WALISONGO ADALAH PENERUS DAKWAH RASULULLAH SAW. Daftar Isi: A. - TopicsExpress



          

WALISONGO ADALAH PENERUS DAKWAH RASULULLAH SAW. Daftar Isi: A. Dakwah Walisongo adalah Dakwah Kultural B. Memahami Metode Dakwah Walisongo C. Dakwah Walisongo Belum Tuntas? Akhir-akhir ini ada sekelompok orang yang mengaku bermanhaj salaf, secara tiba-tiba dan membabi buta menuduh Walisongo adalah penyebar kesyirikan, penganjur bid’ah (sesat), pengagum takhayyul dan khurafat. Sehingga mereka berkesimpulan bahwa Walisongo telah gagal dalam berdakwah dan tak patut untuk dijadikan teladan. Seakan tak ada beban malu, mereka menganggap hanya dirinyalah yang pantas berdakwah di nusantara ini, dakwah tauhid murni (ala Muhammad bin Abdul Wahab = wahabi) untuk menggempur dan menumbangkan praktek-praktek syirik dan TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat). Lalu bagaimanakah reaksi kita atas tuduhan yang tak berdasar itu? Tahan emosi dulu, mari kita coba pelajari pelan-pelan tentang Walisongo itu. A. Dakwah Walisongo adalah Dakwah Kultural Telah masyhur di kalangan sejarawan, ulama, dan tokoh lainnya bahwa Islam tersebar luas di Indonesia atas jasa Walisongo dan murid-muridnya. Sebelumnya, usaha dakwah telah dilakukan orang, tapi lingkupnya sangat terbatas. Duta Masyarakat, 28-30 Maret 2007 menuliskan: “Sebenarnya Islam masuk Nusantara sejak zaman Rasulullah. Yakni berdasarkan literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Kemudian Marcopolo menyebutkan, saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H/1292 M, telah banyak orang Arab menyebarkan Islam. Begitu pula Ibnu Bathuthah, pengembara muslim, yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H/1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar madzhab Syafi’i. Tapi baru abad 9 H (abad 15 M) penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Masa itu adalah masa dakwah Walisongo.” Berbeda dengan dakwah Islam di Asia Barat, Afrika, dan Eropa yang dilakukan dengan penaklukan, Walisongo berdakwah dengan cara damai. Yakni dengan pendekatan pada masyarakat pribumi dan akulturasi budaya (percampuran budaya Islam dan budaya lokal). Dakwah mereka adalah dakwah kultural. Banyak peninggalan Walisongo menunjukkan, bahwa budaya dan tradisi lokal mereka sepakati sebagai media dakwah. Hal ini dijelaskan, baik semua atau sebagian, dalam banyak sekali tulisan seputar Walisongo dan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Misalnya, dalam Ensiklopedi Islam; Târikhul-Auliyâ’ karya KH. Bisri Mustofa; Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia karya KH. Saifuddin Zuhri; Sekitar Walisanga karya Solihin Salam; Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya karya Drg. H. Muhammad Syamsu As.; Kisah Para Wali karya Hariwijaya; dan Kisah Wali Songo: Para Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa karya Asnan Wahyudi dan Abu Khalid MA. Dahulu di Indonesia mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha, dan terdapat berbagai kerajaan Hindu dan Budha, sehingga budaya dan tradisi lokal saat itu kental diwarnai kedua agama tersebut. Budaya dan tradisi lokal itu oleh Walisongo tidak dianggap “musuh agama” yang harus dibasmi. Bahkan budaya dan tradisi lokal itu mereka jadikan “teman akrab” dan media dakwah agama, selama tak ada larangan dalam nash syariat. Pertama-pertama, Walisongo belajar bahasa lokal, memperhatikan kebudayaan dan adat, serta kesenangan dan kebutuhan masyarakat. Lalu berusaha menarik simpati mereka. Karena masyarakat Jawa sangat menyukai kesenian, maka Walisongo menarik perhatian dengan kesenian, diantaranya dengan menciptakan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan, dan pertunjukan wayang dengan lakon islami. Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca syahadat, diajari wudhu’, shalat, dan sebagainya. Walisongo sangat peka dalam beradaptasi, caranya menanamkan akidah dan syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat. Misalnya, kebiasaan berkumpul dan kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian keluarga tidak diharamkan, tapi diisi pembacaan tahlil, doa, dan sedekah. Bahkan Sunan Ampel, yang dikenal sangat hati-hati, menyebut shalat dengan “sembahyang” (asalnya: sembah dan hyang) dan menamai tempat ibadah dengan “langgar”, mirip kata sanggar. Bangunan masjid dan langgar pun dibuat bercorak Jawa dengan genteng bertingkat-tingkat, bahkan masjid Kudus dilengkapi menara dan gapura bercorak Hindu. Selain itu, untuk mendidik calon-calon dai, Walisongo mendirikan pesantren-pesantren yang menurut sebagian sejarawan mirip padepokan-padepokan orang Hindu dan Budha untuk mendidik cantrik dan calon pemimpin agama. B. Memahami Metode Dakwah Walisongo Sebagian pihak mempermasalahkan metode dakwah Walisongo tersebut. Sebagian mempertanyakan kesesuaiannya dengan dalil syar’i. Sebagian lagi bahkan berani menyalahkan peninggalan para ulama-wali itu. Hal ini terutama dilakukan kaum modernis yang dipengaruhi pemikiran Wahabi yang kaku. Bila mau berpikir jernih dan bijak, metode dakwah Walisongo tidak selayaknya dipertanyakan. Bahkan semestinya dipuji, karena terbukti kesuksesannya. Untuk dapat memahami mengapa Walisongo menerapkan metode dakwah semacam itu, beberapa hal perlu dilakukan: 1. Mempelajari sejarah mereka secara mendalam. Sebagaimana disebut di atas, banyak bacaan tentang sejarah Walisongo. Bacaan-bacaan tersebut bersumber dari kitab, babad, dan serat kuno, diantaranya Kitâb Kanzul Ulûm Ibnul Bathuthah; Babad Tanah Jawi; Babad Majapahit lan Para Wali; Hikayat Hasanuddin; Wali Sanga Babadipun Para Wali; dan Serat Centhini. Tulisan di masjid dan makam Walisongo juga dijadikan sumber. Beberapa buku orientalis juga dijadikan sumber, tapi para sejarawan Islam bersikap selektif dan hati-hati dalam mengutip keterangan dari non muslim ini. 2. Selalu mengingat bahwa Walisongo ulama yang alim, yang tak akan sembarangan dalam berbuat. Menurut Kitâb Kanzul Ulûm Ibnul Bathuthah, Walisongo adalah sembilan ulama berilmu agama tinggi serta mempunyai karamah, yang diutus Sultan Muhammad I Turki untuk menyebarkan Islam di Jawa. Bila salah satu pergi atau meninggal, maka segera digantikan wali lain. Sunan Bonang meninggalkan Primbon Wejangan Sunan Bonang berisi fikih, tauhid, dan tasawuf, diantaranya berdasarkan Ihyâ’ Ulûmid-dîn al- Ghazali, al-Anthâki dari Dawud al- Anthaki, dan kitab Syeikh Abdul Qodir al-Jailani. Menurut Muhammad Syamsu As., ajaran Sunan Bonang mengikuti akidah Ahlussunnah wal Jama’ah dengan madzhab Syafi’i, dan mewakili ajaran semua Walisongo. Masih menurutnya, Sunan Giri dinamai Sultan Abdul Faqih, karena ilmu fikihnya sangat mendalam, ia mengajar ilmu fikih, ilmu tafsir, ilmu hadits, nahwu, dan sharaf. Sunan Kudus dijuluki Waliyul Ilmi, menguasai ilmu ushul hadits, ilmu tafsir, ilmu sastra, manthiq, dan terutama ilmu fikih. Dan Sunan Gunung Jati mempelajari ilmu syariat, hakikat, thariqat, dan ma’rifat. 3. Mempelajari metode dakwah Nabi Muhammad Saw., para sahabat Nabi, dan ulama salaf sebagai perbandingan. Setelah diteliti, ternyata dakwah Walisongo yang bijak dan halus sesuai dengan dakwah Nabi. Dakwahnya sesuai ayat: “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. an-Nahl ayat 125). “Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran ayat 159). Juga pesan Nabi Saw. saat mengutus Abu Musa dan Mu’adz bin Jabal Ra. berdakwah: “Mudahkanlah, jangan mempersulit. Berilah kabar gembira, jangan membuat (mereka/objek dakwah) lari!” (HR. Muslim). Dan Hadits dari Siti Aisyah Ra.: “Rasulullah memerintah kami menempatkan (memperlakukan) manusia sesuai kadar (akal) mereka.” (HR. Abu Dawud). Tentang Walisongo membuat tembang dan puji-pujian Jawa, hal ini sebagaimana para sahabat dan ulama salaf membuat syair-syair keagamaan Arab. Bahasanya saja yang berbeda. Tentang membuat dan menggunakan gamelan serta beduk, kemungkinan besar berpedoman pada pendapat al-Ghazali dalam Ihyâ’ Ulûmiddîn bahwa alat musik yang dilarang hanya yang disebut dalam hadits. Tentang pertunjukan wayang, awalnya Sunan Giri tak setuju, tapi akhirnya beliau dan wali lainnya menyetujui setelah Sunan Kalijogo mengusulkan wayang diubah bentuknya, tangan lebih panjang dari kaki, hidung panjang-panjang, kepala agak menyerupai binatang, dan lain-lain agar tak serupa persis dengan manusia. Tentang membakar kemenyan, bukan untuk arwah orang mati, tapi untuk mengharumkan ruangan dan karena Nabi suka wangi- wangian. 4. Selalu husnudzan (berbaik sangka) pada Walisongo. Apabila ada metode dakwah mereka yang tampak kurang sesuai syariat, sebaiknya kita anggap mungkin sumber/penulis sejarahnya yang keliru, bukan Walisongo, dan mungkin diri kita yang belum memahami/ menemukan dalil dan pendapat ulama salaf yang mereka gunakan. Jika tidak husnudzan, kita akan menyalahkan mereka seperti kaum Wahabi dan modernis menyalahkan para ulama. KH. Hasyim Asy’ari dalam Risâlah Ahlussunnah wal Jamâ’ah mengutip ucapan Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi’i: “Mereka (Wahabi dan yang sealiran) golongan yang bermain-main dengan agama, mereka mencela para ulama salaf dan khalaf, dan mengatakan: “Mereka itu tidak ma’shum (terjaga dari dosa seperti Nabi), maka tidak selayaknya mengikuti mereka”. Na’ûdzu billâh. Walisongo memang tidak ma’shûm, tapi bukan muqashshir (orang sembrono), apalagi jâhil (orang bodoh). Mereka mahfûdz (terjaga dari dosa, sebagai wali Allah) dan ulama yang alim.” 5. Selalu menghormati Walisongo sebagai penyebar Islam dan guru. Seandainya bukan karena mereka, mungkin kita saat ini beragama Hindu atau Budha seperti nenek moyang kita. Walisongo guru kita, karena nenek moyang kita belajar pada mereka atau murid-murid mereka. Dan kiai serta guru kita masa sekarang, utamanya di pesantren, belajar pada gurunya, gurunya belajar pada gurunya lagi, terus sampai Walisongo. Karena itulah para ulama dan habaib mengamalkan ajaran Islam tradisionalis Walisongo, bahkan beberapa menulis kitab/buku untuk membelanya. Masyarakat umum juga ikut mengamalkannya. Walhasil, Walisongo adalah ulama- wali yang alim dan bijak. Mereka dan metode dakwah serta peninggalannya seyogyanya dihormati. Nabi Saw. bersabda pada Sayyidina Ali Ra.: “Demi Allah, sungguh Allah memberi petunjuk pada seseorang (hingga masuk Islam) melalui kamu itu lebih baik bagimu daripada memperoleh unta merah (harta yang tak ternilai harganya).” (HR Bukhari Muslim). Nabi Saw. juga bersabda: “Barangsiapa memberi petunjuk pada kebaikan, dia mendapat pahala sebagaimana orang yang melakukannya.” (HR Muslim). Hadits ini, menurut Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, menunjukkan keutamaan ilmu dan bahwa Nabi mendapat pahala seperti pahala seluruh umatnya, sejak diutus sampai kiamat. Maka begitupula Walisongo, sebagai penyebar Islam “pertama”, mereka mendapat pahala seperti pahala semua umat Islam Indonesia, sejak dakwahnya sampai kiamat. C. Dakwah Walisongo Belum Tuntas? Pakdhe Sururi Arrumbani pernah menuliskan wacana sebagai jawaban atas lontaran sebagian kalangan yang tidak suka dengan cara dakwah Walisongo sebagai berikut: “Mungkin anda sering mendengar dan membaca pernyataan bahwa dakwah para Walisongo belum tuntas. Masih perlu penyempurnaan. Karena masih banyak praktek-praktek yang dianggap syirik. Walisongo dalam pandangan mereka gagal dalam berdakwah, karena belum mampu menghapus kesyirikan dalam masyarakat. Dan ujung-ujungnya mereka yang menyatakan demikian dengan yakin, bahwa merekalah yang layak meneruskan atau menuntaskan dakwah para Walisongo tersebut. Atau karena dinilai gagal, maka dakwah walisongo perlu diganti total. Tapi sayang, ketika mereka diajak berbincang mengenai profil Walisongo mereka tidak tahu. Mengenai sepak terjang, model berdakwah, mereka sama sekali tidak paham. Yang mereka tahu hanya bahwa di Jawa masih banyak pelaku syirik. Ini belum pada cara pandang mereka dalam bingkai Bid’ah. Jika ditambah dengan yang demikian, niscayalah dakwah Islam oleh Walisongo pasti akan dianggap gagal total. Walisongo tidak layak disebut sebagai pendakwah Islam. Sungguh kesimpulan yang sangat-sangat konyol. Marilah sejenak kita mengkaji sejarah Nabi Muhammad, bahwa sepeninggal beliau ternyata seluruh dunia juga tidak Islam semua. Padahal beliau diutus untuk seluruh umat manusia. Tidak usah yang besar, apakah di tanah Arab juga sudah berhasil 100% memeluk Islam? Apakah masyarakat Arab sudah bebas dari perilaku syirik? Kalau Nabi tidak dianggap gagal, maka apakah layak Walisongo disebut gagal? Tidak kan?! Sekarang, Arab Saudi dibanjiri umat Islam yang melaksanakan ibadah haji tiap tahunnya. Demikian pula jamaah umrah. Apakah ini keberhasilan pemerintah Arab Saudi? Tidak begitu. Dari mana asal jamaah tersebut ? Indonesia begitu besar yang ke sana. Lagi-lagi apakah ini bukti kegagalan dakwah Walisongo dan penerusnya? Dakwah Muhammad bin Abdul Wahab, Bin Baz atau al-Albani dan lainnya apakah berhasil? Memang semakin hari semakin bertambah pengikutnya dari seluruh penjuru dunia. Jika ukuran soal jumlah ya gagal lah. Orang Jawa saja berapa yang muslim. Jadi ukuran apa yang hendak dijadikan pedoman menilai gagal tidaknya sebuah dakwah? Apakah jumlah? Atau pendirian sebuah negara dengan label Islam sebagai bentuk keberhasilan tertinggi? Kalau itu ukurannya, malah di Jawa sudah pernah dan justru Walisongo yang membidaninya. Jadi tidak mudah dalam urusan ini. Jangan-jangan penilaian kegagalan Walisongo hanya bentuk kedengkian semata? Dalam teori wacana, pernyataan yang disampaikan, bisa jadi menyimpan maksud yang sebenarnya, dan maksud itu adalah bertolak belakang dari yang dinyatakan. Pernahkah anda jatuh cinta? Anda bisa bilang sangat membenci seseorang, padahal yang sebenarnya adalah anda mencintai orang tersebut.” Allahu a’lam Mari Kita Hadiahkan Bacaan Surat Al- Fatihah Untuk Beliau.. ALFATIHAH... --------------------------------------------- ------------------------------ sumber : FP sebelah |246| Q_Urut 86
Posted on: Tue, 13 Aug 2013 19:47:31 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015