#Shared Tulisan bagus nih.... Cermin Kelas Menengah - TopicsExpress



          

#Shared Tulisan bagus nih.... Cermin Kelas Menengah Indonesia Dalam dua hari ini saya ikutan diskusi di kaskus. Motivasinya bukan karena senang dengan forumnya tetapi gregetan baca komentar-komentar yang ada tentang demo buruh belakangan ini. Komentar-komentar miring tentang buruh di forum ini memberikan inspirasi untuk membuat topik tentang kelas menengah di forum hebat ini. Namun demikian saya perlu kasih catatan. Jika nasionalisme pembaca masih sedangkal istilah Indonesia bukan mencakup ide kebhinekaan, kesejahteraan dan keadilan sosial, lingkungan hidup dan sustainibilitas, atau bahkan kesadaran hukum, maka sangat dianjurkan untuk tidak membaca artikel ini (Saya cukup jengah dan letih menanggapi mereka yang berkutat pada istilah Indonesia tetapi tidak mau berpikir dalam kerangka nasionalisme baru: kemanusiaan). Alasan mengapa kaskus dipakai sebagai acuan untuk melihat kelas menengah di Indonesia adalah akses ke internet. Di negara yang GDP-nya cukup rendah, akses internet tergolong mahal. Mereka yang bisa menjelajah internet biasanya pekerja yang memilik akses di kantor atau sedikit uang lebih untuk pulsa. 1. Kelas menengah Indonesia suka membuat fantasi untuk mengusap-usap ego-nya sendiri. Diskusi perbedaan antara karyawan dan buruh bisa jadi contoh menarik. Banyak disini yang percaya bahwa buruh dan karyawan itu beda. Padahal dalam UU Naker, definisi yang ada cuma pekerja. Tapi tetap saja orang menganggap bahwa buruh bekerja dengan otot sementara karyawan bekerja dengan otak. Keduanya adalah sama: labour. Namun ada kategori tersebut dibagi lagi menjadi skilled labour dan unskilled labour. Ini logika ngawur. Jika perbedaan antara otot dan otak begitu penting berarti menjadi seorang atlit tak ada gunanya. Toh jelas sudah bahwa atlit mengandalkan ketangkasan fisik ketimbang otak. Namun bagaimana dengan atlit catur? Sebagian besar permainan catur adalah berpikir tentang stratagi ketimbang mengusap-usap biji catur supaya mengkilap. Namun demikian, kelas menengah Ind lebih baik menciptakan fantasi tentang perbedaan antara buruh dan karyawan barangkali agak kelihatan lebih keren. 2. Kelas menengah Ind suka pamer. Nah ini memang fenomena ajaib. Barangkali hanya di Indonesia orang memiliki lebih dari satu handphone. Seringkali saya tanya kepada teman kenapa ia tak mengangkat telpon ketika dihubungi. Jawabnya singkat: “XL gua lagi mati. Lo gak telpon nomer Mentari gue?”. Di luar negeri, orang setingkat manager dengan gaji 120.000 US per tahun memiliki HP satu. Kalaupun ada dua HP, biasanya itu fasilitas perusahaan. Dan penggunaanya cukup ketat. Kebiasaan lainnya adalah mobil. Di Indonesia mobil memiliki status sosial sangat tinggi. Bahkan status itu lebih penting ketimbang manfaat mobil itu sendiri. Tampaknya sudah menjadi kecenderungan kalau orang punya uang lebih, langsung mengajukan angsuran mobil. Bagi orang tua yang punya uang, sudah menjadi wajar untuk memberikan mobil bagi anak-anaknya. Di luar negeri, jarang sekali orang pakai mobil jika tak perlu. Memang system transportasi jauh lebih baik dibandingkan dengan Indonesia. Namun yang kurang disadari bahwa meningkatnya jumlah kendaraan bermotor yang tak sebanding dengan jumlah peningkatan fasilitas jalan adalah salah satu sumber kemacetan. Kelas menengah yang hebat dan agung ini lalu mengeluh ketika terjebak macet. 3. Salah satu kebanggaan kelas menengah Ind adalah pendidikan. Mereka bayar mahal untuk bisa masuk universitas. Namun sayangnya daya pikir mereka bukan layaknya mahasiswa yang bisa berpikir kritis. Mereka tidak terbiasa untuk berpikir diluar perspektif baku. Ini mungkin juga karena waktu sistem mendikte waktu SD ditambah lagi dengan berbagai macam indoktrinasi diluar pendidikan. Bahkan mereka yang beruntung untuk bisa sekolah di luar negeri pun gak bisa berpikir kritis. Saya pernah mendengar percakapan seorang mahasiswa s2 lewat telepon yang bertanya kepada temannya bagaimana cara membuat tulisan ilmiah untuk konferensi di New Zealand. Jika tingkat s2 saja belum tahu bagaimana cara membuat tulisan ilmiah, yang jelas-jelas sudah menjadi bagian dari dunia akademika, lantas seperti apa pelatihan akademis di tingkat s1? Kita semua tahu bahwa Vicky Prasetyo sekolah di luar negeri tapi kualitasnya seperti apa. Jarang intelektual muda seperti Ariel Heryanto atau Daniel Dakhidae. Sebagai perbandingan, India bukan negara kaya tetapi orang India yang sekolah di luar negeri memanfaatkan kesempatan emas itu untuk mendulang ilmu. Contohnya ada banyak Gayatri Spivak, Dipesh Cakrabarti dan Chandar Tapalty Mohanty adalah orang-orang yang disegani dalam ilmu sosial. Gagagan mereka sering dipinjam oleh akademis-akademisi dari berbagai negara. Menurut cerita seorang, dosen sejarah terkenal UGM pernah bertutur bahwa dulu pada jaman pergerakan, orang-orang priyayi dan Tionghoa Indonesia menikmati sistem pendidikan ala Belanda. Tetapi sekalipun sekolah di alam penjajahan, mereka mencoba memerdekakan diri mereka. Sekarang banyak orang sekolah di jaman merdeka, tetapi pikirannya masih terjajah dan mentalnya seperti mental orang terjajah. 4. Kelas menengah Ind gampang panik. Ini sangat terlihat dalam persoalan nasionalisme. Dulu orang tak begitu peduli dengan batik. Lantas ketika Malaysia mengklaim batik sebagai budaya mereka, kelas menengah jingkrak-jingkrak tak karuan. Padahal batik cuma sekelumit persoalan dari hancurnya nasionalisme Indonesia. Sangat kontradiktif jika mereka teriak-teriak tentang pencurian batik tetapi kelas menengah mengimpikan tas-tas impor. Barangkali nanti kalau pengusaha asal Swiss mengambil alih produksi lokal, mereka akan kebakaran jenggot lagi. Sementara itu persoalan ketahanan pangan tak digubris layaknya batik. Dulu Karawang itu lumbung padi sekarang jadi apaan kita gak tahu. Pulau Buru dulu bisa swasembada beras--berkat kerja para tapol politik yang membuka lahan di Buru. Pak Harto ikut bangga dengan panen raya di Buru walaupun dia memenjarakan orang-orang tersebut. Tempe makanan asli Indonesia menggunakan kedelai impor. Apakah ini lebih miris ketimbang batik? Di luar negeri sudah ada beberapa orang yang membuat tempe sendiri. Tinggal itungan waktu saja, tempe bukan lagi milik kita. Tapi mungkin kelas menengah Ind lebih baik makan Rib Eye Steak 350 gram ketimbang tempe. Soalnya tempe gak kelihatan keren kalo di lihat di Instragram ketimbang rib eye steak! 5. Kelas menengah Ind rasis. Di Indonesia orang berkulit putih itu menjadi modal. Karena warna kulit putih selain melambangkan kecantikan juga kesejahteraan. Orang yang berkulit putih sering dianggap golongan atas lantaran mereka jarang bekerja dibawah terik matahari. Gagasan rasis ini pernah dipakai oleh penjajah di masa perbudakan. Pemerintah kolonial Inggris di Aus, misalnya, merekrut orang-orang berkulit lebih gelap dari pulau-pulau di Pasific seperti Fiji dan Vanuatu. Karena mereka percaya bahwa orang-orang berkulit gelap tersebut lebih cocok untuk bekerja di perkebunan gula. Sama halnya dengan perekrutan budak-budak dari Jamaica dan sebagainya. Kita bisa tanya ke kebanyakan kelas menengah di Ind, mana yang lebih cantik apakah Britney Spears atau Naomi Campbell? Kebanyakan orang pasti memilih Britney Spears. Pikiran rasis ini sendiri bisa dilihat dalam maraknya artis-artis campuran yang berserakan di Indonesia. Cukup mudah menjadi artis di Indonesia, asal putih dan blasteran maka anda bisa main film. Di luar negeri banyak orang cantik tetapi kalau tak bisa acting tak mungkin menjadi artis sekalipun mereka harus tidur dengan sutradara. Karena Cinta Laura syndrome ini banyak kelas menengah Ind menjadi bule hunter. Mereka mau ‘memperbaiki keturunan’, memiliki hidung mancung dan kulit putih. Ini semua menggambarkan bahwa sebagian bangsa Ind minder dengan keadaan tubuhnya sendiri. Mereka tak mau memiliki hidung pesek dan kulit hitam. Di negara lain, pikiran rasis ini pernah tumbuh di abad 18-an dalam bentuk rasisme sains dan sekarang sudah ditinggalkan. Namun di Indonesia justru dikembangkan. ~ zapata Kaskuser
Posted on: Thu, 14 Nov 2013 04:45:00 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015