Seberapa jauh manusia bisa berubah..? Secuil dari sekelumit - TopicsExpress



          

Seberapa jauh manusia bisa berubah..? Secuil dari sekelumit pertanyaan yang selalu muncul dalam benak saya semenjak kecil. Sekarang, setelah lebih dari tiga puluh tujuh tahun hidup di dunia dengan mengecap segala macam pengetahuan dan pengalamanan ini itu, saya masih belum memiliki jawaban yang super pasti selain menyimpulkan formula sendiri, “Perubahan adalah nafas semesta.” Jelas itu tidak menjawab pertanyaan apakah manusia mampu berubah menjadi apa saja seenak jidat. Lebih jauh lagi, itu juga tidak bisa menjawab pertanyaan apakah seluruh komponen-komponen seorang manusia, terlepas dari faktor kemampuan, dibolehkan atau tidak untuk diubah. Tapi setidaknya formula itu membantu saya untuk menciptakan ruang gerak yang lebih optimal untuk sebuah pekerjaan transformasi. Saya ingat ketika masa kuliah dulu membaca beberapa jurnal ilmiah yang mengatakan bahwa kepribadian manusia bisa diubah, tapi karakternya tidak bisa. Beberapa tulisan lainnya menentang, menyatakan yang bisa diubah hanyalah perilaku yang terlihat (behavior), bukannya sikap (attitude). Kalau mau diambil benang merah, hampir semuanya membuat sebuah dualisme kutub antara apa yang dipelajari (learned) dan diturunkan (inherited), dan bahwa yang disebutkan terakhir cenderung lebih sulit menjalani sebuah perubahan, baik secara potensi (mampu atau tidak) maupun etika (boleh atau tidak). Kepelikan kedua kutub itu masih ditambah lagi dengan adanya kutub tambahan dari alam religi tentang keberadaan zat kasat mata alias energi alias anima alias nyawa alias roh yang memang merupakan esensi sejati dari manusia itu sendiri. Seberapa jauh seorang manusia bisa berubah? Sebatas kulit penampilan fisik? Tatanan kebiasaan dan pola pikir? Kepribadian dan karakter? Roh? Ada banyak orang berpendapat Roh adalah sebuah kesatuan yang sempurna, sempurna, esa dan tetap, tidak akan pernah berubah. Namun, jika kita memperhatikan dinamika kosmos dunia, variabel yang diam dan kaku cenderung menemui kepunahan, tergeser oleh variabel lain yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Mungkin roh tidak mengalami kemunculan atau kepunahan, tapi hanya sekedar perubahan bentuk. Misalnya membesar, mengecil, menekuk, memanjang, membulat, menyempit, atau transformasi apapun demi menyinkronisasikan dirinya sebagai sesuatu yang hidup. Bayangkan lucunya jika Roh (yang notabene diartikan ‘hidup’) adalah sesuatu yang diam, tidak berubah, atau mati. Itulah alasan yang mendasari kalimat saya di atas, “Perubahan adalah nafas semesta,” yang dapat diaplikasikan kepada, “Perubahan adalah nafas manusia.” Secara biologis, kita senantiasa berubah. Tubuh yang kita miliki sekarang ini tidak sepenuhnya identik dengan tubuh yang kita miliki satu jam yang lalu. Ratusan, kalau bukan ribuan, sel tubuh kita lahir, bertumbuh dewasa, menua, dan mati silih berganti setiap harinya. Demikian juga dengan kondisi psikis manusia yang selalu menyerap pengalaman, beradaptasi serta menciptakan respon-respon baru yang lebih efisien dari sebelumnya. Sebagai seorang konsultan di bidang romansa, saya setiap harinya diberikan kehormatan untuk menjadi agen pembawa perubahan. Orang-orang membayar saya untuk menciptakan sebuah keajaiban dalam diri mereka yang selama ini terasa kurang memuaskan. Ketidakpuasan dalam hidup membuat mereka berpikir harus segera berubah, namun anehnya semakin mereka mencoba berubah, semakin mereka menemui kegagalan. Itu sebabnya mereka lari pada materi-materi pengembangan diri, berharap bisa melihat secercah sinar yang menerangi anak-anak tangga perubahan yang ada di depan. Sebagian besar berharap menemukan ledakan bom atom yang akan langsung mengubah hidup mereka dalam sekejap setelah mengikuti advis buku atau program tertentu. Namun bagi kebanyakan mereka, perubahan itu tidak pernah kunjung datang. Alasannya adalah mereka dibuai oleh metode dan taktik-taktik manis yang terkesan mengubahkan, menjanjikan citra diri yang lebih baik, menjadi seorang pencinta wanita, pria, ibu, ayah, keluarga, binatang, sekolah, negara, atau apapun yang ada di dunia ini tanpa terlebih dahulu menginisiasi sebuah perubahan untuk belajar mencintai diri. Itulah titik awal dari perubahan dan survivalitas manusia. Kita harus menjadi lebih peka membuka mata menyadari bahwa perubahan tidak akan bisa dicapai dengan cara melarikan diri, ataupun mengalihkan perhatian dengan nasihat-nasihat yang manis, berharap segala sesuatu akan berubah dengan sendirinya dalam sekejab. Tidak dengan cara itu, Sobat, juga tidak dengan jenis motivasi dan attitude yang demikian. Di situlah letak bahaya terbesar dari keberadaan para advokat, konsultan, dan pelatih-pelatih pengembangan diri yang sibuk dengan acara-acara heboh mereka. Mereka hadir dengan klaim yang fantastis serta menyilaukan sehingga kita berpikir kita membutuhkan mereka. Saran-saran transformasi yang mereka dengungkan dikemas secara segar sedemikian rupa, sehingga kita lupa bahwa diri kita pun dahulu pernah berpikir hal yang sama namun langsung membuangnya jauh-jauh karena merasa, “Ah, saya selama ini begini-begini saja, mana mungkin muncul ide bagus ataupun bertransformasi dengan sendirinya?” ‘Saya’ bukanlah identitas. ‘Saya’ bukanlah ketetapan. ‘Saya’ bukanlah sebuah sesuatu. ‘Saya’ adalah kekinian yang berlalu ke masa depan. Sebuah sistem kecerdasan evaluatif yang selalu menciptakan fluks perubahan ketika bersinggungan dengan materi lingkungan sekitar. Saya yakin jauh di dalam diri ini, kita dapat mengenali bagaimana dan dimanakah perubahan yang sejati itu berada. Perubahan yang berbuah adalah perubahan yang bisa berjalan selaras dengan denyut-denyut perubahan yang sudah terjadi dengan alami di dalam diri kita. Perubahan yang terasa pas dan mengena, berbicara pada citra diri yang terdalam, lalu bergandengan dengan nyaman menuju transformasi yang diinginkan. Seberapa jauh manusia bisa berubah? Saya pikir jawabannya adalah sejauh dia menyadari bahwa dirinya memang tidak pernah tidak berubah. Perubahan selalu menjadi bagian dalam biologi, psikologi, dan spiritualitas manusia. Yang kita perlu lakukan hanyalah menyadari arus perubahan yang ada dan mendorongnya lebih cepat atau lebih lambat sesuai keinginan ke arah yang dituju sejauh apapun. Ketebalan buku self-development yang seseorang baca sama sekali tidak menentukan seberapa besar perubahan yang bisa ia dapatkan. Kebesaran niat seseorang untuk berubah tidak menentukan seberapa jauh dia bisa menyempurnakan perubahannya. Kekuatan komitmen yang seseorang kumpulkan seringkali berbanding terbalik dengan jarak perubahan yang berhasil dia tempuh. Kita menyabotase perubahan yang diinginkan setiap kali melupakan bahwa diri kita dengan senantiasa berubah manusia yang lebih baru setiap milisekon-nya. Sepanjang seseorang berpikir perubahan adalah sesuatu yang harus diciptakan atau didapatkan, bukannya diakselerasi, maka dia akan kesulitan mencapai garis akhir yang diinginkan. Seberapa jauh manusia bisa berubah? Saya sudah jelaskan panjang lebar di atas. Kita bisa memulainya sekarang juga. Bahkan saya terlalu yakin Anda sedikit demi sedikit menyadari ratusan gelitik impuls perubahan yang sedang terjadi dalam hidup Anda semenjak awal membaca artikel ini. Ambil keputusan bahwa mulai saat ini, detik ini, di tempat ini, berubah adalah hal mudah, apalagi jika kita melakukannya bersama-sama
Posted on: Wed, 24 Jul 2013 22:22:23 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015