengah selalu mengecil dan berubah. Jumlah keluarga petani yang merupakan produsen kebutuhan pasar dalam negeri cenderung berkurang karena ketidakmampuannya menghadapi usaha pertanian/perkebunan asing yang dibantu oleh pemerintah dalam memproduksi kebutuhan ‘pasar dalam negerinya’. Akibatnya, para penjual di pasar-pasar dan pedagang kecil-eceran di pasar lokal ‘keteter’ dan ‘kalang kabut’ terkena ofensif ‘sapu bersih’ supermarket yang dimiliki perusahaan dan modal asing. Polarisasi kelas antara ‘kelas atas’ dengan ‘kelas terbawah’ dipertajam atau diperparah dengan berkurangnya lapangan kerja bagi produsen barang-barang dan jasa-jasa pertanian, serta tergusur dan musnahnya mata-rantai perdagangan (pedagang-antara) yang menghubungkan kota dengan desa. Kelas menengah neo-kolonial diubah untuk menampung strata kecil yang terdiri dari para penasehat hukum, profesional, perusahaan periklanan dan fungsionaris tingkat bawah dalam perusahaan asing serta kelompok pengamanan publik dan swasta. Peran penunjang bagi ‘kelas menengah baru’ dalam melayani kelompok inti dari kekuasaan politik-ekonomi kolonial akan mengakibatkannya kurang berorientasi kepada kepentingan nasional dan lebih kolonial dalam hal kesetiaan dan pandangan politik, dan dalam gaya hidupnya lebih berpihak konsumen kepada pasar bebas’ serta secara membabi-buta berpihak kepada cara yang represif,-bahkan fasistik-, dalam menyelesaikan keresahan sosial dan perjuangan rakyat untuk menegakkan keadilan. Saat ini, faktor pembatas terbesar bagi imperialisme-agro maju adalah keruntuhan ekoonmi kapitalisme dunia yang berakibat menghambat,-bahkan menghentikan-, laju ‘arus ekspor modal’. ‘Anljog’-nya harga-harga komoditas mengurangi laba dalam penanaman modal sektor pertanian di luar negeri. Kelangkaan,- bahkan ketiadaan-, kredit menghambat pembiayaan operasi penyerobotan tanah di luar negeri. Menurunnya pendapatan dari minyak sampai dengan 70% sangat membatasi kemampuan the Middle East Sovereign Funds dan wahana investasi lain dari cadangan minyak luar negeri negara-negara Teluk. Di pihak lain, ‘anjlog’-nya harga komoditas pertanian mengakibatkan kebangkrutan para elit produsen di Afrika, Asia dan Amerika Latin, menurunkan harga-harga lahan pertanian. Hal tersebut memberi peluang kepada investor-agro imperialis untuk memborong lahan yang lebih subur dengan harga amat sangat murah sekali (at rock-bottom prices). Resesi kapitalis dunia saat ini menambah panjang deretan barisan pengangguran pekerja pedesaan yang sudah berjumlah ratusan juta petani yang telah dimiskinkan selama kurun waktu ‘boom’ komoditas pertanian dalam paruh pertama dekade ini. Upah buruh dan harga tanah memang murah, pada saat yang bersamaan permintaan konsumen ‘anjlog’. Imperialis-agro dapat mempekerjakan seluruh buruh pedesaan Dunia Ketiga sekehendaknya dengan upah harian $AS 1 atau kurang, namun bagaimana mereka akan memasarkan produknya dan memperoleh pendapatan untuk membayar biaya modal, ‘penyuapan’, transportasi, pemasaran, ‘gaji’ para elit, gratifikasi, bonus pimpinan perusahaan dan dividen para investor dalam situasi ‘anjlog’-nya permintaan? Beberapa imperialis-agro bisa mengambil keuntungan dalam masa resesi dengan membeli secara murah sekarang dan mengharapkan laba jangka panjang ketika dana penyelamatan ekonomi yang bernilai multi-trilyun $AS ‘dikucurkan’. Sedangkan yang lain mengurangi dana untuk penyerobotan tanah atau mungkin menangguhkan perluasan lahan-lahan pertanian produktifnya sampai dengan ‘pulihnya’ pasar – sedangkan para petani,-yang semakin miskin-, kelaparan dengan lahan miliknya yang tidak tergarap. Neo imperialis-agro sangat mengharapkan komitmen NIA untuk menyedian sumberdaya (uang dan tentara) untuk memperkuat pasukannya guna meredam gejolak yang tak dapat dihindarkan, yang dilakukan oleh mereka yang menganggur, lapar dan termarjinalkan di Sudan, ethiopia, Birma, Kamboja, Brazil, Paraguay, Philippina, Cina dan di wilayah lain. Waktu sudah sangat terbatas untuk melakukan kontrak/perjanjian dagang, pengalihan kepemilikan dan sewa jangka panjang yang harus diselesaikan oleh neo-kolonial kolaborator dan investor dan negara kolonial asing. Saat ini perang imperialistik dan resesi ekonomi domestik di negara-negara imperialis lama dan baru secara sistematik telah menguras sumber-sumber ekonominya. Selain itu, sekaranglah saatnya untuk menilai kesediaan rakyatnya untuk berkorban demi pembangunan wilayah kolonial model baru. Tanpa dukungan militer dan ekonomi internasional, strata penguasa neo-kolonial yang ‘tipis’ tidak akan mampu bertahan menghadapi gejolak kaum petani miskin yang bersekutu dengan kelas menengah-bawah yang ‘turun’ dan berkembangnya kumpulan penganggur generasi muda yang berpendidikan tinggi. Janji-janji tentang era baru kejayaan imperialis-agro dan arus baru kemunculan negara-negara imperialis mungkin hanya berumur pendek. Timbulnya arus baru gerakan pembebasan nasional yang berbasis pada kekuatan pedesaan dan semakin sengitnya persaingan antara negara-negara imperialis lama melawan yang baru dalam memperebutkan sumberdaya keuangan dan ekonomi yang semakin langka. Sementara itu terjadinya ‘mobilitas ke bawah’ para pekerja dan pegawai di pusat-pusat kekuasaan Barat berpusar (gyrate) antara satu partai politik penguasa dengan yang lain (Demokrat/Republik, Konservative/Buruh) tanpa mampu memainkan peran apapun dalam waktu dekat. Ketika dan jika mereka berserakan.....mereka akan berubah menjadi nasionalis kanan yang demagogis atau menjadi ‘nasionalis-patriotik’ sosialis kiri yang sekarang tidak tampak (invisible) - paling tidak, di AS dan Eropa. Dalam kasus yang manapun, perampokan yang terjadi sekarang yang akan diikuti dengan terjadi pemberontakan massal yang dimulai dimana-mana dan dengan atau tanpa terjadinya perubahan apapun di AS dan Eropa. -------------------- The Great Land Giveaway: Neo-Colonialism by Invitation By James Petras Axis of Logic Nov 30, 2008, 18:23 axisoflogic/artman/publish/article_28905.shtml “The deal South Korea’s Daewoo Logistics is negotiating with the Madagascar Government looks rapacious…The Madagascan case looks neo-colonial…The Madagascan people stand to lose half of their arable land.” - Financial Times Editorial November 20, 2008 “Cambodia is in talks with several Asian and Middle Eastern governments to receive as much as $3 billions US dollars in agricultural investments in return for millions of hectares of land concessions…” - Financial Times November 21, 2008 “We are starving in the midst of bountiful harvests and booming exports! Unemployed Rural Landless Workers Para State, Brazil (2003) ________________________________________ Introduction Colonial style empire-building is making a huge comeback, and most of the colonialists are late-comers, elbowing their way past the established European and US predators. Backed by their governments and bankrolled with huge trade and investment profits and budget surpluses, the newly emerging neo-colonial economic powers (ENEP) are seizing control of vast tracts of fertile lands from poor countries in Africa, Asia and Latin America, through the intermediation of local corrupt, free-market regimes. Millions of acres of land have been granted – in most cases free of charge – to the ENEP who, at most, promise to invest millions in infrastructure to facilitate the transfer of their plundered agricultural products to their own home markets and to pay the ongoing wage of less than $1 dollar a day to the destitute local peasants. Projects and agreements between the ENEP and pliant neo-colonial regimes are in the works to expand imperial land takeovers to cover additional tens of millions of hectares of farmland in the very near future. The great land sell-off/transfer takes place at a time and in places where landless peasants are growing in number, small farmers are being forcibly displaced by the neo-colonial state and bankrupted through debt and lack of affordable credit. Millions of organized landless peasants and rural workers struggling for cultivatable land are criminalized, repressed, assassinated or jailed and their families are driven into disease-ridden urban slums. The historic context, economic actors and methods of agro-business empire-building bears similarities and differences with the old-style empire building of the past centuries. Old and New Style Agro-Imperial Exploitation During the previous five centuries of imperial domination the exploitation and export of agricultural products and minerals played a central role in the enrichment of the Euro-North American empires. Up to the 19th century, large-scale plantations and latifundios, organized around staple crops, relied on forced labor – slaves, indentured servants, semi-serfs, tenant farmers, migrant seasonal workers and a host of other forms of labor (including prisoners) to accumulate wealth and profits for colonial settlers, home country investors and the imperial state treasuries. The agricultural empires were secured through conquest of indigenous peoples, importation of slaves and indentured workers, the forcible seizure and dispossession of communal lands and the rule through colonial officials. In many cases, the colonial rulers incorporated local elites (‘nobles’, monarchs, tribal chiefs and favored minorities) as administrators and recruited the impoverished, dispossesed natives to serve as colonial soldiers led by white Euro-American officers. Colonial-style agro-imperialism came under attack by mass-based national liberation movements throughout the 19th and first half of the 20th centuries, culminating in the establishment of independent national regimes throughout Africa, Asia (except Palestine) and Latin America. From the very beginning of their reign, the newly independent states pursued diverse policies toward colonial-era land ownership and exploitation. A few of the radical, socialist and nationalist regimes eventually expropriated, either partially or entirely, foreign landowners, as was the case in China, Cuba, Indochina, Zimbabwe, Guyana, Angola, India and others. Many of these ‘expropriations’ led to land transfers to the new emerging post-colonial bourgeoisie, leaving the mass of the rural labor force without land or confined to communal land. In most cases the transition from colonial to post-colonial regimes was underwritten by a political pact ensuring the continuation of colonial patterns of land ownership, cultivation, marketing and labor relations (described as a ‘neo-colonial agro-export system). With few exceptions most independent governments failed to change their dependence on export crops, diversify export markets, develop food self-sufficiency or finance the settlement of rural poor onto fertile uncultivated public lands. Where land distribution did take place, the regimes failed to invest sufficiently in the new forms of rural organization (family farms, co-ops or communal ‘ejidos’) or imposed centrally controlled large-scale state enterprises, which were inefficiently run, failed to provide adequate incentives for the direct producers, and were exploited to finance urban-industrial development. As a result, many state farms and cooperatives were eventually dismantled. In most countries great masses of the rural poor continued to be landless and subject to the demands of local tax collectors, military recruiters and usurious money lenders and were evicted by land speculators, real estate developers and national and local officials. Neo-Liberalism and the Rise of New Agro-Imperialism Emblematic of the new style agro-imperialism is the South Korean takeover of half (1.3 million hectares) of Madagascar’s total arable land under a 70-90 year lease in which the Daewoo Logistics Corporation of South Korea expects to pay nothing for a contract to cultivate maize and palm oil for export.1 In Cambodia, several emerging agro-imperial Asian and Middle Eastern countries are ‘negotiating’ (with hefty bribes and offers of lucrative local ‘partnerships’ to local politicians) the takeover of millions of hectares of fertile land.2 The scope and depth of the new emerging agro-imperial expansion into the impoverished countryside of Asian, African and Latin American countries far surpasses that of the earlier colonial empire before the 20th century. A detailed account of the new agro-imperialist countries and their neo-colonial colonies has recently been compiled on the website of GRAIN3. The driving forces of contemporary agro-imperialist conquest and land grabbing can be divided into three blocs: 1. The new rich Arab oil regimes, mostly among the Gulf States (in part, through their ‘sovereign wealth funds). 2. The newly emerging imperial countries of Asia (China, India, South Korea and Japan) and Israel. 3. The earlier imperial countries (US and Europe), the World Bank, Wall Street investment banks and other assorted imperial speculator financial companies. Each of these agro-imperial blocs is organized around one to three ‘leading’ countries: Among the Gulf imperial states, Saudi Arabia and Kuwait; in Asia – China, Korea and Japan are the main land grabbers. Among the US-European-World Bank land predators there are a wide range of agro-imperialist monopoly firms buying up land ranging from Goldman Sachs, Blackstone in the US to Louis Dreyfuss in the Netherlands and Deutschbank in Germany. Upward of several hundred million acres of arable land have been or are in the process of being appropriated by the world’s biggest capitalist landowners in what is one of the greatest concentration of private landownership in the history of empire building. The process of agro-imperial empire building operates largely through political and financial mechanisms, preceded, in some cases, by military coups, imperial interventions and destabilization campaigns to establish pliable neo-colonial ‘partners’ or, more accurately, collaborators, disposed to cooperate in this huge imperial land grab. Once in place, the Afro-Asian-Latin American neo-colonial regimes impose a neo-liberal agenda which includes the break-up of communal-held lands, the promotion of agro-export strategies, the repression of any local land reform movements among subsistence farmers and landless rural workers demanding the redistribution of fallow public and private lands. The neo-colonial regimes’ free market policies eliminate or lower tariff barriers on heavily subsidized food imports from the US and Europe. These policies bankrupt local market farmers and peasants increasing the amount of available land to ‘lease’ or sell-off to the new agro-imperial countries and multinationals. The military and police play a key role in evicting impoverished, indebted and starving farmers and preventing squatters from occupying and producing food on fertile land for local consumption. Once the neo-colonial collaborator regimes are in place and their ‘free market’ agendas are implemented, the stage is set for the entry and takeover of vast tracts of cultivable land by the agro-imperial countries and investors. Israel is the major exception to this pattern of agro-imperial conquest, as it relies on the massive sustained use of force against an entire nation to dispossess Palestinian farmers and seize territory via armed colonial settlers – in the style of earlier Euro-American colonial imperialism.4 The sellout usually follows one of two paths or a combination of both: Newly emerging imperial countries take the lead or are solicited by the neo-colonial regime to invest in ‘agricultural development’. One-sided ‘negotiations’ follow in which substantial sums of cash flow from the imperial treasury into the overseas bank accounts of their neo-colonial ‘partners’. The agreements and the terms of the contracts are unequal: The food and agricultural commodities are almost totally exported back to the home markets of the agro-imperial country, even as the ‘host country’s’ population starves and is dependent on emergency shipments of food from imperial ‘humanitarian’ agencies. ‘Development’, including promise of large-scale investment, is largely directed at building roads, transport, ports and storage facilities to be used exclusively to facilitate the transfer of agricultural produce overseas by the large-scale agro-imperial firms. Most of the land is taken rent-free or subject to ‘nominal’ fees, which go into the pockets of the political elite or are recycled into the urban real estate market and luxury imports for the local wealthy elite. Except for the collaborationist relatives or cronies of the neo-colonial rulers, almost all of the high paid directors, senior executives and technical staff come from the imperial countries in the tradition of the colonial past. An army of low salary, educated, ‘third country nationals’ generally enter as middle level technical and administrative employees – completely subverting any possibility of vital technology or skills transfer to the local population. The major and much touted ‘benefit’ to the neo-colonial country is the employment of local manual farm workers, who are rarely paid above the going rate of $1 to 2 US dollars a day and are harshly repressed and denied any independent trade union representation. In contrast, the agro-imperial companies and regimes reap enormous profits, secure supplies of food at subsidized prices, exercise political influence or hegemonic control over collaborator elites and establish economic ‘beachheads’ to expand their investments and facilitate foreign takeover of the local financial, trade and processing sectors. Target Countries While there is a great deal of competition and overlap among the agro-imperial countries in plundering the target countries, the tendency is for the Arab petroleum imperial regimes to focus on penetrating neo-colonies in South and Southeast Asia. The Asian ‘Economic Tiger’ countries concentrate on Africa and Latin America. While the US-Europe Multinationals exploit the former communist countries of Eastern Europe and the former Soviet Union as well as Latin America and Africa. Bahrain has grabbed land in Pakistan, the Philippines and Sudan to supply itself with rice. China, probably the most dynamic agro-imperial country today, has invested in Africa, Latin America and Southeast Asia to ensure low cost soybean supplies (especially from Brazil), rice production in Cuba (5,000 hectares), Burma, Cameroon (10,000 hectares), Laos (100,000 hectares), Mozambique (with 10,000 Chinese farm-worker settlers), the Philippines (1.24 million hectares) and Uganda. The Gulf States are projecting a $1 billion dollar fund to finance land grabs in North and Sub-Saharan Africa. Japan has purchased 100,000 hectares of Brazilian farmland for soybean and maize. Its corporations own 12 million hectares in Southeast Asia and South America. Kuwait has grabbed land in Burma, Cambodia, Morocco, Yemen, Egypt, Laos, Sudan and Uganda. Qatar has taken over rice fields in Cambodia and Pakistan and wheat, maize and oil seed croplands in Sudan as well as land in Vietnam for cereals, fruit, vegetables and raising cattle. Saudi Arabia has been ‘offered’ 500,000 hectares of rice fields in Indonesia and hundreds of thousands of hectares of fertile land in Ethiopia and Sudan. The World Bank (WB) has played a major role in promoting agro-imperial land grabs, allocating $1.4 billion dollars to finance agro-business takeovers of ‘underutilized lands’. The WB conditions its loans to neo-colonies, like the Ukraine, on their opening up lands to be exploited by foreign investors.5 Taking advantage of neo-liberal ‘center-left’ regimes in Argentina and Brazil, agro-imperial investors from the US and Europe have bought millions of acres of fertile farmlands and pastures to supply their imperial homelands, while millions of landless peasants and unemployed workers are left to watch the trains laden with beef, wheat and soy beans head for the foreign MNC-controlled port facilities and on to the imperial home markets in Europe, Asia and the US. At least two emerging imperial countries, Brazil and China, are subject to imperial land grabs by more ‘advanced’ imperial countries and have become ‘agents’ of agricultural colonization. Japanese, European and North American multinationals exploit Brazil even as Brazilian colonial settlers and agro-industrialists have taken over wide swathes of borderlands in Paraguay, Uruguay and Bolivia. A similar pattern occurs in China where valuable farmlands are exploited by Japanese and overseas Chinese capitalists at the same time that China is seizing fertile land in poorer countries in Africa and Southeast Asia. Present and Future Consequences of Agro-Imperialism The re-colonization by emerging imperialist states of huge tracts of fertile farmland of the poorest countries and regions of Africa, Asia and Latin America is resulting in a deepening class polarization between, on the one hand, wealthy rentier Arab oil states, Asian billionaires, affluent state-funded Jewish settlers and Western speculators and, on the other hand, hundreds of millions of starving, landless, dispossessed peasants in Sudan, Madagascar, Ethiopia, Cambodia, Palestine, Burma, China, Indonesia, Brazil, the Philippines, Paraguay and elsewhere. Agro-imperialism is still in its early stages – taking possession of huge tracts of land, expropriating peasants and exploiting the landless rural workers as day laborers. The next phase which is currently unfolding is to take control over the transport systems, infrastructure and credit systems, which accompany the growth of agro-export crops. Monopolizing infrastructure, credit and the profits from seeds, fertilizers, processing industries, tolls and interest payments on loans further concentrates de facto imperial control over the colonial economy and extends political influence over local politicians, rulers and collaborators within the bureaucracies. The neo-colonized class structure, especially in largely agricultural economies are evolving into a four tier class system in which the foreign capitalists and their entourage are at the pinnacle of elite status representing less than 1% of the population. In the second tier, representing 10% of the population are the local political elite and their cronies and relatives as well as well placed bureaucrats and military officers, who enrich themselves, through partnerships (‘joint ventures’) with the neo-colonials and via bribes and land grabs. The local middle class represents almost 20% and is in constant danger of falling into poverty in the face of the world economic crises. The dispossessed peasants, rural workers, rural refugees, urban squatters and indebted subsistence peasants and farmers make up the fourth tier of the class structure with close to 70% of the population. Within the emerging neo-colonial agro-export model, the ‘middle class’ is shrinking and changing in composition. The number of family farmers producing for the domestic market is declining in the face of state-supported foreign-owned farms producing for their own ‘home markets’. As a result market vendors and small retailers in the local markets are falling behind, squeezed out by the large foreign-owned supermarkets. The loss of employment for domestic producers of farm goods and services and the elimination of a host of ‘commercial’ intermediaries between town and country is sharpening the class polarization between top and bottom tiers of the class structure. The new colonial middle class is reconfigured to include a small stratum of lawyers, professionals, publicists and low-level functionaries of the foreign firms and public and private security forces. The auxiliary role of the ‘new middle class’ in servicing the axis of colonial economic and political power will make them less nation-oriented and more colonial in their allegiances and political outlook, more ‘free market’ consumerist in their life style and more prone to approve of repressive (including fascistic) domestic solutions to rural and urban unrest and popular struggles for justice. At the present moment, the biggest constraint on the advance of agro-imperialism is the economic collapse of world capitalism, which is undermining the ‘export of capital’. The sudden collapse of commodity prices is making it less profitable to invest in overseas farmland. The drying up of credit is undermining the financing of grandiose overseas land grabs. The 70% decline in oil revenues is limiting the Middle East Sovereign Funds and other investment vehicles of Gulf oil foreign reserves. On the other hand, the collapse of agricultural prices is bankrupting African, Asian and Latin American elite agro-producers, forcing down land prices and presenting opportunities for imperial agro-investors to buy up even more fertile land at rock-bottom prices. The current world capitalist recession is adding millions of unemployed rural workers to the hundreds of millions of peasants dispossessed during the expansion period of the agricultural commodity boom during the first half of the current decade. Labor costs and land are cheap, at the same time that effective consumer demand is falling. Agro-imperialists can employ all the Third World rural labor they want at $1 dollar a day or less, but how can they market their products and realize returns that cover the costs of loans, bribes, transport, marketing, elite salaries, perks, CEO bonuses and investor dividends when demand is in decline? Some agro-imperialists may take advantage of the recession to buy cheaply now and look forward to long-term profits when the multi-trillion dollar state-funded recovery takes effect. Others may cut back on their land grabs or more likely hold vast expanses of valuable land out of production until the ‘market’ improves – while dispossessed peasants starve on the margins of fallow fields. The new agro-imperials are banking on the new imperialist states committing resources (money and troops) to bolster the neo-colonial gendarmes in repressing the inevitable uprisings of the billions of dispossessed, hungry and marginalized people in Sudan, Ethiopia, Burma, Cambodia, Brazil, Paraguay, the Philippines, China and elsewhere. Time is running out for the easy deals, transfers of ownership and long-term leases consummated by local neo-colonial collaborators and overseas colonial investors and states. Currently imperial wars and domestic economic recessions in the old and emerging imperial countries are systematically draining their economies and testing the willingness of their populations to sacrifice for new style colonial empire building. Without international military and economic backing, the thin stratum of local neo-colonial rulers can hardly withstand sustained, mass uprisings of the destitute peasantry allied with the downwardly mobile lower middle class and growing legions of unemployed university-educated young people. The promise of a new era of agro-imperial empire building and a new wave of emerging imperial states may be short-lived. In its place we may see a new wave of rural-based national liberation movements and ferocious competition between new and old imperial states fighting over increasingly scarce financial and economic resources. While downwardly mobile workers and employees in the Western imperial centers gyrate between one and another imperial party (Democrat/Republican, Conservative/Labor) they will play no role for the foreseeable future. When and if they break loose…they may turn toward a demagogic nationalist right or toward a currently invisible (at least in the US and Europe) ‘patriotic nationalist’ socialist left. In either case, current imperial pillage and the subsequent mass rebellion will start elsewhere with or without a change in the US or Europe.
Posted on: Tue, 23 Jul 2013 08:28:09 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015