Ubar Tunduh + Rencang Ngopi :P Epistemologi : Skeptisisme , - TopicsExpress



          

Ubar Tunduh + Rencang Ngopi :P Epistemologi : Skeptisisme , Subjektivisme, Relativisme Salah satu topik kajian Epistemologi adalah penyelidikan tentang hakikat dan ruang lingkup pengetahuan. Alsannya adalah fakta karena adanya kekeliruan. Karena meski kita sudah teliti dalam bekerja dan dengan sungguh-sungguh sekalipun tetap saja suka terjadi kekeliruan. Selain adanya fakta kekeliruan, juga kenyataan bahwa orang yang disebut “pakar” pun seringkali tidak bisa sepakat dalam masalah mana yang betul dan mana yang keliru. Mana yang benar dan mana yang salah, Mengingat hal itu, tidak mengeherankan bahwa terhadap klaim kebenaran pengetahuan, orang yang bersikap kritis cenderung mempertanyakan atau meragukannya. Meragukan klaim kebenaran atau menangguhkan persetujuan atau penolakan dinamakan sikap skeptis. Istilah “Skeptisisme” berasal dari kata Yunani skeptomai yang secara harfiah pertama-tama berarti “saya pikirkan dengan seksama” atau “ saya lihat dengan teliti.” Kemudian dari situ diturunkan arti yang biasa dihubungkan dengan kata tersebut, yakni “saya meragukan”. Jadi pada intinya, skeptisisme adalah sikap meragukan atas klaim kebenaran atas pengetahuan. Adalah naïf bahwa orang tidak pernah meragukan apapun. Sebaliknya, selalu meragukan segala sesuatu juga tidak mungkin, karena untuk hidup orang butuh satu pegangan. Pada dasarnya, sikap meragukan itu wajar dan perlu kita ambil apabila memang ada alasan yang masuk akal untuk melakukannya. Skeptisisme dibedakan menjadi beberapa macam. Macam-macam skeptisime tidak hanya dibedakan satu sama lain berdasarkan tema keraguannya, tetapi juga berdasarkan lingkup bidang yang diragukannya. Biasanya dibedakan antara skeptisisme mutlak/ skeptisime universal dan skeptisisme nisbi/skeptisisme particular. Skeptisisme mutlak atau universal secara mutlak mengingkari kemungkinan manusia untuk tahu dan untuk memberi dasar pembenaran baginya. Skeptisisme nisbi atau skeptisisme particular tidak meragukan segalanya secara menyeluruh. Skeptisisme macam itu hanya meragukan kemampuan manusia untuk tahu dengan pasti dan memberi dasar pembenaran yang tidak diragukan lagi untuk pengetahuan dalam bidang-bidang tertentu saja. paham skeptisisme macam ini, walaupun tidak bersifat menggugurkan diri sendiri (self-defeating) sebagaimana skeptisisme mutlak, namun biasanya dianut karena salah paham tentang ciri-ciri hakiki pengetahuan manusia dan kebenarannya. Suatu upaya terkenal untuk menggugurkan tesis skeptisisme dengan menunjukkan secara logis bagaimana orang dapat mencapai kebenaran yang tak mungkin teragukan lagi adalah upaya yang dilakukan oleh Descartes (1596-1650). Uapaya itu ditempuh melalui proses yang dia sebut “keraguan metodis.” Dengan istilah ini dimaksudkan suatu sikap untuk menganggap sebagai tidak nyata atau palsu segala sesuatu yang masih diragukan kebenaranya, bahkan kalau hanya sedikit saja diragukan. Keraguan metodis Decartes kadang dikatakan sesuatu yang bersifat hiperbolis. Tujuan keraguan metodis Decartes adalah untuk menghasilkan paling tidak satu fakta eksistensial yang kebenarannya tak teraguan lagi. Descartes bermaksud membangun kembali pengetahuan diatas dasar yang kokoh dan kebenarannya tidak mungkin diragukan lagi. Dasar yang menjadi semacam titik Archimedes itu adalah fakta eksistensial tentang keberadaannya. Walau ia meragukan semuanya, ia tak mungkin meragukan kenyataan bahwa dia yang ragu-ragu itu haruslah ada. Ragu-ragu termasuk dalam kategori berfikir, maka ucapan Descartes yang terkenal adalah Corgito ergo sum . Saya berfikir, maka saya ada. Sebelum Descartes, pada abad ke-4, Agustinus telah mengungkapkan argument yang mirip untuk melawan skeptisisme mutlak. Dalam buku City of God, II, 26 ia menyatakan: Si fallor, sum (“Kalau saya keliru, itu berarti saya ada”). Masud Agustinus tidak bereda dengan Descartes dan daya kekuatan argumennya juga sama, yakni justru dari kenyataan bahwa saya keliru menjadi nyata bahwa saya ada. Banyak filsuf sesudah Decartes mengandaikan bahwa satu-satunya hal yang dapat diketahui dengan pasti adalah diri kita sendiri dan kegiatan sadar kita. Sedangkan semua klaim pengetahuan tentang “yang bukan aku” atau segala sesuatu di luar diri sendiri, pantas diragukan kepastian kebenarannya. Kemungkinan pembenaran atas klaim pengetahuan macam itu hanya bisa berdasarkan argumentasi logis atau hasil penyimpulan tak langsung (inference). Dengan kata lain, pengetahuan tentang “yang bukan aku” adalah pengetahuan tidak langsung. Demikianlah muncul apa yang disebut “soal jembatan” (the problem of the bridge) yang menghubungkan antara diri (“aku”) dengan yang lain (“yang bukan aku”). Adalah suatu ironi bahwa usaha gigih Descartes untuk menolak skeptisisme sekali untuk selamanya justru pada akhirnya bertanggung jawab atas pembelokan kearah subjektivisme dalam filsafat. Dasar pembenaran Descartes mengapa keberadaan dirinya yang berpikir (konkretya: ragu-ragu) merupakan fakta yang tak teragukan lagi adalah bahwa ia dalam pikirannya melihat kenyataan tersebut sebagai suatu gagasan yang begitu jelas dan terpilah-pilah. Dalam pikirannya ia melihat dengan gamblang bahwa dirinya adalah sesuatu yang sedang berpikir (res cogitans). Dari penalaran ini, Descartes menarik kesimpulan bahwa ada tidaknya gagasan yang jelas dan terpilah-pilah (idea clara et distinct) dalam pikiran kita mengenai hal yang sedang diselidiki, merupakan satu-satunya tolok ukur kebenaran yang tak mungkin teragukan lagi. Dengan kata lain tidak memerlukan dasar pembenaran yang lain (self-authenticating). Descartes adalah seorang rasionalis. Baginya rasio atau pikiran adalah satu-satunya sumber dan jaminan kebenaran pengetahuan. Ia mencurigai keandalan pengalaman indra dalam menjamin kebenaran pengetahuan termasuk pengetahuan tentang dunia luar kita. Dengan kata lain Decartes meragukan kebenaran yang berada “diluar aku/yang bukan aku” seperi halnya dengan kebenaran berdasarkan pengalaman indra. Karena dari pengalaman terbukti bahwa indra mudah mengecoh kita.Dari sini kita dapat mengatakan bahwa Descartes telah terjebak dalam ranah Subjektivisme. Seperti sudah sering dikritikan pada Descartes, ia jatuh kedalam posisi ekstrem yang disebut solipisme (dari bahasa Latin, gabungan antara kata “solus” dan “ipse” yang berarti “ia sendirian pada dirinya”). Ia terkurung dalam pikirannya sendiri, karena memahami kesadaran sebagai semacam “wadah” tempat gagasan-gagasan kita berada. Dalam pemahaman seperti itu keberadaaan dan pengetahuan mengenai “yang lain” atau “yang bukan diri sendiri” lalu hanya dapat disimpulkan secara tidak langsung dari keberadaan pengetahuan mengenai diri sendiri. Keberadaan sesuatu diluar diri atau “yang bukan aku” dalam pengalaman sehari-hari misalnya menjadi jelas dari gejala bahasa. Seperti pernah dinyatakan oleh Wittgenstein, tidak ada bahasa privat. Kenyataan adanya bahasa selalu mengandaikan adanya pribadi atau subjek yang lain selain diri sendiri. Bahasa adalah sarana komunikasi atau menjalin hubungan dengan yang lain. Dengan demikian, bahasa selalu bersifat intersubjektif. Bukti lain berdasarkan pengalaman adalah kenyataan bahwa orang tidak akan mempunyai kesadaran eksplisit tentang dirinya sebagai individu selain melalui interaksinya dengan individu lain atau yang bukan aku. Kesadaran akan diri sendiri bukan suatu intuisi langsung tentang diri dalam gagasan yang jelas dan terpilah-pilah sebagaimana dipahami Descartes. Kesadaran akan diri sendiri merupakan hasil suatu proses bertahap melalui pengalaman pergulatan berhadapan dengan dunia luar dan merasakan adanya resistensi darinya. Dari kajian sampai disini sudah menjadi jelas bahwa skeptisisme mutlak dan subjektivisme radikal merupakan paham etimologis yang tak bisa dipertahankan. Manusia dapat mengetahui sesuatu. Sekurang-kurangnya kita tahu dengan pasti, atau tidak mungkin meragukan lagi, bahwa kita masing-masing yang ragu-ragu itu tidak bisa tidak ada. Selain itu, pengalaman hidup kita juga menunjukkan adanya tanda-tanda yang dapat dipercaya dan menjadi bukti adanya dunia diluar diri atau keberadaan yang bukan aku. Kita mengenali keberadaan dunia diluar diri dari pengalaman berhadapan dan berinteraksi dengannya. Kalau skeptisisme mutlak dan subjektivisme radikal dengan cukup mudah dapat ditunjukkan sebagai suatu pandangan epistemologis yang tidak dapat dipertahankan dan pantas ditolak, tidak demikian dengan relativisme. Relativisme epistemologis adalah suatu paham yang mengingkari adanya dan dapat diketahuinya kebenaran yang objektif dan universal oleh manusia. Paham ini mengajarkan bahwa kebenaran yang ada dan dapat diketahui oleh manusia adalah kebenaran yang bersifat relatif. Relativisme tampaknya merupakan suatu jalan keluar yang mudah untuk menghindarkan konflik perbedaan pendapat ataupun keyakinan. Ada beberapa jenis relativisme. Pertama, relativisme subjektif. Jenis yang pertama ini praktis sama dengan subjektivisme. Dalam paham ini kebenaran pengetahuan dimengerti sebagai sesuatu yang relative terhadap subjek yang bersangkutan. Apa yang benar untuk si A belum tentu benar untuk si B. Yang kedua yakni relativisme budaya. Menurut paham ini tidak ada kebenaran objektif dan universal, karena kebenaran pengetahuan manusia selalu relative terhadap kebudayaan tempat pengetahuan itu dikembangkan. Ini berarti tidak ada kebenaran pengetahuan yang lintas budaya atau yang berlaku disemua kebudayaan. Pengetahuan selalu bersifat local (local knowledge). Pengetahuan benar-salah itu relative terhadap konteks sosial-budaya tempat penetuan itu dilakukan (contextualism) dan tolok ukurnya ditentukan berdasarkan kesepakatan sosial dalam masyarakat (conventionalism). Tidak ada tolok ukur kebenaran yang netral dan berlaku untuk semua lingkungan masyarakat. Secara epistemologis, dibalik paham relativisme budaya ada jenis relativisme lain yang mendasarinya, yakni relativisme konseptual. Menurut paham ini benar atau salah itu tidak ada ukuran objektif universal, tetapi relatif atau tergantung dari kerangka atau bingkai konseptual (conceptual framework) yang dipakai. Pandangan ini misalnya secara jelas terungkap dalam pernyataan Peter Winch berikut: “kenyataan bukanlah apa yang memberi makna pada bahasa. Apa yang nyata dan tak nyata menunjukkan dirinya dalam makna yang dimiliki bahasa. Lagipula, baik perbedaan antara yang nyata dan tak nyata serta konsep kesesuaian dengan kenyatan sendiri tergantung dari bahasa kita.” Sebagai argument pendukung dan dasar teoretis, para penganut paham relativisme konseptual sering merujuk pemikiran Wittgenstein akhir (II) tentang adanya macam-macam bentuk kehidupan (froms of life), masing-masing dengan permainan bahasanya sendiri. Secara sosial pengaruh paham relativisme konseptual lebih diperkuat lagi oleh pendapat yang dikemukakan oleh Thomas Khun bahwa dalam sains pun yang namanya kebenaran itu relative terhadap paradigma yang dianut. Tidak ada tolok ukur yang netral dan berlaku untuk semua paradigma. Paradigma yang satu tidak dapat dibandingkan secara seukur (incommensurable) dengan paradigma yang lain. Gagasan yang terakhir ini juga didukung dan bahkan amat ditekankan oleh Feyerabend. Relativisme budaya sebagai suatu pandangan epistemologis, yakni paham yang menolak adanya kebenaran objektif universal karena kebenaran itu selalu hanya bersifat relative terhadap lingkungan budaya tertentu, tidak bisa diterima. Alasannya adalah bahwa pandangan ini sendiri mengandaikan kebenaran objektif universal dari paham determinisme budaya. Relativisme konseptual tampak lebih ekstrem dibandingkan dengan relativisme pada umumnya, karena tidak hanya menyangkut kebenaran, tetapi juga menyangkut makna. Setiap bahasa sebagai bingkai konseptual mempunyai system tanda dan pemaknaan yang berbeda dengan bahasa lain. Apalagi kenyataan sendiri dibuat tergantung pada bahasa. Pandangan ini terlalu melebih-lebihkan peran bahasa dalam penangkapan dan pemahaman kenyataan. Relativisme konseptual pada dasarnya merancukan makna sebuah konsep dengan konteks sosial atau situasi ketika konsep itu pertama kali dipelajari. Dari sisi pertimbangan logis masih ada alasan mengapa relativisme merupakan suatu sikap epistemologis yang tidak bisa diterima. Pertama, relativisme jatuh ke keliruan pengecualian diri (the fallacy of self-exception). Kedua, relativisme menyatakan bahwa kebenaran itu selalu bersifat relatif terhadap sesuatu (entah itu diri sendiri, suatu konteks sosial ataupun suatu lingkungan budaya). Lepas dari pelbagai kelemahan yang melekat pada paham relativisme, kiranya paham tersebut juga memuat beberapa hal yang berharga bagi pemahaman yang lebih baik tentang cirri-ciri hakiki pengetahuan manusia. Pertama, relativisme secara tepat melawan sikap rasionalistik ekstrem yang terlalu mengagungkan kemampuan pikiran manusia. Sebaliknya, paham ini menekankan keterbatasan (contingency) dan kekeliruan (fallibility) manusia. Kedua, relativisme juga benar dalam menekankan sifat relasional dan kontekstual dari pengetahuan manusia. Dalam kegiatan mengetahui, manusia sebagai subjek penahu selalu sudah membawa prapaham yang berasal dari lingkungan sosial budaya tempat ia lahir dan dibesarkan. Walaupun demikian, relativisme sebagai posisi epistemologis tetap tidak dapat diterima, karena pada dasarnya paham tersebut merancukan relativitas pengetahuan dengan relativisme. Kenyataan bahwa pengetahuan itu bersifat relasional tetap dapat dipadukan dengan pandangan bahwa beberapa klaim pengetahuan kebenarannya bersifat objektif dan universal. Dari kajian diatas, kesimpulan sementara mengenai cirri-ciri hakiki pengetahuan manusia adalah sebagai berkut : 1. Kepastian mutlak tentang kebenaran segala pengetahuan kita memang tidak mungkin, sebab manusia adalah mahluk contingent dan fallible. Tetapi ini tidak berarti bahwa semua pengetahuan manusia pantas dan perlu diragukan kebenarannya. Maka skeptisisme mutlak pantas ditolak. 2. Subjek berperan aktif dalam kegiatan mengetahui dan tidak hanya bersifat pasif menerima serta melaporkan objek apa adanya. Tetapi ini tidak berarti bahwa pengetahuan manusia melulu bersifat subjektif. Maka, subjektivisme radikal juga pantas disangkal. 3. Pengetahuan manusia memang bersifat relasional dan kontekstual, tetapi itu tidak berarti bahwa objektivitas dan universalitas pengetahuan menjadi tidak mungkin. Maka, pelbagai bentuk relativisme epistemology, walaupun punya sumbangan yang berharga, merupakan suatu pandangan tentang pengetahuan yang tidak bisa diterima.
Posted on: Mon, 07 Oct 2013 07:29:03 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015