Refleksi Menelusuri Demokrasi 2 abad (Dinamika Politik - TopicsExpress



          

Refleksi Menelusuri Demokrasi 2 abad (Dinamika Politik Ke-daerahan)[]     Sulit dipungkiri hari ini, menyaksikan tiga pilar demokrasi, legislative, eksekutif dan yudikatif, ternyata telah gagal memberikan kepastian pada warga untuk mewujudkan keseimbangan pasar ( market equilibrium), modal dan keseimbangan masyarakat (societal equilibrium) baik dalam kontek ekonomi, social, politik dan hukum. Begitujuga tercapainya kesejahtrean soaial dalam arti societal welfare yang bukan dalam artian relief assistance atau santunan. Merupakan cita-cita nasional yang harus diwujudkan Kesejahteraannya masyarakat secara keseluruhannya, sebagai bagian Integral dari cita-cita kemerdekaan Indonesia untuk mewujudkan pemerintahan Negara yang “ melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehdupan bangsa” menjadi titik tolak yang ditegaskan oleh UUD 45. Sehingga doktrin kesejahteraan social Indonesia meletakkan rakyat Indonesia dalam posisi “sentral- substansial” (bukan dalam posisi “marginal-residual), penyelenggara Negara dalam mewujudkan penyelenggraan ekonomi harus bertitik tolak dan berujung pada kesejahteraan, pemerataan dan keadilan social.     Bahkan yang luar biasa, tiga pilar itu, telah digerogoti oleh kepentingan para pejabat pemerintah dalam melakukan perbuatan-perbuatan immoral karena rakus, ingin berkuasa, atau loyal pada kroninya. Sehingga ruang kekuasaan tumbuh sarang koruptor. Penyangga utama Negara ini sudah sangat rapuh, keropos disana-sini. Tikus-tikus yang bersarang di pilar demokrasi ini dan di institusi penegak hukum terus menggerogoti dan melahap sumber daya pital : uang, modal, informasi, tanah dan SDM. Dana (tanah, uang, informasi, SDM) yang seharusnya dikelola dan dianggarkan untuk sebesar-besarnya kepentingan dan kesejahteraan rakyat, dengan kelihaian patgulipatnya, beralih ke kas pribadi, keluarga, kolega dan partai. Contoh kasus –kasus di pusat ( kasus pelawat pemilihan Deputi Senior Gubernur BI, kasus nazarudid, century, kasus masuji, kasus kekerasan G3 dll) di Daerah dugaan korupsi di Garut yang mandeg : seperti kasus Dinas Bina Marga tersangka AS (penyidik Polda Jabar), kaus Bansos DPRD Garut, tersangka DD, OF, dan (alm) BS, dll, kasus alkes RSU (penyidik Polda Jabar), kasus pasar Cikajang (penyidik kejaksaan Negeri Garut), kasus PPIP. Kasus SIMDES melibatkan Sekda Garut penyidik Polres Garut, kasus BOS dan Bola Dunia Dinas Pendidikan (penyidik Polres Garut) dll ( ha1, 27 des 2011 harian Garoet pos).     Potret suram penegakan hukum ini tentu sulit dipungkiri bila tak ada mega skandal. Padahal mereka (tiga pilar demokrasi) haruslah menjadi para pejuang yang bertugas menegakkan hukum. Namun justru tak sedikit yang melakukan pelanggaran hukum, yang lagi-lagi berurusan dengan duit. Ini memberikan gambaran yang lugas bahwa di era reformasi dan demokrasi, hukum yang seharusnya menjadi panglima, tetapi kenyataannya masih jauh panggang dari api. Hukum tercabik oleh kepentingan politik yang immoral. Sehingga potret yang terjadi politisasi hukum dan terjadi di semua areal dari kasus hukum kecil sampai kasus hukum besar. Maka tak salah bila potret destruktif ini disebut mafia hukum. Dan di wilayah birokrasi tumbuh para calo birokrasi (dari angaran hingga jabatan) hingga berkembang menjadi mafia birokrasi. Dan tentu yang “dimainkan” adalah anggaran dan regulasi sehingga sempurna tumbuh para tangan-tangan makelar anggran yang dengan leluasa mendistribusikan uang, modal, informasi, tanah dan sdm hanya untuk kroninya semata atau jaringannya, bukan merealisasikan (societal welfare). Dan fenomena ini disebut mafia anggran.     Kita tak pernah memahami hingga hari ini bila “pemerintahan” masih menjadikan politik sebagai panglima. Padahal dimasa orde lama hingga orde baru, kita menyaksikan dengan mata telanjang bahwa penempatan politik dan keamanan sebagai panglima gagal mendistrubisikan keadilan, kesejahtreaan, pemerataan di semua sektor. Berbagai aksi yang muncul dari pusat hingga daerah merupakan wujud dari kegagalan pemerintahan mewujudkan cita-cita konstitusi bangsa ini. Untuk itu aksi merupakan tuntutan rakyat bagi para pejabat hendaknya bertanggung jawab secara hukum atas kejahatan yang telah dilakukannnya. Dan menolak argumentasi umum yang mendukung kekebalan hukum yang melindungi pejabat dari proses hukum.     Di era reformasi, rakyat berharap model pendekatan itu berubah karena telah gagal mewujudkan mandate konstitusi bangsa ini, dan menetapkan hukum sebagai panglima. Penegakan hukum diharapkan mempercepat pemulihan Negara dari keterpurukan ekonomi, politik, social dan berbagai segi kehidupan masyarakat.     Lihat di akhir tahun, kita menyaksikan politisasi yang hampir disemua bidang. Lihat kasus Mesuji di lampung, BIMA, 15 desember di Garut. Dan kasus lainnnya yang tidak pernah membongkar akar persoalan yang terjadi. Bahkan terlihat upaya “kambing hitam”(politisasi). Potret ini memberikan pelajaran politik tanpa hukum yang berkeadilan maka akan tumbuh sebagai kezaliman. Politik yang zalim diekpresikan dalam gagasan, tindakan (konspirasi) yang negative, destruktif dan tendensius. Karena politik yang zalim terbangun oleh prilaku moral hazat, misalnya berpolitik yang tujuannnya mengeruk keuntungn material dan menepiskan moralitas dalam mencapai kekuasaan. Maka kondisi politik yang tidak sehat sangat menyulitkan untuk meningkatkan moralitas bangsa dalam mencapai good governance atau pemerintah yang baik. rakyat mengalami kegalauan jika partai yang memperoleh mandate melakukan control menjadi bagian dari potret buruk itu. Karena efeknya sangat dahsat, berbagai pelanggran hukum (KKN, kasus pelanggran HAM) tak tersentuh oleh hukum. Atau dengan istilah sederhana pemerintahan beserta jaringannya mempertahankan posisi pejabat yang melanggar hukum dan moral.     Tentu bila kita hendak mengurut secara terperinci, di era reformasi ini banyak kasus hukum yang dijadikan santapan politisasi dan kapitalisasi. Apalagi kasus yang menyangkut KORUPSI yang melibatkan kaum elit di legislatif dan eksekutif maupun di birokrasi. Lalu apakah kita akan diam bila potret berbangsa dan bernegara menjari carut marut. Sampai kapan politisasi dan kapitalisasi kasus-kasus hukum dan moral ditempatkan dalam jalur yang benar. Artinya kapan tangan-tangan kotor yang menduduki kekuasaan memperoleh kepastian hukum dan perlakukan keadilan dalam penegakan hukum. Sulit dijawab , akan tetapi syahwat politik yang mengebiri hukum harus dituntaskan agar kita memberikan pelajaran yang mulia bagi generasi kedepan. Untuk itu, tuntutan reformasi birokrasi, reformasi hukum, reformasi politik dan reformasi social hendak mewujudkan keterbukaan dan transparansi (openness dan transparency), partisipasi masyarakat (participation), tanggung gugat (accountability), supremasi hukum (rule of law), demokrasi, profesionalisme dan kompetensi, daya tanggap (responsiveness), keefisienan dan keefektifan, desentralisasi, kemitraan dengan dunia usaha yang adil, pengurangan pada kesenjangan ( commitment to reduce inequality), komitmen pada pasar yang adil dan komitmen pada pelaksanaan agenda Pembaruan agrarian.
Posted on: Tue, 22 Oct 2013 14:49:23 +0000

Trending Topics



class="sttext" style="margin-left:0px; min-height:30px;"> I COULD be a psychopath....Sometimes you are a little distant from
ght:30px;"> Aye man.... STOP TRUSTING & MEETING UP WITH THESE RANDOM BROADS
JUST 6 PLACES LEFT!!! 5 WORKSHOPS WITH THE WONDERFUL ETIAN FOR
FAITH FORWARD: Assumptions limits your faith. Often times we
Design Your Own Tattoo
Place of birth!!!!!!!!! Everyone please play, it will be
I am SO flippen proud of my Team Leaders today!!! They actually

Recently Viewed Topics




© 2015