Serial : PENDEKAR NUSANTARA - Episode 1: PERTEMUAN 18 Maret 2011 - TopicsExpress



          

Serial : PENDEKAR NUSANTARA - Episode 1: PERTEMUAN 18 Maret 2011 pukul 17:03 Episode 1 - PERTEMUAN Siang yang cerah, sebuah warung minuman (arak). Terdengar alunan nyanyian nyaring suara sumbang yang cempreng mendayu bising. Beberapa orang yang melewati warung tersebut mendelik dan menutup telinga berlalu dengan bergegas. Sekitar 25 meteran dari warung tersebut, sepasukan tentara Belanda sedang melakukan patroli. Sang kapten bernama Barend Van Dwight, umur sekitar 40 tahunan, kumis dan jenggot pirang, dengan gagahnya diatas kuda tenang berwibawa. Diiringi sang ajudan yang bernama DehaanVan Adriaan, umur 25 tahunan. Tampan dengan wajah bersih. Di belakang mereka tentara Belanda berjalan kaki sekitar 10 orang dengan pangkat semua kopral. Belum sampai mereka di depan warung, suara sumbang yang bising telah membuat sang kapten resah dan gelisah. “Haan, laten we eens kijken, die zongmet een stem diediscordant…!” (coba lihat, siapa yang sedang bernyanyi dengan suara sumbang itu) “Goede kapitein” (baik kapten) sang ajudan memacu kudanya sambil memberi perintah agar 4 orang serdadu ikut serta bersamanya dan mereka berhenti diepan warung. “Koen,kijk eens wieer inen zingen, zeg hemonmiddellijkte stoppen (Koen, coba lihat siapa yang didalam dan bernyanyi, suruh dia berhenti segera!”.) Si serdadu, masuk dan tidak berapa lama, …. GHUURBBHHRRRRAAAAAKKKKK!!!.... Serdadu yang di panggil Koen terlontar dari balik dinding warung yang terbuat dari anyaman bambu. Dia terlontar 6 meteran. Sontak seketika beberapa orang dari dalam warung bergegas berlari keluar menghindari masalah. Para serdadu yang tertinggal di luar juga terkejut dengan wajah kaget dan heran sambil melongokan kepala ke dalam warung. Beberapa warga juga terkejut atas kejadian tersebut, sebahagian menghindar dan berlindung di balik pepohonan serta ada yang bersembunyi di balik warung lain tidak jauh dari warung arak. Si ajudan segera memerintahkan tiga serdadu yang tersisa untuk masuk dan melihat kejadian yang sebenarnya. “ziejullie driedie wel(“kalian bertiga lihat siapa yang berbuat!!!”) “ja meneer (siap pak)!”, mereka serempak memberi hormat dan segera mengokang senjata. Berjalan pelan masuk kedalam warung. Belum tiga langkah mereka masuk, tiga serdadu berjalan mundur, sambil keluar seorang pemuda 20 tahunan. Tampan, rambut terkesan kucel panjang sebahu, kulit putih kecoklatan, dengan tubuh kekar berisi, pakaian warna hitam dan senyum di bibir. “Kamu!, pribumi haaa… mau buat perkara dengan serdadu VOC!..”, Dehaan si ajudan menghardik keras. Si pemuda berjalan sempoyongan dan bersandar pada tiang atap luar warung. “Hiks… Kalau iya mau apa nyet!! (monyet)…., Saya minum dan bernyanyi… hiks.. bukan urusan kalian… hiks!”. Si pemuda malah balik teriak masih dengan gaya mabuknya. “tangkap dia!”. Tiba-tiba si kapten telah berada di antara mereka berikut dengan sisa serdadunya. “Eits… tunggu…!! Mengapa saya di.... tangkap… hiks…? Saya …hiks… gak ganggu orang …hiks.. dia yang ganggu saya… hiks…”, si pemuda sambil nunjuk serdadu yang meringis kesakitan karena terlempar keluar dari warung tadi. Seorang serdadu yang telah bersiap mengokang senjata mengarahkan ujung bedil kearah si pemuda. Jarak mereka 5 meteran. Dan entah bagaimana, suara halus kokang senjata terdengar siap memuntahkan isi bedil si timah panas terdengar oleh si pemuda mabuk, matanya tajam melirik ke si serdadu. Entah bagaimana sangat cepatnya, si pemuda telah berada di depan si serdadu tadi, merendahkan tubuh sambila berputar, kaki pemuda berbaju hitam telah berada di tengah bedil dan menendang keatas. Suara bedil menyalak “DORRR…!!!”. Bedil yang telah mengarah keatas ujungnya memuntahkan peluru ke atas, serdadu terkejut atas serangan sang pemuda, dan belum sempat dia berpikir, si pemuda telah menyarangkan sebuah tendangan cepat kearah ulu hati. “BRHUUGHHH…!!!!”, serdadu terlempar mengarah ke Dehaan dan membentur kuda si ajudan dengan cukup keras hingga menganggetkan Dehaan dan kudanya. Kuda terkejut hingga meringkik dan mengangkat kaki depannya hingga Dehaan terjatuh karena juga terkejut akan cepatnya kejadian yang tidak terduga tersebut. Dua serdadu yang telah bersiap mengokang senjata mengarahkan ujung bedil ke si pemuda yang hanya berjarak 8 meteran. Sipemuda telah siap, dia memutar kembali tubuhnya sambil menyapu bebatuan dan pasir menggunakan kaki. Batu dan pasir terlontar kearah dua serdadu, hingga mata dan bagian tubuh terkena sambitan akibat ulah si pemuda. Bedil kembali berbunyi melontarkan timah bundar yang panas. “DOORRR… DOORRRR…!!!!”, dua bedil menyalak serampangan, dan untungnya tidak mengenai sasaran warga yang sebahagian telah bersembunyi akibat keributan singkat tadi. Dehaan Van Adriaan segera bersiap setelah terjatuh dari kudanya, tangan kanan meraih bedil pendek yang bersarang di samping kanan pinggangnya. Cepat dan terlatih… “TRAAAGHHKK…!!!!!”, bedil pendek ditangannya terlepas oleh terjangan sebuah bedil panjang! Dia kalah cepat, karena si pemuda lebih cepat lagi menendang bedil si serdadu yang terjatuh di tanah menuju kearah tangannya. Sambil menahan sakit pada tangannya, si ajudan berteriak lantang, “TEMBAK DIA!!!!”, … “STOP!!!!! (BERHENTIIIII..!!!!)”, si kapten berteriak lebih lantang dan nyaring. “kapitein...waarom?(Kapten!??... mengapa..?)?”, si ajudan heran karena perintahnya di abort oleh sang kapten. “De Haanis niet onze taak, laat zebezinkendeze zaak (DeHaan……, ini bukan kerjaan kita, biarkan mereka yang menyelesaikan urusan ini!!!)”, si kapten menunjuk kearah sekelompok orang. Semua mata mengarah tunjuk si kapten. Berdiri empat orang. Orang pertama gagah dengan tubuh lumayan kekar, umur sekira 60 tahunan, tetapi masih terlihat sehat, kuat, kulit sawo coklat, rambut hitam legam rapi sedikit panjang, mata tajam, wajah bersih dengan membayang kumis dan jenggot tercukur, pakaiannya rapi berbahan sutra berwarna putih berkilat dengan ornament mewah berwarna emas. Orang kedua bertopi caping, wajahnya tidak kelihatan dan tersamar, dengan pakaian juga berbahan sutra berkilat warna abu abu lirik oriental. Tubuhnya sedang, seukuran dengan si pemuda. Orang ketiga agak sedikit besar, kekar, umur sekitar 30 tahunan kulit kuning bersih, wajah terkesan keras. Pakaian kuning berkilat dan barbahan sutra dengan ornament garis-garis lurus kebawah warna hijau. Tingginya lumayan dari orang kebanyakan. Di punggungnya ada sebuah kotak besar berwarna kuning dengan ukiran buaya. Orang keempat berbadan sedikit rendah, umurnya sekiraan sekitar 25 tahunan, tubuhnya biasanya saja, kulitnya juga kuning dan mirip dengan orang ketiga, tetapi senyumnya terkesan licik, dengan wajah di hiasi kumis dan jenggot segaris. Pakaiannya juga berwarna kuning dengan lirik garis-garis berwarna hijau. Mereka berempat berjalan pelan, tetapi udara sekitar tubuh mereka padat beraura hawa pembunuh. “ Tuan tuan, saya tunggu kalian berempat di posko. Dan bawa ini orang hidup atau mati!”, si kapten berlalu dengan acuh. “Haan,gaan we terug naarde post, is de viermusketierszijnbondgenotenVOC, laat ze af te maken,brengje mannenterug.NietKotorionze handen(Haan, kita kembali ke posko, ini orang empat pendekar adalah sekutu VOC, biarkan mereka yang selesaikan, bawa anak buahmu kembali. Jangan kotori tangan kita”),… “klaar omkapitein(siap kapten!”), DeHaan si ajudan bergegas menarik tali kekang kudannya dan memberi perintah kepada sisa serdadu yang ada untuk menyingkir sambil membawa teman mereka yang terluka untuk menjauh. Si empat pendekar yang dikatakan si kapten, telah di depan si pemuda mabuk berjarak 8 meteran. Yang tua baju putih memberi salam, “ pendekar muda, bolehkah kami tahu nama dan gelar, Saya Gampo Bumi dari tanah Andalas. Ingin berbaik laku agar pendekar muda bisa ikut kami ke kediaman Kapten Barend”. Tingkah lakunya sopan, tutur bahasa melayu dengan dialek sedikit aneh. “Heh... Anjing kampung... Udah uzur masih mau dikasi tulang ama tu kompeni (VOC)...” “Mending balik sana balik ke kampung sana....” Dengan gaya sinis dan masih mabuk si Pemuda balik ke warung minuman. “Heh...”, si orang tua yang bernama Gempar Bumi hanya tersenyum kecil. Dia telah makan asam garam dunia persilatan. Tidak terpancing hanya sekedar ocehan dan sindiran seperti itu. Gempar melirik dengan matanya. Seakan memberi perintah, dua orang berbaju kuning melempar senjata rahasia kearah si pemuda. SWUUSSHHH... SWWIIIIHHHHNNG... Empat benda kecil berkilat cepat menuju arah si pemuda. Empat titik nadi di punggung akan segera terkena sasaran kilatan tajam tersebut. Tetapi sipemuda hanya menggeser tubuhnya, empat piaw (senjata rahasia) tersebut lewat begitu saja dari tubuhnya. Lalu menancap indah pada tiang warung. Begitu piaw tersebut menancap di dinding tiang warung, si pemuda bergerak cepat menuju kearah dua orang berbaju kuning. Cepat dan sangat cepat hingga tidak terlihat kapan dia melompatkan tubuhnya. Orang baju kuning kecil telah bersiaga sedari awal, karena sebuah tapak kaki berbalut sandal menuju kearahnya dengan cepat. Baju kuning besar yang berada dekat sisinya tak kalah cepat, dia sorongkan sebuah cakar berniat menangkap kaki sipemuda. Tetapi kejadian cepat tersebut langsung berubah drastis, kaki sipemuda yang tertangkap, melintirkan badannya, dan menghujamkan sebuah tapak kaki yang langsung telak mendarat di bahu kanan si baju kuning besar. DHEESSSGG...!!! si pemuda sekali lagi memutar tubuh bersalto diudara dua kali menjauh dari kembar baju kuning. Mendarat mulus 8 meteran dari empat orang tersebut. Sibadan besar naik pitam, lengan kanannya kesemutan dan panas terkena tendangan sipemuda. Lalu sikecil menahan dan berkata dengan bahasa asing “Em trai, bình tĩnh một lúc. Những gì mà chúng ta đang phải đối mặt không phải là chiến binh các loại hạt.Thanh niên được khá nhiều kinh nghiệm trong thế giới của võ (Saudaraku, tenangkan dirimu sejenak. Yang kita hadapi bukan pendekar kacangan. Pemuda ini lumayan berpengalaman dalam bertarung didunia persilatan)”... Sikecil menjura hormat. “Perkenalkan, kami dua seniman dari tanah seberang. Kami dipanggil Dua Buaya Kematian dari Sungai Kuning. Saya Sang Dung atau bergelar Ekor Tajam. Ini saudara ku, namanya Sang Quan atau si Rahang Besar. Kami berdua ingin meminta sedikit pelajaran dari pendekar muda. Bisakah kami tahu siapa pendekar yang kami hadapi?”, Sang Dung berbicara dengan dialek melayu yang sedikit aneh. Tingkah sopan dan sedikit menjilat, itu hal biasa dalam dunia persilatan. Sedikit menyanjung lawan, melihat reaksi apakah lawan termasuk orang yang lupa diri akibat sanjungan, atau suka langsung main hantam? Mereka menunggu reaksi si pemuda. “Oh... Hebat... hebat... hingga kenegeri seberang Pemuja Setan mengumpulkan piaraannya... Ampe buaya kuning juga toh... Chiiuuuhhh... “.... Wira meludah, bahkan aliran Pemuja Surga Dunia di sebut Pemuja Setan. Dan terlebih lagi, kedua pendekar dari Vietnam di bilang peliharaan dari aliran tersebut. Pemuda yang sembrono dan terkesan meremehkan lawan. Bergemutukan gigi Sang Quan menahan emosi mendengar kata kata si pemuda. Sang Dung sedikit mengerling mata, dia menatap tajam arah si pemuda. Tetapi dia bersikap tenang dengan menampilkan senyum kecil di wajah. “Jika bersedia, sebutkan nama besar tuan pendekar...”, Sang Dung masih bersikap hormat. Sipemuda yang dipanggil tuan pendekar ternyata luluh juga hatinya di rayu terus. “ Aku Wira Gledek..., bagaimana? Masih akan merayu lagi dengan mulut manismu itu? Kenal atau tidak, dengar atau tidak... Mau apa? ...”, si pemuda ternyata tahu akan rayuan mulut manis Sang Dung. “Engkau ternyata... Pendekar Clurit Tosan Aji yang menggemparkan itu... “, “Sungguh suatu perjumpaan yang telah diatur... Oleh yang Maha Kuasa”, Wira Gledek memotong perkataan Gempar Bumi. “Jadi... bagaimana aturannya? Mau keroyokan atau bergantian?... “, Wira berkata menantang keempat pendekar dari aliran Pemuja Surga Dunia dengan terang terangan. Terkesan sombong dan meremehkan lawan. “ Tunggu sebentar, aku akan ambil minumanku yang tertinggal”. Wira melenggang dengan santai kembali menuju warung arak. Lalu sesaat dia keluar dengan bambu panjang dan sebuah cangkir dari bambu. “Ini... aku menjura kepada kalian semua, arak dari negeri Dewata, yang katanya sangat harum dan enak”. Wira menuang arak dari pulau Dewata Bali kedalam cangkir bambunya. Lalu meminumnya sendirian. Disaksikan oleh empat orang pendekar, Wira terlihat sangat santai dan tenang. Lalu pemuda mabuk itu membuang cangkir bambunya dan langsung menenggak langsung arak tersebut dari tabung bambu. “Huwahhh.... Nikmat benerrr.... Hiks...”. Wira terlihat sempoyongan. Berdirinya seperti bayi yang baru belajar berdiri, dengan sedikit sempoyongan meraih sesuatu untuk di pegang. Entah sengaja atau tidak, Wira bertatakan tubuh untuk berdiri tegak pada batang bambu tempat arak tadi. Gayanya lucu, bambu tempat arak ditaruh ditanah yang panjangnya sekitar pahanya. Lalu dia berputar dengan tubuh sempoyongan. Berputar duakali tetapi tetap tidak jatuh. Entah permainan apa yang dilakukan oleh pendekar muda ini. Beberapa orang warga yang bersembunyi menyaksikan tingkah polahnya yang lucu. Sang Quan tidak bisa bersabar, dia merasa diremehkan. Dia ambil kotak besar dari balik punggungnya dan dikeluarkannya sebuah senjata berbentuk gunting besar bergerigi. Besar dan sangat tajam. Pantas Sang Quan bergelar Rahang Besar. Ternyata nama besar dirinya dari senjata yang sangat unik dan menseramkan. Gunting bergerigi tajam besar dilepas hingga layaknya memegang golok besar. Dia lompatkan dirinya menyerang Wira yang masih mabuk bertatakan bambu. Dua kali helaan nafas, jarak 10 meteran telah dicapainya dengan mudah. Peringan tubuh Sang Quan lumayan juga dengan postur tubuh besar tersebut. Gempar Bumi dan si topi bercaping melihat terus kejadian tersebut, dan melihat ejekan Wira dengan hati hati. Ternyata benar, mereka yang terlatih melihat kerlingan awas mata Wira yang telah bersiap menanti serangan. Sabetan sebilah golok tersebut langsung menderu kencang kepinggang Wira. Dan pemuda mabuk itu memegang bambu yang menopang tubuhnya, sambil merebahkan badannya lebih rendah dari pinggangnya. Sabetan golok besar luput dan menebas angin. Quan yang merasa serangannya luput, langsung menebaskan golok satunya yang di tangan kiri langsung mengarah ke leher Wira yang masih rebahan tertopang badan dengan bambu. Cepat dan terlatih, Wira mengangkat kaki kanan yang bebas, ditendangkan pada siku kanan Quan, hingga tangan dan badan si Rahang Besar terpuntir keatas. Serangan dari tangan kiri gagal, karena tubuhnya tidak disangka malah terpuntir terlempar terangkat. Teknik jitu Wira berhasil, sesuai dengan semboyan perang “Serangan yang hebat adalah Pertahanan yang kuat”. Tubuh si Rahang Besar berputar cepat, dia tidak kehilangan akal, sembari berputar, Quan menyabetkan golok geriginya hingga laksana gasing yang tajam. Sambil berputar, dia juga putarkan kembali tubuhnya kearah bawah, ingin mencincang Wira yang mulai akan berdirikan tubuhnya. Sambil merunduk, Wira menempelkan kedua tapak tangannya ketanah, dengan kecepatan Quan diatasnya, mata Wira melirik dan mencari titik lowong dari gasing besar tersebut. “DHEESSSGGHHH...!!!!”, Tepat dan cepat, rusuk Sang Quan atau si Rahang Besar tersodok oleh tapak kaki Wira. Bukan hanya itu, si pemuda mabuk itu hentakan lengannya yang tapaknya menempel ke bumi. Dorongan serangan tersebut menjadi dua kali lipat terasa oleh Quan. Sekejap Quan hilang kesadaran, pertahanan tenaga dalamnya jebol oleh sebuah tapak kaki. Rusuk kanannya panas dan tubuhnya seperti tersengat aliran listrik. Darah segar muncrat dari mulut dan hidungnya. Tubuh Quan terlempar 4 meteran keatas, dan jatuh tersungkur menghantam sebuah warung yang telah kosong ditinggal sipedagang dan warga. Wira menapakan kakinya dengan ringan, dan bersiap akan meminum arak dari bambu yang menjadi topangannya tadi. Tetapi, seberkas cahaya logam berkilat hitam berhawa dingin menyusup dari belakang menuju tengkuknya. Titik yang mematikan dari tubuh manusia jika diserang pada bagian tersebut. Wira melayangkan bambu arak sebagai senjata penangkis serangan yang datang dari belakangnya. Bukan hanya di jadikan sebagai senjata penagkis, bambu itu juga dialirkan tenaga dalam. Dua benda bertemu, dan berbunyi keras saat berbenturan. Tengkuknya luput dari serangan, dan tangannya sedikit panas memegang bambu. Lain yang dirasakan si penyerang, Sang Dung menarik cemetinya. Tangannya juga panas dan bergetar. Dua tenaga dalam beradu dari dua media senjata. Satu dari bambu dan satunya sebuah cemeti dari bahan logam, panjang bertatakan logam tajam segitiga tersambung dengan kawat logam halus tetapi kuat (sling baja). Sang Dung di beri gelar Ekor Tajam, senjata cambuknya sangat unik dan mematikan. Wira lolos dari maut, bambu diputarnya tiga kali, lalu dia mulai meminum arak kembali. Sang Quang yang terjatuh, telah mulai siuman dari serangan tapak kaki Wira. Matanya sedikit nanar dan pusing, rusuk kanannya panas dan nyeri. Walau masih bisa berdiri tegak kembali, si Rahang Besar menghimpun tenaga dalamnya untuk menahan rasa sakit yang dideritanya. Peluhnya bercucuran, sambil mendekap rusuk kanan, Quan meringis menahan nyeri dan menatap tajam penuh dendam ke arah Wira yang dengan santainya menenggak arak dari bambu. Si topi caping tersenyum kecil melihat aksi Wira. Sempat terlihat oleh Gempar Bumi senyum dibibir si topi caping. Mereka berdua masih tenang dan diam. Memperhatikan setiap jurus dan cara pendekar Clurit Tosan Aji beraksi menghadapi dua lawannya yang mulai bringasan. “Adik, mungkin saatnya pendekar muda ini harus menerima pelajaran dari kita berdua. Sudah cukup pelajaran darinya kita terima. Siap tidak siap, terima ini!!!”, Sang Dung memberi komando serangan kepada saudaranya yang masih meringis menahan sakit. “CTARRR... !!!”, suara cemeti membahana menghantam bambu tempat arak yang di pegang Wira. Seketika hancur berderai, arak yang tersisa sedikit bersebaran membasahi wajah Wira. Pemuda mabuk itu terkesima, arak yang hampir habis di minumnya tumpah berikut tempatnya. Matanya tajam mengarah ke arah Sang Dung. Lalu Sang Quan juga kembali beraksi menyerang dengan cepat, tetapi si Rahang Besar tidak mau gegabah lagi. Dia perhitungkan serangannya dengan seksama. Dung dan Quan adalah kakak beradik yang telah lihay dan melatih jurus kombinasi yang selaras dan serasi. Begitulah adanya, mereka berdua termasuk urutan ketiga jagoan hebat dari negeri Vietnam. Sang Dung berumur 30 tahunan dan Sang Quan berumur sekitar 28 tahunan. Mereka di rekrut oleh aliran Pemuja Surga Dunia guna memenuhi aliran tersebut dengan orang dan pendekar hebat dari seluruh negeri. Sang ketua aliran Raja Bhumi Mandala; percaya akan takdirnya bahwa dirinya akan menjadi raja di nusantara, jika kembali membesarkan kerajaan Majapahit seperti dahulunya. Maka dari seluruh pelosok negeri Raja Bhumi merekrut seluruh pendekar dan orang pintar. Baik dengan kekerasan, maupun dengan cara apa saja. Dari membujuk dengan harta, wanita, tahta, serta kanuragan sakti mandraguna diperlakukan kepada semua orang. Sang Dung tertarik akan kitab Ilmu Surga Dunia dan kitab jurus senjata Pedang Cambuk Ular Emas. Dan dia juga tertarik akan kekayaan yang ditawarkan Raja Bhumi. Sementara adiknya Sang Quan, menurut saja atas kehendak abangnya. Karena sedari kecil, mereka adalah anak yatim piatu dan miskin. Sang Dung menjaga dan merawat serta selalu melindungi adiknya. Sang Quan hanya tertarik akan senjata, dia terlatih membuat senjata. Sehingga tubuhnya kekar dan besar. Seiring usia, kakak beradik tersebut belajar beladiri kepada seorang pendekar pedang. Dan mereka membuat jurus ciptaan mereka sendiri. Malang melintang di dunia persilatan, mereka berdua menjadi sangat kompak dan tersohor, tetapi karena Sang Dung terkesan haus akan harta, maka mereka bersedia mengabdi kepada siapa saja yang mau membayar mahal mereka. Kembali ke pertarungan Wira Gledek dan Dua Buaya Kematian, dari jarak 5 meteran Sang Dung memainkan cambuk tajamnya. Si Rahang Besar mengisi dengan serangan saat serangan cambuk di elak oleh Wira. Kombinasi yang akurat dan selaras. Saling mengisi dan saling menyerang dengan kompak. Wira hanya dapat berkelit dan berputar menghindar. Saat dirinya akan mendekati Sang Dung, Si Rahang Besar membaca geraknya dan selalu menghalanginya. Baju yang dikenakan Wira telah terburai dan sobek tidak beraturan. Tidak terpikir pakaian yang tercabik, Wira terus menghindar agar tidak terkena tebasan golok gerigi yang ganas dari si Rahang Besar. Biarlah baju dan tubuh ini tergores dan tercabik oleh cambuk, daripada terbelah oleh golok besar ini pikir Wira. Dengan menyusun siasat, Wira menghamburkan batuan dan pasir kearah Sang Dung dan Sang Quan. Debu berterbangan, dan batu kecil seukuran kepalan tinju anak anak melayang cepat ke arah Sang Dung dan Sang Quan. Dihalangi oleh debu, si Ekor Tajam menghindar. Begitu juga si Rahang Besar, yang matanya terkena debu pasir segera menahan serangan. Wira dengan cepat memppergunakan kesempatan, dia menuju arah Sang Dung. Jaraknya sekitar 4 meteran, sekali tarikan nafas, Wira menghujamkan tapak kaki menyerang si Ekor Tajam. Jarak yang telah dekat, sekitar sepanjang lengan orang dewasa, Wira melihat seberkas bayangan dari belakang tubuhnya. Tidak jelas, tetapi sangat cepat terjadi. Tidak kuasa mengelak, Wira masih sempat menarik nafas setengah isi paru parunya. Begitu akan di salurkan keseluruh tubuh sebagai energi tenaga dalam, punggungnya nyeri dan panas membuyarkan olahan energi yang akan di salurkan dalam tubuhnya. Pukulan tersebut selain membuat luka dalam, juga hampir menghancurkan buah pinggangnya. Rasa nyeri, sakit dan panas tidak terhingga dirasakan oleh Wira. Sesaat dia hentakan sisa tenaga dalam yang telah memadat di ulu hatinya. Bentrokan tenaga dalam dari tubuh Wira dan si penyerang dari belakang berbenturan. Tubuh Wira terlempar mengarah Sang Dung, dan langsung mendapat jatah gratis bogem mentah dari si Ekor Tajam. Bukan hanya itu, sebuah ayunan golok gerigi dari si Rahang besar menghantam perut. Beberapa warga yang menonton dari jauh menarik nafas panjang dan serentak berteriak... “WHAAAAAHHHH... MATIIII... DIAAA....”, ... bahkan ada warga jatuh pingsan karena tidak kuat menyaksikan adegan tersebut. Semua mata memandang ngeri dan bergidik akan terbayang putusnya tubuh Wira terkena sabetan golok besar yang bergerigi tajam. To Be Continued…
Posted on: Mon, 23 Sep 2013 10:46:26 +0000

Trending Topics



>

Recently Viewed Topics




© 2015