Selamat siang sahabat. Siang ini saya ingin menyampaikan - TopicsExpress



          

Selamat siang sahabat. Siang ini saya ingin menyampaikan gagasan tentang sebuah tema : Menggugat Partai Politik Pasca Reformasi di Indonesia. Reformasi politik yang dimulai dengan runtuhnya kekuasaan orde baru oleh para mahasiswa terimplementasi oleh perubahan UUD 1945 oleh MPR RI. Perubahan tersebut dilakukan semenjak tahun 1999 s/d 2002 dalam satu kali perubahan. Amandemen UUD 1945 dilakukan merespon tuntutan rakyat yang telah tertekan selama 32 tahun masa orde baru Nuansa kebatinan rakyat Indonesia yang turut mewarnai para perumus perubahan undang-undang dasar tersebut antara lain: tuntutan dihapuskannya KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), penghapusan dwi fungsi ABRI serta pemisahan TNi dan POLRI, Pembatasan Masa Jabatan Presiden, serta dilaksanakannya otonomi daerah sebagai antitesa dari sentralisasi pemerintahan pada jaman Orde Baru berkuasa selama lebih dari 32 tahun. Secara bertahap anggota MPR RI yang tergabung dalam PAH I dan PAH II megkaji pascal demi pasal sehingga dari 37 pasal pada UUD 1945 sebelum amandemen bertambah hingga 73 pasal. Seluruh anggota MPR RI secara bulat dan penuh menyepakati perubahan UUD 45 tanpa mengubah beberapa hal: 1) pembukaan UUD 1945, 2) tetap mempertahankan NKRI, 3) Mempertegas sistem presidensiil, 4) Penjelasan UUD 1945 akan dimasukan ke dalam batang tubuh 5) Perubahan dilakukan secara adendum. Setelah 12 tahun setelah dilaksanakannya perubahan kelima UUD 1945 tersebut ironisnya kita seolah masih jalan ditempat. lhistoire se répète nampaknya juga terjadi dalam sejarah bangsa Indonesia dalam masa yang singkat. Reformasi yang berhasil menumbangkan rezim orde baru dengan tuntutan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang menjangkiti saat itu menjangkiti pemerintahan yang berkuasa. Korupsi yang dilakukan olek kroni-kroni Soeharto merasuk ke unsur birokrasi dan pemerintahan sampai dengan partai politik penopang kekuasaan orde yang berkuasa selama lebih dari 32 tahun. Sama dan sebangun dengan Kolusi yang berkelindan antara penguasa dan pengusaha dalam mempengaruhi berbagai kebijakan publik. Namun hari ini faktanya KKN di era sebelum reformasi masih ada ditengah kita. Bahkan semakin marak dan bervariasi dibandingkan era sebelumnya. Korupsi yang dahulu hanya terjadi pada tingkat pemerintah pusat dan penguasa orde baru sekarang telah terdesentralisasi sampai ke seluruh daerah. Terhitung lebih dari separuh atau sekitar 300-an kepala daerah baik gubernur, bupati dan walikota telah menjadi tersangka korupsi. Bahkan yang paling menyesakkan dada Ketua Mahkamah Konstitusi ditangakap KPK karena tertangkap tangan menerima suap untuk kasus Pilkada yang disidangkannya. Sebagai lembaga hukum tertinggi yang menghasilkan keputusan final dan mengikat kekuasaan MK sangat besar dan hampir tidak ada yang mengawasinya. Korupsi bukan saja dilakukan oleh lembaga eksekutif tetapi juga menimpa lembaga legislati dan yudikatif sehingga diplesetkan menjadi trias coruptica, legislathieves, eksekutieves, dan yudikathieves. Bahkan ironis sekali saat budaya transaksional sudah menjangkiti rakyat Indonesia yag dibiasakan oleh para calon kepala daerah, calon anggota DPR hingga calon kepala desa. Kolusi sebagai salah satu jargon perlawanan yang ingin dihapurkan di era reformasi justru semakin terakumulasi khususnya di daerah. Otonomi daerah yang berlangsung selama reformasi hingga sekarang ini telah berhasil menjual secara murah sebagian besar (bila tidak seluruhnya) aset produktif di daerah yang tidak mampu dicapai oleh kolonialisme selama 350 tahun. Modusnya adalah pembiayaan pilkada yang dilakukan oleh para pengusaha kepada calon-calon kepala daerah yang berkontestasi di dalam pilkada gubernur, bupati dan walikota. Akibatnya seluruh sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, mayoritas dimiliki oleh pengusaha yang mayoritas berasal dari pusat. Nepotisme yang dahulu dipersonifikasikan dengan kroni-kroni penguasa saat ini telah bersalin rupa secara massive dan sistemik. Kalau dulu nepotisme hanya terjadi di pusat maka hari ini telah menyebar merata dihampir seluruh provinsi di Indonesia dengan bentuk politik dinasti. Sebut saja daerah yang diindikasikan menerapkan politik dinasti seperti Banten, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, Lampung, ddan beberapa daerah lainnya. Praktek politik dinasti ini tentunya juga ditopang oleh penyalahgunaan kewenangan seperti korupsi APBD, pemanfaatan aparat birokrasi, pemaksaan terhadap calon keluarga asal dinasti untuk menduduki jabatan publik, intimidasi dan kekerasan oleh sekelompok orang, yang tujuan akhirnya adalah melanggengkan kekuasaan politik dinasti di suatu daerah. Melihat realitas sosial dan politik Indonesia hari ini, lantas kita bertanya ini semua salah siapa ? Bukan hal yang mudah menjawab itu semua tetapi pasti ada jawabannya. Karena semua punya andil salah dan semuanya bahkan mungkin menikmati dari kesalahan ini sekecil apapun. Tetapi coba kita renungkan siapa yang paling bertanggung jawab terhadap seluruh persoalan yang menimpa bangsa Indonesia hari ini ? Partai politik pasca reformasi memegang peranan sentral dalam perumusan berbagai kebijakan baik ditingkat pusat maupun daerah. Partai politik juga yang menghasilkan berbagai produk hukum dan perundang-undangan yang dipergunakan untuk menjalankan roda pemerintahan. Partai politik juga yang secara langsung terlibat dalam pengusulan nama-nama pejabat publik yang mengisi jabatan-jabatan strategis di tingkat nasional dan daerah. Partai politk juga yang menghasilkan pemimpin-pemimpin baik di tingkat pusat maupun daerah yang menjalankan baik buruknya roda pemerintahan. Bahkan partai politik juga, melalui wakil-wakilnya di parlemen menterjemahkan konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945, menjadi undang-undang. Atas berbagai pertimbangan tersebut maka sangat wajar dan logis apabila partai politiklah yang bertanggung jawab atas berbagai kerusakan yang menimpa bangsa Indonesia hari ini. Carut marut yang menimpa Mahkamah Konstitusi juga tidak lepas dari peran partai politik. Melalui kewenangannya membuat undang-undang No 24 Tahun 2003 maka lahirlah MK. Pada konstitusi dicantumkan kewenangan MK antara lain: 1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.2. Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.3. Memutus pembubaran partai politik, dan4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kewenagan nomor empat inilah yang kemudian menjadi akar permasalahan korupsi yang menimpa MK. Seharusnya kewenangan memutus perseliisihan tentang hasil pemilu tidak terkait dengan Pilkada. Ada perbedaan pasal yang mengatur tentang Pemilu yang meliputi soal pemilihan DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan DPRD. Sementara pilkada adalah pemilihan kepada daerah yang diatur dalam pasal 18 ayat 3 dan 4 UUD 1945. Namun oleh DPR dibuatkan undang-undang yang mengatur sengketa pilkada masuk menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Hal ini tentunya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 namu dengan pertimbangan politik maka diberikanlah kewenangan tersebut. Bisa dibayangkan 500 lebih pilkada di daerah dimana hampir 80% bersengketa di Mahkamah Konstitusi menjadi peluang masuknya korupsi di lembaga tersebut. Demikian pula dengan sengkarut yang terjadi pada Pilkada di daerah yang pada awal amandemen semangatnya adalah penyederhanaan Pemilu yang dilakukan secara serentak. Maksud tujuannya adalah agar terbangun koalisi permanen antar partai politik sebelum pemilu dilakukan. Dalam jangka panjang koalisi permanen ini tentunya akan membangun sistem kepartaian yang sederhana melalui mekanisme partai penguasa pemenang pemilu dan partai opsisi yang kalah pemilu. Pengelompokan partai ini terjadi secara alamiah dan bukan dipaksakan sebagaimana yang dilakukan pemerintah orde baru. Namun sekali lagi partai politik juga yang tetap mengingingkan dilakukannya pilkada secara otonom dan mandiri untuk setiap daerah. Akibatnya anggaran daerah yang seharusnya dapat digunakan untuk membangun fasilitas publik harus dipakai untuk membiayai proses pilkada. Lebih jauh lagi koalisi permanen dan bukan politik dagang sapi akan tercipta seandainya pemilu dan pilkada dilaksanakan secara serentak. Politik dinasti yang terungkap belakangan ini pun tidak lepas dari peran partai politik untuk mempertahankan kekuasaannya di daerah. Secara normatif adalah hak asasi setiap orang untuk menjadi pejabat publik dan mengikuti proses kontestasi politik di tingkat pusat dan daerah, termasuk keluarga pejabat yang tengah memangku jabatan puncak. Namun menjadi persoalan apabila hak asasi tersebut ditopang oleh penyalahgunaan kewenangan yang bertentangan dengan rasa keadilan dan semangat demokrasi/reformasi. Partai politik justru menjadikan dinasti sebagai salah satu pilar untuk menjaga status quo dan menghambat proses demokrasi melalui sistem rekrutmen kepemimpinan di daerah secara adil, jujur dan terbuka. Meritrokasi yang seharusnya menjadi dasar dalam seleksi kepemimpinan di daerah ditabrak habis dengan mendukung para dinasti menghalalkan segala cara untuk mempertahankan hegemoni kekuasaannya. Sistim transaksional yang telah merusakan sendi-sendi sosial rakyat Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kesalahan partai politik. Sistim itu pula yang telah menjadikan para wakil rakyat tersangka kasus korupsi sebagai konsekwensi logis pengembalian modal yang telah digunakan untuk menyuap rakyat untuk memilih mereka. Kondisi sebagian besar rakyat yang masih hidup dalam kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan sangat rentan dengan eksploitasi dan mobilisasi dengan iming-iming materi minus nilai-nilai moral dan etika politik. Suara rakyat seolah hanya dihargai dengan kaos, sembako, uang, dan panggung musik dangdut, maka tuntaslah tugas dan fungsi para calon wakil rakyat. Politik transaksional yang menghapus modal sosial rakyat seperti kegotong royongan dan kesederhanaan yang menjadi modal rakyat bersama para pemimpin bangsa dahulu saat memerdekakan Indonesia dari tangan penjajah. Alih-alih memberikan pendidikan politik kepada masyarakat dan membangun konstituen yang cerdas partai politik tidak pernah melakukan hal penting yang sejatinya menjadi raison detre partai politik. Partai politik hanya sibuk turun ke masyarakat detik-detik terakhir menjelang pemilihan umum dan pilkada. Sementara setelah terpilih hanya akrobat politik yang dipertontonkan minim nilai-nilai kenegarawanan dan etika moral yang dapat dijadikan panutan oleh rakyat. Otonomi daerah yang sejatinya ingin mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat ujung-ujungnya dibajak para politisi dan direstui oleh partai politik untuk membagi-bagi kekuasaannya di daerah. Kita tidak sadar betapa besar anggaran yang dikeluarkan untuk membiayai operasional suatu pemerintah daerah dibandingkan anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan secara keseluruhan. Ironisnya otonomi daerah malah tidak berkorelasi positif terhadap peningkatan kesejahteraan dan kualitas kehidupan rakyat. Hal itu terlihat jelas dari masih rendahnya indeks taraf hidup masyarakat di daerah pasca diterapkannya otonomi daerah. Hal ini terjadi manakala otonomi daerah dimanfaatkan untuk meraih kekuasaan oleh elit-elit daerah minim upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Apabila suatu daerah ditetapkan sebagai daerah otonom maka sebagian besar anggaran dipergunakan untuk memfasilitasi birokrasi dan pembangunan bangunan aparat pemerintah. Sementara soal fasilitas publik seperti sekolah, rumah sakit, jalan, jembatan, menjadi prioritas kesekian. Hampir sebagian besar APBD (70% s/d 80%) di mayoritas daerah kabupaten dan kota dipergunakan untuk biaya rutin seperti gaji pegawai dan ongkos birokrasi. Lantas bagaimana bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan optimal apabila hanya 20 % s/d 30% anggaran dipergunakan untuk membangun fasilitas publik ? itupun kalau tidak dihinggapi praktek korupsi dan mark up yang sudah menjadi gejala umum di setiap proyek pemerintah. Secara akumulatif anggaran pemekaran wilayah dan otonomi daerah menghabiskan anggaran yang sangat besar. Pemekaran daerah yang usul inisiatifnya ada di DPR RI sangat kental aroma bagi-bagi kekuasaan di elit politik daerah minus upaya mensejahterakan rakyat. Bahkan atas nama aspirasi dan usulan masyarakat daerah wilayah yang tidak memiliki kemampuan pendanaan pun dapat dijadikan daerah otonom. Karena dipaksakan tentunya daerah tersebut akan memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap dana alokasi dari pemerintah pusat untuk (sekali lagi) membiayai anggaran birokrasi bukan untuk kesejahteraan rakyat. Kalau dibiarkan maka syahwat politisi untuk memekarkan daerah menjadi tak terbatas sampai habis semua anggaran negara ini untuk membiayai birokrasi. Sekali lagi betapa partai politik bertanggung jawab terhadap otonomi daerah yang kebablasan. Pilkada yang dilaksanakan di Indonesia hampir terjadi setiap hari bahkan lebih karena jumlah hari hanya 365. Terjadi peningkatan sebesar 64% jumlah daerah baru semenjak tahun 1998 sampai dengan hari ini. Jumlah daerah di Indonesia terdiri dari 34 provinsi, 409 kabupaten, 1 kabupaten administrasi, 93 kota, dan 5 kota administrasi di Indonesia. Kabupaten administrasi dan kota administrasi bukanlah daerah otonom, tetapi merupakan kabupaten/kota tanpa DPRD. Proses pilkada langsung telah menciptakan ketegangan sosial diantara para pendukung calon kepala daerah. Terlebih di tingkat kabupaten dan kota yang hubungan emosionalnya paling dekat dengan masyarakat di tingkat paling bawah. Kedewasaan berpolitik masyarakat yang rendah menciptakan suasana yang saling curiga dan tidak mempercayai keputusan penyelenggara pemilu di daerah. Hal ini ditunjang lagi dengan perilaku menyimpang dari calon petahan yang selalu ingin mempertahankan kekuasaannya. Lantas apa yag harus kita lakukan hari ini ? Apakah kita harus anti terhadap partai politik dan memilih menjadi Golput pada pemilu 2014 mendatang ? Ibarat pepatah ingin menangkap tikus janganlah lumbung padinya dibakar habis. Momentum pemilu 2014 adalah saatnya rakyat memilih partai politik yang jujur dan bersih sekaligus menghukum partai politik yang korup dan tidak memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Pertanyaannya kemudian, apakah ada partai politik semacam itu ? Mungkin tidak 100% jujur dan bersih tetapi yang paling sedikit melakukan kejahatan korupsi. Bukan perkara mudah apabila melihat kondisi hari ini hampir semua partai memiliki andil terhadap praktek-praktek penyelewengan kekuasaan yang berujung pada korupsi, kolusi dan nepotisme. Bahkan partai yang dianggap bersih sekalipun turut andil dengan diamnya mereka saat pembahasan produk undang-undang yang ujung-ujungnya menimbulkan malapetaka bagi rakyat Indonesia. Korupsi sebagai sebuah kejahatan kemanusiaan harus menjadi musuh bersama seluruh rakyat Indonesia tak ketinggalan partai politik. Oleh karena itu pada masa pencalegan ini lihatlah baik-baik, satu demi satu, siapa calon-calon anggota legislatif yang akan dipilih rakyat pada pemilu mendatang. Lalu bedah partainya, apakah memiliki platform serta visi dan misi untuk membangun Indonesia yang lebih baik, sejahtera, demokratis, adil dan bermartabat. Tidak kalah pentingnya lihatlah rekam jejak dari pimpinan partai serta kebijakan yang dikeluarkannya terhadap kader partainya yang terindikasi atau menjadi tersangka. Apakah partai tersebut membela dan malah melindungi dengan cara memberikan bantuan hukum terhadap para tersangka korupsi tersebut ? Atau secara tegas menyatakan akan menghukum seberat-beratnya pelaku koruptor tanpa pandang bulu. Bukan tidak mungkin dan hampir dipastikan bahwa seluruh partai politik akan berkampanye semaksimal mungkin untuk membentuk citra dan opini selaku partai yang bersih, jujur dan anti korupsi. Namun rekam jejak yang tertinggal harus menjadi pertimbangan utama apakah partai tersebut sungguh-sungguh memperjuangkan Indonesia yang bebas korupsi atau malah membodohi rakyat dengan iklan dan jargon kosong tak bermakna: Katakan Tidak Pada (hal) Korupsi !!
Posted on: Mon, 21 Oct 2013 06:26:35 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015