Seorang Sarjana Teknik Bisa yg Sukses Di dunia - TopicsExpress



          

Seorang Sarjana Teknik Bisa yg Sukses Di dunia perbankan: Inspirasi Buat sarjana teknik lainnya Hal yang jamak dilakukan oleh seorang pimpinan baru ketika masuk di sebuah perusahaan adalah meng-hire atau menempatkan ‘orang-orang bawaan’ yang seringkali berasal dari perusahaan lama mereka. Dengan cara itu, mereka berpandangan, program-program yang telah direncanakan dapat ‘diamankan’. Namun, tindakan seperti itu yang justru dihindari Eko Rachmansyah Gindo. Menurut Eko yang kini menjabat sebagai direktur utama PT Bank Victoria International Tbk, sikap cepat menyalahkan situasi dan kondisi perusahaan baru yang berlanjut pada penempatan orang-orang bawaan, malah berpotensi melahirkan zona konflik. “Kalau saya masuk zona konflik, itu akan menguras energi. Energi akan tersalurkan ke hal-hal yang negatif. Sudah kerja capek, tapi nggak ada hasilnya,” tandas pria kelahiran Jakarta, 43 tahun silam itu, dalam perbincangan dengan wartawan Investor Daily Nasori di Jakarta, baru-baru ini. Untuk menghindari zona konflik, hal pertama yang ia lakukan ketika masuk di sebuah perusahaan baru adalah menemukan potensi kekuatan, bukan mencari-cari kelemahan. Langkah selanjutnya yaitu mentransformasi potensi kekuatan tersebut menjadi kekuatan riil. Model pendekatan apa lagi yang diterapkan Eko Rachmansyah? Sejauh mana efektivitas pendekatan itu? Berikut petikan lengkap wawancara tersebut. Bisa diceriterakan perjalanan karier Anda dari awal hingga akhirnya memimpin PT Bank Victoria International Tbk? Saya lulus Program Studi Teknik Perminyakan Institute Teknologi Bandung (ITB) pada 1995. Setelah itu, sempat bekerja sekitar seminggu di perusahaan pengeboran minyak Schlumberger-Anadrill sebagai junior field engineer. Saat lulus, kebetulan harga minyak sedang jatuh, hanya US$ 10 per barel. Bagi alumni teknik perminyakan, satu kebanggaan kalau bisa bekerja di oil company, bukan di service oil company. Meski gaji besar, Schlumberger-Anadrill kan service oil company. Kalau bisa, saya ingin masuk oil company, seperti Caltex atau Chevron. Namun saat itu perusahaan-perusahaan tersebut belum buka lowongan. Padahal, saya dari keluarga tidak mampu, sehingga usai kuliah harus mencari duit. Alhasil, waktu itu saya mengajukan aplikasi untuk lowongan apa saja. Kebetulan ada panggilan dari Bank Niaga. Meski sempat khawatir karena background pendidikan saya bukan ekonomi atau manajemen, namun setelah menjalani pendidikan kurang lebih delapan bulan, saya menemukan passion dan saya enjoy bekerja di bank. Tapi, saat krisis ekonomi 1997/1998 saya bergabung ke BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Di BPPN saya diminta oleh Pak Prasetio, atasan saya saat di Bank Niaga, untuk membantu Pak Arwin Rasyid (kini direktur utama PT Bank CIMB Niaga Tbk) sekitar dua tahun hingga akhirnya Pak Arwin menjadi wakil ketua BPPN. Saya menjadi staf ahli. Setelah itu Pak Arwin mendapat penugasan baru di Bank Danamon yang merupakan hasil merger sejumlah bank. Akhirnya saya diajak Pak Arwin ikut masuk Bank Danamon menjadi staf corporate affair dan corporate planning. Pada 2002 BPPN menjual Bank Danamon ke Temasek dan ada pergantian CEO. Francis Andrew Rozario menjadi CEO yang baru Bank Danamon. Terus, saya ingin tantangan baru karena selama tujuh tahun berkarier di perbankan, saya tidak pernah di bisnis. Selalu support. Waktu itu sempat diajak bergabung ke Bank Negara Indonesia (BNI) oleh Pak Arwin yang ditunjuk sebagai wadirut BNI. Tapi, Jerry Ng, direktur saya di Bank Danamon mengatakan, “Mau sampai kapan kamu ikut Pak Arwin. Padahal, kamu punya potensi”. Akhirnya dia memberi kesempatan saya di bisnis dan saya diminta memegang bisnis UKM Bank Danamon bersama Pak Gandhi (Gandhi Ganda Putra, mantan direktur utama PT Bank Pundi Indonesia Tbk). Setelah itu, 1 Maret 2005 saya mundur dari Bank Dananom. Selanjutnya? Selanjutnya saya masuk perusahaan lokal, Bosowa. Dari 2005 sampai akhir 2011 atau sekitar enam tahun. Saya masuk Bosowa asal-muasalnya karena waktu itu Bosowa bermaksud melakukan investasi di perbankan. Namun, karena situasi ekonomi dan segala macam, setelah melakukan penjajakan akhirnya nggak jadi. Baru sekarang Bosowa mulai masuk ke perbankan. Hanya, saya ini kan orangnya ‘gatel’ dan nggak bisa kalau nggak kerja. Kemudian saya bertemu Erwin Aksa sebagai CEO dan Pak Aksa Mahmud sebagai pendiri. Saya bilang, “Kasih saya pekerjaan. Kalau nggak, bisa bego nih saya”. Akhirnya saya diminta mengurus kelapa sawit di Tanjung Enim. Saya menjadi semacam tim buser atau tim restrukturisasi sebagai board dari kantor pusat yang merestrukturisasi perusahaan-perusahaan dalam group Bosowa yang sekitar 40-an perusahaan. Akhirnya, Bosowa memutuskan hanya ada lima divisi bisnis inti. Pertama tentu semen, terus delearship otomotif, infrastruktur, properti, dan financial service business. Saya pernah menjadi direktur operasioanal di Nusantara Infrastructure (perusahaan jalan tol), terus pada 2009 saya ditunjuk sebagai chief executive untuk cement business division yang membawahi Semen Bosawa Maros dan Semen Bosowa Indonesia di Batam. Kemudian pada 2010 saya ditunjuk sebagai dirut Semen Bosowa Indonesia untuk restrukturisasi. Jadi, akhirnya saya menjadi operator pabrik semen dan jualan semen. Setelah dari Bosowa? Pada 1 Januari 2012 saya ditawari oleh Ibu Suzan (Suzanna Tanojo, pemegang saham pengendali Bank Voctoria) untuk menjadi komisaris utama Bank Victoria. Saya masuk sebagai komisaris utama, bukan dirut. Kenapa saya terima itu, karena saya sempat sakit pada 2011. Sebelumnya saya sering traveling karena pabrik semen Bosowa banyak sekali dan saya hanya berada di Jakarta pada hari Jumat, Sabtu, Minggu, dan Senin. Tujuan saya ke Bank Victoria sebenarnya ingin istirahat. Menjadi komisaris utama sebenarnya untuk cooling down situasi. Enam tahun di sektor riil cukup headache juga. Makanya, saya menerima tawaran sebagai komisaris utama dan waktu itu Bank Victoria hanya ada 80 cabang di seluruh Jakarta, Tangerang, Depok, dan Bekasi. Bogor belum ada. Saya diangkat sebagai komisaris utama pada Desember 2011, tapi lolos fit and proper test Januari 2012. Namun, Juni 2012, baru lima bulan menjadi komisaris utama, komite nominasi dan remunerasi memanggil dan minta saya untuk masuk di jajaran eksekutif. Ya, oke saja. Saya prinsipnya mengalir saja dan akhirnya sampai sekarang. Passion seperti apa yang Anda temukan di sektor keuangan, sehingga meski sempat ke sektor riil akhirnya kembali lagi ke sektor keuangan? Sebenarnya saya nggak pernah memproyeksikan bahwa saya harus begini atau harus begitu. Saya hanya menjalani hidup. Mengalir saja. Selama saya masih sanggup menjalani, ya saya jalani. Sebenarnya, passion terbesar saya adalah saya mau terus belajar dan menyukai tantangan, sehingga kalau segalanya sudah running well, mungkin saya kurang suka. Saya akan mencari tantangan baru. Di sektor riil atau keuangan, bagi saya no problem. Setiap ada tantangan, ini sesuatu yang menarik. Karena penyemangat hidup saya adalah keluarga. Saya tidak punya warisan. Bagi saya, bisa bekerja dengan halal, menunjukkan prestasi, dan bisa menyejahterakan istri maupun anak-anak, itu sudah cukup. Apa prinsip dan kiat yang selalu Anda pegang, sehingga akhirnya dipercaya oleh para pemegang saham untuk menduduki posisi puncak di sejumlah perusahaan? Prinsip yang saya pegang sejak di Bank Danamon, Bosowa, dan kemudian Bank Victoria adalah bahwa seorang leader tidak boleh gampang menyalahkan situasi. Saya perhatikan, banyak leader setiap masuk di sebuah perusahaan cepat menyalahkan situasi dan kondisi. Itu memang hal yang paling gampang dilakukan. Di setiap perusahaan baru, Anda bisa cek, saya tidak pernah bawa orang. Ada orang bilang, Eko ini single fighter. Bukan masalah single fighter, tapi saya harus beradaptasi dengan lingkungan di mana saya masuk. Orang yang membantu saya di Bank Danamon, belum tentu cocok membantu saya di Bosowa. Biarkan mereka berkembang dengan kariernya sendiri, sehingga networking mereka menjadi banyak. Yang saya lakukan setiap masuk perusahaan adalah fokus mencari kekuatan. Potensi kekuatannya apa? Contoh, waktu saya masuk di Bank Victoria potensi kekuatannya kami mempunyai 80 cabang, hanya di Jakarta. That efficient, that effective. Ini potensi kekuatan. Dengan konsisi 80 cabang hanya 33% yang profit. Tapi, ini kan potensi kekuatan. Terus bagaimana? Saya sebagai seorang leader, mencoba mentransformasi potensi menjadi kekuatan riil. Kalau di motor, kalau di-tune up, kita geser sedikit saja, larinya bisa kenceng. Bukan ganti spart part. Saya merasa kunci strategi saya seperti itu. Dengan itu saya tidak pernah masuk pada zona konflik. Karena yang saya lihat potensi kekuatan, bukan cari-cari kelemahan. Kalau saya cari kelemahan orang, saya akan masuk zona konflik. Kalau saya masuk zona konflik, itu akan menguras energi saya. Energi akan tersalurkan ke hal-hal yang negatif. Kita sudah kerja capek, tapi nggak ada hasilnya. Alhamdulillah, ketika saya masuk, aset bank ini baru Rp 11 triliun dan Juni lalu, dalam 1,5 tahun, aset konsolidasi kami tutup Rp 17 triliun. Bagaimana agar pendekatan ‘menghindari zona konflik’ ini tidak ditangkap sebagai pendekatan yang tidak tegas? Hindari subjektivitas. Lakukan semua secara objektif dan transparan, selain itu harus ada sosialisasi. Saat saya masuk di Bank Victoria, hanya 33% cabang yang profit, 67% belum. Terus apa? Apakah saya harus ganti 67% kepala cabang yang tidak profit? Nggak mungkin kan? Lalu saya tanya mereka, Anda sadar nggak sih bahwa cabang Anda tidak profit? Kadang mereka ini orang yang potensinya ada di bisnis, sehingga tidak mengerti financial model atau financial statement. Akhirnya kami mencari solusi, orang accounting-lah yang berperan men-support dengan menyuplai semacam speedometer sebagai arahan. Misalnya, hai…Anda keluar jalur lho, masa cabang-cabang lain cost of fund-nya 6,5-6,6%, Anda 7%. Itu yang kami siapkan dan setiap bulan kami berikan laporan. Pada saat kami menerapkan pengukuran yang transparan dan objektif itu, dua kepala cabang mundur dengan suka rela dan tidak pakai ribut. Mereka datang ke saya dua kepala cabang mundur dengan suka rela dan tidak pakai ribut. Mereka datang ke saya dan mengaku tidak sanggup. Apa obsesi Anda terhadap Bank Victoria? Bank Victoria ini kan sudah 99 cabangnya di Jadebotabek. Untuk target jangka pendek, saya ingin, tahun ini seluruh cabang lolos standar QPI (quality performance indicator) yang kami terapkan. Saya tidak ingin ada gerbong yang tertinggal. Tapi kalau mengingat kata-kata Soekarno bahwa dalam setiap revolusi selalu ada korbannya, let’s say paling tidak, kalau yang tertinggal 5%, saya tidak merasa bersalah. Kami sudah memberikan yang terbaik. Bayangkan waktu saya review Maret 2011, itu hanya 33% cabang yang profit. Untuk posisi Juni lalu sudah menjadi 76%. Saya masih ada waktu enam bulan lagi dan andai kata saya bisa bawa 15-20% lagi, kontribusi perusahaan menjadi maksimal. Saya mau melihat teman-teman kepala cabang yang seperjuangan dengan saya mulai setahun lalu, masih tetap ada dan semakin meningkat kapasitasnya dan kemampuannya ke depan. Saya tidak pernah berobsesi bahwa Bank Victoria dalam waktu sekian tahun harus sekian puluh triliun rupiah segala macam. Karena itu adalah indikator ikutan. It’s not leading indicator, itu adalah lagging indicator. Leading indicator- nya apa? Saya mencoba untuk membangkitkan semua motivasi yang ada dan insya Allah angka akan ikut. Lagging akan ikut. Itu obsesi pertama saya. Yang kedua, bank ini kan belum devisa. Tentunya saya berobsesi menjadikan bank ini sebagai bank devisa. Insya Allah, tahun depan mungkin kami mencoba untuk mengajukan lagi. Kami pantang menyerah untuk mendapatkan ini. Karena nggak fair juga, kami sekarang aset sudah Rp 17 triliunan, tapi ada bank yang asetnya baru satu triliun sudah jadi bank devisa. Ada sesuatu yang ingin saya wariskan bersama teman-teman di Bank Victoria. Obsesi Anda pribadi yang belum tercapai apa? Saya ingat pidato Steve Job saat memberikan inagurasi di Stanford. Menurut saya, it’s good speaks. Yang saya lihat ini kok sama. Kita tidak bisa memproyeksi ke depan itu seperti apa? Kita tidak bisa bilang untuk menjadi ini, kita harus kemari, kemari, dan kemari. Nggak bisa. Yang bisa kita lakukan adalah mengevaluasi. Eh, ternyata, jadi CEO di Bank Victoria itu gara-gara dulu di Bosowa, lho. Mungkin orang dulu bilang, ngapain saya keluar dari Bank Danamon ke Bosowa? Tapi, setelah saya flash back lagi, mungkin ini jalan yang sudah diarahkan oleh Yang di Atas. Akhirnya maturity dan leadership saya terbentuk. Kalau saya tidak ke Bosowa, mungkin saya tidak akan mempunyai kesempatan sebagai the real leader. Sekarang jadi bankir pun akan beda dengan bankir yang belum pernah ke sector riil. Itu jadi pengalaman. Kalau saya memberikan kredit, saya sudah bisa tahu, aduh bos jangan kejadian, deh... Jadi, saya juga bisa menjadi business partner dari para nasabah saya. Apa yang membedakan memimpin sektor riil dan keuangan? Begini, ketika saya di sektor riil, di pabrik semen, itu ada kapasitasnya. Misalnya 7.000 ton per hari, ya sudah segitu. Kalau diutak-utik, paling naik hanya 5%. Lha, sekarang kalau di bank, alat produksinya siapa sih? Manusia. Makanya di sini kita menyebutnya human capital management. Karyawanlah alat produksinya. Kapasitas manusia ini tidak ada batasnya. Kalau kita bisa menyentuh hal yang paling prinsip dari dia dan termotivasi, seseorang bisa bekerja luar biasa. Pencapaian apa yang telah membuat Anda merasa puas? Bisa dikatakan, setiap bekerja, saya punya hasilnya. Dan saya tidak merasa ini yang paling fenomenal. Semuanya saya hargai. Waktu di Bank Danamon, bagaimana saya membangkitkan 120 kepala cabang agar bisa mencapai target. Kalau di Bosowa, dulu ada banyak kredit bermasalah dan saya hampir terlibat di semua restrukturisasi kredit itu. Sekarang kondisi keuangannya sudah cukup baik, bahkan sudah bisa membeli bank. Balik lagi, itu adalah lagging-nya. Siapa orang yang baling berperan dalam pencapaian karier Anda? Ada beberapa orang. Pertama Pak Prasetio yang sekarang jadi dirut Peruri (Persero). Dari Pak Pras, saya banyak mendalami pola pikir bahwa entrepreneur harus punya modal berani. Dia sudah seperti abang saya. Kemudian Pak Arwin, luar biasa saya bisa jadi staf ahli dia. Saya belajar banyak dari dia. Sering tatap muka, juga dimarahin, ha, ha, ha... Dia orangya perfectionist. Tapi, saya banyak belajar. Kemudian Jerry Ng. Waktu saya terakhir di Bank Danamon, saya banyak berhubungan dengan dia. Kalau Jerry lebih pada bagaimana kita harus berpikir smart. Dia punya ambisi dan passion yang akhirnya dituangkan di BTPN saat ini. Dia sukses di sana. Dan saya sudah lihat passion dia pada 2003/2004 dan saya banyak berlajar di situ. Yang terakhir saya banyak belajar dari Pak Aksa Mahmud. Dia seperti ayah saya. Saya lulus kuliah sudah yatim piatu dan Pak Aksa saya anggap seperti ayah saya sendiri. Beliau banyak memberi masukan bagaimana menjadi businessman. Pemikiran-pemikiran beliau tidak saya peroleh dari mentor-mentor saya sebelumnya yang profesional. (*)
Posted on: Mon, 11 Nov 2013 14:21:36 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015