Peristiwa 17 Oktober 68 Tahun Lalu Teman-teman, Peristiwa 17 - TopicsExpress



          

Peristiwa 17 Oktober 68 Tahun Lalu Teman-teman, Peristiwa 17 Oktober 1952 lalu merupakan bagian dalam kejadian yang tak dapat dipisahkan dalam perbendaharaan sejarah Tentara Nasional Indonesia. Untu itu saya memposting kejadian ini dari cuplikan buku saya Mengindonesiakan Indonesia selama 2 hari berturut-turut. Semoga bermanfaat. Harry Kawilarang I Latar belakang permasalahan Dalam bukunya, Membuktikan Ketiddakbenaran Suatu Mitos,(terbitan Pustaka Sinar Harapan, 1991), Letnan-Jendral Tahi Bonar Simatupang menulis: “Menurut rencana Belanda maka KNIL kelak dipastikan menjadi tentara federal, dan unsur-unsur yang dapat mereka terima dari TNI dapat di jadikan bagian dari tentara federal itu. Rencana kita adalah kebalikannya. TNI harus menjadi inti dari tentara nasional untuk negara Indonesia Serikat itu dan KNIL di bubarkan dan unsur-unsur yang dapat kita terima dari KNIL itu menjadi bagian dari Tentara Nasional Indonesia Serikat. Itulah sebetulnya yang melalui keterlibatan saya yang pokok dalam perundingan-perundingan dan tentu dalam usaha-usaha yang berkaitan dengan perundingan itu, yaitu usaha-usaha untuk mempersiapkan Tentara Nasional Indonesia itu untuk menjadi faktor pendukung bagi perundingan itu sejak penandatanganan Persetujuan Linggajati sampai pengakuan kedaulatan sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949. ... Masalah ini sangat penting. Andaikata yang menjadi putusan di KMB adalah bahwa KNIL menjadi inti dari tentara nasional dalam negara Indonesia Serikat itu, maka tentu negara Indonesia Serikat itu ‘de facto’ akan menjadi Hindia-Belanda yang dibaharui. Negara Indonesia Serikat itu akan diperkuat dan dilanggengkan sifatnya sebagai negara federal, di mana kekuatan Belanda tetap sangat kuat. Sebetulnya waktu wakil-wakil dari Bijeenkomst Federal Overleg (BFO) menjelang KMB, menyetujui bahwa TNI menjadi inti dari angkatan perang Republik Indonesia Serikat (RIS) maka secara sadar atau tidak sadar mereka sebetulnya telah menanda-tangani ‘vonis mati’ bagi federalisme. Sebab, struktur federalisme itu di dukung kekuatan angkatan bersenjata Belanda, KL dan KNIL di daerah-daerah yang dikuasai oleh Belanda. Dengan keputusan bahwa TNI menjadi inti dari angkatan perang RIS, maka tentu KNIL akan hilang di daerah-daerah itu, dan hilangnya KNIL itu landasan dari struktur federal itu dengan sendirinya akan lenyap. Oleh sebab itu waktu pada suatu malam di negeri Belanda di salah satu Departemen Belanda, saya kira di Departemen Marine, diambil keputusan secara resmi KNIL akan di bubarkan walaupun dengan menggunakan istilah eufemisme, yakni KNIL akan direorganisasi, tetapi dengan ketentuan, bahwa: “Aan het eind van de reorganisatie periode houdt de KNIL op het bestaan,” maka malam itu adalah malam yang sangat penting bagi saya. Sebab malam itulah ditentukan jawaban yang definitif atas pertanyaan, yang menurut saya telah menjadi pertanyaan strategis bagi kita sejak Persetujuan Linggajati, yaitu siapa yang akan dibubarkan, TNI atau KNIL? Proses Integrasi Mewujudkan Tentara Tunggal Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) menjalankan konsolidasi tingkat awal, yang tak mudah, berat dan besar dalam usahanya untuk mengintegrasikan pasukan-pasukan bersenjata yang memiliki corak ideologi, keyakinan dan kebijakan sendiri-sendiri dan berbeda-beda. Walau begitu setelah TKR terbentuk, menurut Simatupang, “maka dengan sendirinya TKR merupakan organisasi bersenjata yang sentral dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Organisasinya bersifat lebih nasional daripada pasukan bersenjata yang telah ada sebelumnya, dan selain itu, juga memperoleh kualitas yang lebih tinggi, sebab dia dapat menarik kebanyakan dari bekas PETA dan bekas KNIL dalam barisannya, ditambah lagi dengan pemuda-pemuda yang ingin menggabungkan diri dalam TKR dan tidak dalam berbagai-bagai pasukan bersenjata. Dengan demikian dihadapi dua tugas, yaitu dalam jangka pendek bagaiimana caranya mengadakan koordinasi dan kerja-sama dengan pasukan-pasukan bersenjata itu dalam menghadapi pertempuran-pertempuran yang nyata, dan dalam jangka panjang bagaimana caranya mengintegrasikan pasukan-pasukan bersenjata itu bersama-sama dengan TKR dalam satu tentara tunggal. Sebab kita tak akan dapat menjalankan nation building, state building, apalagi army building dengan sebaik-baiknya apabila disamping tentara yang resmi ada bahkan banyak pasukan-pasukan bersenjata yang di samping mempunyai coraknya sendiri-sendiri juga menjalankan kebijakannya sendiri-sendiri. Contoh-contoh dari keadaan sekarang ini seperti di Libanon membuktikan bahwa apabila suatu negara tidak berhasil menciptakan tentara tunggal, maka hal itu akan menjadi sumber bagi instabilitas dan pertentangan yang tidak ada habis-habisnya. Untuk itu di perlukan diplomasi, persuasi dan kadang-kadang tindakan kekerasan, dan dalam hal ini bakat-bakat diplomasi Pak Dirman terhadap pimpinan dari berbagai-bagai pasukan bersenjata itu sangat menolong, sehingga sebelum serangan Belanda yang pertama pada tanggal 21 Juli 1947, secara resmi semua pasukan bersenjata telah di integrasikan bersama-sama dengan TKR dalam satu tentara tunggal, yang disebut Tentara Nasional Indonesia (TNI). Peristiwa ini mempunyai makna yang sangat penting bagi sejarah kita selanjutnya. Andaikata kita tidak berhasil untuk menciptakan tentara tunggal, maka keadaan dalam negeri tidak akan pernah dapat dikuasai. Dalam pada itu pelaksanaan dari keputusan yang telah diambil mengenai pembentukan tentara tunggal dengan sendirinya tidak berjalan selalu dengan lancar, tetapi keputusan iru sangat penting, sebab dengan demikian tidak ada lagi alternatif lain kecuali ikut membentuk tentara tunggal dan menghadapi rintangan-rintangan dalam pelaksanaannya sebaik-baiknya. Dalam hubungan dengan konsolidasi, maka pada suatu ketika diberikan panji-panji dan nama-nama kepada divisi-divisi yang ditetapkan setelah diadakan konsolidasi dengan divisi-divisi dan daerah-daerah yang bersangkutan. ... Yang menarik ialah, di antara nama yang dipilih itu, justru berasal dari jaman pra-Islam; misalnya Siliwangi, Brawijaya dan Ronggolawe. Memang pernah ada juga nama Sunan Gunung Jati, tetapi nama itu tidak lama bertahan, oleh karena divisi Cirebon ditiadakan dan di samping Siliwangi dan Brawijaya yang jelas berada dari jalam pra-Islam, bertahan juga nama Diponegoro untuk divisi Jawa Tengah dimana Pangeran Diponegoro menjalankan perjuangannya pada awal abad ke-19. Sebab rupanya di beberapa daerah nama-nama yang berasal dari pra-Islam itu seperti Siliwangi dan Brawijaya tetap merupakan nama-nama yang mampu membangkitkan imajinasi dan memberikan motivasi untuk berjuang dalam jaman modern kita ini. Dalam konsolidasi intern TKR, maka kerja-sama dan saling pengertian antara bekas PETA dan bekas KNIL sangat penting. Kerja-sama dan saling pengertian itu dilambangkan dengan pemilihan dan pengangkatan Pak Dirman sebagai Panglima dan Pa Oerip sebagai Kepala Staf. Lagi pula lambat laun timbul sikap yang saling menghargai dumbangan masing-masing di kalangan TKR di antara unsure-unsur yang mempunyai latar belakang yang berbeda-beda.” Posisi TNI di KMB Sebelum menuju Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Menteri Pertahanan Hamengku Buwono IX dan pucuk pimpinan TNI sudah mempersiapkan beberapa fase. Yang pertama, apabila perundingan gagal, pihak TNI bersiap-siap menjadi inti bagi angkatan bersenjata nasional dalam Negara Indonesia Serikat. Apabila pada suatu ketika tercapai persetujuan mengenai pengakuan kedaulatan dari Negara Indonesia Serikat itu. Fase-fase ini memerlukan reorganisasi-reorganisasi, dan tidak selalu mudah untuk mengkombinasikan ketiga aspek-aspek tadi, yaitu berunding, bersiap-siap perang dan bersiap-siap menjadi inti bagi angkatan bersenjata nasional dalam Negara Indonesia Serikat (NIS), sebab masing-masing mempunyai tuntutannya sendiri-sendiri. Oleh sebab itu reorganisasi-reorganisasi yang betul sering menimbulkan tantangan-tantangan dari berbagai pihak, namun sebagai keseluruhan dapat dikatakan bahwa rencana tadi berjalan cukup baik, sehingga waktu diadakan Konferensi Meja Bundar, diputuskan bahwa KNIL yang dibubarkan sedangkan TNI menjadi inti-sari bagi tentara nasional dalam Republik Indonesia Serikat (RIS). Dalam perundingan itu yang menjadi pedoman TNI, yang di wakili Kolonel T BSimatupang, dalam semua perundingan, juga memberi konsesi-konsesi. Walau begitu ada batas bagi konsesi itu, tak boleh diberikan konsesi yang pada dasarnya dapat menggerogoti kedudukan TNI. Sebab apabila diberikan konsesi yang merugikan TNI, maka apabila nanti lahir Negara Indonesia Serikat (NIS), TNI tidak lagi menjadi faktor dalam pembentukan angkatan bersenjata dan Negara Indonesia Serikat itu. Oleh sebab itu, TNI menolak tuntutan Belanda mengenai gendarmerie bersama, yaitu pembentukan pasukan keamanan bersama, yang juga akan bertugas di wilayah Republik. Apabila itu diterima posisi TNI akan menjadi sekunder. Sebelumnya penolakan Republik terhadap pengadaan gendarmerie juga menjadi salah satu sebab Belanda melancarkan Agresi Militer Pertama pada 21 Juli 1947. Waktu hendak di bentuk pemerintah federasi sementara, maka di banyak bidang tercatat persetujuan, tetapi tuntutan Belanda bahwa dalam waktu pemerintah federal sementara itu TNI praktis tidak berfungsi lagi, hingga Republik menolak, menyebabkan Belanda melaksanakan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948. Dengan demikian dalam perundingan di KMB, pihak Republik tetap konsisten menolak memberikan konsesi-konsesi yang akan merugikan integritas posisi TNI, bila perlu dengan menghadapi risiko serangan militer dari pihak Belanda. Dalam mempersiapkan perang, yang menjadi masalah bagi TNI, cara berperang bagaimana yang terbuka bagi TNI apabila Belanda menyerang dengan peralatan militer yang jauh lebih canggih dari peralatan TNI. Sejak semula disadari, TNI tidak dapat menjalankan peperangan frontal melawan Belanda, dan satu-satunya cara berperang yang terbuka bagi TNI ialah menghindarkan diri dari penghancuran dan membawa peperangan kepedalaman, di mana Belanda tidak mempunyai kesempatan untuk menggunakan peralatan yang lebih canggih dan dimana TNI berjuang di tengah-tengah rakyat yang militant, yang menjadi pendukung utama. Lambat laun cara berperang seperti itu, Belanda tidak memperoleh hasil apa-apa. Di satu pihak dia tak dapat menghancurkan pasukan-pasukan TNI, dan di lain pihak, ia tak dapat menguasai daerah, tetapi TNI tetap menguasai daerah itu melalui pemerintah sipil yang berjuang bersama-sama dengan TNI, dan TNI berjuang bersama-sama di tengah-tengah rakyat sehingga posisi pasukan Belanda walaupun meraih kemenangan-kemenangan taktis dimana-mana , tetap saja berada di awing-awang. Setelah TKR mulai dikonsolidasikan dan di ikut sertakan dalam perundingan-perundingan dan sementara itu bersiap-siap untuk berperang dan bersiap-siap untuk menjadi inti dari tentara nasional dalam Negara Indonesia Serikat, hingga KNIL pun bubar. Dalam pandangan Simatupang: “Bagi saya dalam negara Republik Indonesia Serikat harus ada satu tentara tunggal tanpa adanya tentara kedua sebagai bayangan. Itu berarti bahwa tentara tunggal itu adalah TNI ditambah dengan unsure-unsur dari KNIL yang dibubarkan yangsesuai dan cocok untuk dimasukkan dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat yang intinya adalah TNI. ... Kelihatannya sebagian dari kawan-kawan dari kubu federal kurang memahami implikasi dari putusan yang telah diambil bersama di Den Haag. Itu terbukti dari penolakan waktu TNI di kirim kebeberapa daerah, dan pertama-tama di Kalimantan Barat. Penolakan ini tidak dapat diterima oleh pucuk pimpinan TNI, sebab kalau penolakan itu diterima, maka secara ‘de facto’ akan ada dua Indonesia, satu di mana TNI berupakan tentara, dan yang lain, wilayah bekas federal dimana KNIL yang telah dijadikan TNI menjadi tentara. Oleh sebab itu TNI tetap berkeras mengirim pasukan ke Kalimantan Barat dan keseluruh wilayah Republik Indonesia Serikat. “ Pandangan Hatta terhadap Masalah Tentara Menghadapi masalah ketentaraan, Hatta amat berhati-hati menyikapi. Ia menghargai mereka yang berjuang selama revolusi, dan beberapa perwira tinggi muda, harus menerima beban dan tanggung jawab lebih besar dari umur, pengalaman, malah pengetahuan mereka, sangat ia hormati, sungguhpun perbedaan umur dan pengalaman memperlihatkan kejunioran para perwira tersebut. Ia juga mengakui hubungan dengan para pejuang bisa amat peka; segi psikologis perlu sekali diperhatikan. Sepulang dari penyerahan kedaulatan di Negeri Belanda, ia ke Yogyakarta untuk khusus menemui Panglima Besar Jendral Soedirman yang sedang sakit untuk menyerahkan obat yang dibawanya dari negeri kincir angin itu. Namun ia tidak bertemu, karena Soedirman sedang berada di Magelang. Dalam pesan singkat yang disampaikanpada 9 Januari 1950, ia mendoakan kesehatan Soedirman. Ketika Panglima akhinya tutup usia pada 29 Januari 1950, Hatta mengingatnya sebagai “seorang yang keras hati, tetap kemauan. Dalam melakukan kewajibannya, ia tak pernah mengingat dirinya sendiri, malah senantiasa berpedoman kepada cita-cita negara. Demikian hebat ia mementingkan kewajibannya, sehingga ia menyia-nyiakan kesehatannya.” Pada 29 Januari dalam pidato radio sehubungan dengan meninggalnya Jendral Soedirman, Hatta mengatakan: “Jarang kuketahui orang yang begitu keras hatinya dan begitu setia memenuhi kewajiban.” Hatta tidak melihat Soedirman sebagai militer yang disiplin buta. Soedirman, katanya, “Tidak segan-segan mengeluarkan pendapatnya terhadap politik yang dijalankan oleh pemerintah. Sering-sering orang menyangka bahwa ia seorang yang sukar dikendalikan, seorang yang ‘lastig’ (rewel). ... Soedirman adalah seorang yang keras hati yang suka membela pendiriannya dengan bersemangat. Tetapi apabila ‘pemerintah’ telah mengambil ‘keputusan,’ ia selalu taat dan menjalankan keputusan itu dengan sepenuh-penuh tenaganya... [ia] sangat ‘disipliner’ yang harus menjadi contoh teladan bagi tentara kita seluruhnya.” Agaknya Hatta mengingat dalam hubungan ini betapa ia pada bulan Juni 1948 menegur Jendral Soedirman karena memberi keterangan kepada pers tentang anjurannya mengenai mobilisasi umum serta pendapatnya bahwa TKR mesti bersikap ofensif. Sesuai dengan penilaian KTN yang mengkwatirkan kemungkinan keterangan tersebut bisa di cap agresif, Hatta mengatakan dalam suratnya kepada Soediman efek wawancaranya itu menyukarkan kedudukan pemerintah. Hatta mengingatkan janji Soedirman kepada Presiden bahwa ia (Soedirman) sebelum memberi keterangan keluar, lebih dahulu memufatkannya dengan Hatta agar sesuai dengan strategi politik. Hatta menutup obituarinya bulan Januari 1950 itu dengan mengutip ucapan Soedirman sendiri: “Tentara adalah alat negara. Tentara tidak berpolitik. Politik tentara ialah politik negara.” Soedirman memperoleh pangkat Jendral penuh oleh Mohammad Hata atas nama Presiden. Umumnya dalam soal-soal yang timbul dalam tentara, Hatta tidak turut menyelesaikannya secara langsung, juga tidak secara terbuka. Ia lebih membiarkan pimpinan angkatan dan Kementerian Pertahanan menyelesaikan hal ini; paling-paling ia hanya menyampaikan pendapat, nasehat, atau anjuran. Berbeda dengan Presiden Soekarno, ia tidak mau campur tangan dalam hal ini sebagaimana iapun tidak ingin pihak tentara campur tangan dalam politik secara langsung. Ambil contoh dalam hal penyelesaian Peristiwa 17 Oktober 1952 yang inistiatifnya di ambil oleh sebagian perwira, peristiwa pembangkangan pimpinan Angkatan Darat terhadap keputusan pemerintah mengangkat sebagai KSAD, ataupun peristiwa AURI di Cililitan pada tahun itu juga. Demonstrasi anti Parlemen Peristiwa 17 Oktober 1952 merupakan demonstrasi rakyat terhadap parlemen yang dinilai tidak bekerja baik. Belakangan diketahui, ternyata demonstrasi tersebut di gerakkan oleh pimpinan Angkatan Darat, dengan pelaku utamanya A H Nasution yang menyebabkan timbul sikap pro dan kontra dalam tubuh Angkatan Darat sendiri. (Herbert Feith: The Wilopo Cabinet (Cornell Univ, Ithaca 1960). Pembangkangan ini didasarkan pada penilaian bahwa pengangkatan tersebut bersifat politik, dan oleh sebab itu tidak sesuai dengan kesepakatan angkatan mengenai kecakapan dan senioritas). Sementara Peristiwa Cililitan adalah penolakan sebagian kalangan AURI terhadap pengangkatan perwira menengah sebagai wakil KSAU pada waktu upacara pelantikan perwira tersebut. Ternyata pada peristiwa itu KSAU Suriadarma sendiri terlibat dalam pembangkangan tersebut. Soekarno lebih banyak berada di belakang dengan menyerahkan penyelesaiannya pada pemerintah/pimpinan angkatan. Kedudukan konstitusionalnya memang mengikatnya pula. Hatta memang mempunyai pendapat dalam penyelesaian peristiwa-peristiwa tersebut, tetapi ia sangat berbeda dengan Soekarno yang masih menginginkan berbicara dengan Suriadarma, padahal KSAU terlibat. Ini merupakan salah satu mata rantai perpecahan Soekarno-Hatta. Politisi mencampuri urusan militer Dalam rangka menyempurnakan angkatan perang, pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo I, Hatta mengingatkan bahwa suatu undang-undang hanya dapat diubah dengan undang-undang lain. Dalam surat kepada kabinet tanggal 12 Oktober 1953 ia menunjuk pada keputusan kabinet yang pada 30 September 1953 menerima suatu “peraturan fundamental” dalam undang-undang yang berasal dari tahun 1948 mengenai susunan Kementerian. Keputusan tersebut didasarkan pada rancangan Menteri Pertahanan (Iwa Koesoemasoemantri) yang menurut penilaian Hatta merusak organisasi kementerian. Ia mengingatkan bahwa undang-undang semula memisahkan tugas antara kebijaksanaan militer (military policy) yang berada di tangan menteri, dan teknis strategi militer dipercayakan pada Gabungan Kepala Staf (GKS) sebagai alat pemerintah. Hal ini, tegas Hatta, untuk menjaga agar angkatan perang jangan terseret dalam pertarungan politik. Dengan peraturan pemerintah yang berdasar keputusan kabinet itu, menurut Hatta, menteri pertahanan berada di atas Ketua GKS disertai beberapa pegawai kementerian yang bukan militer untuk menangani segi-segi teknis militer strategi. Ini berarti tindakan politik menteri bisa dibebankan kepada kepala-kepala staf angkatan, dan akibatnya, politikpun dimasukkan menteri ke dalam angkatan perang. Padahal, tegas Hatta lagi, maksud peraturan Iwa itu adalah untuk melepas ketua Gabungan Kepala Staf (yang ketika itu di pegang oleh T B Simatupang). Ini merupakan “jalan tidak elegant,” katanya, “karena kekurangan keberanian moril (pada kabinet) untuk melepasnya begitu saja. ... Ini berarti untuk mengeluarkan orang dari sebuah kamar yang di dudukinya, seluruh rumah dibakar!” (Surat Hatta kepada Kabinet, 12 Oktober 1953). Hatta mengemuklakan bahwa sebenarnya ada usul lain yang bisa dijalankan, yaitu, ketua GKS digantikan antara kepala-kepala staf berbagai angkatan (darat, laut, udara) untuk setahun, seperti yang hidup dalam tradisi Inggris. Ia sendiri meninginkan sistem di Amerika, dimana koordinasi antara staf-staf bersangkutan di pegang orang ke empat. Alternatif ini berdasarkan prinsip-prinsip koordinasi dan manajemen yang tidak menyukai bila koordinasi dipegang secara rangkap oleh anggota yang berada di bawahnya. Pembagian kerja yang bersifat fungsional itu, katanya, tidak sesuai dengan sistem begitu. Alasan lain bagi Hatta untuk berpegang pada sistem GKS dengan ketua khusus itu ialah untuk mendapatkan tenaga baru, karena lama jabatan ketua GKS dan para kepala staf di batasi hingga umpamanya empat tahun, tanpa bisa dipilih untuk kedua kalinya. Kecuali setelah selang empat tahun lagi. “Itu sebabnya, dalam tahun 1948 jumlah jendral dibatasi tiga orang, dan yang lain Kolonel. Ketua GKS diberi pangkat acting Mayor Jendral; kalau tidak, ia tidak dapat kembali memegang komando angkatan. Contohnya, Laksamana Mountbatten yang setelah Perang Dunia II berakhir, turun dua pangkat sekaligus daripada ketika ia menjadi Panglima Besar tentara gabungan daerah India-Burma.” Kepada Kabinet Ali I, Hatta juga mengirim surat kepada Wakil Perdana Menteri I Wongsonegoro tentang hal yang sama. Karena menurut Wongsonegoro, dalam wawancaranya kepada Kantor Berita PIA tanggal 14 Oktober 1953 bahwa PP tersebut (PP No. 35/1953) tentang Komposisi dan Struktur Kementerian Pertahanan) tidak bertentangan dengan Undang-Undang No.3 1948 itu. Alasan Wongsonegoro undang-undang itu berlaku hanya untuk RI (Yogyakarta). Dalam tanggapannya, Hatta mengingatkan Wongsonegoro RI (Yogyakarta) resmi meliputi seluruh wilayah Indonesia. Karena menurut persetujuan RIS-RI tahun 1950, bila undang-undang RI (Yogyakarta) terdapat undang-undang federal, maka yang berlaku untuk RI (1950) adalah undang-undang RI (1945). Pendapat Hatta tidak digubris kabinet yang di Parlemen juga menghadapi tantangan dari oposisi. Tetapi surat menyurat Hatta tentang hal ini memperlihatkan betapa ia peka terhadap hal-hal yang akan merusak citra tentara. Sungguhpun Hatta tidak menyukai tentara turut berpolitik, namun keinginan tertentu dari pihak tentara dalam hal politik pernah juga ia sampaikan, antara lain tentang keinginan pimpinan Angkatan Darat tahun 1952 mengenai calon Menteri Pertahanan. Kepada formatur Prawoto Mangkusasmito (Masjumi) dan Sidik Djojosoekarto (PNI) yang memimpin tugas menyusun kabinet setelah jatuhnya Kabinet Sukiman, ia kirim surat mengatakan bahwa pimpinan Angkatan Darat menginginkan seorang Menteri Pertahanan “yang mempunyai tugas-kerja (daadkracht) dan perhatian yang penuh pada tugasnya ... dan pula seorang yang dapat disegani oleh tentara seluruhnya agar ia mempunyai gezag (wibawa) ke bawah.” Menurut surat Hatta itu, angkatan perang tidak mempunyai calon “spesial.” Tetapi Hatta menyebut bahwa nama-nama Hamengku Buwono, Sjafruddin Prawiranegara, Assaat dan Prawoto termasuk yang bisa dikategorikan ke dalam harapan itu. Hanya ia tambahkan bahwa pihak angkatan perang merasa betapa pentingnya Sjarifuddin terus memimpin Bank Indonesia. Oleh karena ada pula satu partai politik yang mendekati seorang perwira tinggi untuk jabatan Menteri Pertahanan itu, Hatta mengingatkan agar tentara jangan di tarik ke dalam politik. Malah, kata Hatta, angkatan perang tidak menginginkan anggotanya di ambil untuk jabatan menteri tersebut. Perluasan Peranan Politik Tentara Sejak lahirnya, TNI telah menempatkan posisinya baik sebagai kekuatan militer maupun kekuatan politik; dalam sebagian besar dari sejarahnya, tentara telah memainkan peranan yang sangat penting. Menurut Harold Crouch, pada bukunya, Militer dan Politik di Indonesia (1986), berpendapat, selama beberapa tahun setelah kemerdekaan, tentara menganggap dirinya sebagai “pelindung,” namun di kemudian hari lebih menegaskan haknya untuk berperan secara tetap dalam kehidupan politik. Orientasi para pemimpin korps menyebabkan anggota-anggotanya menerima secara terbuka gagasan untuk aktif mengambil bagian dalam permasalahan kenegaraan, tetapi hal itu juga mengakibatkan lemahnya struktur hirarkhi serta mengharahkan itu ke suatu kancah persaingan yang tajam diantara kelompok-kelompok para komandan yang membatasi kekurangefektifan tentara sebagai suatu kekuatan politik. Sadar akan kekuranglekatan internal diantara mereka, para pemimpin tentara lalu merasa terhalangi untuk mengambil inisiatif agar dapat memperluas peran politik mereka. Kegiatan kelompok-kelompok dalam tubuh tentara sendiri, bagaimanapun, telah menimbulkan serentetan krisis nasional yang menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan para perwira tentara mendapatkan kekuasaan yang lebih luas. Perluasan peran politik tentara itu telah berkembang secara bertahap dan hampur kurang hati-hati, seperti halnya kelemahan pada sistem-sistem suksesi politik yang telah memuka kesempatan bagi para pemimpin tentara untuk memanfaatkannya. Meskipun pengalaman-pengalaman para perwira tentara selama masa revolusi cenderung menghasilkan suatu sikap yang rata-rata senada dalam menjawab persoalan tertentu, namun keadaan dalam tubuh tentara sendiri tidak menggambarkan tentara sebagai kekuatan politik yang terpadu. Terlepas bahwa mereka direkrut dan dilatih oleh Jepang, yang sering mempunyai simpati politik tersendiri, banyak dari antara pejuang gerilya masuk tentara sebagai perseorangan. Tetapi kemudian dimasukkan secara keseluruhan ke dalam berbagai organisasi pemuda yang merupakan afiliasi partai-partai tertentu yang lalu membentuk kesatuan-kesatuan laskar mereka sendiri. Oleh karena itu, banyak kesatuan yang memiliki kesetiaan politik ekstra-militer dan banyak pula prajurit yang lebih setia kepada komandan kesatuan mereka daripada organisasi tentara secara keseluruhan. Hal seperti itu dapat menimbulkan ketegangan-keteganfan yang sering terjadi di antara kelompok-kelompok politik sipil yang dicerminkan dalam tubuh tentara, yang menyebabkan terlibatnya kesatuan-kesatuan militer dari kedua belah pihak sebagaimana yang telah terjado dalam kepentingan “Peristiwa Tiga Juli” dan juga “Peristiwa Madiun” tahun 1948. Meskipun peristiwa Madiun dan konflik dengan laskar Muslim yang mendukung Daroel Islam telah memampukan tentara untuk menyadari ke-ekstriman ideologi mereka itu, namun tentara tetap terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok di dasari oleh kesetiaan pribadi, kedaerahan, divisi dan politik. Kenyataan penting, seluruh perwira muda yang telah menduduki posisi-posisi senior dalam ketentaraan rata-rata berada dalam usia yang sama, dan juga kurang lebih memiliki pengakuan yang sama terhadap Jendral Soedirman, yang menjadi panglima besar dalam masa revolusi dan meninggal pada 29 Januari 1950, sebulan setelah penyerahan kedaulatan. Di samping orientasi politiknya dan juga karena ketidakpercayaan kaum politisi terhadap banyak perwira di masa revolusi, tentara menerima peranan yang lebih rendah seperti yang ditentukan oleh konstitusi parlementer pada 1950. Kepemimpinan di kalangan tentara telah di ambil alih oleh sekelompok kecil “Tehnokrat militer,” kebanyakan mereka adalah lulusan akademi militer Belanda di zaman sebelum perang serta memiliki kemampuan teknis menjadikan mereka perwira-perwira terlatih. Beberapa dari kalangan teknokrat ini mengambil sikap untuk tidak terlibat langsung dalam kegiatan politik dan memusatkan perhatian untuk membina tentara sebagai kekuatan militer yang terpadu dan efektif. Rata-rata mereka masih sangat muda (pada 1950 Kepala Staf Angkatan Darat, Kolonel Nasution berusia 31 tahun, dan Kepala Staf Angkatan Perang, Kolonel T B Simatupang berusia 30 tahun), dan mungkin karena belum memiliki kepercayaan terhadap kemampuan diri sendiri untuk menghadapi masalah-masalah pemerintahan yang pelik, para pemimpin militer telah menyerahkan sepenuhnya pemerintahan negara ke tangan pemimpin politik yang lebih tua, yang memiliki pendidikan yang lebih baik, yang sebagai politisi lebih mempunyai pengalaman di bidangnya. Mereka menyadari bukanlah wakil dari korps perwira secara keseluruhan serta tidak memegang mandat untuk mengambil langkah-langkah di bidang politik atas nama seluruh perwira. Bagaimanapun, angkatan bersenjata lebih merupakan suatu persekutuan dari satuan-satuan tempur yang bersifat lokal, daripada bentuk kekuatan militer yang terintegrasi. Para komandan unit sering hanya memiliki sedikit saja kesesuaian dengan para pemimpin angkatan bersenjata di Jakarta. Mereka sama sekali tidak mendapat jaminan dalam mendukung inisiatif politik yang di putuskan atas nama mereka. Tidak hanya program politik yang seragam mengakibatkan tiadanya pilihan lain bagi angkatan bersenjata kecuali menerima peranan bawahan yang secara formal bersifat non-politik. Penerimaan prinsip mengenai keunggulan kaum sipil dalam politik di kalangan tentara, bagaimanapun, tidak berarti para perwira “non-professional” yang memegang komando atas pasukan-pasuikan di berbagai daerah telah membuang anggapan mereka bahwa sumbangan tentara di masa revolusi telah memberikan hak kepada mereka untuk meneruskan peran politik di masa sekarang, yaitu setelah kemerdekaan dimenangkan. Pemahaman tentara tentang dirinya sebagai kekuatan non-politik tidak berlangsung lama dan segera ditarik kembali ke arena politik, bukan terutama karena ambisi politik para perwira atau karena pandangan dangkal para politisi, tetapi semata-mata karena keadaan politik memang telah runyam yang telah menghasilkan suatu struktur kekuasaan yang tidak menentu, sehingga tak mungkin membiarkan tentara memencilkan diri dari kancah kehidupan politik. Pemerintahan demi pemerintahan berturut-turut terbentuk dari koalisi-koalisi yang rapuh yang selalu berada di bawah serangan parlemen, sementara kelompok yang menguasai markas besar Angkatan Darat tidak mampu menegakkan kewibawaannya terhadap saingan-saingan mereka di daerah-daerah. Dalam keadaan semacam ini maka yang dapat di harapkan adalah bahwa persaingan antar-kelompok di kalangan tentara akan dilibatkan kedalam pertentangan antara pemerintah dan oposisi di parlemen, dan masing-masing mencari sekutunya sendiri. Jalan Menuju Peristiwa 17 Oktober 1952 Pada 11 Oktober 1952 di Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) berlangsung rapat yang menghadiri KSAD dan para Panglima se-Indonesia. Dalam rapat hadir juga beberapa perwira SUAD dan KSAP Mayor Jendral T B Simatupang. Rapat SUAD itu membahas berbagai persoalan yang dihadapi Angkatan Darat dalam Rencana Pembangunan Angkatan Darat, terlebih-lebih tentang perkembangan yang terjadi dalam waktu belakangan, khususnya mengenai berbagai kritikan dan serangan yang dikemukakan baik oleh kalangan Angkatan Darat sendiri maupun yang datang dari luar, seperti dari kalangan anggota Parlemen Sementara. Beberapa dari serangan anggota Parlemen tersebut di nilai kurang wajar dan menyakitkan hati serta tak pantas dikemukakan. Bebasa Daeng Lalo dari Partai Rakyat Nasional (PRN), misalnya menuduh Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX sebagai tidak nasionalis dan pro-Belanda. Suatu tuduhan yang bertentangan dengan apa yang dilakukannya sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia. Pada rapat itu, Kolonel Simbolon pada buku, Kolonel Maludin Simbolon: Liku-liku Perjuangannya Dalam Pembangunan Bangsa (1996) menilai terdapat semacam upaya berencana untuk menyerang dan menjatuhkan pimpinan Angkatan Perang dan Angkatan Darat. Menteri Pertahanan tak luput dari sasaran kecaman hingga sampai pula di sidang Kabinet. Kesan dari Simbolon itu disimpulkannya dari rentetan kejadian dan perkembangan dari apa yang berlangsung di sekitar pimpinan Angkatan Perang, Angkatan Darat dan Kementerian Pertahanan. Tuduhan Bebasa Daeng Lalo dikeluarkan pada 8 Oktober 1952. Sebelumnya, pada 23 September, suatu mosi yang diajukan oleh Zainul Baharuddin menyatakan ketidak-percayaannya terhadap kebijaksanaan Menteri Pertahanan dalam menyelesaikan pertentangan dalam Angkatan Perang. Mosi yang di dukung oleh Partai Murba, Partai Buruh dan PRN itu kemudian disempurnakan lagi dengan menambahkan tuntutan diadakannya perombakan dan reorganisasi kepemimpinan Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang. Tersusunnya undang-undang pertahanan nasional dan pembentukan komisi khusus parlemen untuk menyelidiki penyelewengan administrasi dan keuangan dilingkungan Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang. Mosi Baharuddin disusul dengan mosi I J Kasimo. Melihat isinya mosi yang kedua itu dimaksudkan oleh sebagian anggota Parlemen untuk menandingi mosi yang pertama. Kemudian menyusul mosi yang ketiga yang diajukan oleh Manai Sophian dari PNI yang di dukung oleh PSII dan Nahdatul Ulama (NU). Pada 16 Oktober 1952, di Parlemen melakukan pemungutan suara yang menolak mosi Zainul Baharuddin dan menerima mosi Manai Sophian. Untuk mosi Kasimo tidak dilakukan pemungutan suara, karena sudah terlebih dahulu menerima mosi Manai Sophian. Mosi Manai mirip dengan mosi Kasiomo, yaitu mengusulkan pembentukan Komisi Negara yang akan mengumpulkan bahan dan mempelajari segala sesuatu dalam rangka mengumpulkan bahan dan mempelajari segala sesuatu dalam rangka kemungkinan perbaikan struktur Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang serta mengakhiri secepatnya bantuan Misi Militer Belanda. Mosi Manai Sophian menambahkan agar Komisi juga bertugas melaporkan kemungkinan memperbaiki kepemimpinan dan organisasi Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang. Artinya kemungkinan pemberhentian pimpinan puncak. Suara-suara dan mosi dari para anggota Parlemen yang dua pertiga anggota-anggotanya berasal dari negara-negara federal ciptaan Van Mook yang oleh beberapa kalangan perwira dianggap sebagai pengatur mereka. Suara dan mosi itu menjadi pokok pembahasan dalam rapat di SUAD pada hari terjadinya Peristiwa 17 Oktober. Ada kalanya suara rapat menjadi pansa dan ada suara-suara yang mengusulkan agar Parlemen Sementara dibubarkan saja. Suasana panas dan keras ini timbul tatkala di singgung tuduhan yang dirasa tak wajar dan meragukan jiwa kebangsaan, rasa cinta tanah air dan kesetiaan Sultan Hamengku Buwono IX kepada Negara Republik Indonesia. Namun demikian dalam rapat merumuskan usul yang akan disampaikan kepada Presiden, yang bukan tuntutan atau ultimatum. Jendral T B Simatupang menegaskan agar jangan ada seorangpun yang berpikiran untuk melakukan perebutan kekuasaan dengan kata-kata singkatnya dalam bahasa Belanda, “Mijne Heeren, geen coup!” (tuan-tuan, jangan ada kudeta!) Usul yang resminya disebut Pernyataan Pimpinan Angkatan Darat itu terdiri dari tujuh butir yang dikelompokkan menjadi dua, (1) keluh kesah para perwira mengenai keadaan nasional dan keadaan Angkatan Darat, termasuk campur tangan politisi; (2) mengenai permohonan agar Presiden mempergunakan wewenangnya sesuai dengan konstitusi membubarkan Parlemen Sementara dan menggantinya dengan Parlemen hasil Pemilihan Umum. Parlemen Sementara mereka lihat adalah sumber semua ketegangan dan pertentangan politik. Itulah isi dari usul yang diserahkan oleh Letkol Sutoko kepada Presiden ketika KSAP, KSAD, para Panglima dan beberapa perwira senior lainnya menghadap Presiden di Istana Merdeka dan mengadakan pembicaraan selama lebih dari satu jam. Dalam pembicaraan itu hadir pula Wakil Presiden Hatta, Perdana Menteri Wilopo, Sekretaris Kabinet, A K Pringgodigdo dan Pejabat Ketua Parlemen A M Tambunan. Selain Letkol Sutoko, berbicara pula Kolonel Maludin Simbolon dan Kolonel Alex Kawilarang. Simbolon memohon agara Presiden dapat mencegah campur tangan orang-orang politik dalam pelaksanaan kebijaksanaan dalam Angkatan Darat dengan mengatakan: “Angkatan Darat tidak mau di dikte oleh suatu Parlemen yang dua-pertiga dari anggotanya pernah bekerja sama dengan Belanda swaktu Perang Kemerdekaan.” Sementara Kolonel Kawilarang menambahkan, bahwa sulit mengendalikan keadaan di daerahnya, kalau rongrongan dan provokasi tidak di hentikan dan terus menerus dilakukan. Setelah Letkol Sutoko menyerahkan usul itu, Presiden Soekarno menyambutnya dengan mengatakan, bahwa ia tidak dapat memenuhi tuntutan membubarkan Parlemen Sementara, karena melihat hal itu pelanggaran Konstitusi. Setelah memperoleh jawaban Presiden itu, para perwira meninggalkan istana, hingga tujuan membubarkan Parlemen Sementara gagal. Dalam tubuh Angkatan Darat timbul perpecahan di kalangan perwira menengah menjadi dua kelompok mengenai Rencana Pembangunan Angkatan Darat. Dalam kelompok yang mendukung termasuk Mayor Jendral T B Simatupang, Kolonel A H Nasution, semua Panglima Tentara dan Teritorium, dan perwira di SUAD, seperti Letkol Sutoko, Letkol Azis Saleh dan komandan CPM, Letkol Suparman yang dikenal dengan sebutan “Blok SUAD.” Kelompok yang menolak rencana tersebut, terdiri dari Kolonel Bambang Supeno dan Kolonel Zulkifli Lubis disebut “Blok Supeno-Lubis.” Masalah Rencana Pembangunan Angkatan Darat Rencana pembangunan Angkatan Darat itu memuat apa yang hendak dikerjakan untuk membina Angkatan Darat menjadi tentara yang berdisiplin, maju dan kuat, menjadi suatu angkatan darat modern yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Dalam upaya menuju angkatan darat seperti itu pertama sekali yang harus dibina adalah kualitas personilnya. Keadaan yang ada sudah berbeda dengan keadaan seaktu Perang Kemerdekaan yang mengutamakan perang gerilya. Doktrin juang TNI harus tetap diperlihara dan di tingkatkan, tetapi harus diiringi dengan kemapuan teknis kemiliteran, suatu kemampuan tentara professional.’ Rencana yang disusun oleh pimpinan Angkatan Perang dan SUAD tersebut tidak disetujui oleh “Blok Supeno-Lubis.” Mereka mencurigai rencana itu sebagai jalan untuk singkirkan para perwira didikan Jepang, yang belum setara dengan pendidikan militer di zaman Belanda dulu. Kebetulan Jendral Simatupang, Kolonel A H Nasution dan Kolonel Kawilarang yang sedang menempati jabatan pimpinan dalam Angkatan Perang, khususnya Angkatan Darat adalah tamatan dari Akademi Militer (Darurat) di Bandung sebelum Perang Pasifik. Kecurigaan akan adanya maksud menyingkirkan itu diperbesar oleh adanya tiga criteria sebagai tolok ukur penyaringan dalam menentukan dapat-tidaknya seseorang terus dalam dinas ketentaraan. Ketiga kriteria itu ialah tingkat pendidikan, keadaan kesehatan dan usia. Kalau ketiga criteria itu diberlakukan, bahagian terbesar dari perwira non-Akademi militer, yaitu perwira Heiho, Peta atau Giyugun akan memasuki masa pensiun. Dengan demikian kekhwatiran dan kecurigaan mereka itu dapat dimengerti. Mereka kemudian menuduh Blok SUAD berusaha mengembalikan pengaruh Barat ke dalam tubuh Angkatan Darat dengan mengabaikan nasionalisme dan patriotisme, dan menggantinya dengan “disiplin, maju dan kuat,” menciptakan tentara professional, dan mengubah prajurit pejuang menjadi tentara gajian. Kecurigaan mengenai profesionalisasi itu sebenarnya mempunyai dasar juga, pendapat Simbolon. Karena Lembaga pendidikan Angkatan Darat Chandradimuka di Bandung yang tadinya dipimpin Kolonel Bambang Supeno dihentikan. Lembaga pendidikan itu dibentuk dengan maksud untuk menyegarkan semangat juang perwira Angkatan Darat. Kebetulan kebanyakan pimpinan dan yang terlibat dalam Lembaga itu berasal dari bekas Peta. Presiden sendiri terkejut mendengar penutupan Lembaga Chandradimuka itu. Pada pihak lain direncanakan akan memakai Misi Militer Belanda dalam pendidikan peningkatan kualitas yang direncanakan itu, sedang waktu itu semangat anti-Belanda masih besar. Di kalangan bawahan, yaitu bintara dan tamtama, juga timbul kekhwatiran. Mereka khwatir terutama sekali karena melihat ketidak-pastian adanya lapangan hidup yang sesuai dengan kemampuan di luar ketentaraan. Kebanyakan para bintara dan tamtama itu tidak mempunyai pengetahuan yang cukup dan tidak mempunyai kemampuan lain selain menjadi tentara. Pendidikan yang rendah dan telah terbentuknya mereka berkehidupan sebagai tentara sejak Perang Kemerdekaan menambah sulit mereka hidup di luar ketentaraan. Melihat keadaan mereka, sulit bagi mereka unruk menjadi pelopor dalam perang dan pelopor dalam damai. Bagi yang mau pulang tak jarang pula keadaan di kampung asalnya tidak mendukung. Sempitnya lahan kerja pertanian dan kurangnya lapangan kerja hingga sulit menampung mereka. Kolonel Simbolon melihat dan memahami semua kekhwatiran tersebut. Dia sendiri sebagai seorang bekas perwira Giyugun dengan jelas dan pasti mengetahui titik berat pendidikan militer yang mereka terima, kurang dalam hal-hal pengetahuan teknis kemiliteran, tetapi tertempa dalam semangat juang yang tinggi. Namun dia memahami dan dapat menerima Rencana Pembangunan untuk meningkatkan kualitas personil. Dia mempunyai pandangan yang sama dengan pimpinan Angkatan Perang dan Angkatan Darat mengenai keharusan mengusahakan agar Angkatan Perang dapat disetarakan dengan angkatan perang negara-negara lain yang sudah maju. Lebih dari itu, dia sendiri dapat memanfaatkan dengan sebaik-baiknya tenaga dari Misi Militer Belanda untuk meningkatkan mutu personal di daerah komandonya. Dengan bantuan Misi Militer itu dibentuk sebuah pendidikan Sekolah Kader Infantri (SKI) di Sipinggol-pinggol (Pematang Siantar). Demikian pula telah dijalankannya rencana pengurangan personal seperti yang digariskan pimpinan Angkatan Darat. Namun untuk mencegah terjadinya masalah sosial dan keamanan, anggota yang di pension atau yang meminta pension tidak dilepaskan begitu saja. Dia mengetahui, bahwa mereka akan mengalami kesulitan hidup apabila dilepaskan begitu saja. Oleh karena itu mereka dikumpulkan dalam Batalyon Subsistensi dan disediakan tempat penampungan berupa sebuah kompleks asrama di Kebun Lada (Binjai). Mereka dan keluarganya tinggal di asrama tanpa perlu membayar sewa rumah, air dan listrik. Mereka memang tidak memperoleh gaji, kecuali uang tunjangan pension, namun mempunyai kemungkinan dan kesempatan berusaha sendiri memperoleh tambahan pendapatan. Soekarno tidak menyenangi argumentasi Simatupang mengenai pergantian KSAD. Pernah di suatu waktu, Letkol Bahrun menemui Panglima Kepala Staf Angkatan Perang, Kolonel T B Simatupang. Bahrun mengatakan bahwa ia telah didatangi Kolonel Bambang Supeno yang setelah mengulangi keluhan-keluhan mengenai milisi militer Belanda dan keluhan lain, memberitahukan bahwa untuk menghentikannya maka yang pertama-tama menjadi sasaran adalah mengganti Kepala Staf Angkatan Darat, Kolonel A H Nasution. Menurut keterangan yang diberikan Kolonel Bambang Supeno kepada Letkol Bahrun, maka Presiden telah menyetujui rencana itu, tinggal sekarang mengumpulkan tanda tangan para panglima yang menyatakan bahwa mereka menghendaki agar Kolonel Nasution diganti sebagai KSAD. Penjelasan ini Letkol Bahrun bagi Simatupang laksana petir di siang bolong. Karena bila ini terjadi dengan tiba-tiba akan menyulitkan bagi pelaksanaan profesionalisasi dan modernisasi TNI yang telah dapat di atasi dan proses itu telah berjalan secara sistematis. Tetapi sekarang, sekonyong-konyong ada berita bahwa Presiden sendiri terlibat dalam upaya untuk menghambat proses tersebut. Untuk itu Kolonel Simatupang melaporkan dalam suatu pertemuan kepada Menteri Pertahanan, KSAP dan dan KSAD yang khusus membahas mengenai laporan yang diperoleh Simatupang dari Letkol Bahrun. Di samping terkejut, semuanya sangat marah kepada Presiden Soekarno yang melakukan perbuatan tidak menurut aturan konstitusional. Sebelumnya disepakati untuk membiarkan masalahnya mengendap dahulu beberapa jam atau satu hari. Tetapi pada waktu itu reaksi dari semua yang hadir pada pertemuan itu yang dengan spontan adalah bahwa mereka harus segera menemui Presiden. Simatupang kemudian menilpon istana Presiden dengan permintaan agar Presiden kiranya dapat segera menerima Menteri Pertahanan, KSAP dan KSAD yang khusus mendengar laporan dari Simatupang. Permintaan itu dipenuhi dan mereka[un segera berangkat ke Istana. Maka terjadilah percakapan yang kemudian berjalan sangat dramatis. Setelah diterima Presiden, mereka duduk dan memulai percakapan. Menteri Pertahanan memulai pembicaraan (dalam bahasa Belanda): “Wij komen om te vragen, wat wil de Panglima Tertinggi eigenlijk! (Kami datang untuk bertanya, apakah sebetulnya yang dikehendaki oleh Panglima Tertinggi!). Presiden Soekarno agak terkejut mendengar kalimat pembukaan pada awal percakapan. Melihat gejala tidak baik itu, Simatupang langsung ambil alih pembicaraan. Pada bukunya, Membuktikan Ketidakbenaran suatu Mitos (1991), Simatupang mengungkapkan: “Sejak itu pembicaraan adalah antara Presiden dengan saya. Menteri Pertahanan dan KSAD hampir tidak mengambil bagian dalam percakapan itu. Saya mulai dengan menjelaskan bahwa kami datang oleh karena kami memperoleh laporan dari Letkol Bahrun mengenai kedatangan Kolonel Bambang Supeno kepada Letkol Bahrun dan mungkin juga kepada panglima-panglima yang lain, yang memberitahukan bahwa dia telah bertemu dengan Presiden. Sebagai hasil pembicaraan antara Kolonel Bambang Supeno dengan dengan Presiden, maka Kolonel Bambang Supeno mendatangi Letkol Bahrun dan mungkin juga panglima-panglia lain dengan keterangan bahwa Presiden telah menyetujui bahwa KSAD Kolonel A H Nasution akan diganti asal saja panglima-panglima bersedia untuk menandatangani pernyataan bahwa mereka sunguh-sungguh menghendaki penggantian Kepala Staf Angkatan Darat. Saya bertanya kepada Presiden, apakah memang benar bahwa Kolonel Bambang Supeno telah datang dengan usul itu dengan mengemukakan banyak alasan-alasan, yaitu bahwa dikalangan para panglima telah terdapat tekad yang luas yang menghendaki pergantian Kepala Staf Angkatan Darat. Saya bertanya kepada Presiden, apa yang dikatakan Presiden berhubung dengan persoalan Bambang Supeno itu. Presiden berkata dengan bahasa Belanda: “Als het zo is, laat het kenbaar maken.” (Apabila itu benar, maka supaya hal itu dinayatakan). Secara spontan saya memberikan reaksi, bahwa hal ini Presiden telah menjalankan kesalahan besar dan sangat mendasar. Saya berkata bahwa apabila menjadai kebiasaan bahwa seorang Kepala Staf Angkatan Darat dapat begitu saja diganti dengan mengumpulkan tanda tangan diantara pada panglima, maka hal yang sama dapat terjadi dengan para panglima dengan mengumpulkan tanda tangan di antara para komandan resimen dan seterusnya. Saya berkata bahwa dengan demikian tidak akan dapat lagi dibangun suatu tentara yang baik. Saya berkata bahwa dengan dmikian tidak akan dapat lagi dibangun suatu tentara yang baik. Saya berkata bahwa dengan demikian akan muncul panglima-panglima dan kepala staf –kepala staf yang begitu takut akan kedudukannya, sehingga mereka akan melindungi dirinya dengan menunjukkan loyalitas mutlak kepada Presiden sendiri. Dan dengan demikian dengan cara itu tidak dapat lagi berasumsi dalam rangka kehidupan bangsa dan negara sebagai tentara yang professional yang menjalankan tugas-tugas secara obyektif dan rasional demi kepentingan bangsa, masyarakat dan negara. Kemudian saya nyatakan, selama saya Kepala Staf Angkatan Perang, saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Kemudian saya memberikan uraian yang cukup panjang mengenai apa yang disebut obsesi saya mengenai posisi TNI dalam suatu negara yang kedaulatannya telah diakui sebagai hasil perang kemerdekaan yang berbentuk perang rakyat. Yang saya tekankan ialah bahwa bahaya apabila suatu tentara yang telah lahir dalam perang rakyat tidak segera mengalami profesionalisme dan modernisasi setelah peperangan selesai, maka peranan tentara itu akan dapat menjadi sumber intsabilitas yang terus menerus seperti di Amerika Latin. Bahkan juga seperti yang terjadi di daratan Cina, maka tentara itu tidak dapat menguasai dirinya, sehingga kemudian di infiltrasi oleh berbagai kekuatan. Itulah yang menyebabkan bahwa di daratan Cina pada suatu waktu Kuo- Mintang di kalahkan oleh Kung-Changtang dan bahwa San Min Chui telah diganti dengan komunisme. Menurut keyakinan saya apabila kita tak segera melaksanakan profesionalisme dan modernisasi TNI dengan tetap memelihara kesetiaan yang mutlak terhadap Pancasila dan tetap menjunjung tinggi jiwa dan semangat perjuangan, maka pada suatu ketika dapat timbul di Indonesia keadaan seperti di Amerika Latin, dan hal yang lebih parah lagi dapat nanti terjadi bahwa partai komunis merebut kekuasaan dab bahwa Pancsila diganti dengan komunisme. ... Oleh sebab itu saya tegaskan sekali lagi, bahwa menurut pandangan saya Presiden telah menjalankan kesalahan yang sangat besar dan sangat mendasar waktu Presiden berkata kepada Kolonel Bambang Supeno berhubung dengan saran Kolonel Bambang Supeno untuk mengganti KSAD, A H Nasution bahwa usulnya itu akan dapat di jalankan asal saja Kolonel Bambang Supeno mengumpulkan tanda tangan dari para Panglima bahwa mereka menyetujui usul penggantian Kepala Staf Angkatan Darat. Setelah uraian saya yang panjang lebar itu, maka Presiden Soekarno menjawab dengan nada marah: “Ik heb je al gezegt, je hebt de speciaaliteit om iemand in de hoek te drukken,” (Seperti saya sudah bilang, anda memiliki kemampuan khusus untuk memojokkan seseorang). Dan saya berkata kami datang sungguh-sungguh tidak bermaksud untuk memojokkan Presiden, tetapi kami datang untuk mencari penyelesaian terhadap suatu masalah yang kami anggap dapat membahayakan di masa seperti ini dan masa depan negara dan bangsa, yaitu apabila prinsip bahwa setiap kali kepala staf dapat diganti berdasarkan pernyataan para panglima menjadi kebiasaan. ... Pembicaraan yang dramatis antara Presiden, Menteri Pertahanan, KSAP dan KSAD itu berakhir dalam suasana yang tegang dan tidak bersahabat. Saya sendiri berdiri meninggalkan Presiden tanpa perjabatan tangan, saya hanya memberi hormat militer belaka. ... Menurut cerita-cerita, ... pintu saya tutup dengan keras, hal mana saya tidak begitu ingat. Presiden rupanya merasa sangat tersinggung bahkan terhina, khusus oleh saya dalam percakapan dramatis itu. Saya dengar dari Abdul Karim Pringgodigdo, dalam menjalankan peristiwa itu, Presiden menggunakan kata-kata yang menggambarkan bagaimana ia merasa sangat terhina oleh saya. Menurut A K Pringgodigdo ia menggunakan kata-kata dalam bahasa Belanda: “Hij poep op mij. (dia memberaki saya). Dapat dipahami bahwa kawan-kawan Presiden Soekarno menjadi sangat marah terhadap saya.”
Posted on: Wed, 16 Oct 2013 01:16:59 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015