Refrain (Saat Cinta Selalu Pulang) #Chapter8 Wish #26: a cure - TopicsExpress



          

Refrain (Saat Cinta Selalu Pulang) #Chapter8 Wish #26: a cure for broken hearts (Amanda) Amanda berdiri di depan pagar rumah Iqbaal, menggenggam erat sekotak cokelat terakhir. Entah apa yang membawanya di sini, dia sendiri masih belum bisa memutuskan apa yang akan dikatakannya pada pemuda itu jika mereka bertemu nanti. Dengan ragu, ia menekan bel, lalu merasa serbasalah ketika Aldi yang membukanya. “Cari Iqbaal?” tanyanya, sambil mengusap rambut yang masih setengah basah dengan sebelah tangan. Amanda mengangguk. “Dia ada?” “Lagi semedi di kamar, sepertinya mood-nya kurang bagus. Kamu... tau kenapa?” “Mungkin.” Amanda mengulas senyum melihat ekspresi Aldi yang khawatir. Ia meniti tangga ke kamar Iqbaal, lalu mengetuk pintunya dua kali. Ketika tidak ada yang menjawab, dia memutar gagang dan beranjak masuk. Iqbaal sedang duduk di atas karpet, memetik senar gitar dengan asal-asalan. “Boleh masuk?:” Iqbaal mengangguk samar. Amanda duduk di sebelahnya dan meletakkan kotak cokelat berpita putih itu di atas meja. “Buat kamu. Aku menyisakannya semalam.” “Jadi ini cokelat sisa?” Iqbaal separuh bercanda, tapi nadanya tanpa humor. Ia lalu mengubah topik pembicaraan; sepertinya hal itu sudah mengganggu pikirannya sejak tadi. “Tadi... gue ketemu (Nama kamu).” Iqbaal tidak perlu melanjutkan kalimatnya karena Amanda sudah tahu. Barusan (Nama kamu) meneleponnya untuk bercerita panjang lebar mengenai Bastian. Karena itulah dia buru-buru datang ke sini. “Sejak dulu (Nama kamu) pengen punya cowok yang sempurna, yang nggak takut untuk bilang sayang dan ngasih berbagai macam kado. Dan, gue bukan tipe cowok seperti itu.” Iqbaal menjauhkan gitarnya dan tersenyum pada Amanda. “Thanks buat nasihat lo, Baal Gue tau lo care sama gue dan (Nama kamu). Tapi kita berdua Cuma sahabat, nggak bisa lebih dari itu. Nggak akan ada yang berubah.” Amanda bersandar pada tepi tempat tidur Iqbaal, pandangannya menerawang jauh. “Kamu nggak bakalan nyesel?” “Kalo dia seneng, itu udah cukup buat gue.” Ekspresi di wajah Iqbaal membuatnya merasa sedih. Kata-kata penghiburan yang ingin dikatakannya terasa klise dan kaku di lidah sehingga Amanda tidak jadi mengatakannya. Baal, apa Cuma (Nama kamu) yang bisa bikin kamu tersenyum? Apakah nggak ada orang lain lagi yang mampu menggantikan posisinya di hati kamu? Amanda ingin menanyakannya. Ingin mengatakan bahwa dia mengerti perasaan Iqbaal, karena dia pun merasakan hal serupa. Tapi, dia malahan berusap, “Apa pun yang terjadi, kita bertiga masih sahabat. Itu yang penting.” Iqbaal tersenyum sendu sebagai balasannya. “Iya, kita bertiga selamanya temenan.” Tanpa sadar, sebutir air mata meluncur turun, dan Amanda mengusapnya sebelum Iqbaal sempat melihat. *** (Nama kamu) duduk di depan meja belajarnya, dengan lampu tidur yang dinyalakan remang-remang supaya tidak mengganggu Sarah yang sedang terlelap. Sudah hampir tengah malam, tapi dia masih belum bisa tertidur. Rasanya seluruh kebahagiaan hari ini terlalu menyesakkan sehingga dia terlalu bersemangat untuk istirahat. Besok pasti seluruh tubuhnya pegal-pegal dan jadi mengantuk di kelas. Dia baru saja menghabiskan satu jam terakhir bercerita pada Sarah mengenai Bastian, sampai adiknya itu bosan dan tertidur. Bunga-bunga pemberian Bastian sudah ditata rapi di dalam sebuah vas kaca, beberapa tangkai yang sudah layu bahkan sudah dikeringkan untuk disimpan. (Nama kamu) membelai kelopaknya yang sehalus beludru sembari tersenyum-senyum sendiri. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Empat surat dari penggemar rahasianya yang didapatnya di sekolah tadi siang masih belum sempat dibuka. Dikeluarkannya dari ransel dan ditelitinya satu per satu. Salah satu dari keempat surat itu menarik perhatiannya karena amplopnya yang biru di antara warna merah jambu. Amplop itu sederhana, tanpa nama, dan di dalamnya hanya ada selembar kertas tipis. Isinya adalah sepotong sajak yang diketik rapi. (Nama kamu) bertopang dagu di atas meja, menggunakan remang cahaya kuning untuk membacanya. Bulan emas tinggal separuh Bintang-bintang sangat pemalu Kau terduduk di sampingku Aku lantas mencintai bayanganmu Kau menoleh untuk tersenyum Hatiku berserakan... lebur dan lepuh *** ACCIDENT Wish #27: memenangkan kompetisi basket (Bastian) (Nama kamu) takjub bukan main saat ia pertama kali menginjakkan kaki di gerbang depan sekolah Bastian. Pasalnya, sekolah elite yang selama ini hanya dikenalnya melalui kabar burung dan omongan orang-orang ternyata memang seperti yang digosipkan. Pagar utamanya tinggi dan kokoh, dipoles mengilap tanpa karat. Pekarangan sekitarnya asri, seperti kampus-kampus luar negeri yang dipenuhi pohon rindang dan kursi taman yang terbuat dari tembaga. Lapangannya dua kali lebih besar dari milik sekolah (Nama kamu), dilengkapi pula dengan fasilitas kolam renang indoor yang dapat dilihat melalui kaca transparan besar. Belum lagi gedung-gedungnya yang bercat kuning pucat, semuanya tinggi dan rancangan modern, pastinya karya arsitektur ternama. Masing-masing ruang kelas memiliki jendela tinggi yang transparan, terlihat seperti rumah kaca dengan ruang belajar luas, lengkap dengan loker pribadi. “Pasti mahal sekali ya, sekolah di sini?” celetuknya polos. Bastian, yang baru saja memarkir mobil di area yang tak kalah lapang, ikut tersenyum. “Yang sekolah di sini kebanyakan anak-anak diplomat, selebritas atau warga negara asing,” jawabnya sambil menenteng duffle bag berisi perlengkapan olahraga. “Yuk, masuk. Jangan bengong aja di sana.” (Nama kamu) berusaha keras terlihat biasa di dalam sekolah itu. Bahkan, siswa-siswinya tampak amat modis dalam seragam serbaputih. Banyak murid berambut pirang dan bermata biru di sana-sini, mengingatkannya akan Amanda. Bastian sepertinya sangat populer, karena mereka semua menyapanya dan tak sedikit yang menepuk pundaknya untuk mengucapkan selamat bertanding. “Ayo.” Bastian menggandeng tangannya dan menariknya menuju lapangan basket indoor sekolahnya. Gestur posesif ini membuat (Nama kamu) senang. Lapangan basket indoor yang luas sudah dipadati orang. Hari ini, tim basket SMU Pelita akan bertanding dengan tim SMU Aksara yang tahun lalu memenangi kompetisi regional. (Nama kamu) tahu Bastian sudah berlatih keras, dan setiap hari yang diomongkannya hanya pertandingan ini. Sebagai bentuk dukungannya, (Nama kamu) menawarkan diri untuk datang memberi semangat. Bangku-bangku penonton sudah hampir penuh. (Nama kamu) menyelinap ke baris ketiga, duduk di ujung sembari memperhatikan Bastian mengenakan jersey putih emas di atas kausnya, lalu membungkuk untuk mengikat tali sepatunya. Tim lawan juga sudah siap, beberapa di antaranya bahkan sudah berlaga di sudut lapangan untuk melakukan latihan kecil. (Nama kamu) merasa kikuk dalam seragam sekolahnya yang beda sendiri dengan orang-orang di sekelilingnya. Bandana biru muda yang melilit di kepala dan gelang-gelang oversized plastik berwarna pelangi di pergelangan tangannya membuatnya lebig self-conscious lagi, kekanakan dibanding dengan aksesoris platina dan jam bermerek milik siswi-siswi yang duduk tidak jauh darinya. Tapi, lalu Bastian menangkap pandangannya dan mengedipkan sebelah mata, tidaklupa melambaikan tangan dengan senyum percaya diri. (Nama kamu) merasa jauh lebih baik setelahnya, walau beberapa gadis berbalik memelototinya dengan sengit. Dia sudah tahu Bastian adalah salah satu That It Guy di sekolah ini—dan dia merasa sangat, sangat beruntung. Peluit dibunyikan dan anggota masing-masing tim berlari kecil ke tengah lapangan. Bola basket dilempar tinggi-tinggi, dan permainan pun dimulai begitu Bastian berhasil menyentuh bola sedetik lebih cepat dari ketua tim basket lawannya. Para pemain bergerak cepat, masing-masing mengambil posisi dan mengikuti arah bola dengan lincah. Decit sepatu dan dentuman bola berbaur dengan seruan dan bunyi peluit. (Nama kamu) menonton dengan tegang, ikut berseru riuh rendah ketika skor pertama jatuh ke tim Bastian. Mata pemuda itu sama sekali tidak meninggalkan bola, dengan seksama memperhatikan kinerja timnya dan tidak ragu meneriakkan instruksi. Sesekali,dia mengelap keringatnya dengan ujung kaus, gayanya yang tenang dan penuh kalkulasi membuat tim lawan gerah. Baru saja permainan berlangsung lima belas menit, handphone (Nama kamu) bergetar di dalam tasnya. Terganggu dan tidak berkonsenterasi, (Nama kamu) membaca pesan singkat yang barusan masuk. Jantungnya nyaris berhenti berdetak ketika otaknya mencerna kalimat pendek itu. Sender: Amanda (Nama kamu), Iqbaal kecelakaan. Sekarang masuk rumah sakit. Tanpa banyak pikir, (Nama kamu) melesat dari bangkunya dan berlari ke arah pintu keluar. Dengan panik, ia memanggil taksi dan meminta pengemudinya untuk ngebut menuju rumah sakit. Yang dibayangkannya hanya Iqbaal yang terbaring di atas ranjang rumah sakit, darah memenuhi seprai putihnya. Dia berusaha mengenyahkan pikiran itu dengan menggelengkan kepala kuat-kuat. “Pak, tolong lebih cepat, ya,” pintanya, berdoa dan berdoa untuk keselamatan Iqbaal. *** Wish #28: supaya Iqbaal baik-baik saja ((Nama kamu)) (Nama kamu) menghambur ke dalam ruangan tempat Iqbaal sedang dirawat, menemukan sahabatnya sedang dalam posisi duduk, menggunakan dua bantal besar sebagai penyangga. Perban besar menutupi dahi dan beberapa bagian tubuh lainnya. “Hai, (Nama kamu).” Teguran santai itu tidak membuat (Nama kamu) lega, malahan semakin panik. “Kamu nggak apa-apa kan, Baal? Mananya yang sakit?” (Nama kamu) membalikkan tangan Iqbaal yang dibalut dengan hati-hati, mencoba mencari bekas luka. “Aduh... kok bisa begini, sih?” “Segitu khawatirnya sama gue?” Iqbaal menggoda, senyumnya senang, bertukar pandangan dengan Amanda yang juga tersenyum geli di sampingnya. “Serius, nih! Yang mana yang luka?” Senyum Iqbaal semakin mengembang. “Cuma lecet-lecet kecil aja, kok. Yang parah di sini.” Ia menunjuk keningnya, “kena enam jahitan.” “Hah?” (Nama kamu) merinding mendengarnya. “Kok bisa?” Amanda ikut bicara untuk menenangkan (Nama kamu). “Iqbaal terserempet mobil sampai jatuh dari sepedanya, tapi hanya lebam dan luka ringan di sekujur tubuh. Luka di keningnya cukup besar, tadi sampai berdarah-darah banyak sekali, tapi untungnya sekarang udah nggak apa-apa.” (Nama kamu) mengembuskan napas lega. “Bawa sepedanya nggak hati-hati, ya?” tuduhnya curiga. “Ngebut, kan?” Iqbaal mendelik, kesal dituduh yang bukan-bukan. “Enak aja. Yang ngebut tuh mobil yang nyerempet gue, nikung sembarangan lagi,” gerutunya. “Lo dari mana aja sih, kok datengnya lama?” Mendengar pertanyaan itu, mendadak saja (Nama kamu) teringat pada apa yang ditinggalnya. Bastian, pertandingan basket, lapangan SMU Pelita. Gawat! Dia benar-benar lupa sama sekali. “Tadi aku lagi nonton pertandingan basket di sekolahnya Bastian.” (Nama kamu) menggigit bibir dengan rasa bersalah. Mendengar nama Bastian disebut, raut Iqbaal berubah masam, tapi dia tidak berkata apa-apa. Sudah ada lima missed call di handphone (Nama kamu) yang tidak disadarinya. (Nama kamu) beranjak keluar ruangan dan menekan nomor Bastian dengan speed dial. Panggilannya terjawab dalam satu kali dering. “Halo? (Nama kamu)?” Suara Bastian sulit terdengar dalam kehebohan riuh-rendah di ujung telepon. “Kamu di mana, kok tiba-tiba menghilang?” “Sori... tadi aku dapat SMS kalau Iqbaal kecelakaan, jadi aku langsung ke rumah sakit dan lupa ngabarin kamu.” “Oh.” Bastian terdengar kecewa. “Dia nggak apa-apa?” “Luka-luka ringan, dan ada luka yang dijahit.” “Kamu bakal balik ke sini, kan?” Nada suaranya penuh harapan. “Kita menang lho, sayang kamu nggak lihat.” “Sori,” Sekali lagi (Nama kamu) meminta maaf, “kita rayainnya besok aja, ya? Aku yang traktir deh.” Ia kian merasa bersalah, apalagi ia sama sekali tidak melihat akhir dari pertandingan itu. Kini dia malahan menolak ajakan perayaan kemenangan Bastian. Hening. Agak lama sebelum Bastian menjawab. “Kamu... mau nemenin Iqbaal di sana, ya?” “Iya,” jawab (Nama kamu) jujur. “Kasihan Iqbaal sendirian di rumah sakit, belum bisa pulang karena masih harus check-up.” “Oh..., ya udah.” Telepon ditutup. *** Wish #29: (Nama kamu) (Iqbaal) Rumah sakit setelah lewat visiting hours sangat lengang. Lorong-lorongnya sepi, hanya sesekali terdengar bunyi pintu kaca didorong, dan langkah kaki serta bisikan kecil para dokter dan suster yang sedang jaga malam itu. Dua tempat tidur lain yang berbagi ruang dengan Iqbaal kosong tanpa pasien, membuatnya lega karena memiliki lebih banyak privasi. Iqbaal menatap (Nama kamu) yang sedang tertidur sambil menelungkupkan tangan di tepi tempat tidurnya. Lembaran kartu Uno berserakan di sampingnya, belum sempat dibereskan. Tadi mereka bermain kartu untuk melewati waktu, tapi yang ada malah (Nama kamu) kelelahan dan dengan mudah terlelap dalam hitungan menit tanpa pembicaaraan. Iqbaal tidak punya masalah dengan itu, dia cukup senang memperhatikan (Nama kamu) beristirahat dengan muka angelic seperti sekarang. Dia gembira karena (Nama kamu) segera datang ke rumah sakit, meninggalkan pertandingan basket Bastian yang sepertinya cukup penting. Dia juga senang (Nama kamu) tidak langsung pulang ke rumah atau kembali menemui Bastian, malah mengajukan diri untuk menemaninya semalaman, menggantikan Amanda dan keluarganya yang sudah lama menungguinya di rumah sakit. Dalam hati, dia bersorak—ini artinya (Nama kamu) memilihnya. Pikiran kekanakan itu membuatnya tak berhenti tersenyum, hampir sama sekali melupakan mobil yang tadi sore menyerempetnya hingga terjatuh ke tepi jalan, membuatnya terpaksa menghabiskan semalam di rumah sakit. “Gue sayang lo, . Sayang banget.” Kata-kata itu belum pernah diucapkannya benar-benar, tetapi sama-sekali tidak terasa janggal. *** Thankyou for reading(: With Love, #SarahDR follow my twitter -> @sarahdwnr ID We Chat -> sarahdwnr ID Kakao Talk -> sarahdwnr No WhatsApp -> 081908017874
Posted on: Mon, 28 Oct 2013 07:54:30 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015