Rasionalisme Descartes René Descartes mungkin dapat - TopicsExpress



          

Rasionalisme Descartes René Descartes mungkin dapat diperkenalkan [kepada pembaca] sebagai seperti seorang ayah yang bijak yang menggeleng-gelengkan kepala karena kebodohan anak kecilnya bernama Montaigne. Kita dapat membayangkan dia berkata [kepada Montaigne], “Jangan terlalu pesimistik; aku paham kalau filsafat terlalu sulit untukmu; biarka aku saja yang berfilsafat.’ Atau dengan kata-katanya sendiri lebih bermartabat Descartes mengatakan: Walaupun sensasi inderawi dan pengalaman berulang-ulang menipu kita dan tidak memberikan kita kepatian untuk membangun sebuah sistem berpikir yang besar, tetapi kalau ada ditemukan satu saja titik yang solid, maka seperti halnya Archimedes, kita dapat menggerakkan alam semesta. Descartes menulis panjang lebar untuk menunjukkan bahwa walaupun dia tidak menerima skeptisisme tetapi dia masih membuka kemungkinan kalau mereka benar. Karena ilusi optis, yang lebih sering menipu kita daripada yang kita sadari, maka kita tidak bisa mulai membangun [sistem pemikiran kita] dengan sensasi inderawi. Dalam kaitan dengan hal itu [dapat dikatakan] bahwa kita tidak bisa yakin bahwa kita sedang sadar/terbangun. Dalam banyak kasus saya sendiri berupaya untuk tidur sebentar tetapi tampaknya gagal; tetapi ketika saya katakan bahwa saya tidak dapat tidur, istri saya tersenyum dan mengatakan bahwa saya mendengkur keras. Mimpi membuktikan hal yang sama karena seringkali mimpi itu sangat jelas sejelas pengalaman sehari-hari; dan ketika kita mimpi kita tidak menganggap itu sebagai mimpi. Akhirnya untuk mendorong keraguan sampai ke batasnya, pertanyaannya adalah bagaimana kalau ada satu iblis yang mahakuasa yang kesukannya adalah menipu kita? Iblis ini membuat kita percaya bahwa dua tambah dua sama dengan empat, sedangkan jawaban yang benar adalah lima dan dia terus tertawa-tawa kecil karena kebingungan kita. Tentu saja ini kedengaran seperti pengandaian yang konyol. Bagaimana mungkin kita menganggapnya sebagai sesuatu yang serius? Namun di satu pihak, bagaimana orang dapat memutuskan apa yang konyol dan apa yang tidak konyol, kecuali ada dasar pengetahuan yang jelas bagi kesimpulan tersebut? Kalau tidak ada pengetahuan sama sekali, yaitu ketika seorang tidak mengetahui apapun sama sekali, maka tidak ada yang nampak konyol. Karena itu tanpa pengetahuan apa-apa [sebelumnya], ada kemungkinan bagi keberadaan sesosok penipu yang mahakuasa. Tetapi ada satu hal yang bahkan satu sosok iblis yang mahakuasa tidak dapat lakukan. Dia tidak dapat menipu kita tanpa membiarkan kita untuk berpikir. Kalau kita tertipu, maka kita pasti menggunakan pikiran; dan jika kita berpikir, maka kita ada. Ini adalah kebenaran yang tidak dapat dibantah, yaitu sebuah tumpuan yang tidak goyah yang dengannya kita dapat menggerakkan alam semesta filsafat. Patut dicatat bagaimana Descartes mengalahkan iblis yang mahakuasa tersebut. Seandainya dia katakan, Aku berjalan, maka aku ada, dia pasti gagal. Saya dapat dengan mudah menyangkali kalau saya berjalan tanpa harus berjalan. Cukup bagi saya untuk duduk di sofa atau di kursi dan mengatakan bahwa saya tidak berjalan. Tetapi merupakan sebuah ketidakmungkinan mutlak untuk menyangkali bahwa saya berpikir tanpa saya berpikir. Karena keraguan adalah bentuk pemikiran, maka saya tidak dapat meragukan bahwa saya berpikir tanpa saya memikirkan keraguan tersebut. Karena itu, ‘Saya berpikir’ merupakan kebenaran yang tidak dapat dibantah. Kita tidak akan membahas bagaimana Descartes melanjutkan membangun pandangan dunianya dari titik ‘Saya bepikir.’ Yang penting untuk dibahas di sini adalah metodenya. Kita tidak boleh berpandangan bahwa kepastian pemikiran tergantung pada kejelasan pemikiran yang dialami. Jika kepastian tergantung pada kejelasan, maka kilat dan guruh sudah cukup untuk mengalahkan si iblis yang mahakuasa tersebut. Jelas itu tidak bisa dilakukan. Bukti cogito tergantung pada logika semata. “Saya berpikir” merupakan sebuah proposisi yang kalau disangkali justeru akan membuktikan kebenarannya. Jika saya katakan, “Saya berpikir” maka itu berarti bahwa saya berpikir. Tetapi jika saya mengatakan “Saya tidak berpikir”, maka tidak terelakkan juga bahwa saya berpikir. Ini bukan masalah pengalaman tetapi masalah logika semata. Karena metode ini, Descartes dan para pengikutnya disebut Rasionalis. Mereka bergantung pada akal budi semata. Tetapi patut dicatat bahwa, akal budi yang kepadanya mereka tergantung, sama sekali bukan merupakan sesuatu yang bertentangan dengan wahyu. Tidak berarti bahwa seorang Rasionalis, atau Rasionalisme sebagai sebuah sistem merupakan benteng bagi wahyu. Secara khusus Spinoza tidak menyukai Alkitab sama sekali. Tetapi akal budinya Rasionalisme merupakan sesuatu yang bertentangan dengan dan eksklusif/tidak berkaitan dengan pengalaman inderawi. Di sini akal budi berarti logika. Dalam teori rasionalistik ini, semua pengetahuan harus dideduksi (seperti halnya teorema geometri) dari aksioma mereka. Tidak boleh merujuk kepada sensasi inderawi. Aplikasi konsisten dari hukum logika semata sudah memadai. Karena itu istilah akal budi menampung makna konsistensi logis. Ini merupakan alasan mengapa kaum Rasionalis mengadopsi argumen ontologis bagi keberadaan Allah. Mereka membutuhkan keberadaan Allah bukan hanya menyingkirkan iblis yang mahakuasa [tadi], tetapi lebih penting lagi untuk membuktikan keberadaan dunia. Agar sesuai dengan prinsip dasar mereka, maka argumen yang mendukung keberadaan Allah harus dikonnstruksi sedemikian rupa sehingga penyangkalan akan keberadaan Allah akan menghasilkan posisi yang berkontradiksi dengan diri sendiri. Seperti orang yang menyangkali bahwa sudut dalam sebuah segitiga sama dengan dua sudut siku-siku tidak paham sama sekali tentang konsep ‘segitiga’, demikian juga seorang yang menyangkali keberadaan Allah tidak memahami makna dari istilah Allah. Karena itu keberadaan Allah dibuktikan dengan logika semata. Ketika makna dari akal budi ini digabungkan dengan prinsip bahwa semua pengetahuan dapat dideduksi dengan logika semata, maka tidak terelakkan bahwa kalau kita masih berbaik hati, kita dapat mengatakan wahyu tidak harus ada. Spinoza Spinoza yang menerapkan prinsip Rasionalisme ini secara lebih konsisten daripada Descartes, secara eksplisit menarik kesimpulan berikut: Bagaimanapun meyakinkannya kebenaran dari sebuah narasi historis, dia tidak memberikan kita pengetahuan tentang Allah atau tentang kasih Allah karena kasih Allah berasal dari pengetahuan akan Dia, dan pegetahuan akan Dia harus disimpulkan dari gagasan umum, yang dalam dirinya sendiri pasti dan diketahui, sehingga kebenaran sebuah narasi historis sangat jauh dari sebuah keharusan untuk mencapai kebaikan tertinggi.[1] Bantahan Kristen terhadap penolakan rasionalistik akan wahyu tidak perlu terlalu banyak memperhatikan bukti-bukti arkeologis bahwa Alkitab akurat secara historis. Tentu saja Spinoza merupakan anggota awal dari daftar panjang pengeritik tinggi yang kesenangannya adalah mencari kesalahan dalam Perjanjian Lama. Namun tidak ada kerusakan yang terjadi pada kekristenan karena investigasi arkeologis. Justeru penemuan-penemuan arkeologis menjadikan posisi pengeritik sulit dipertahankan misalnya dengan penemuan bahwa pada jaman Musa telah ada budaya menulis, bahwa ada satu bernama Bangsa Het, serta menunjukkan bahwa segala macam kebodohan lain yang dinyatakan aliran Wellhausen hanyalah pemikiran yang sia-sia dari para musuh Alkitab. Namun argumen Spinoza adalah bahwa walaupun narasi historis memiliki keakuratan yang sempurna, narasi itu tidak bernilai dalam agama. Karena itu, bantahan dari seorang Kristen harus diarahkan kepada epistemiologi yang menggaris-bawahi pandangan Spinoza. Pertanyaan penting yang pantas diajukan bukan apakah Alkitab benar atau dapat dipercaya tetapi apakah semua pengetahuan dapat dideduksi dengan akal budi semata atau dengan logika semata. Sejarah filsafat, yaitu yang dikemukakan oleh sarjana sekuler sendiri (tidak perlu untuk mencari tulisan orang Kristen dalam kaitan dengan hal ini) telah dengan meyakinkan memberi jawaban negatif terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas. Kant melakukan yang terbaik yang dapat dia lakukan untuk meledakkan argumen ontologis; dan karena argumen ini adalah satu-satunya harapan Rasionalisme dalam menjalin kontak dengan keberadaan nyata, yang tanpanya filsafat hanyalah permainan kata-kata, maka bantahan seperti [bantahan Kant] itu (kalau seandainya sound[2]), akan menghancurkan Rasionalisme sama sekali. Namun seandainyapun argumen ontologis valid, tidak ada seorangpun yang berhasil mendeduksi jumlah planet di alam semesta atau spesies japonica dari keberadaan Allah hanya dengan logika semata. Jika astronomi dan botani dapat maju tanpa Rasionalisme, maka tidaklah konsisten untuk untuk menuntut bahwa agama dikurung dalam kerangka rasionalisme. Karena itu Rasionalisme yang dipahami pada abad ketujuh belas merupakan sebuah kegagalan. Dengan demikian, akal budi tanpa iman bukan hanya tidak mampu menghasilkan agama, tetapi juga tidak mendukung adanya pengetahuan apapun. Seandainya ini adalah satu-satunya kemungkinan, maka Kekristenan dapat menawarkan kepada dunia sebuah pilihan yaitu antara iman kepada wahyu dan ketidaktahuan/kebodohan yang tidak tertolong. [1] Spinoza, Tractatus Theologico-Politicus, bab IV. [2] Sound adalah istilah dalam logika dimana premis dari sebuah argumen valid benar Sourcen: whereisthewisdom.wordpress Ma Kuru Paijo Budianto pung blog
Posted on: Mon, 24 Jun 2013 03:35:47 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015