negri 5 menara 22. Berbeda dengan ujian selama ini, untuk ujian - TopicsExpress



          

negri 5 menara 22. Berbeda dengan ujian selama ini, untuk ujian kelas enam kami harus berpakaian rapi layaknya seorang penguji. PM ingin kami melihat ujian ini sebagai sebuah kesempatan untuk mendiskusikan semua ilmu yang sudah dipelajari dengan para penguji. Bukan semata-mata kami menjawab pertanyaan saja. Hari ini aku berkemeja putih rapi, yang dimasukkan ke dalam celana katun, dililit ikat pinggang kulit imitasi. Dan tentu saja mengenakan seutas dasi. Ujian pertama adalah ujian lisan untuk Arabiyah, yaitu kumpulan berbagai subyek pelajaran bahasa Arab yang pernah kami dapat dari kelas satu sampai sekarang. Bahan bacaannya bertumpuk-tumpuk di mejaku, dan sudah berhari-hari aku cicil untuk membacanya. Aku menjalani ujian pertama dengan setengah percaya diri dan setengah lagi pening. Yang membuat pening adalah terlalu banyak yang harus aku pahami dan hapal dalam kurun beberapa hari. *Tafadhal ya akhi,” undang Ustad Ahsan ketika aku mengetok mang ujian lisan. Di luar dugaanku, suasananya sangat cair, se-perti diskusi antara dua orang kawan lama tentang perjalanan keilmuan mereka. Tidak ada pertanyaan menyudutkan untuk menjawab iya dan tidak. Pertanyaan lebih menggiring aku untuk memperlihatkan pemahaman besarku terhadap sebuah ilmu. Misalnya, “coba sebutkan sebuah kalimat lengkap berbahasa Arab dan uraikan fungsi dan tata bahasa kalimat itu sejelas mungkin”. Secara global aku bisa menjawab, tapi begitu masuk ke detail dan contoh konkrit, aku harus berjuang memaksa mesin ingatanku bekerja keras. Keluar dari ruangan ujian lisan ini, aku berkali-kali membisikkan alhamdulillah. Sebuah tantangan besar telah aku lewati dengan lumayan meyakinkan. Sepuluh hari ujian lisan aku selesaikan juga dengan terengah-engah. Kami punya waktu istirahat sebelum ujian tulis. Kesimpulanku setelah ujian lisan: aku perlu membaca ulang beberapa buku khususnya yang berhubungan dengan Arabiyah, supaya lebih siap untuk ujian tulis. Selang beberapa hari kemudian, kami masuk ke babak akhir dari perjuangan thalabul ilmi kami di PM: ujian tulis. Aku merasa jauh lebih tenang menyambut ujian tulis, dibanding ujian lisan. Walau semua pertanyaan nanti berbentuk esai, tapi bagiku, menulis adalah proses yang baik untuk merekonstruksi semua materi yang pernah aku baca. Dan ada cukup waktu untuk berpikir tanpa harus ditatap dengan mata tidak sabar oleh penguji ujian lisan. Minggu pertama ujian tulis aku lewati dengan cukup baik. Paruh keduanya mulai terseok-seok karena stamina sudah terkuras dan bosan sudah datang. Benar adanya istilah “ujian diatas ujian”. Imtihan nihai bukan hanya sekadar membuktikan seberapa banyak ilmu yang telah diserap otak, tapi seberapa kuat seorang siswa melawan tekanan waktu, kebosanan, psikologis dan fisik. Siapa yang bisa mengatasi semua faktor itu, maka dia adalah pemenang. Setelah sebulan yang melelahkan, ujian kelulusan ini ditutup dengan ujian Peradaban Islam, sebuah pelajaran yang sangat aku sukai. Para ustad pengawas mengedarkan kertas soal dalam posisi terbalik di meja, tepat di depan kami masingmasing. Begitu lonceng berdentang, terdengar suara kresekan kertas ketika semua orang membalik kertas soal dengan harap-harap cemas. Apakah hapalan semalam akan ditanya, apakah soal pernah dibahas dengan teman-teman sebelumnya? Aku telah merasa belajar banyak untuk ujian ini, bahkan membaca berbagai referensi tambahan di perpustakaan. Aku membalik kertas soal dengan percaya diri. Walau begitu, tidak urung aku kaget juga melihat apa yang ada di kertas soal ini. Di tengah kertas soal yang putih, hanya ada sebuah tanda tanya besar. Dan sebuah pertanyaan: “Apa kisah sejarah Islam yang paling menginspirasimu? Beri kritik.” Seperti gaya mengajarnya yang inventif, Ustad Surur juga memberikan soal ujian yang tidak lazim. Hanya satu soalnya itu saja dan tidak ada petunjuk lain. Kami bebas menulis selama 1 Vi jam untuk menjawab soal ini. Aku termenung sejenak. Pertanyaan yang menantang dan menggairahkan. Begitu banyak yang menginspirasi, begitu banyak buku yang telah aku baca beberapa bulan ini, begitu banyak cerita Ustad Surur yang inspiratif. Tapi yang manakah yang akan aku pilih? Akhirnya aku memutuskan untuk bercerita tentang topik yang selalu membuatku terpukau. Yaitu tentang masa keemasan Islam di ranah Eropa pada abad ke-8 sampai ke-I5. Waktu itu kota-kota penting Islam di Spanyol seperti Toledo, Valencia, Granada, Cordoba, Malaga dan Seville mencapai puncak peradaban dan Universitas Cordoba dan Palacio de la Madraza di Granada menjadi tujuan orang Eropa untuk belajar ilmu mulai kedokteran sampai ilmu falak. Aku juga menuliskan sosok Ibnu Rusyd yang sungguh keterlaluan pintarnya. Dia lahir di Spanyol pada abad ke-I2 dan ikut berperan mempengaruhi filosofi pemikiran Thomas Aquinas dan Albert the Great. Dikenal di Eropa dengan nama Averrous, dia dianggap tokoh yang mampu mempertemukan agama dengan filosofi. Dia sosok ilmuwan super dan multi talenta: selain ahli hukum, dia juga dikenal menguasai ahli aritmatika dan kedokteran. Untuk bidang kedokteran, Ibnu Rusyd menulis 16 jilid buku Kulliyah fi Thibb yang lalu diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul General Rules of Medicine dan dipakai di sekolah-sekolah Eropa. Total buku karangannya 78 buah yang melingkupi bidang ilmu falak, matematika, astronomi, filsafat, logika, fiqh, dan sastra. Seseorang yang sungguh ajaib! Bahkan salah satu bukunya, Bidayatul Mujtahid yang membahas perbandingan berbagai mazhab kami pakai sehari-hari di kelas. Bayangkan! Aku berguru kepada seorang jenius Muslim dari abad ke-12. Nah, sekarang untuk bagian kritik, aku meminjam pendapat orang pintar yang “keterlaluan” lainnya, Ibnu Khaldun. Lahir di Spanyol abad ke-13, dia adalah ahli hukum, sejarah, sosiologi, sekaligus filsuf. Dalam buku terkenalnya, Mukaddimah dia menerangkan pasang surut suatu dinasti mengikuti sebuah hukum universal. Menurut hukum itu, suatu budaya baru selalu dimulai dari semangat solidaritas kelompok yang sangat kuat. Kelompok ini lalu menjadi penguasa dan membangun budaya dan peradaban yang kokoh. Tapi begitu kekuasaan terbentuk, mereka menjadi lengah, muncul kecemburuan dan satu sama lain berebut kekuasaan. Fase berikutnya, mereka menjadi lemah dan gampang ditaklukkan oleh sebuah kelompok yang baru. Yang punya semangat solidaritas kelompok yang lebih baru lagi, seperti yang pernah mereka punyai dulu. Dan siklus ini terjadi berkali-kali. Ambruknya peradaban Islam di Spanyol juga terjadi karena kesalahan yang sama. Aku menuliskan di lembar jawaban esaiku, bahwa sungguh mengasyikkan mempelajari kejayaan Islam zaman dulu mulai dari masa Dinasti Nasrid di Spanyol, Safavid di Iran, Mogul di India, Ottoman di Anatolia, Syria, Afrika dan Timur Tengah. Tapi juga menyedihkan karena semua ini berkesudahan dewi-kz.info/ dengan kemunduran. Dan lebih menyedihkan lagi adalah kebiasaan umat Islam bernostalgia dengan kejayaan tua yang mangkrak itu. Sebagai penutup, aku menuliskan bahwa sudah saatnya romantisme ini dilihat dari sisi yang lain. Bukan untuk dikenang dan dibangga-banggakan, tapi untuk mengambil hikmah dari masa lalu dan berjuang untuk membangun peradaban yang lebih kokoh lagi. Berlembar-lembar kertas lancar kuhabiskan. Semoga Ustad Surur terkesan dengan jawaban dan kritikku ini. Kalau beberapa ujian sebelumnya aku lewati dengan mengecewakan, ujian yang terakhir ini memberi optimisme bahwa aku memang telah belajar dengan baik. Begitu bel berdentang menandakan waktu habis, kami semua bersorak dan berdiri merayakan keberhasilan menyelesaikan ujian maraton sebulan penuh ini. Ujian Peradaban Islam ini sungguh telah mengobati hatiku. Lembar jawaban aku serahkan kepada ustad pengawas dengan senyum lega. Rasanya hari ini adalah hari pembebasan dan kemerdekaan. Rasanya seperti melunasi hutang besar dengan tunai. Selesai sudah perjalanan panjangku empat tahun di PM, selesai sudah ujian maraton yang melelahkan jiwa dan raga. Yang jelas hatiku puas dan tentram karena merasa telah melakukan yang terbaik, berusaha berbuat di atas rata-rata orang dan telah berdoa dan bertawakkal. Hanya Allah yang Maha Mengatur segala hal. Kini saatnya aku melihat hari ini dan esok. Ke mana aku setelah PM? Suasana di bawah menara sore itu meriah. Dari tadi kami tidak henti-henti tersenyum dan tertawa terpingkal-pingkal mendengar cerita Said dan Atang yang mengaku pernah tertidur di ruang ujian. Raja, Dul dan aku bercerita bagaimana kami telah mengurangi mandi selama ujian karena tidak mau kehilangan waktu antri panjang di depan kamar mandi. Tapi tidak seorang pun yang mau membicarakan soal ujian lagi. “Kalau begini, aku kangen mendengar Baso ribut membolak-balik buku untuk memastikan jawaban ujiannya benar,” kata Raja tersenyum tanpa suara. Dia merogoh saku bajunya dan mengeluarkan secarik kertas putih. Dia mengangsurkan ke tangan kami. “Nih, baru sampai. Surat buat kita” Sebuah surat bertuliskan Arab gundul yang rapi. Dari Baso. Aku membacakan buat kawan-kawan. “…..Saudara-saudaraku. Kalau ingatanku tidak salah, kalian tentu sekarang sudah hampir menyelesaikan “pesta” ujian akhir. Aku doakan kalian lulus semua. Sayang sekali aku tidak bisa ikut pesta ini. Sejujurnya, aku kangen dengan ujian di PM. Nenekku masih sakit, tapi kedatanganku untuk merawatnya membuat dia tampak lebih kuat. Hari-hariku juga cukup sibuk. Setiap pagi aku berjalan ke desa sebelah untuk mengajar Bahasa Arab dan mendalami hapalan AlQuran dengan Tuanku Haji Gutu Mukhlas Lamaming. Menjelang zuhur aku kembali pulang untuk menyuapi nenek. Malam harinya aku habiskan untuk membaca buku untuk persiapan ujian persamaan dan tentunya menghapal Al-Quran. Alhamdulillah, kemajuan hapalanku luar biasa, sekarang sudah hampir 20 juz. Aku yakin, Tuhan akan mempertemukan kita lagi suatu hari kelak…..” Aku melipat surat Baso sambil tersenyum. Kawan-kawanku yang lain mengangguk-angguk kecil mengulum senyum. Rupanya rahang yang kehilangan gigi geraham sudah mulai sembuh. Malam itu, kami kembali berkumpul di aula, yang kali ini sudah dirombak dari kavling kelompok belajar menjadi kursi dan meja yang berjejer-jejer. Muka belajar kami yang tegang kini berganti gelak dan tawa yang pecah di sana-sini. Kiai Rais dan para guru duduk di panggung, menghadap kami. Kebiasaan di PM, sebuah ujian dibuka dan ditutup dengan pertemuan yang dipimpin Kiai Rais. Inilah Malam Syukuran Ujian Akhir. Dengan wajah bercahaya, Kiai Rais mengangkat kedua tangan seakan menyambut pahlawan dari medan perang. “Selamat datang para pejuangku. Yang telah sukses berjuang menaklukkan ujian akhir yang panjang… Anakanakku semua adalah pemenang…” Kami bertempik sorak, melepaskan segala sisa-sisa ketegangan ujian. “Dengan bahagia, selaku pimpinan pondok, saya laporkan bahwa sama sekali tidak ada korban jiwa dalam ujian kali ini,” candanya. Kami tertawa terbahak-bahak. “Dan kalian lebih baik daripada Napoleon Bonaparte, yang tidak pernah mau ikut ujian.” Sekali lagi kami tertawa. Pepatah andalan Kiai Rais yang selalu mengundang geerr dan terus muncul di setiap acara syukuran habis ujian dan menjelang libur adalah, “Dulu menjual mengkudu sekarang menjual durian, dulu tidak laku sekarang jadi rebutan. Dengan bertambahnya ilmu kalian di sini, kalian akan semakin dibutuhkan di masyarakat.” Beratus Ribu Jabat Erat Sudah dua minggu berlalu sejak kami merayakan selesainya ujian. Dua minggu yang paling santai yang pernah kami nikmati di PM. Kami melakukan berbagai macam kegiatan, mulai dari bulis lail, turnamen olahraga antara kelas 6 dan guru, sampai menghadiri berbagai seminar pembekalan bagi calon alumni. Said melampiaskan hasratnya untuk berolahraga lagi. Raja, Atang dan aku sibuk bolak-balik ke perpustakaan mengumpulkan berbagai informasi universitas mana saja yang mungkin kami masuki setelah tamat PM. Kami melihat-lihat brosur kuliah ke Timur Tengah, khususnya ke Al-Azhar dan Madinah University dan juga informasi sekolah di Eropa, Amerika dan tentunya universitas dalam negeri. Dulmajid mengoleksi fotokopi cara membuat silabus sekolah untuk digunakan kalau dia merealisasikan niatnya untuk menjadi pendidik dan mungkin kembali ke kampungnya mengajar. Salah satu kegiatan yang paling menarik di minggu terakhir kami adalah rihlah iqtishadiyah. Dengan bus carteran, selama lima hari, segenap murid kelas enam berkeliling Jawa Timur. Kami mengunjungi pabrik kerupuk di Trenggalek, budidaya ikan laut di Pacitan, toko bahan bangunan di Tulung Agung, koperasi simpan pinjam Islami di Jombang, dealer mobil dan pabrik semen di Gresik, industri batik di Sidoarjo, sampai pusat perawatan kapal besar di Surabaya. Selama kunjungan ini kami berdialog dengan wiraswastawan dan pemilik bisnis dan bertanya bagaimana mereka memulai usahanya. Tujuan perjalanan ini memang untuk membuka mata bahwa dunia wirausaha sangat luas dan bisa menjadi tujuan dewi-kz.info/ kami di masa depan. Perjalanan yang melelahkan, tapi membuat kami puas. Sepanjang jalan kembali ke PM aku dan Sahibul Menara sibuk berandai-andai, akan punya usaha apa kami nanti. Petuah Kiai Rais selalu mengiang-ngiang, “Jangan puas jadi pegawai, tapi jadilah orang yang punya pegawai”. “Pengumuman kelulusan kita sudah ada, bisa dilihat di aula,” seru Said sebagai ketua angkatan kami berteriak-teriak setelah subuh. Walau masih pegal-pegal dengan perjalanan keliling Jawa Timur kemarin, kami tidak sabar untuk datang berbondong-bondong ke aula. Walau sudah bertawakal sepenuh hati, tetap saja hatiku berdebur-debur ketika melihat pengumuman yang ditempel di aula. Mataku nanar mengikuti jari yang mencoba mencari-cari namaku di papan pengumuman. Dan itu dia. Namaku, Alif Fikri, dan di sebelahnya tertulis huruf nun, jim dan ha. Artinya LULUS. Alhamdulillah. Seperti banyak teman lainnya, aku segera sujud syukur di aula, berterima kasih kepada Allah untuk kelulusan ini. Ternyata para Sahibul Menara lulus semua. Kami berpeluk-pelukkan penuh syukur. Tidak sia-sia aku meregang semua otot kerja kerasku sampai daya lenting tertinggi. Resep yang selalu dikhotbahkan Said berhasil. Ajtahidu fauqa mustaml akhar. Berjuang di atas rata-rata usaha orang lain. Menurut pengumuman ini, hanya kurang dari sepuluh orang yang tidak lulus dan mereka dapat kesempatan untuk mengulang setahun lagi. Setelah makan pagi, kelas enam dikumpulkan di depan rumah Kiai Rais. Dalam kelompok-kelompok kecil kami dipanggil untuk menerima transkrip nilai dan diberi nasehat langsung oleh Kiai Rais dan para guru senior. “Dengan ini kami sempurnakan amanah orangtua kalian untuk mendidik kalian dengan sebaik-baiknya. Berkaryalah di masyarakat dengan sebaik-baiknya. Ingat, di kening kalian sekarang ada stempel PM. Junjunglah stempel ini. Jadilah rahmat bagi alam semesta. Carilah jalan ilmu dan jalan amal ke setiap sudut dunia. Ingadah nasihat Imam Syafii: Orang yang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman.Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Selamat jalan anak-anakku,” ucap Kiai Rais dalam nasehat terakhirnya. Sepasang matanya berpendar menatap kami. Juga berkaca-kaca. Suasana begitu hening dan syahdu. Malamnya diadakan acara yudisium dan khutbatul wada. Khutbah perpisahan. Setelah beberapa sambutan pendek dan doa syukur, kami semua anak kelas enam yang berjumlah ratusan diminta berdiri memanjang seperti ular di aula. Aku berdiri berjejer bersama Sahibul Menara. Saling meletakkan tangan di bahu teman, di kiri kanan. Lalu Kiai Rais menjangkau mikrofon. Anak-anakku, pada hari ini kami sempurnakan memberikan ilmu kepada kalian semua. Pergunakanlah dengan baik dan iawadhuk. Kami bangga kepada kalian dan bahagia telah menjadi guru-guru kalian. Ingat selalu, selama kalian ikhlas, maka selamanya Allah akan menjadi penolong kita. Innallah Maa’na. Tuhan bersama kita. Selamat jalan anak-anak, selamat berjuang.” Kiai Rais berpesan dengan nada suara yang bergetar-getar sampai ke ulu hati kami. Suasana hening pecah oleh isakanisakan kecil di sana-sini. Udara disesaki keharuan. Beberapa hidung temanku tampak merah dan basah, termasuk Atang yang berdiri persis di sebelahku. Lalu dipimpin Kiai Rais dan para guru menjabat tangan dan memeluk kami satu persatu sambil mengucap selamat jalan dan berjuang. Tiba giliranku, Kiai Rais memberikan pelukan dewi-kz.info/ erat, seakan-akan akulah anak kandung satu-satunya dan akan berlaga di medan perang. “Anakku, selamat berjuang. Hidup sekali, hiduplah yang berarti,” bisiknya ke kupingku. Aku hanya bisa mengucapkan, “Mohon restu Pak Kiai, terima kasih atas semua keikhlasan antum”. Aku menggigit bibirku yang mulai bergetar-getar, tersentuh oleh pelukan guru yang sangat aku hormati ini. Inilah malam ketika semua dendam kesumat kami bakar habis. Para ustad dari Kantor Pengasuhan yang selama ini menjadi penegak hukum yang sangar, tidak ketinggalan memberi selamat. Wajah-wajah keras mereka tiba-tiba berubah lembut. Bahkan wajah horor Ustad Torik berubah sembab. Mungkin sedih ditinggalkan para anak asuhannya yang nakal-nakal. “Alif, mohon maaf lahir batin, ma’an najah. Semoga sukses,” kata Ustad Torik sambil mendekapku. Selanjurnya, giliran ribuan adik kelas kami memberikan selamat dan jabat tangan. “Selamat berjuang Kak, doakan kami menyusul” adalah doa standar adik kelas kepada kami. Inilah malam terjadinya jabat tangan terbanyak dalam sejarah, lebih dari 2500 orang akan menyalami 400 tangan, artinya terjadi lebih ratusan ribu kali jabat tangan malam itu. Tidak heran kalau telapak tanganku terasa panas dingin dan pegalpegal. Sebagai pamungkas semuanya, terakhir adalah giliran kami sesama kelas enam saling berpelukan dan berjabat tangan. Suasana menjadi heboh karena 400 orang saling berangkulan dan memberi selamat. Kami semua lebur dalam perpisahan yang penuh emosi. Kami para Sahibul Menara berangkulan bersama. Hidup penuh suka duka selama 4 tahun di PM telah merekatkan kami semua dalam sebuah pengalaman dan persaudaraan yang tak akan lekang oleh waktu. Aku tidak punya banyak kata-kata dewi-kz.info/ untuk mengucapkan selamat jalan kepada kawan-kawanku ini. Kami hanya saling berangkulan erat beberapa lama. Said yang paling besar mengembangkan tangannya dan memagut kami semua lebih kencang. Badan Atang terlonjak-lonjak menahan isak tangisnya. Tidak lama kemudian, lensa kacamataku berembun dan hidungku seperti selesma. Esok paginya, PM diselimuti kabut. Hembusan angin pagi menusuk kulit. Tapi aku dan Sahibul Menara telah siap dengan koper-koper kami. Beberapa bus dengan tujuan masingmasing sudah menunggu di depan aula. Aku dan Raja naik bus jurusan Sumatera, Atang ke Bandung, sementara Dulmajid ikut mobil keluarga Said ke Surabaya. Di tengah kabut tipis, kami sekali lagi bersalaman dan berangkulan dan berjanji akan saling berkirim surat. Entah kapan aku akan melihat kawankawan terbaikku ini. Pikiranku tidak menentu. Sedih berpisah dengan kawan, guru dan sekolahku. Tapi aku senang dan bangga menjadi alumni pondok ini. Sebuah rumah yang sesak dengan semangat pendidikan dan keikhlasan yang dibagikan para kiai dan guru kami. Dalam hati, aku berkali-kali mengucapkan berterima kasih kepada Amak yang telah mengirim dan memaksaku ke PM. Aku akan sampaikan terima kasih ini langsung kepada Amak nanti. Aku yakin Amak akan tersenyum bahagia. Hari ini tidak ada lagi penyesalan yang tersisa di hatiku. Empat tahun terakhir adalah pengalaman terbaik yang bisa didapat seorang anak kampung sepertiku. Saatnya kini aku melangkah maju, mengatasi kebingungan masa depan. Akan ke mana aku melangkah? Bus carteran jurusan Bukittinggi menderum meninggalkan PM. Hampir semua kepala kami menengok ke belakang. Menara masjid tetap menjulang gagah mengingatkan segala kenangan indah bersama Sahibul Menara. Kabut-kabut tipis masih merambat di tanah, membuat seolah-olah bangunanbangunan sekolahku melayang di udara. Inilah pemandangan yang pertama aku lihat ketika sampai empat tahun yang lalu di PM. Dan ini pula pemandangan yang kulihat di hari terakhirku di PM. Kampung di atas awan. Trafalgar Sguare London, Desember 2003 Bunyi gemeretak terdengar setiap sepatuku melindas onggokan salju tipis yang menutupi permukaan trotoar. Tidak lama kemu-dian aku sampai di Trafalgar Square, sebuah lapangan beton yang amat luas. Dua air mancur besar memancarkan air tinggi ke udara dan mengirim tempias dinginnya ke wajahku. Square ini dikelilingi museum berpilar tinggi, gedung opera, dan kantor-kantor berdinding kelabu, tepat di tengah kesibukan London. Menurut buku tourist guide yang aku baca, National Gallery yang tepat berhadapan dengan square ini mempunyai koleksi kelas dunia seperti The Virgin of the Rocks karya Leonardo Da Vinci, Sunflowers karya Van Gogh dan The Water-Lily Pond karya Monet. Hebatnya, semua ini bisa dilihat dengan gratis. Gigiku gemeletuk. London yang berangin terasa lebih menggigil daripada Washington DC. Tapi langitnya biru benderang dan buminya bermandikan warna matahari sore yang kekuning-kuningan. Uap panas berbentuk asap-asap putih menyelinap keluar dari lubang-lubang drainase di trotoar, jalan besar dan di belakang gedung-gedung. Deruman dan decitan dari mobil, bus merah bertingkat dua, dan taksi hitam khas London bercampur baur dengan suara warga kota dewi-kz.info/ dan turis yang lalu lalang. Hampir «emuanya membalut diri mereka dengan jaket, sweater dan syal tejjal. Termometer digital raksasa yang menempel di dinding sebuah gedung berpendar menunjukkan minus 3 derajat celcius. Napasku bagai asap putih. Yang paling mencolok dari square ini adalah sebuah menara granit yang menjulang lebih 50 meter ke langit. Pondasinya dijaga empat ekor singa tembaga sebesar perahu. Di pucuk menara berdiri patung pahlawan perang Inggris Admiral Horatio Nelson yang bertangan satu dan bermata satu. Sosok ini memakai jubah militer angkatan laut yang bertabur bintang dan tanda pangkat. Celananya mengerucut ketat di lutut. Kepalanya disongkok oleh topi yang mirip kipas tangan anak dam* di pelaminan. Masih menurut buku tourist guide, menara ini didirikan untuk mengenang kematiannya ketika berperang melawan Napoleon Bonaparte pada tahun 1805. Kaki menara dengan empat singa ini adalah tujuanku, tempat kami berjanji bertemu. Seorang anak kecil berambut jagung dengan jaket merah hati ayam tiba-tiba berlari di depanku. Arahnya adalah puluhan merpati yang sedang merubung remah-remah roti yang ditebar seorang pengemis. Dalam sekejap, kawanan merpati ini buncah, membumbung ke udara, menutupi pemandanganku. Walaupun dihalangi kepakan kawanan merpati ini, mataku tetap bisa mengenalinya. Gaya jalannya tidak berubah, energik dan me-ledak-ledak, hanya lebih gendut. Aku lambaikan tangan kepada Raja yang baru saja turun dari bus double decker merah menyala dan menuju ke landmark termashyur di London ini. Dia tergesa-gesa melepaskan sarung tangan kulitnya. “Kaifa haluk, ya akhi” katanya sambil menggenggam tanganku keras. Kami lalu berpelukan erat melepas kangen 11 tahun perpisahan. Selang beberapa menit kemudian, sebuah kepala yang sangat aku kenal seakan tumbuh dari tanah, ketika dia keluar dari pintu exit stasiun kereta bawah tanah, atau tube Charing Cross. Gayanya masih dengan kacamata melorot. Hanya kali ini lensanya lebih tebal dan framenya lebih tipis dan trendi. Dan dia kini memelihara jenggot yang meranggas dan tumbuh jarang-jarang. Tidak salah lagi, dia Atang. Dia memeluk kami dan menepuk-nepuk punggungku yang dilapisi jaket tebal. Senyum lebar tidak lepas-lepas dari wajahnya yang kedinginan. “Pertemuan bersejarah, di tempat yang bersejarah, di jantung Kota London! Alhamdulillah,” katanya. Aku menunjuk ke langit sambil bergumam. “Ternyata ini dia Nelson’s column yang disebut-sebut di buku reading kita waktu kelas tiga dulu. Lebih besar dan lebih tinggi dari yang aku bayangkan.” Atang dan Raja ikut menengadah. Menatap Admiral Nelson yang tegak kukuh dengan pedang di tangan kiri dan gundukan tambang kapal di belakangannya. Bayangannya jatuh di badan kami Beberapa gumpal awan tersisa di langit yang semakin sore. Sebuah menara dan sebuah senja! Suasana dan pemandangan yang terasa sangat lekat di hatiku. Belasan tahun lalu, di samping menara masjid PM, kami kerap menengadah ke langit menjelang sore, berebut menceritakan impian-impian gila kami yang setinggi langit: Arab Saudi, Mesir, Eropa, Amerika dan Indonesia* Aku tergetar mengingat segala kebetulan-kebetulan seperti ini. Malam itu kami menginap di apartemen Raja di dekat Stadion Wembley, stadion kebanggaan tim sepakbola nasional Inggris. Raja tinggal berdua dengan Fatia, istrinya yang lulusan pondok khusus putri di Mantingan. Sudah sebelas tahun kami tidak bertemu sambil ngopi. Tidak ada seember kopi, makrunah, dan kacang sukro. Penggantinya, Fatia menyuguhi kami kopi panas ditemani kofta, kebab dan kacang pistachio. Malam kami habiskan bercerita tiada henti tentang apa yang kami jalani setelah tamat di PM. Atang, kawanku yang dulu selalu rajin mencatat alamat orang, mempunyai informasi lengkap tentang kabar Sahibul Menara yang lain. Yang jelas, kami tidak berenam lagi. Kami semua sudah menikah. Atang mendapat kabar kalau kini Said meneruskan bisnis batik keluarga Jufri di Pasar Ampel, Surabaya. Sesuai cita-cita mereka dulu, Said dan Dulmajid bekerja sama mendirikan sebuah pondok dengan semangat PM di Surabaya. Atang bahkan punya kabar tentang Baso, si otak cemerlang yang mengundurkan diri dari PM karena ingin merawat neneknya dan menghapal Al-Quran untuk almarhum orang tuanya. Allah memperjalankan Baso yang brilian ini kuliah di Mekkah. Dengan modal hapal luar kepala segenap isi Al-Quran, dia mendapat beasiswa penuh dari pemerintah Arab Saudi. Sedangkan Atang sendiri telah delapan tahun menuntut ilmu di Kairo dan sekarang menjadi mahasiswa program doktoral untuk ilmu hadist di Universitas Al-Azhar. Sementara Raja berkisah kalau dia telah satu tahun tinggal di London, setelah menyelesaikan kuliah hukum Islam dengan gelar “License” di Madinah. Dia akan berada di London selama dua tahun memenuhi undangan komunitas Muslim Indonesia di kota ini untuk menjadi pembina agama. Raja, dengan dibantu Fatia, antara lain bertanggung jawab menjalankan kegiatan masjid, madrasah akhir pekan dan pengajian rutin. Dia juga mengambil kelas malam di London Metropolitan University untuk bidang linguistik. “Sebuah kebetulan yang dewi-kz.info/ menyenangkan. Bisa mengabdi membantu umat di sini, sekaligus kuliah di tempat yang dulu aku impikan,” katanya. Alangkah indah. Senda gurau dan doa kami di bawah menara dulu menjadi kenyataan. Aku tidak putus-putus membatin, “Terima kasih Allah, Sang Pengabul Harapan dan Sang Maha Pendengar Doa”. Bercerita dengan kawan-kawan lama membuat kami tidak ingat waktu. Tiba-tiba, laptop kepunyaan Raja mengumandangkan azan Subuh. Kami bertiga segera mengambil wudhu. Aku ragu-ragu, tapi Atang telah memulai apa yang juga aku pikirkan. Dia mulai mengalunkan syair itu… “Ilahi lastu lil firdausi ahla, wala saqwa ala nari jahimi…” Syair Abu Nawas yang mendayu-dayu ini menyiram hatiku. Dengan penuh haru kami bertiga dan disusul Fatia yang telah bangun, bersama-sama melantunkan syair yang menegakkan bulu roma itu, seperti yang biasa kami lakukan di PM sebelum shalat berjamaah. Permohonan tobat atas dosa kami yang sebanyak pasir di laut di hadapan satu-satunya Sang Pengampun. Syair ini juga terasa menarik-narik jiwaku untuk melihat kelebatan-kelebatan kenangan tentang kampungku yang permai di Maninjau, PM yang berjasa, orangtuaku tercinta, dan Indonesia. Setelah selesai shalat, aku bergumam tak tentu kepada siapa. “jadi ingin pulang ya.” Raja dan Atang langsung mengangguk-angguk mengiyakan. “Negaraku surgaku, bila tiba waktunya, kita wajib pulang mengamalkan ilmu, memajukan bangsa kita,” balas Atang. Aku yakin kami semua sepakat dengan Atang. Di luar apartemen, gelap dan angin dingin terus menggigit. Salju tipis kembali luruh dari langit. Hinggap di rumput dan daun. Dulu kami melukis langit dan membebaskan imajinasi itu lepas membumbung tinggi. Aku melihat awan yang seperti benua Amerika, Raja bersikeras awan yang sama berbentuk Eropa, sementara Atang tidak yakin dengan kami berdua, dan sangat percaya bahwa awan itu berbentuk benua Afrika. Baso malah melihat semua ini dalam konteks Asia, sedangkan Said dan Dulmajid sangat nasionalis, awan itu berbentuk peta negara kesatuan Indonesia. Dulu kami tidak takut bermimpi, walau sejujurnya juga tidak tahu bagaimana merealisasikannya. Tapi lihatlah hari ini. Setelah kami mengerahkan segala ikhtiar dan menggenapkan dengan doa, Tuhan mengirim benua impian ke pelukan masing-masing. Kun fayakun, maka semula awan impian, kini hidup yang nyata. Kami berenam telah berada di lima negara yang berbeda. Di lima menara impian kami. Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar. Man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil….. Alhamdulillah Bintaro, 27 April 2009, 7.30 pagi. 0o—dw—o0
Posted on: Wed, 03 Jul 2013 10:03:36 +0000

Trending Topics



/div>

Recently Viewed Topics




© 2015