SEKILAS SEJARAH ==== SKISMA TIMUR - Bagian 2 2. Perang Tanding - TopicsExpress



          

SEKILAS SEJARAH ==== SKISMA TIMUR - Bagian 2 2. Perang Tanding Batrik vs Kardinal Masalah Filioque mempunyai peranan dalam kontroversi antara Gereja Roma dan Gereja Bisantin, yang mengantar pada drama perpecahan tahun 1054. Motif perpecahan ini, yang seringkali disebut Skisma Timur sangat kompleks dan banyak. Para sejarawan dewasa ini, tidak dapat tidak selain menyetujui afirmasi Paus Yohanes XXIII, yang berkata bahwa kedua pihaklah yang bertanggungjawab atas perpecahan di dalam Gereja ini. Jika kita menilik sebab-sebab yang langsung menimbulkan krisis, yang meledak pada pertengahan abad XI, pertama-tama ikhtiar kepausan untuk memberlakukan praktik liturgi yang seragam di Gereja-Gereja Yunani di Italia Selatan. Ada pula peristiwa-peristiwa yang dilakukan oleh batrik Konstantinopel untuk memaksa Gereja-Gereja Latin di Konstantinopel untuk menggunakan tata cara Yunani. Selain itu, ada antagonisme yang berkembang antara maksud kepausan yang dibenahi dan keinginan yang sungguh kuat dari Gereja Bizantin (lantaran kerjasama yang erat dengan Negara), untuk melestarikan otonomi tradisional. Tentu saja ada jarak lebar seperti misalnya perbedaan bahasa, karakter, konstitusi gerejawi, tata tertib, liturgi, teologi antara Barat dan Timur. Kesenjangan itu masih diperkeruh dengan perbedaan-perbedaan politik keagamaan: terbenamnya masa kejayaan Bisantin di Italia Tengah dan Utara, persekutuan politik antara para paus dengan wangsa Frankhi dan didirikannya Negara Kepausan, pemahkotaan Karolus Agung, dan bangkitnya Kekaisaran Roma yang Suci (Barat) di bawah Otto Agung. Hal-hal ini bahkan menerbitkan antipati orang Yunani, yang sebelumnya memang sudah menanam benih-benih persengketaan. Pada abad X Bisantin merasa sangat dihina oleh Raja Otto yang sangat didengarkan oleh Roma dan politik militernya di Italia Selatan. Orang-orang Yunani yang hidup di Bari (Puglia) terus-menerus dikecewakan dan bahkan diancam oleh ekspansi politik Otto, yang mau membentuk Negara Kepausan.5 Selain itu bagi orang Timur tata laksana liturgi di Barat mengungkapkan dekadensi tradisi apostolik, Dalam kenyataannya antara akhir abad X dan awal abad XI, di bawah Batrik Sergius II (999-1019) sudah ada suatu pemisahan antara kedua Gereja. Sebab nama paus dihapus dari dipticus. Tetapi Batrik Eustasius (1019-1025) menjalin relasi lagi dengan Roma demi motif politik. Ikhtiarnya ini disambut secara positif oleh Paus Yohanes XIX (1024-1032). Ada kesan relatif kuat bahwa skisma sudah lama dipersiapkan bahkan skisma itu dianggap sebagai efek praktis dari kiprah politik keagamaan Batrik Cerularius (1043-1058). Pada tahun 1050 ia sudah menyebut orang-orang Latin heretik. Atas perintahnya pula pada tahun 1053 ditutuplah Gereja-Gereja yang menggunakan ritus Latin di Konstantinopel dan kekayaan biara-biara yang merayakan liturgi dengan ritus Latin dibekukan dan disita. Ekaristi orang-orang Latin yang menggunakan azymus (sejak akhir abad VIII) dianggap tidak sah. Bersamaan dengan perintah Cerularius itu, Uskup Agung Leo Akrida (di Bulgaria) menyerang Barat dalam sepucuk surat hinaan yang dikirimkan kepada Yohanes, uskup Trani (Puglia). Trani pada saat itu berada di bawah yurisdiksi Bisantin (Konstantinopel). Surat itu beralamatkan "Kepada Semua Uskup Agung Wangsa Frankhi dan Yang Terhormat Bapak Paus". Dituliskannya dalam surat itu bahwa orang-orang Latin itu setengah Yahudi dan setengah kafir. Sebab mereka terus-menerus berliturgi dengan cara mereka sendiri, misalnya menggunakan azymi, menetapkan setiap Sabtu dalam masa Prapaska sebagai hari Puasa; makan daging binatang yang mati lemas; tidak menyanyikan Alleluia dalam masa Prapaska. Pihak Barat dalam pribadi Paus Leo IX (1049-1054) menjawab tuduhan tersebut dengan mengutus delegasi ke Konstantinopel di bawah pimpinan Kardinal Humbertus da Silvacandida (1054). Dengan pongah dan kata-kata kasarnya Humbertus mencerca musuh bebuyutannya di takhta Konstantinopel, yang juga menampilkan sikap tak kenal kompromi serta arogansi Farisi yang sulit dicari duanya. Dalam Dialogus (1053) Sang Kardinal menjungkirbalikkan tuduhan-tuduhan orang Timur. Pada bagian tertentu ia sengaja memasang jurus-jurus agresif demi membela Gereja Barat. Ia menghadapi tantangan Gereja Timur dengan keberanian, seakan ia menggempur para penyembah berhala dan pemeluk heretik nikolaistis, yang imam-imamnya kawin dan dikawinkan. Nikolaisme disebut juga klerogami adalah paham, yang sering disebut-sebut dalam Perjanjian Baru terutama dalam Why 2:6,14. Ireneus Lyon mengatakan bahwa bidah ini mendasarkan ajarannya pada gagasan Nikolaus Antiokhia (lihat Kis 6:5). Tetapi memang tidak disangkal bahwa segala acuan itu hanya merupakan deduksi dari informasi yang terdapat dalam Kitab Wahyu. Sekte ini tidak bergaung lagi pada akhir abad II. Pada Abad Pertengahan sebutan nikolaistis seringkali disematkan pada para imam yang kawin, padahal ia mengikrarkan prasetia kemurnian atau tarak. Praktik klerogami di Gereja Timur sudah lama berlangsung, bahkan konsili Nisea [325] mengizinkan hal itu. Selain itu Kardinal menuduh Gereja Timur sebagai pemeluk macedonianisme. Karena mereka telah menolak kebenaran iman Kristen Filioque dalam Credo. Mereka oleh karena itu diancam akan diekskomunikasi. Kaisar Konstantinus IX Monomacus (1042-1054) pada mulanya bersimpati pada delegatus paus. Maka diperintahkannya untuk membumihanguskan karya-karya polemis yang ditulis oleh Niceta Stethatos. Tetapi Batrik Konstantinopel sendiri sudah terlanjur panas lantaran melihat kesewenang-wenangan Sang Kardinal. Lalu disulutnya sengketa melawan orang-orang Latin. Dengan lantang ia menyatakan sikapnya yakni melarang delegatus paus untuk merayakan ekaristi di wilayah yurisdiksi Batrik Konstantinopel. Mengandaikan bahwa Paus Leo (Paus Leo IX telah meninggal pada tanggal 19 April 1054, tiga bulan sebelum ekskomunikasi dijatuhkan di Hagia Sofia. Berita meninggalnya paus tidak pernah didengar utusannya) setuju sepenuhnya maka Humbertus menyatakan dari altar gereja Hagia Sofia bulla ekskomunikasi terhadap M. Cerularius, L. Akrida dan para pendukungnya. Ekskomunikasi itu didahului dengan tuduhan bahwa mereka itu simonis, arian, nikolais, pneumatomakhis, manikheis. Ajaran mereka tentang asal usul dan hubungan dalam Trinitas, khususnya Roh Kudus, perkawinan para imam dan segala tata laksana ritus Yunani dikecam habis-habisan. Tetapi acapkali dipertanyakan tentang validitas ekskomunikasi, mengingat sanksi itu dijatuhkan tanpa dikonsultasikan terlebih dulu dengan paus di Roma. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 16 Juli 1054 di hadapan para imam dan jemaat yang berkumpul di gereja tersebut. Setelah sanksi dijatuhkan para utusan paus segera angkat kaki, kembali ke Roma. Sang Kardinal merasa yakin bahwa bulla ekskomunikasi itu akan memaksa Sang Batrik bertekuk lutut dan turun dari takhta karena kegagalannya dalam memimpin jemaat di Timur. Tetapi dugaan itu ibarat in aqua scribis. Upaya damai yang diprakarsai kaisar pun tidak membawa hasil yang berarti. Maka dipanggillah sebuah sinode Konstantinopel. Sinode ini seakan-akan merupakan refrein manifesto Batrik Photius (867) yang menganggap paus sebagai heretik dan perusak kebun anggur Tuhan. Oleh karena itu Sinode tahun 1054 itu juga menjatuhkan ekskomunikasi terhadap orang-orang Latin. Lebih tepat dikatakan bahwa teks ekskomunikasi sinode yang dipimpin M. Cerularius tidak diperuntukkan bagi paus dan Gereja Roma, melainkan hanya tertuju langsung pada utusan-utusan orang Roma tersebut. Batrik Petrus Antiokhia yang menilai kontroversi ini dengan bijak mendesak koleganya di Konstantinopel untuk memulihkan persekutuan dengan Barat. Untuk sementara luka itu terlalu dalam dan tak terobati. De facto, sikap tegas Konstantinopel tidak lama kemudian mempengaruhi sikap para batrik Timur lainnya. Juga bangsa-bangsa yang dipertobatkan oleh para misionaris Yunani dan yang memiliki hubungan erat dengan mereka seperti Serbia, Bulgaria, Rusia, Rumania dilibatkan dalam skisma hingga hari ini.(PS) (bersambung) ~Dv
Posted on: Wed, 21 Aug 2013 04:08:40 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015