TANTI 3 Malam terasa dingin. Gerimis masih mengguyur pelan ketika - TopicsExpress



          

TANTI 3 Malam terasa dingin. Gerimis masih mengguyur pelan ketika aku tiba di rumah Tanti. Seiring usia kandungannya yang semakin besar, ia sudah tidak bisa lagi menjemputku di terminal. Dokter melarangnya menyetir mobil sendirian. Jadi terpaksa aku harus naik angkot kalau mau ke rumahnya. Meski jadi agak lama dan sedikit berdesak-desakan, tapi aku rela melakukannya. Demi bisa meniduri wanita cantik dan montok seperti dia, apapun akan aku lakukan. Kulihat rumahnya sangat sepi. Hanya lampu teras yang menyala, menerangi halamannya yang mungil namun cukup asri. Ruang tamu terlihat agak sedikit gelap, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Apakah dia ada di rumah? Atau sedang tertidur? Untuk memastikan, kupencet bel di pintu. Tak lama kemudian, kudengar suara langkah kaki. Tanti melongokkan kepalanya yang berbalut jilbab dari celah jendela dan langsung tersenyum begitu melihatku. “Ayo masuk, mas. Dingin ya?“ ujarnya sambil membukakan pintu dan mengelus pipiku pelan. “Iya, hujan terus dari aku berangkat tadi.” kupeluk dia dan kucium bibirnya sekilas sebagai salam perkenalan. “Kangen ya?“ godanya. “Ya iyalah. Masa nggak kangen?!“ kataku sambil mendorong tubuhnya hingga jatuh ke sofa, dan menindihnya. Tapi pelukanku terganjal tonjolan perutnya yang sudah membulat cukup besar. “Sabar, mas, sabar. Kita masih punya banyak waktu. Suamiku masih besok sore pulangnya.“ ia memijit hidungku. “Mana bisa sabar melihat kemontokan tubuhmu, Tan.“ Kuelus pipinya yang bulat, kudekatkan kepalaku, dan kucium pelan bibirnya. Pagutanku dibalas olehnya. Kami saling berpagutan penuh cinta untuk beberapa saat. ”Masa langsung main, mas? Nggak pengen makan dulu?” tawar Tanti saat ciuman kami terlepas. Malam itu ia terlihat cukup cantik, kemeja gombrong dan rok panjang yang ia kenakan tidak bisa menutupi kemolekan dan kesintalan tubuhnya. Bokong dan buah dadanya juga terlihat cukup besar dan membulat karena usia kehamilannya. ”Makan bisa menunggu. Aku sudah tidak sabar pengen merasakan tubuhmu, Tan.” kupeluk dia, kulingkarkan tanganku untuk memberi elusan pada punggungnya. Selanjutnya dengan lihai, jari-jariku menyusup masuk ke dalam bajunya untuk mencari tonjolan buah dadanya yang masih tertutup BH. Kuremas-remas pelan daging empuk itu saat sudah berada dalam genggamanku. “Ehmm, mas!” Tanti melenguh. Ia semakin rakus membalas lumatanku, lidah kami saling membelit dan menghisap, pagutan demi pagutan membuat mulut kami semakin basah oleh air liur. “Kamu nakal,“ ujarnya genit sembari mencekal tanganku yang semakin jauh masuk ke dalam cup BH-nya. “Aku sudah lama merindukanmu, Tan. Sudah berapa lama kita nggak ketemu?” tanyaku sambil terus meremas-remas gemas kedua buah dadanya dan sesekali memilin-milin putingnya. ”Ehm, nggak tahu, mas. Ehsss… cukup lama kayaknya. Ughhh… aku juga kangen mas. Kangen yang ini!!” Tanti mengulurkan tangan dan membelai lembut kontolku yang sudah ngaceng parah di dalam celana. Kubalas dengan menyingkap rok panjangnya ke atas dan mengelus-elus pahanya yang halus dan putih mulus. Saat kuraba selangkangannya, terasa kalau daerah itu sudah mulai basah. “Kamu ngompol ya, Tan?“ tanyaku menggoda. Kuselipkan tanganku ke celah celana dalamnya dan kubelai bibir vaginanya yang sudah sangat lengket dan licin. “Mas sih… bikin aku nggak tahan.” sahut Tanti di sela-sela nafasnya yang turun naik. Buah dadanya yang kian membusung padat terasa makin membesar dalam genggamanku. Penasaran, aku pun membuka jilbab dan kemejanya. Kulepas kancingnya satu per satu hingga bisa kulihat tonjolan buah dadanya yang masih terbungkus BH merah berenda. Sungguh indah sekali, begitu besarnya hingga benda itu nampak seperti tidak muat dalam kungkungan cup BH-nya. Beberapa bagiannya tergencet hingga terhimpit keluar. “Nggak sakit, Tan?” tanyaku. ”Kayak sesak banget gitu.” Tanti tersenyum. ”Makanya cepetan dibuka, mas.” katanya menantang. Segera kulepas kait BH yang ada di punggungnya. Tanti bernafas lega saat aku berhasil melakukannya. kutarik BH itu dan kubuang begitu saja ke lantai. Kini dihadapanku terpampang payudara Tanti yang bulat indah, yang tidak akan mampu kutangkup meski dengan dua tangan. Putingnya yang dulu kemerahan, kini tampak agak menghitam, tapi asyiknya, jadi sedikit lebih besar dan panjang, hampir seujung jari jempolku. Pasti nikmat sekali menyusu disana. Melihat ukurannya, benda itu tampak seperti tidak mau kalah dengan perut Tanti yang kelihatan semakin membesar. ”Kok bengong, mas?” tanya Tanti heran. ”Biasanya mas paling suka sama susuku,” tambahnya sambil meremas-remas payudaranya sendiri. Aku yang tersadar segera menurunkan kepala dan perlahan mulai mengulum putingnya. ”Indah sekali, Tan. Gede banget, tapi tetap bulat dan kencang.” sambil berkata, kujulurkan lidahku dan mulai menjilati putingnya. ”Ehhsss…” Tanti mendesah dan memegangi kepalaku, tangan satunya turun ke bawah dan meremas-remas penisku. ”Emang punya istri mas dulu nggak seperti ini?” tanyanya, teringat istriku yang sudah hamil duluan. ”Tambah gede sih, tapi tidak sebesar punyamu ini.” kuremas-remas terus tonjolan buah dadanya bergantian sambil tak henti-hentinya kujilat dan kuhisap putingnya. ”Ehmm… mas!” Tanti merintih dan menggelinjang. Berbaring pasrah di sofa ruang tamu, dia berusaha menarik turun celanaku. Kubantu dia dengan berdiri sebentar, tapi tanganku tetap hinggap di atas bukit payudaranya, meremas-remas pelan disana. Tanti berbinar melihat penisku yang sudah siap mengoyak-oyak lubang vaginanya. Ia mengelusnya pelan sambil berbisik, ”Ehm… mas, punyamu selalu bikin aku gemes.” ujarnya sambil meremas batangku agak sedikit keras. “Auw! Sakit, Tan!” aku mengaduh, dan kubalas dengan menarik kedua putingnya kuat-kuat. ”Auw! Mas!!!” Tanti ikut mengaduh, dia memandangiku dan selanjutnya kami tertawa berbarengan. Mesra sekali. “Ayo, Tan. Aku jauh-jauh datang kemarin bukan cuma untuk bercanda denganmu.” kutarik turun celana dalamnya hingga Tanti benar-benar telanjang sekarang. Tanpa berkedip kupandangi tubuhnya yang putih mulus tanpa cacat. Wajahnya yang manis sekarang jadi agak sedikit chubby, tapi sama sekali tidak mengurangi nafsuku untuk menggumulinya. Menggantung di depan dada, tampak kedua tonjolan payudaranya yang cukup besar, yang ukurannya hampir dua kali lipat dari ukuran semula. Putingnya jadi agak sedikit hitam, tapi begitu menonjol ke depan. Perutnya yang membuncit sudah nampak begitu besar, menyembunyikan dengan baik lubang vaginanya yang kini sudah tercukur bersih. ”Buat persiapan melahirkan,” jelas Tanti saat kutanya alasannya. Sungguh, begitu sangat sempurna wanita satu ini. Melihatnya saja sudah membuatku terangsang berat. ”Tubuhmu indah sekali, Tan.” bisikku sambil membelai kemana-mana, mulai dari betis hingga ke pundaknya. Parkir di depan dada, kembali kupilin-pilin putingnya. ”Ehmm, mas!” Tanti mendesah dan memelukku. Kami berciuman. Perlahan mulai kugesekkan batang penisku ke belahan memeknya. Dia sekarang sudah berbaring pasrah di sofa, siap menerima tusukan dan hunjamanku. “Aku masukkan sekarang, Tan.” Kutatap matanya yang bulat sayu saat aku mulai mendorong. Sebelumnya kusuruh Tanti untuk mengulum penisku sebentar agar benda itu jadi agak sedikit basah. “Ahh, iya. Agak ke bawah, mas!!” balasnya genit. Dia meremas penisku dan membimbingnya agar masuk ke lubang yang tepat. Dengan usia kehamilannya yang sudah mendekati akhir, memang jadi agak sulit untuk menyetubuhinya. Tapi bonusnya, rasa memek Tanti jadi luar biasa nikmat; sempit dan sangat menggigit sekali. Ditunjang dengan kemontokan dan kesintalan tubuhnya yang berlipat ganda, aku makin ketagihan dibuatnya. Kuelus payudaranya yang mulus bak pualam saat ujung penisku mulai mencari celahnya, tapi ternyata sangat sulit sekali. Beberapa kali pun aku mencoba, aku terus salah sasaran. Perut buncit Tanti menyulitkan gerakanku. ”Tan?” kupanggil namanya agar dia membantuku. “Aku diatas saja, mas.” kata Tanti setelah berpikir sejenak. Dia bangun dari posisi tidurnya dan merangkul pundakku. Kini gantian aku yang rebahan di sofa. Tanti menduduki bagian bawah perutku, berjongkok disana. Lubang memeknya yang sudah menganga lebar tepat berada di depan batang penisku. Tanti memeganginya dan perlahan mengarahkannya masuk. “Kontolmu gede banget, mas!” bisiknya saat merasa kesulitan menelan penisku. ”Ah, memekmu aja yang terlalu sempit.” balasku sambil meraba dan meremas tonjolan buah dadanya yang menggantung padat dan keras. ”Ehm… mas!!” Tanti terus berusaha menekan pinggulnya ke bawah, sedikit demi sedikit penisku mulai menerobos masuk menembus lubang surgawinya. Dia agak sedikit meringis saat menerimanya, campuran antara rasa geli dan perih. ”Pelan-pelan aja, Tan.” aku tidak ingin persetubuhan ini membuatnya kesakitan, bagaimanapun dia kan lagi hamil besar. Tanti menurut, dia menekan pinggulnya perlahan. “Bodoh banget suamimu, Tan. Istri secantik kamu disia-siakan.” ujarku sambil menekan pinggul ke atas, membantunya agar kelamin kami lekas bertaut dan saling mengisi. Tanti menutup mulutku dengan bibirnya. Dia menciumku dan berbisik, “Jangan kau sebut dia, mas. Aku milikmu malam ini.” dan sehabis berkata begitu, ia menyentakkan pinggulnya keras-keras ke bawah, menduduki penisku hingga amblaslah benda itu menembus ke kedalaman lubang vaginanya. Pekikan tertahan kami keluarkan secara bersamaan, “Aarrgghhhhhhhhhhhhh…!!” rasanya sungguh sangat nikmat. Memek Tanti menjepit batang kontolku begitu ketat, sementara kupenuhi lubang vaginanya hingga ke relung yang terdalam. Kami kembali berciuman, dengan tanganku tak henti-henti membelai dan meremas-remas buah dadanya yang menggantung indah di depanku mataku. ”Genjot bareng, Tan.” bisikku kepadanya. Tanti mengangguk dan mulai menggerakkan pinggulnya, memompa bokong besarnya ke atas dan ke bawah, menelan dan meludahkan penisku tapi tidak sampai melepasnya, menciptakan rasa yang begitu nikmat akibat gesekan kelamin kami berdua. Jepitan vaginanya terasa kuat sekali, membuat kontolku serasa diremas-remas oleh dagingnya yang empuk. “Tan, nikmat banget. Aku nggak kuat.” bisikku sambil menciumi pundaknya. “Tahan, mas. Jangan keluar dulu!” ujarnya sambil mencari bibirku dan melumatnya dengan rakus. Sekali lagi kami berciuman panas dan mesra. Di bawah, pinggul kami masih terus saling mengisi dan memacu penuh birahi. Keringat sudah membasahi tubuh kami berdua. Kuremas-remas payudara Tanti sambil kunikmati kehangatan vaginanya. Detik demi detik harus kujalani dengan berat, aku harus berusaha keras menahan gairahku agar tidak keburu meledak. Namun apa daya, tubuh Tanti terasa begitu nikmat. Hingga akhirnya, ketika aku sudah tidak kuat lagi, akupun merangkulnya dan melenguh keras di bawah tubuhnya. ”Taannn… aku keluar! AARGGHHHHHHHH…” rintihku sambil mempercepat genjotan dan menusukkan penisku dalam-dalam. Sedikit terkejang-kejang, kusemprotkan seluruh spermaku ke dalam liang rahimnya. ”Ahh… mas!!” Tanti ikut melenguh dengan tubuh melengkung ke belakang. Buah dadanya yang besar jadi membusung indah, tepat di depan wajahku. Sambil menikmati guyuran air cintanya di batang penisku, akupun menjilat dan menciuminya. Dengan kelamin masih bertaut erat, kami berpelukan. Nafas kami terengah-engah. Kubiarkan Tanti menikmati orgasmenya sejenak sebelum kuangkat tubuhnya dan kutidurkan di sofa. Penisku yang sudah setengah mengkerut dengan mudah lepas dari jepitan vaginanya. ”Enak banget, mas. Nanti kita lanjutin lagi ya?” tersenyum Tanti memandangiku yang duduk kelelahan di sebelahnya. ”Ehmm,” dia melenguh saat tanganku kembali meremas-remas tonjolan buah dadanya. Entah kenapa, aku sangat suka sekali dengan benda putih mulus itu. “Andai bisa begini tiap hari, Tan…” kataku menerawang, membayangkan seandainya Tanti yang menjadi istriku, aku pasti akan sangat bahagia. “Jangan, mas.” Tanti menggeleng. ”Lebih baik begini. Sensasinya lebih terasa.” dia tertawa. ”Dasar kamu,” kucubit hidungnya yang bangir. Kami berciuman sekali lagi sebelum kemudian Tanti minta diri untuk pergi ke kamar mandi. ”Kebelet kencing,” dia terkikik dan berjalan cepat ke belakang, meninggalkanku dengan goyangan pinggulnya yang masih telanjang. Kulirik jam di dinding, sudah hampir tengah malam. Lama juga kami bermain tadi, sama sekali tidak terasa. Kenikmatan memang membuat waktu begitu cepat berlalu. Kuambil celana untuk menutupi kontolku yang sudah mengkerut kecil, kutunggu Tanti sambil tidur rebahan di sofa, mengumpulkan tenaga untuk persiapan di ronde kedua. *** “Mas, aahhhh… aku mau sampai!!” jerit Tanti keras, bersahutan dengan teriakan tukang sayur yang melengking cempreng di depan rumah. Hari sudah pagi ketika aku menyetubuhinya untuk yang keempat kalinya hari itu. Semalaman kami tidak tidur, Tanti terus menggodaku dengan kemontokan dan kesintalan tubuhnya. Dan lama tidak bertemu membuatku dengan senang hati meladeninya. Pagi ini, saat dia sedang menyiapkan sarapan dengan tubuh telanjang, kusodok tubuhnya di meja dapur. Tanti membungkuk di meja makan, sementara aku menggenjot penisku dari belakang. ”Iya, terus, mas! Ughhh… enak!” rintihnya dengan vagina terasa menjepit kuat. Benar-benar luar biasa, meski sudah kupakai semalaman, benda itu masih tetap kaku dan ketat, sama sekali tidak terasa kendur sedikitpun. Aku menyukainya. Aku ketagihan dibuatnya. Dan aku tak tahan untuk menumpahkan sperma di dalam lorongnya. Jadi, saat Tanti menyemburkan cairan cintanya, aku pun menyusul tak lama kemudian. ”ARGHHHH!!” kami sama-sama menjerit, panjang dan nikmat. Tubuh kami berkelojotan dengan keringat menetes deras, membasahi badan kami berdua yang melemas begitu cepat, seperti tak bertulang. Desahan dan hembusan nafas kami saling bersahutan, mengiringi tetesan lendir kental yang mengalir turun dari belahan memek Tanti saat aku mencabut penisku. Tanti membuka matanya dan tersenyum, susah payah ia berusaha untuk duduk di kursi. ”Capek, mas.” ia berkata. Aku segera membantunya, kami duduk bersisian di sofa depan teve dengan tubuh masih tetap telanjang. Kalau menginap di rumah Tanti, aku memang jarang memakai baju. Buat apa, toh nanti juga bakal dilepas. Tanti menyandarkan kepalanya di pundakku dan berkata, ”Trims ya, mas, masih mau sama aku yang lagi hamil gini. Aku puas sekali.” ”Sama-sama, Tan. Apapun kondisi tubuhmu, aku tetap menyukainya.” sahutku sambil memagut bibirnya pelan. ”Malah kalau hamil gini, kamu jadi lebih cantik dan semok.” tambahku yang disambut cengiran manja olehnya. Kami terdiam dalam hening untuk beberapa saat sebelum akhirnya Tanti kembali membuka suara, “Ehm, mas, masih ingat sama Windy?” tanyanya. ”Windy?” aku mencoba mengingat-ingat. Yang muncul dalam ingatanku adalah sesosok wanita kecil mungil tapi cantik, berjilbab juga seperti Tanti. Dulu sempat satu ruangan denganku, tapi sudah pindah ke kota lain setelah perusahaanku membuka cabang disana. ”Windy yang itu?” kuutarakan sosok dalam pikiranku. Tanti mengiyakannya. ”Kemarin kami sempat berbincang-bincang di telepon.” katanya. ”Iya, lalu?” aku masih bingung dengan arah pembicaraan ini. ”Mas tahu kan kalau dia sudah menikah dari dulu?” tanya Tanti. ”Iya, kalau sampai sekarang… berarti sudah hampir tiga tahun.” sahutku membenarkan. Memang, diantara perempuan seruangan, Windy yang paling dulu melepas masa lajang. Tapi pantas sih, dia kan yang paling tua, hampir seumuranku. Kalo Tanti, empat tahun di bawahku. ”Emang ada apa dengan dia?” tanyaku tak mengerti. ”Sampai sekarang dia belum hamil, mas!” kata Tanti dengan pandangan penuh arti. Mendengarnya membuatku bagai disambar petir di siang bolong, tanpa adanya hujan ataupun angin! Sungguh sangat-sangat mengagetkan. Dengan sedikit tergagap, akupun berkata. ”J-jangan bilang… k-kalau dia…” ”Iya, mas.” Tanti mengangguk. ”Windy ingin meminta bantuan mas untuk menghamilinya!” ”HAH!!!” aku melongo. Benar-benar kaget sekaligus bingung. Meski sudah bisa menebak arah jawabannya, tak urung aku tetap terdiam juga. “Nggak usah norak gitu ah, mas!” Tanti menepuk pundakku. ”Biasa aja kali… dan harusnya mas senang, bisa menikmati tubuh perempuan secantik Windi.” Aku menggeleng, ”G-gila kamu, Tan. A-aku nggak bisa. Ini…” ”Ah, nggak usah sok alim gitu.” Tanti memotong ucapanku. ”Bilang nggak bisa, nggak mau, tapi kontolnya ngaceng gitu! Mana bisa aku percaya!” dia lalu tertawa. Aku benar-benar terhantam telak. Tidak ada kata-kata yang bisa kukeluarkan dari mulutku untuk membela diri. Yang aku bisa hanya ikut tertawa bersamanya sambil memeluk tubuh Tanti lebih erat. ”Emang kamu rela membagi tubuhku bersama Windy?” tanyaku pada akhirnya. Tanti terdiam dan memandang ke arah teve yang menayangkan acara memasak pagi-pagi. ”Rela sih nggak.” dia berkata tanpa melihatku. ”Aku cuma kasihan sama Windy, sudah tiga tahun menikah, hampir empat malah, tapi belum juga dapat momongan. Pasti dia sangat tertekan sekali.” Ada sebulir cairan bening di sudut matanya. ”Aku sudah pernah merasakannya, mas. Dan itu sangat berat!” tambah Tanti dengan suara tertahan. Aku segera memeluk dan mengecup pipinya. ”Iya, Tan. Aku mengerti. Kalau keputusanmu sudah begitu, aku cuma bisa ngikut aja.” “Ngikut apa seneng nih?” Tanti melirikku, sedikit menyunggingkan bibir. “Kalau bilang nggak seneng, nanti dikira munafik.” jawabku. Tanti tersenyum dan memukul bahuku. “Dasar lelaki, dikasih ikan asin langsung aja nyamber!” dia menyamakanku dengan kucing. “Eman-eman toh, daripada ikan asinnya jadi garing.” sahutku. Kami pun tertawa berdua. Selanjutnya Tanti menjabarkan bagaimana teknis PDKT-ku pada Windy agar perempuan itu tidak merasa jadi wanita murahan. Aku harus mendekatinya sebagai sosok seorang sahabat yang tulus memberikan bantuan, bukan sebagai seorang laki-laki licik yang pandai memanfaatkan situasi. Untuk itu, aku harus sabar dan pelan-pelan karena pada dasarnya aku dan Windy tidak begitu akrab. Dulu, saat masih seruangan, dia jarang kugoda karena sudah menikah, aku ingin menghormati suaminya. Tapi kini, itulah yang harus kulakukan. Jadi, bisakah aku melakukannya?! *** Dengan bantuan Tanti, ternyata hal itu tidak menjadi suatu halangan yang berarti. Dalam waktu dua minggu, aku dan Windy sudah jadi begitu akrab, layaknya orang pacaran saja. Dimanapun dan kapanpun kami berada, sms dan telepon tidak pernah telat mengiringi. Bahkan istriku sampai curiga dibuatnya, dikiranya aku punya WIL. Aku harus bersusah payah berbohong dan menjelaskan kepadanya bahwa itu tidak benar. Bahkan aku sampai bersumpah segala. Maafkan aku, sayang!!! Tapi gara-gara peristiwa itu, aku jadi bertekad, ini tidak boleh dibiarkan terlalu lama. Dengan Tanti yang sudah berjalan berbulan-bulan saja aku tidak pernah ada masalah. Dengan Windy, belum apa-apa sudah terjadi hal seperti ini. Aku harus segera bertindak, terus maju atau malah mundur. Jadilah di pertemuan berikutnya dengan Tanti, aku mengutarakan maksudku. ”Mas yakin?” tanya Tanti sambil melepas behanya, membiarkan buah dadanya yang bulat besar tumpah ruah ke dalam telapak tanganku. ”Bilang pada Windy, bagaimana kalau minggu depan?” kuremas-remas daging empuk itu, putingnya yang terasa mengganjal kujepit dengan dua jari. ”Kenapa mas nggak bilang sendiri? Ehmmm!” Tanti melenguh saat kuendus lehernya yang jenjang. ”Sungkan, Tan.” di bawah, penisku yang sudah basah akibat kulumannya perlahan kuselipkan masuk ke dalam belahan vaginanya. ”Aghhh… mas!” Tanti merintih pelan. Matanya terpejam. Kulumat bibirnya saat mulai menggerakkan pinggulku. ”Semakin cepat dia hamil, semakin bagus untuk kita semua, Tan.” bisikku di telinganya. ”Ahh… iya, mas!” Tanti merintih dan ikut menggerakkan pinggulnya. Selanjutnya kami tidak berkata apa-apa lagi karena sibuk memuaskan birahi masing-masing. ***
Posted on: Fri, 26 Jul 2013 16:40:28 +0000

Trending Topics



stbody" style="min-height:30px;">
JOB POSTING Office Assistant Position Summary The Métis
Sup fb. I had to inform my leading lady, my queen on some
Voice over IP (VoIP) has transformed modern voice communications,

Recently Viewed Topics




© 2015