Dengan Nama Alloh Eyang Romo Kyai Toha Yang Maha Pengasih lagi - TopicsExpress



          

Dengan Nama Alloh Eyang Romo Kyai Toha Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Pidato Resmi Kenegaraan Sang Noto Agung Baginda Gusti Kanjeng Ratu Adil Centra Buwono Sri Sultan Agung Hamengku Buwono Panoto Agomo Panoto Nagoro Panoto Manungso Panoto Dewo Panoto Bawono Panoto Angkoso Panoto Jiwo Panoto Rogo Panoto Prio Panoto Wanito Panoto Sukmo Panoto Nyowo Panoto Arcopodo Panoto Suroloyo Panoto Naroko Panoto Swargo Panoto Dunyo Panoto Alam Boko Panoto jagat Royo EHM Tuhan berfirman Pangeran Diponegoro Akan membuka tutup gunung Merapi Ibunya mengejar Melarang anaknya melakukan itu Selendangnya mengenai tentara Belanda Tentara menjadi korban Rumah pamannya dekat Gunung Merapi Takut terkena dampaknya Pangeran Diponegoro tidak jadi membuka tutup Gunung Merapi Memilih mengungsi ke Gunung Kawi Tentara Pangeran Diponegoro disebar Banyak yang menetap di Jombang Mbahku adalah komandan militer Aku masih keturunan dari Muria Tidak ada alasan bagi manusia Memilih membangkang selain hanya sengsara Segala bencana dan siksaan hanya rtekayasa kekuasaan Tidak ada rekayasa Sang Mesias Nihil Muhammad makhluk Syahrul tidak terlibat Munir ora melu melu Kanjeng Sunan Plandi, Kanjeng Sunan Pare, Kanjeng Sunan Jombang Kanjeng Sunan Kemiri, Kanjeng Sunan Kandangan dan kanjeng Sunan Pare Satu figur dengan banyak nama nan gelar Ora weruh jawane Itu semua hanya urusan kekuasaan Dia berkehendak menciptakan drama kolosal Mengembalikan manusia kepada kekuasaan Hai manusia, kembalilah kepadaKu Agar kalian selamat Tidak ada yang selamat selain yang jasad wahid Tuhan berfirman Aku laku mempelajari huruf hijaiyah hanya sampai ro’ Sisanya entah siapa Untuk seluruh semesta Siapa yang menerima waris itu Aku masih mencari Hingga kini belum ketemu Pasti, ada yang meneruskan Harus lengkap sampai ya’ Robbi la tadzarni fardan wa anta khoiru al waritsin Para budak sekalian Alangkah sempurna, bila saya sebagai Baginda Gusti Kanjeng Ratu Adil memulai monolog ini dengan memanjatkan puja dan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah berbelas kasih mengijinkan anakku tercinta Muhammad, Sang Mesias, Nabi Isa, Syahrul, Munir wafat sebagai syuhada yang manunggal dengan kekuasaan, amin. Semoga kematiannya senantiasa mendapat limpahan rahmat Yang Maha Kuasa, al hamdu lillahi robbil alamin. Gusti Alloh dawuh, ‘aku bermimpi membopong mayit aku letakkan di dipan, mati beserta jasadnya, aku kedatangan tamu’. Begitulah anakku Mohammad Syahrul Munir harus wafat lantaran ditembak durjana, tapi semua itu adalah suarat takdir yang pantas disyukuri. Segala yang menjadi takdir kekuasaan adalah suci nan luhur tidak pantas disesali. Aku ijinkan syahrul untuk menemui ajal dengan membawa kebaikan Tuhan. Tuhan berfirman, ‘jika aku mati sewaktu waktu, doakan agar aku tidak tersesat’. Begitulah Syahrul menghadap Ilahi dengan kemuliaan kekuasaan, jika Tuhan masih membutuhkan niscaya akan hidup kembali meneruskan perjuangan suci, perjuanganku yang belum tuntas. Manusia lupa bahwa aku adalah Baginda Gusti Kanjeng Ratu adil yang berkuasa menghidupkan nan mematikan setiap warga selaras kehendakku. Tuhan berfirman, ‘mbahku pernah diikat orang dimasukkan ke dalam lubang ditimbun tanah, anaknya datang mengambil kerbau namun kerbau menolak pergi, tidak mau beranjak dari gundukan tanah yang baru itu, lantas anaknya membongkar timbunan tanah itu yang berisi ayahnya yang masih hidup’. Makhluk mati biasa tapi Tuhan tidak pernah mati, senantiasa hidup. Syahrul mati biasa tapi Tuhan yang menyertai dirinya tidak pernah mati. Ini semua menjadi pelajaran berharga bagi segenap manusia agar tidak mengikuti makhluk, hanya mengikuti Tuhan yang menciptakan takdir untuknya, merasakan rahmat Yang Maha Kuasa. Untuk apa Syahrul terus hidup bila manusia hanya mengikuti makhluk, memusuhi, menentang nan mengabaikan kekuasaan. Dia aku ciptakan agar manusia mau kembali kepada kekuasaan, lantas untuk apa dia dipertahankan bila manusia tidak mau berubah. Biar manusia tidak terus berprasangka kepadanya dengan alasan yang tidak benar. Meski Syahrul telah tiada namun kekuasaan terus bekerja mengintensifkan penyiksaan dan represi yang jauh lebih dahsyat. Ini sebagai bukti bahwa bukan Syahrul yang melakukan segala represi, hanya Gusti Alloh yang bisa melakukan. Menyalahkan Syahrul merupakan kekeliruan yang besar karena dia hanya menyampaikan urusan kekuasaan. Syahrul hanya manusia lemah tidak memiliki kekuatan apapun, hanya kekuatan Tuhan yang ada, la haula wa la quwwata illa billah. Dan sangat keliru siapapun yang merasa selamat dari hukum kekuasaan yang ditegakkan tanpa toleransi, ojo takon dosa, jangan pernah kamu tanyakan apa dosa kamu kepada kekuasaan. Bukankah kalian mengabaikan utusanKu, Siapapun yang mengabaikan sama artinya mengabaikaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Siapapun yang mencari al wali selain Aku niscaya akan kecewa nan sengsara. Bukankah manusia diciptakan untuk mengabdi, mengapa ketika aku hadir menjelaskan urusan kekuasaan melalui Syahrul justru diabaikan. Gusti Alloh berfirman, ‘jika tidak berhenti membangkang apa kuat menerima musibahnya’. Aku sudah tua hanya mencari gerak yang sesuai dengan fardho lillah, sunnatan lillah, al hamdu lillah. Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Baginda Gusti Kanjeng Rosul Alloh Muhammad SAW beserta keluarga, allohumma sholli ala sayyidina, wa imam al mursalin, wa imam al mahdi, wa imam annabiyyin, wa malika yaum ad din, wa imam alamin, wa maulana wa syaikhona Muhammad wa ala alihi wa sallim, amin. Semoga kematian Syahrul ini menjadi kontemplasi berharga tentang kedholiman warga. Tuhan berfirman, ‘setan berkata, ‘aku lebih baik dari Adam’, itu benar, Setan hanya menunjukkan eksistensi dirinya yang tercipta tanpa ketiak. Sementara manusia yang dicipta lengkap diberi ketiak tidak mau mengakui kedholiman yang dilakukan, merasa benar terus tanpa mengakui cacat dan celanya. Ular dicipta juga tanpa ketiak, maka perasaan merasa benar yang ada. Umumnya manusia mengira setan mengatakan hal itu sebagai ungkapan menghina Adam, padahal tidak demikian. Demikian halnya ketika Setan tidak mau sujud kepada Adam. Setan melakukan itu karena memang qudrat irodat Tuhan. Sementara malaikat diperintah sujud kepada Adam, tidak kepada Gusti Alloh juga karena memang Adam adalah qudrat irodat Tuhan. Semua adalah skenario Tuhan untuk menguji manusia’. Tuhan berfirman, ‘Habil dibunuh Qobil karena korbannya diterima’. Manusia membunuh Nabi Isa, Sang Mesias, Muhammad Syahrul Munir, juga lantaran hanya menyampaikan urusan kekuasaan. Selama hidupnya, Syahrul hanya menyampaikan urusan kekuasaan, anehnya semua manusia malah mengabaikan, meremehkan, memusuhi dan memerangi serupa dengan sikap Qobil kepada Habil. Semua itu menunjukkan perilaku kontradiktif, nihilitas harmoni antara tindakan dan klaim sebagai orang beriman. Dia adalah utusan Tuhan namun diabaikan, diremehkan , dimusuhi lantas dibinasakan. Dia bisa mati namun urusan kekuasaan tetap terus berlanjut tanpa bisa dicegah, dihalangi dan direduksi. Perilaku Qobil itu bisa dikatakan sebagai bentuk partisipasi politik dalam perspektif kehidupan masyarakat modern. Ketika manusia merasa benar, berhak menilai kebenaran, kemudian mengambil langkah mandiri membinasakan orang lain yang dianggap keliru dengan mengabaikan peran kekuasaan. Partisipasi politik identik dengan penjarahan ranah otoritatif. Dalam kasus Centra Buwono, warga merasa berhak meremehkan, menghina dan memusuhi Sang Mesias sampai ajal menjemput. Dari kedua kasus itu bisa disimpulkan bila Partisipasi politik membawa dampak negatif yang sangat besar. Maka otoritarian dengan tegas menolak partisipasi politik dalam segala varian yang ada, hanya menerima peran partisipasi pengabdian selaras azas legitimasi. Dari sudut pandang etika otoritarian, politik oposisi bisa disebut sebagai kegiatan subversif yang paling hina. Politik oposisi menempati kedudukan tertinggi dalam tangga kebiadaban dalam perspektif otoritarian karena berupaya menandingi dan menganeksasi kekuasaan. Tendensi relativitas kebenaran berdasarkan prinsip kesederajatan ‘sama rata dan sama rasa’, ‘bejat sama dipikul kuwalat sama dirasa’ menolak the winner takes all dari politik otoritarian, dapat dihilangkan melalui prinsip absolutisme dalam etika otoritarian. Prinsip itu menegaskan bahwa representasi politik identik dengan pengakuan kedaulatan Tuhan, cukup Tuhan yang berwenang mengelola, memiliki, mengakses dan memanfaatkan kekuasaan. Perwakilan politik itu memiliki corak abadi nan sakral, sedangkan aspirasi warga bercorak sebaliknya profan nan kotor. Oleh karena itu pemberian suara melalui Pemilu jurdila nan luber identik dengan pengakuan kedaulatan Tuhan. Bahkan lebih dari itu, absolutisme hendak memastikan eksistensi otoritarian justeru berdasarkan kebenaran dan keadilan tanpa bisa ditawar, oleh karena itu kritik dan oposisi mustahil bisa dibenarkan dalam kehidupan bernegara. Salah satu akibat buruk dari humanisme politik era rezim kolonial adalah memberi ruang bagi pertumbuhan oposisi. Eksistensi oposisi tanpa disadari telah menjadi kendala bagi pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam memacu laju pembangunan. Lebih jauh lagi, dalam periode tertentu proses pembangunan mengalami kemacetan, bahkan mundur ke belakang akibat konflik faksional dan sparatisme, fenomena yang tidak boleh terulang kembali di masa depan. Nihilitas politik oposisi merupakan konsekwensi logis dari konsep otoritarian. Centra Buwono sedang memasuki tahap konsolidasi otoritarian, fase yang mengukuhkan proses jumenengan berkembang sesuai harapan. Oleh karena itu politik oposisi harus dimusnahkan sebagai syarat penting bagi keberlangsungan otoritarian. Sementara determinasi kebudayaan yang bercorak humanisme, berhalaisme, historisme nan kolonialisme terhadap etika politik harus diabaikan karena hanya akan menghambat perkembangan otoritarian dan membenarkan praktek politik kolonialis. Konsep otoritarian hanya mengakui eksistensi politik kekuasaan, sementara politik oposisi adalah nilai yang tidak pernah ada, tidak diakui nan diharamkan. Bila otoritarian dipahami sebagai wilayah transenden, otoritatif nan sakral, maka setiap hasil kerja politik identik dengan kerja kekuasaan yang tidak layak diperdebatkan, dipertanyakan, dikoreksi, dikritisi, ditransaksikan nan diabaikan dengan alasan apapun. Politik kekuasaan dimaksudkan untuk menjamin otoritarian bekerja di wilayah transenden, dan memastikan bahwa monopoli kebenaran merupakan sesuatu yang niscaya, tidak pantas direduksi dengan alasan apapun. Itulah sebenarnya tugas terpenting dari politik. merealisasikan ide, tujuan, gagasan dan kehendak kekuasaan yang bercorak pasti tanpa keraguan, kegamangan, coba coba nan spekulasi. Sementara itu sistem humanis yang sangat amburadul dikendalikan oleh ideologi humaniter, ideologi yang membuka ruang diskusi, debat dan argumentasi seluas mungkin hanya untuk menghasilkan solusi akhir yang tak jelas. Dengan kata lain, sistem humanis mustahil mampu memberi jaminan keberhasilan bagi segenap warga meraih cita cita hidup damai, adil nan sejahtera. Sejarah negara demokrasi telah membuktikan kebenaran jaminan kosong yang mampu diberikan sistem humanis. Pemerintah hanya mampu memberi janji manis untuk bisa meraih cita cita kehidupan damai, sejahtera nan adil tanpa realisasi, hanya sekedar slogan ‘mbok menowo’ yang diagungkan. Sejak demokrasi digaungkan beberapa abad silam, demokrasi terus mengalami dinamika tanpa akhir, memberi banyak janji tak mampu menyajikan definisi pamungkas dari proses demokrasi sebagaimana yang diharapkan, hanya asik berproses tanpa tahu koordinat yang dituju, ibarat orang berpergian tak tahu apakah sudah tiba di tempat tujuan atau masih dalam perjalanan, kegelisahan senantiasa melanda. Masalah besar akan muncul bila sebuah pemerintahan transisi tidak meletakkan dasar politik yang transenden, singular, sakral dan otoritarian secara segera. Tidak adanya pengalaman politik singular selama orde kolonialisme merupakan fakta tak terelakkan, tidak harus direspon secara apatis nan pesimis. Justru sebaliknya, fakta itu menjadi momentum pembuktian bahwa Centra Buwono mampu mengatasi problem tersebut dengan mengaplikasikan nilai yang baru, aktual, holistik nan paripurna bagi proses konsolidasi otoritarian. Jika dikatakan non oposisi merupakan realita yang harus ada dalam politik otoritarian, maka filsafat absolutisme menjadi fundamentasi utama seperti yang didukung paham transendenisme. Non oposisi dalam pandangan transendenisme bukan saja berarti pembenaran secara legal terhadap kewajiban sendiko dawuh, sami’na wa atho’na, sumonggo kerso, sesuai petunjuk Baginda Gusti Kanjeng Ratu Adil, tetapi juga diselenggarakan untuk menjamin pelaksanaan kerja partisipatif dalam proses pembangunan. Inilah fungsi kreatif dari otoritarian transenden, selain fungsi protektif yang memberikan jaminan bagi kebebasan individu tanpa syarat dalam jeruji kekuasaan. Dasar pikiran yang paling koheren dari pandangan ini dipaparkan oleh Bung Tamrin, ‘semua warga dapat terwakili melalui sistem pemilu jurdila nan luber, fenomena mustahil didapatkan dalam sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi hanya beberapa kelompok mayoritas yang terwakili di parlemen, sementara minoritas warga harus gigit jari tanpa memiliki wakil. Sementara diskusi publik yang bisa diikuti kelompok minoritas atau individu guna ikut memperbesar peluang mempengaruhi pengambilan keputusan politik formal hanyalah mimpi kosong apalagi bila berseberangan dengan kehendak mayoritas, andai itu terjadi sejatinya berseberangan dengan prinsip demokrasi itu sendiri ‘kedaulatan di tangan rakyat’ yang realisasinya adalah ‘kedaulatan di tangan yang mampu memanipulasi mayoritas’. Dengan corak itu demokrasi hanya menjadi alat politik mayoritas atau setidaknya pihak yang mengatasnamakan mayoritas. Latar pikiran di balik itu adalah suatu keyakinan bahwa demokrasi harus hidup melalui partisipasi emosional seluruh warga, sementara partisipasi rasional menjadi tidak mungkin terjadi lantaran minimnya pengetahuan perihal integritas, kapabilitas, kompetensi wakil yang dipilih. Ini berarti demokrasi lebih bersifat pembohongan publik ketimbang pembelajaran publik. Berbeda dengan itu, sistem otoritarian tidak mengenal kelompok mayoritas atau minoritas, semua adalah budak yang dieksploitasi nan ditumbalkan, hanya mengenal dikotomi pemerintah versus warga. Semua warga berkewajiban mewakilkan segala urusan kepada kekuasaan termasuk dalam bidang politik, sehingga keterwakilan politik warga senantiasa terjamin penuh, cukup Tuhan sebagai wakil. Integritas, kapabilitas nan kompetensi wakil mustahil diragukan, kemampuan Tuhan dalam mewakili segala urusan telah terbukti tanpa bisa dibantah. Ini berarti otoritarian memberlakukan secara konsisten pembelajaran publik jauh dari kebohongan dan manipulasi sebagaimana yang biasa terjadi dalam sistem humanis baik demokrasi atau monarkhi’. Menolak otoritarian sebagai sistem politik dapat dipahami terkait penegasian terhadap pandangan filosofis eksistensi Tuhan yang senantiasa suci nan benar tanpa pernah berbuat kedholiman. Fakta itu meniscayakan eksistensi kekuasaan mampu menjadi penata, penerang, pengendali, pembersih, perealisasi semua kondisi agar tercipta harmoni. Hanya yang sakral tanpa kedholiman yang mampu menciptakan pembaharuan nan perubahan ke arah posistip, ibarat air bersih nan suci yang bisa menjadi air wudhu, hanya air bersih nan higienis yang bisa menjadi pelepas dahaga, hanya air bersih yang bisa digunakan untuk mencuci, tidak sebaliknya. Problem serius dialami sistem demokrasi yang menganggap kedholiman, kesalahan, kelemahan nan kebejatan bisa memperbaiki diri sebagaimana dituturkan pemikir berhalais ini, ‘Memilih demokrasi sebagai sistem politik berarti menerima suatu pandangan filosofis bahwa manusia adalah mahluk yang terus-menerus berbuat salah. Tapi dari sini juga ia belajar untuk memperbaiki kesalahannya. Dan demokrasi adalah satu-satunya sistem politik yang menyediakan fasilitas untuk mengoreksi dirinya sendiri demi perkembangan kemanusiaan yang lebih baik. Demokrasi percaya bahwa peluang untuk berbuat kesalahan adalah positif bagi kemajuan manusia, sedangkan pemutlakan kebenaran adalah penghalang kemanusiaan. Itulah sebabnya perdebatan publik harus berlangsung secara rasional dan terus menerus. Dengan itu, kesahan-kesalahan politik dapat terus diperbaiki, tanpa pernah mencapai pemutlakan; karena pemutlakan berarti berhentinya kebebasan. Hakekat demokrasi ada di dalam debat publik’. Demokrasi merupakan sistem yang mengalami fenomena surplus kritik, kritikan dalam semua aspek telah dilontarkan berbagai pihak baik yang pro ataupun yang kontra demokrasi. Hanya saja aneka kritikan itu tidak mampu menciptakan perubahan kehidupan demokrasi menjadi lebih baik selain sebaliknya kian tumbuh nan berkembang sikap apatisme nan nihilitas kepekaan terhadap pathogen yang menjangkiti demokrasi. Para pengekor demokrasi memang mengakui kebejatan demokrasi, hanya saja enggan meninggalkan sistem tersebut ibarat ‘tai sendiri lebih digemari ketimbang emas milik orang lain’. Trend semacam itu tidak layak terus dipertahankan terutama bagi warga yang masih waras atau yang masih tersisa kewarasan dalam dirinya. Dalam otoritarian, absolutisme mengakui bahwa kekuasaan senantiasa benar tanpa kesalahan nan kedholiman, oleh karena itu kritik dan oposisi tidak lagi relevan dihadirkan. Bung Syahrul merumuskan konsep itu sebagai upaya pengakuan terhadap kebenaran nan kesucian kekuasaan dan kesadaran pengakuan kelemahan dan kebejatan tiap warga. Upaya warga mempertanyakan, meragukan, mereduksi, mengalienasi, mengkoreksi, mengkritisi kerja kekuasaan adalah salah sasaran. Itulah mekanisme ‘transenden realization’ dari otoritarian dalam rangka mencapai kemajuan tanpa trial by error atau trial for error. Etika otoritarian bekerja selaras dengan prinsip kejujuran yang bisa dipertanggungjawabkan secara abadi di sini dan di sana. Pelembagaan absolutisme adalah fungsi prinsip dari politik kekuasaan. Dan itu berarti penyelenggaraan publisitas merupakan upaya penyampaian misi transenden tanpa tujuan untuk uji kebenaran. Kebenaran politik kekuasaan senantiasa memenuhi standar mutu terbaik, oleh karena itu eksistensinya tidak layak diperdebatkan, dikoreksi nan diragukan selain hanya untuk diaplikasikan. Otoritarian memang memanfaatkan publisitas secara efektif sebagai media pembelajaran bagi warga. Publisitas menerangkan jaminan eksistensi transendenitas yang sakral nan tak tersentuh guna mendorong warga lebih fokus menjalankan peran partisipatif secara tulus tanpa pamrih dan meninggalkan partisipasi politik. Pelembagaan absolutisme adalah fungsi prinsipil dari politik kekuasaan tanpa oposisi. Dan itu berarti menyelenggarakan publisitas (publicity) sebagai medan menyampaikan aspirasi ketuhanan menegasikan aspirasi publik. Publisitas memang harus menjadi kondisi utama bagi bekerjanya sistem otoritarian terkait dengan pembelajaran. Publisitas menerangkan terpeliharanya transendenitas tanpa rasionalitas yang membelenggu dalam aplikasi kebijakan politik, karena pilihan dan alternatif telah tersedia dengan standar mutu terjamin untuk direalisasikan tanpa pertimbangan yang bercorak humanis centris. Artinya, kendati sistem otoritarian perwakilan (representative otoritarian) telah menyelesaikan fungsi legitimasi politik melalui pemilu jurdila nan luber, tetapi spirit dan gairah partisipasi publik tetap harus diartikulasikan secara lebih jelas nan intensif melalui publisitas. Ini akan menjaga mesin otoritarian mampu menghasilkan produk optimal, karena peluang manipulasi dan pembangkangan warga baik secara private atau institusi non formal akan tercegah oleh sistem penyebaran informasi politik yang beredar di media massa ataupun media transenden. Filsafat di belakang argumentasi ini terkait prinsip etik absolutisme yang menyatakan bahwa kekuasaan senantiasa benar nan suci, jauh berbeda dengan warga yang inherenitas kesalahan nan kedhaliman senantiasa terjamin, dan karena itu diperlukan intervensi publisitas dalam proses politik. Wahana paling strategis dari publisitas adalah monologis Baginda Gusti Kanjeng Ratu Adil menolak debat kusir yang hanya mengedepankan logika humanis centris. Bung Syahrul sangat mengandalkan fasilitas ini sebagai mesin untuk menyampaikan aspirasi transenden, mencerdaskan nan memperbaiki kesalahan warga, memberi instruksi politik yang menuntut segera dilaksanakan tanpa tujuan melibatkan partisipasi politik dalam pengambilan kebijakan. Disini berlaku prinsip otoritarian imperative, siapapun yang terkena dampak dari suatu keputusan politik maka wajib menjalankan segera tanpa perlu mempertanyakan keabsahan nan validitas setiap kebijakan. Itulah sebabnya politik otoritarian tidaklah selesai di bilik hati saat pemilu jurdila nan luber diselenggarakan tetapi harus berlanjut dalam aplikasi riil dilapangan menjalankan kewajiban partisipatif. Di sini sekali lagi berlaku keyakinan bahwa kontrol transenden selalu mampu mengatasi kecenderungan mbrengkele warga. Otoritarian bekerja berdasarkan kebijakan transenden mengabaikan segala kepentingan profan dan dunia. Oleh karena itu transendenitas adalah pilar utama bagi otoritarian. Bahwa otoritarian membutuhkan prasyarat ridho Tuhan Yang Maha Kuasa, sudah umum diketahui. Misalnya, otoritarian menciptakan anggota dinasti untuk menjadi pemimpin segala bangsa baik di dunia ataupun di akhirat agar supremasi dinasti Tuhan nyata, otoritarian menciptakan kebudayaan terbuka agar proses pembelajaran dan penyampaian misi transenden kepada segenap warga bisa terjadi dengan mudah, perbedaan atau konflik sirna, kedamaian yang tercipta. Otoritarian merupakan sistem yang menciptakan kondisi tidak sebaliknya menjadi bulan bulanan kondisi. Otoritarian mampu bekerja dalam semua kondisi kemudian mengarahkan selaras yang diingfinkan, kemampuan otonom yang mustahil bisa dimiliki sistem humanis manapun. Dengan memperhatikan aneka variabel yang ada, kemudian memperbaiki dan mengarahkannya maka dapat disusun semacam peta kepastian untuk menciptakan masyarakat otoritarian dengan sangat mudah nan simple. Yang perlu ditekankan nan diperhatikan adalah otoritarian bekerja berdasarkan mekanisme tanzil/ transenden. Bapak Politik dan Agama Bangsa Semesta Kanjeng Sunan Plandi menekankan urgensi mekanisme tanzil dalam semua aspek kehidupan yang juga terkenal sebagai Bapak Filsafat Banngsa Semesta. Tesis Kanjeng Sunan sederhana saja. Menurut beliau, sangat tidak logis berharap bahwa kehidupan dapat berlangsung baik dengan mempercayakan kepada rasionalitas manusia yang penuh kelemahan nan cela. Hanya bila mekanisme transenden menyebar luas ke seluruh bangsa, barulah warga dapat meraih kehidupan paripurna nihil kebiadaban. Beliau telah mengalami periode hitam kolonialisme negara demokrasi yang berdasarkan rasionalisme, sehingga bisa mengambil kesimpulan bahwa dasar demokrasi yang sesungguhnya adalah sebuah government of reason, through government by the people, suatu mekanisme pemerintahan yang anti transendenisme. Karena itu, demokrasi yang telah membawa rasio ke dalam seluruh negeri menjadikan warga semakin anti Tuhan berbeda sekali dengan klaimnya yang senantiasa mengakui eksistensi transendensi. Harus dipahami antara rasionalitas dan emosionalitas berjalan seiring, semakin rasional warga niscaya akan kian emosional perilakunya, meski banyak pihak yang tidak sependapat. Sebab, rasionalitas yang serba parsialistik nan elementeristik lahir berawal dari alienasi peran transenden yang bercorak damai, tenang, holistik nan universal. Corak rasionalitas yang sedemikian picik diupayakan untuk mengelola dan menjadi solusi bagi kompleksitas dinamika kehidupan, niscaya hasilnya bisa ditebak, sangat mengecewakan. Kekecewaan yang dihasilkan akan menyebabkan tumbuhnya sikap emosional warga dalam taraf tak terkendali. Maka antara rasionalitas nan emosionalitas sejatinya identik, saling kait mengkait. Maka fenomena fundamentalisme ataupun sekulerisme dalam sejarah masyarakat kolonial silam dapat dijelaskan dengan cara demikian, kedua tipe tersebut memiliki perbedaan pola tapi bersumber dari satu induk yaitu humanisme, alienasi peran transenden. Kanjeng Sunan Plandi menegaskan bahwa transendenisme merupakan kehendak kekuasaan jauh berbeda dari nilai kemanusiaan, oleh karenanya otoritarian merupakan pilihan tunggal tak tergantikan agar warga menjadi berperadaban. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa keberadaban hanya menjadi bagian kerja transenden bukan kerja kemanusiaan. Beliau menegaskan kendati otoritarian adalah jalan mulus nan lapang, tetapi itulah jalan yang paling paripurna bagi perkembangan manusia. Salah satu tesis Kanjeng Sunan yang penting dalam rangka perkembangan itu adalah bahwa transendenitas merupakan kualitas yang secara potensial dapat hadir dalam tiap warga, dan oleh karena itu aktivasi transendenitas dalam tiap warga menjadi niscaya jika ingin meraih kehidupan cemerlang. Demi tujuan tersebut, otoritarian senantiasa mempromosikan representasi, dependensi dan aplikasi kewajiban partisipatif dalam segala aspek. Kontrol terhadap warga dalam proposal Kanjeng Sunan Plandi melibatkan beberapa komponen, pemahaman melalui mekanisme monolog Baginda Gusti Kanjeng Ratu Adil, melalui centralisasi nan integrasi kekuasaan dan melalui pemilu. Ini semua mengandalkan adanya penciptaan kondisi transendensitas dalam mayarakat. Pemilu adalah kesempatan resmi untuk mengingatkan nan mengukuhkan legitimasi kekuasaan yang memerlukan publik yang transenden nan religius berdasarkan evaluasi akal ketuhanan minus akal rasionalitas humanis.. Dengan akal yang sehat semacam itu, publik terhindar dari retorika para demagog yang mencari dukungan meraih suara dengan slogan dan permainan rasio nan emosi. Non oposisi dalam otoritarian dimaksudkan untuk mencegah demagogisasi politik dan kemunculan tandingan yang hanya akan menciptakan instabilitas, dan sebaliknya melatih publik untuk menjatuhkan pilihan berdasarkan kalkulasi transenden meninggalkan kalkulasi rasional nan emosional. Secara kelembagaan, kondisi transendensi bagi politik kekuasaan sudah tersedia nan mapan dengan terjadinya centralisasi dan integrasi kekuasaan di bawah kendali satu tangan yang sangat otoritatif, hegemonik nan suprematif nihil perimbangan kekuatan yang hanya meniscayakan stabilitas semu. Kondisi ini akan meniadakan manipulasi, konflik, korupsi nan disharmoni karena kepentingan kekuasaan yang hadir nyata menghabisi ambisi nan kepentingan pihak lain seperti warga dan faksi. Mereka didorong untuk menghindari jebakan kedholiman sejak dini, melakukan persekongkolan, kompromi, korupsi, kongkalikong dan manipulasi antar birokrat nan warga seperti yang biasa terjadi dalam sistem humanis baik itu demokrasi atau monarkhi. Itulah sebabnya wilayah kekuasaan diaplikasikan menjangkau semua wilayah baik formal, informal dan individu secara rigit nan tepat. Di sinilah menjadi penting peran dari monolog Baginda Gusti kanjeng Ratu adil dan Jaringan Komunikasi dan Televisi Otoritarian dalam ikut merawat kewarasan seluruh warga. Otoritarianisme, transendenisme dan publisitas adalah beberpa komponen yang diperlukan untuk menjaga dinamika politik otoritarian agar kian hegemonik. Prinsip ini sekaligus bekerja untuk mencegah terjadinya partisipasi politik dalam sistem otoritarian. Partisipasi politik harus dipahami sebagai upaya penjarahan ranah otoritatif, warga berupaya mengklaim sesuatu yang bukan miliknya sebagai bagian hak asasi, suatu kondisi yang bertolak belakang dengan kaidah keadilan diskriminatif yang menjadi tema perjuangan yang paling fundamental dalam bernegara Centra Buwono. Tidak sekedar partisipasi politik yang menjadi biang kerok keruwetan nan disintegrasi tapi yang lebih penting adalah adanya kecenderungan untuk membuat tandingan bagi kekuasaan, fenomena yang tidak selaras dengan konstitusi agama dan negara. Dinyatakan dalam kitab suci, ‘ Dia tidak ada tandingan’, artinya segala upaya yang berupaya mereduksi, mencampuri, mengalihkan dan mengklaim hak kekuasaan meski sedikit sama artinya dengan pembangkangan secara nyata, perilaku pluralisme yang mustahilbisa diberi toleransi. Misi otoritarian adalah menghilangkan praktik pluralisme, ambivalensi, pembangkangan, kedholiman dan kerusakan dalam semua aspek termasuk partisipasi politik. Dari sudut pandang tujuan memajukan pilar ketuhanan, yaitu tujuan etis sistem otoritarian, partisipasi politik adalah sebuah pembalikan yang berupaya mengalienasi, mereduksi nan menghancurkan tujuan bernegara dan beragama meski itu mustahil bisa tercapai. Itulah sebabnya partisipasi politik harus dicegah sejak dini, dan itu merupakan tugas politik kekuasaan. Menurut Bung Syahrul dan Bung Munir, partisipasi politik dapat terjadi karena nihilitas kesadaran berketuhanan, hasrat untuk menyerahkan segala urusan kepada kekuasaan tidak dikenali, semua urusan diselesaikan rakyat secara otonom. Anggapan berbagai pihak terutama pendukung humanisme bahwa dengan menuntaskan segala urusan secara otonom segala problem bisa diselesaikan, dan itu dianggap merupakan langkah terbaik sembari terus menolak metode lain meski jauh lebih paripurna. Sayangnya prinsip semacam itu tidak lagi relevan, hanya sebatas propaganda menyesatkan tanpa argumentasi solid nan kokoh, kesalahan yang dilakukan dianggap sebagai kewajaran bisa dikoreksi nan diperbaiki dengan kemampuan rasionalitas bagi kebaikan masa depan. Negara demokrasi telah gagal mengantarkan rakyat meraih tujuan dan cita cita mencapai kehidupan yang adil, makmur nan sejahtera, dan seharusnya fakta itu menjadi bukti kuat tidak perlu lagi disanggah nan diabaikan, bahkan semua negara yang pernah ada harus hancur bersamaan kehadiran otoritarian Centra Buwono. Problemnya mekanisme koreksi, kritik atau kontrol memadai tersebut tidak pernah nyata, berbagai pihak telah banyak memberi koreksi, analisa, kritik, himbauan, seruan, dialog perihal cacat demokrasi, sayangnya tidak memiliki kekuatan mengikat yang bisa memberi jaminan bagi perbaikan yang siknifikan. Bagaimana mungkin memberi himbauan, nasihat nan kontrol bila semua pihak terlibat dalam kebejatan, hanyut dalam pusaran arus kepentingan. Tuhan menyatakan, ‘ jika nikmal wakil tidak mengoreksi diri’, artinya koreksi terhadap diri saja tidak diperkenankan apalagi koreksi terhadap pihak lain selain harus merupakan realisasi kerja kekuasaan. Dalam sejarah negara demokrasi, konstitusi negara tidak mengenal istilah kontrol kepada warga, lembaga kepolisian dan kehakiman hanya menegakkan aturan tanpa dimaksudkan untuk melakukan fungsi kontrol. Mustahil konstitusi negara melegalkan kontrol kepada pemilik kedaulatan selaras azas dasar demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat. Rakyat yang menjadi penentu semua hal melalui mekanisme demokrasi termasuk melakukan fungsi kontrol. Rakyat diagungkan, didewakan, dipuja sebagai Yang dipertuhan Agung, memiliki kedaulatan nan kekuasaan penuh memberi mandat, memilih, menuntut, mewakilkan, mengontrol, mengatur nan memanfaatkan negara secara absolut. Konsekuensinya, baik secara konstitusional ataupun konseptual mekanisme pengelolaan negara tidak mengenal istilah kontrol terhadap rakyat. Konstitusi hanya melegalkan aturan kontrol kepada lembaga pemerintah baik sipil atau militer. Rakyat mendapat hak istimewa sebagai majikan/ raja yang berdaulat tanpa bisa diganggu gugat dan memerankan diri sebagai diktator absolut dalam sejarah negara demokrasi. Dengan demikian bisa disimpulkan dalam taraf tertentu demokrasi dan monarkhi memiliki kesamaan watak, keduanya mempraktikkan kediktatoran absolut, yang satu raja sebagai pemilik kedaulatan dan lainnya rakyat sebagai majikan kedaulatan. Point lain yang harus diperhatikan adalah argumentasi kebenaran demokrasi yang biasa dikemukakan para pendukungnya dalam menolak eksistensi monarkhi humanistik lebih bercorak propaganda hitam ketimbang alasan logis. Argumentasi yang dikemukakan pendukung demokrasi tidak mendapat sanggahan yang cukup bermakna dari pendukung monarkhi lantaran kejayaan konsepsi nan praksis demokrasi terjadi pasca kehancuran monarkhi, ibarat petinju menang lantaran lawan absen hadir. Melihat fakta sejarah negara kolonialis, politik kekuasaan menjadi pilihan tunggal tak tergantikan agar pengelolaan negara mencapai cita cita yang ditargetkan, bisa dipertanggungjawabkan secara abadi dengan menciptakan moral transenden dalam tiap warga agar tidak kembali terjebak dalam anarkhi partisipasi politik. Dengan menghabisi suara publik, politik kekuasaan dapat tampil dalam bentuk transenden movements yang kian kokoh nan merambah seluruh jagat raya. Partisipasi politik adalah fenomena yang memang menjadi resistensi sistem otoritarian, yang beroperasi di dalam tatanan kebudayaan humanis centris, harus segera ditumpas habis. Partisipasi politik dalam kebudayaan humanis semakin tidak diperlukan meski sekedar merupakan kegiatan teknis penyelesaian persoalan sepele. Mekanisme pengambilan keputusan yang menegasikan peran kekuasaan dengan melibatkan pendapat warga terjadi lantaran kalkulasi dan parameter politik telah distandarisasi berdasarkan nilai profan. Bahkan proyeksi statistik rasionalitas dianggap telah mampu mengatasi tuntutan politik masa depan, sehingga kepentingan Tuhan diabaikan. Di bidang legislasi misalnya, konseptualisasi transenden dihilangkan oleh konseptualisasi transaksional yang mendominasi materi perundangan. Tuhan sering sekedar dianggap sebagai pengamat bisu yang tidak berhak melakukan interupsi apalagi intervensi, hanya boleh memberi persetujuan. Ini semua adalah hasil kolonialisasi nan klaimisasi dalam memandang makna kekuasaan. Dengan demikian sistem humanisme harus juga dipandang sebagai sebuah kebiadaban yang bertujuan untuk mengembangkan manusia ke dalam dimensi yang picik nan kerdil. Dari sisi ini, politik kekuasaan sungguh mengemban tugas etis yang besar, warga di dorong untuk merasa berkepentingan menjadi tumbal kekuasaan secara tulus nan ikhlas. Di sini terlihat bahwa politik kekuasaan itu selaras dengan nilai dan konsep otoritarian. Kondisi dan beban etis dari politik kekuasaan telah dijelaskan sebelumnya dan kini perbincangan diarahkan ke medan politik yang sedang dihadapi, transisi menuju otoritarian yang ideal. Pelembagaan kekuasaan secara sistematis sebagaimana yang terjadi dalam negara Centra Buwono adalah proyek otoritarian yang dibangun pasca keruntuhan rezim kolonial di seluruh semesta. Manfaat yang bisa diperoleh adalah masa transisi proses Jumenengan dapat dipakai secara efektif untuk mencegah rekonsolidasi sisa rezim kolonial, dan sebaliknya mempercepat pelembagaan otoritarian secara utuh nan komprehensive dalam bingkai negara Universal. Sebagaimana fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya, keruntuhan rezim kolonial tidak dengan sendirinya mengakhiri romantisme terhadap rezim lama. Stabilitas politik otoritarian dan pembukaan pintu kebebasan dalam jeruji kekuasaan, sering menumbuhkan romantisme semu. Semua itu hanya romantisme dalam angan semata, mustahil bisa kembali menjadi realita laksana membangkitkan buaya mati. Bisa saja berbagai cara dilakukan termasuk memanipulasi kecemasan publik dengan menawarkan rekonstruksi ideologi lama dan kedamaian sebagai anti tesa kekinian. Sayangnya supremasi, hegemoni nan nilai otoritarian yang serba adi luhur terlanjur diketahui secara luas berdasarkan argumen tak terbantahkan. Apalagi pemerintahan Centra Buwono merupakan hasil legitimasi kekuasaan yang mendapat garansi kemenangan abadi dari Yang Maha Kuasa sehingga mustahil dikalahkan meski terus mendapat tantangan dari sisa kekuatan rezim lama. Mengetahui kadar romantisme terhadap rezim lama adalah penting untuk mengefektifkan politik kekuasaan. Bung Syahrul semasa hidupnya telah menganalisa pola kekuasaan rezim otoritarian yang dibangun di atas puing romantisme sejarah. Menurut beliau, hanya orang beriman yang bersedia tunduk patuh menjalankan kewajiban partisipatif, lebih memilih pro aktif ketimbang sebaliknya. Keimanan yang mendapat legitimasi kekuasaan merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi warga agar peran partisipatif yang diberikan memberi makna secara substansial. Sementara berbagai dukungan yang bercorak profan karena keterikatan ekonomi, jabatan, kekeluargaan, kelembagaan tidak kondusif bagi penguatan otoritarian, justru hanya menjadi parasit. Warga beriman akan melupakan keburukan masa silam lantaran jiwa telah bersih dari dosa pembangkangan, sehingga segala romantisme itu terhapus, hatinya bisa memilah dan mengambil sikap tegas, mengingat keindahan yang pernah diraih masa lalu sama artinya dengan kembali kepada kehidupan kebejatan dan itu sangat menyiksa. Bagi orang beriman lebih baik menghadapi realitas kekinian, berperilaku lebih baik dan menatap masa depan yang lebih menjanjikan. Sementara bagi pembangkang justru sebaliknya, kenangan masa silam dianggap memiliki pesona tersendiri melupakannya terasa menyakitkan, maka beragam argumen untuk kembali menghidupkan rezim lama masih dominan, hatinya belum bersih dari ikatan kesejarahan. Di dalam pola masyarakat yang masih memiliki ikatan kuat dengan romantisme sejarah semacam itu, tugas dari politik kekuasaan adalah mengupayakan perubahan fundamental dengan menciptakan keadilan diskriminatif secara konsisten. Keadilan diskriminatif akan menempatkan warga selaras dengan kadar kepatuhan kepada hukum baik dari aspek batin ataupun dhohir secara paripurna. Semua bentuk pembangkangan, kemunafikan, pluralisme, kedholiman, ataupun keimanan, kejujuran, kebaikan, mendapat ganjaran setimpal. Warga menjadi bisa memilih, memilah nan mempertimbangkan setiap tindakan dengan segala resikonya tanpa bisa menyalahkan pihak lain, semua keberuntungan atau kemalangan hanya merupakan dampak dari tindakan yang dilakukan, tidak lebih. Dan dengan mulai tumbuhnya kesadaran hukum yang baik, politik kekuasaan akan berkembang secara cepat diterima berbagai pihak tanpa kendala, kondisi yang sangat baik bagi proyek otoritarian. Politik kekuasaan tentu saja harus berdiri kokoh menegakkan hukum otoritarian secara konsisten, menunjukkan ketegasan nan konsistensi tanpa ragu. Bila warga berusaha menggerogoti legitimasi rezim, maka ia harus menerima akibatnya. Situasi ini harus bersifat total, karena hanya dengan begitu daya makar terhadap rezim otoritarian tidak akan mungkin mendapat ruang. Dengan cara ini politik kekuasaan akan dapat menyentuh kesadaran warga yang masih bingung nan linglung dengan pemberlakuan hukum substantif/ otoritarian yang sangat asing. Di sini politik kekuasaan berada di dalam upaya aktif untuk memperoleh sebanyak mungkin ruang potensial yang mungkin akan dimanfaatkan pembangkang dalam upaya mencari dukungan. Sekali kondisi ini tercapai, maka psikologi kekuasaan akan kian hegemonic. Pembangkang akan mulai berubah, berbenah mengikuti proses legitimasi rezim. Ini menjadi tanda adanya apresiasi baru terhadap proyeksi otoritarian. Hal yang juga penting dari studi Bung Syahrul adalah soal sikap militer dalam memposisikan diri terhadap rezim otoritarian. Beliau membedakan antara militer sebagai piranti pemerintah dengan militer sebagai piranti kepentingan. Dalam konteks Centra Buwono, militer adalah piranti rezim otoritarian dengan tugas utama menjalankan semua komando yang diberikan tanpa pertanyaan. Peran mulia itu akan mempercepat konsolidasi kekuasaan dan memperlemah oposisi. Sementara bila militer mengabaikan tugas yang diemban memiliki tujuan mandiri maka penyimpangan nan penyelewengan yang terjadi berubah menjadi piranti kepentingan oknum. Dalam catatan Bung Syahrul, militer belum pernah menjalankan tugas yang diberikan, kepentingan oknum masih dominan, fakta yang jelas sangat memalukan. Baginda Gusti Kanjeng Ratu Adil yang bergelar Pangeran Perang sekaligus sebagai pencipta militer dengan mengangkat nan memilih tiap personil mulai dari pangkat terendah hingga pangkat tertinggi, cukup Tuhan sebagai al wakil, tidak pernah mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya. Jika militer cukup cerdas niscaya akan lebih mengedepankan pengabdian kepada rezim otoritarian ketimbang mengutamakan pihak lain terkait kedekatan yang dimiliki sejak awal. Militer selayaknya menjadikan fakta tersebut sebagai momentum untuk lebih mendekat, melayani, mengabdi nan berterima kasih tanpa prasangka buruk. Tujuan kekuasaan senanatiasa suci nan luhur, berupaya memberdayakan militer untuk tujuan kekuasaan. Jika militer bersikap kontra produktif menolak memberi pelayanan tentu ada yang salah, harus dilakukan perbaikan. Situasi transisi haruslah menjadi masa belajar segenap warga tentang otoritarian secara tepat nan benar. Sejak awal partisipasi politik dan oposisi dihabisi untuk mendorong warga bersedia menjalankan peran partisipatif. Otoritarian bukanlah kebebasan. Otoritarian adalah kebebasan yang dilembagakan dalam jeruji kekuasaan. Karena itu sangatlah penting menghabisi partisipasi politik dan oposisi, agar energi warga tidak gentayangan tanpa arah, atau dimanfaatkan oleh kekuatan anti otoritarian, bisa diberdayakan, dieksploitasi nan dimanfaatkan untuk tujuan kekuasaan. Dengan kata lain, penghapusan oposisi adalah upaya untuk menyelenggarakan peran partisipatif yang sehat, dengan melibatkan segenap warga tanpa pengecualian. Ini berarti suatu pengakuan terbuka terhadap hak kekuasaan dalam memberdayakan aset yang dimiliki selaras azas otroritarian ‘dari, oleh dan untuk kekuasaan’. Karena itu, penghapusan oposisi dapat juga berarti keuntungan bagi pemerintahan Centra Buwono yang sangat suprematif. Keuntungan yang didapatkan sangat besar tanpa harus mengatasi recokan faksional dan warga. Itulah sebabnya pemerintah transisi akan berusaha semaksimal mungkin menumbuhkan kesadaran partisipatif dan menunjukkan aneka kekeliruan paradigma oposisi dan partisipasi politik. Di sini nihil jebakan dikotomis antara mayoritas versus minoritas, dalam arti keputusan politik yang dibuat (decision) senantiasa identik dengan apa yang menjadi hasil keinginan pemilu (election). Suara pemilih tidak tersimpan di bilik hati semata namun langsung terealisasi dalam setiap kebijakan politik, lantaran hanya Tuhan sebagai pelaku tunggal. Beda dengan demokrasi yang akan menciptakan jarak antara suara pemilih dan keputusan politik yang dibuat. Suara pemilih akan menetap di kotak suara sementara keputusan politik ditentukan oleh elit politik yang dipilih. Terdapat perbedaan esensial antara aspirasi rakyat dengan keputusan politik wakilnya di parlemen, terdapat distorsi antara kedaulatan rakyat dengan politik elektoral, terjadi penyimpangan terhadap amanat rakyat. Inilah dilema dan kontradiksi demokrasi, fenomena yang mustahil terjadi dalam sistem otoritarian. Pemerintahan otoritarian adalah otoritas yang menggerakkan roda politik agar melaju sesuai harapan, mendahulukan kepentingan kekuasaan. Oleh karena itu, pemerintah harus bekerja tanpa kontrol dan bebas dari tekanan pihak manapun. Opini publik harus dipahami sebagai polutan nan pathogen yang harus dihilangkan dari khasanah kehidupan warga. Hanya opini kekuasaan yang boleh berkembang, jika warga ingin hidup damai, adil nan sejahtera. Sekali lagi ditekankan urgensi faktor publisitas dan transendenitas dalam mendorong pelembagaan otoritarian yang sehat. Dengan pelembagaan itu, kekuatan oposisi dilucuti nan dihabisi yang berperan ganda dalam menjaga momentum transisi otoritarian, yaitu meneruskan proyek pelucutan romantisme terhadap rezim lama, dan mencegah upaya konsolidasi oposisi. Penting untuk diterangkan bahwa tugas ganda itu mengandalkan bekerjanya suatu masyarakat Muhammad yang secara terus menerus mempromosikan the supremacy of transenden sebagai ideologi kekuasaan yang harus diterima segenap warga, dan the force of the better argument sebagai alat kerja politik kekuasaan. Promosi supremasi nilai transenden akan membangkitkan kembali kesadaran sebagai budak nan tumbal yang telah lama hilang. Kesadaran transenden untuk menjalankan peran partisipatif secara tulus nan sukarela dengan menyerahkan segala urusan kepada kekuasaan tanpa keinginan terlibat dalam partisipasi politik. Dalam proses yang sama, politik harus dilepaskan dari semua klaim humanistik dan membawanya kembali ke dalam nilai transenden. Setiap keputusan politik selalu terbuka nan mengikat warga tanpa perlu diuji, dikoreksi, diperdebatkan, dipersoalkan dan diabaikan. Dasar etisnya kembali lagi berdasarkan prinsip absolutisme otoritarian. Prosedur adalah soal yang sangat penting di dalam proses konsolidasi otoritarian. Perkembangan mutakhir otoritarian mengarahkan kepada soal urgensi paham konstitusionalisme dipegang sebagai prinsip pengatur yang harus menjamin pelembagaan otoritarian dan nihilitas oposisi. Tetapi yang harus dipahami adalah filosofi antara konstitusionalisme sebagai prinsip keutamaan dan hak kekuasaan. Filosofi itu dirumuskan secara padat misalnya oleh Kanjeng Sunan Kemiri, “a king can exist without a people and where as a people withtout a king cannot even be imagined”. Ungkapan senada juga dikemukakan Bung Irul, ‘ Gusti Alloh sing agawe hukum lan manungso, hukum diturunke kanggo noto manungso supoyo ora kesasar, ora oleh diwalik manungso agawe hukum dewe’. Dan definisi ini sangat sesuai dengan fakta, eksistensi Tuhan sebagai Maha Raja tidak bergantung dengan eksistensi manusia, justru manusia sebagai warga, budak nan tumbal sangat bergantung kepada kekuasaan. Jauh berbeda dengan filosofi tentang konstitusionalisme sebagai prinsip keutamaan dari hak rakyat. Filosofi itu dirumuskan secara ngawur misalnya oleh Francois Hotman di dalam Francogalia (1573): “a people can exist without a king.....whereas a king withtout a people cannot even be imagined”. Konstitusionalisme adalah paham tentang bagaimana kekuasaan bekerja dengan memberlakukan aneka norma dan aturan agar bisa lebih efektif nan efisien. Itulah sebabnya dalam sejarah awal peradaban manusia, penciptaan Adam yang bisa dikatakan sebagai awal perkembangan paham ini, secara eksplisit mulai diberlakukan norma HAT dan KAM. Adam dicipta berdasarkan kehendak suci nan absolut Tuhan (HAT) tanpa mengajak berdialog ataupun bermusyawarah. Kemudian Tuhan menjelaskan tujuan penciptaan itu beserta aturan main dalam menjalani kehidupan sebagai budak dan tumbal yang dikenal sebagai konstitusi. Dari sini kemudian konstitusi dipahami sebagai sarana kekuasaan mengatur kehidupan budak secara permanen agar bisa menjalankan tugas partisipatif sesuai yang ditetapkan. Salah kaprah telah terjadi dalam sejarah negara demokrasi yang mengakui eksistensi konstitusi mati sebagai dasar bernegara. Konstitusi diselewengkan dari konsepsi semula sebagai panata warga, justru digunakan untuk mengatur, membatasi nan mengontrol kerja kekuasaan. Akibatnya konstitusi berubah menjadi majikan baru yang sangat berkuasa meski sejatinya hanya sekedar piranti dalam imaginasi tanpa realita. Untungnya, politik kekuasaan Centra Buwono dalam rangka menjaga otoritarian senantiasa on the track selaras filosofi awal dari paham konstitusionalisme itu. Tujuannya adalah agar politik kekuasaan dapat digunakan secara efektif nan efisien menghabisi kecenderungan adanya politik oposisi dan partisipasi politik yang sangat tidak kondusif bagi proses pembangunan. Konstitusionalisme bertolak belakang secara diametral dengan inkonstitusionalisme yang biasanya terealisasi dalam masyarakat kolonialis atau humanis. Corak inkonstitusional atau kebiadaban bisa dilihat sejak awal masyarakat itu tumbuh, terkait hukum atau norma yang diberlakukan. Seperti negara Indonesia silam yang berdasarkan Pancasila dan Uud 1945. Tuhan tidak dilibatkan dalam proses pendirian negara, peran kekuasaan diabaikan, hanya peran warga yang diterima nan diakui sebagaimana dapat dibuktikan dari teks proklamasi kemerdekaan negara indonesia dengan mengatasnamakan bangsa Indonesia, nihil ada pernyataan nan perjuangan yang mengatasnamakan Tuhan. Pemikir berhalais mengungkapkan corak dan ngawuritas dari paham inkonstitusionalisme nan kebiadaban dalam suatu negara demokrasi yang dikira sebagai bagian paham konstitusionalisme nan keadaban, ‘Dalam konteks ini perlu juga diterangkan bahwa sistem di belakang perkembangan modern dari paham konstitusionalisme adalah pandangan bahwa manusia merupakan makhluk rasional yang mampu mencapai kesepakatan berdasarkan akal pikirannya. Karena itu, paham konstitusionalisme itu sendiri tidak diturunkan dari suatu pandangan transendental tentang ideals dari sebuah kehidupan politik, atau dari sebuah common good yang sudah final, melainkan dari suatu tuntutan historis tentang prasyarat kebebasan hak individu, demi dapat bekerjanya rasionalitas. Artinya, karena kontrak sosial diantara individu harus didasarkan pada kesepakatan bebas, maka pertama-tama hak dan kebebasan individu haruslah dianggap primer. Di sini jelas bahwa konstitusionalisme adalah suatu rumusan historis untuk menyelamatkan hak dan kebebasan individu dari hambatan dan tekan-tekanan kekuasaan, yang contoh-contoh buruknya bertebaran sepanjang sejarah manusia, konstitusionalisme itu ditumbuhkan dan dirawat. Dengan kata lain, konstitusionalisme adalah hasil perjuangan oposisi di dalam sejarah peradaban, guna menyelamatkan rasionalitas. Di dalam diskusi kontemporer tentang hak-hak asasi manusia, kosntitusionalisme telah memastikan hak-hak sebagai inalienable terhadap kepentingan politik apapun’. Parlemen dalam paham konstitusionalisme ditiadakan lantaran eksistensinya menjadi tandingan dan pengalienasi dalam merumuskan berbagai aturan, melakukan kontrol nan pengawasan kepada pemerintah. Dengan kata lain, nihilitas parlemen haruslah menjadi realisasi pemurnian perwakilan transenden bahwa segala urusan diserahkan kepada kekuasaan termasuk dalam perumusan perundangan nan aturan lain. Kalau eksistensi parlemen tetap dipertahankan niscaya beragam kepentingan faksional nan pribadi akan dominan maka matilah konstitusionalisme, kondisi yang mustahil bisa diterima dalam perspektif kekuasaan. Itulah sebabnya mengapa eksistensi parlemen ditiadakan dan yang ada adalah DPK yang sekarang diubah menjadi BDK (Badan Duta Kerajaan) yang kedudukannya berada di dalam lembaga kementerian. Anggota BDK harus fokus menjalankan tugas yang diemban bebas dari kesibukan dan kepentingan lain. Perubahan nama itu penting terkait dengan istilah ‘dewan’ berasal dari kata dewa, dewa artinya kedadeane hawa. Nama bisa membawa dampak psikologis tertentu bagi pemiliknya, sehingga perubahan itu penting dengan harapan anggota BDK akan cenderung bekerja menyampaikan urusan kekuasaan tidak malah sebaliknya mendewakan diri menyampaikan urusan pribadi. Etika otoritarian menuntut pengutamaan tujuan kekuasaan di atas kepentingan pribadi. Karena itu seorang anggota BDK, birokrat dan aparat harus memperlihatkan wajah otoritarian yang menjadi piranti kekuasaan bekerja. Di sini harus dimaknai paham loyal opposition itu sebagai pertanggungjawaban profesi piranti kekuasaan terhadap prinsip otoritarian nan konstitusi, tidak mengandalkan argumentasi pribadi yang sempit nan parsial. Transformasi perilaku semacam itu adalah suatu revolusi mental yang sangat membutuhkan kematangan dan keyakinan berketuhanan yang kuat. Tetapi lagi-lagi dari sudut pandang absolutisme, haruslah diingat bahwa politik kekuasaan mustahil menerima pandangan lain selain hanya perspektif kekuasaan yang pantas diperjuangkan dengan mengemukakan defisit legitimasi dari the existing people. Etika otoritarian menentang perelatifan, penisbian, pengaburan tafsir konstitusi yang memiliki daya pengikat segenap warga. Landasan filosofi dari pandangan ini masih dapat dilacak pada proposisi politik Bung Tamrin yang mendukung kontrak Transenden sebagai pengikat warga selaras batasan yang ditetapkan dan itu yang menjadi pembeda dengan historisitas agama dan politik. Dalam historisitas legitimasi Tuhan telah lenyap, sementara kontrak transenden memberi jaminan terhadap keberlangsungan eksistensi legitimasi tersebut. Jadi eksistensi legitimasi kekuasaan yang menjadi pembeda antara historisitas dan aktualitas, bukan dinamika waktu yang menjadi standar acuan. Persaingan politik di dalam konteks politik otoritarian adalah penerimaan selaras azas rahmat tanpa debat nan adu argumentasi yang serba rasionalistik. Lebih mengutamakan sendiko dawuh, sami’na wa athoe’na dalam rangka memperoleh solusi yang paling baik bagi kebaikan otoritarian. Oleh karena itu, politik oposisi dan partisipasi politik dihabisi agar warga tidak kehilangan orientasi menjalani kehidupan sebagai warga yang ditumbalkan untuk tujuan kekuasaan demi meraih kehidupan adil, makmur nan sejahtera. Prinsip yang mendasari persaingan nan perdebatan visi hanya akan mendorong kemunculan pluralisme yang sangat bertentangan dengan azas otoritarian, mengabaikan kemuliaan singularisme nilai. Etika otoritarian sangat bertumpu kepada asas singularisme kekuasaan dengan prinsip, ‘opo jare Gusti Alloh’. Singularisme hendak menghindari suatu klaim nan pengaburan kebenaran oleh warga, biarlah kebenaran hanya menjadi hak kekuasaan semata, ‘ojo diroyok’. Konsolidasi otoritarian adalah proyek transisi yang amat menentukan masa depan otoritarian Centra Buwono. Dalam priode ini, politik kekuasaan menjalankan peran yang amat penting, yaitu menjaga proyek transisi itu dari incaran oposisi, dan mencegah dari kepentingan politik sempit yang anti rezim kekuasaan. Masa transisi yang sedang terjadi, diwarnai oleh dua kondisi. Pertama, transitional justice tetap bisa diterapkan secara konsisten meski mengalami berbagai resistensi dari sikap warga. Politik lama dengan corak humanis nan kolonialis dalam pemerintahan transisi terus diupayakan dihabisi, hanya politik kekuasaan yang hadir. Kedua, warga yang masih mencari kejelasan nan keyakinan tentang legitimasi kekuasaan akan kian menemukan jawabannya secara benar. Tuhan berfirman, ‘semua akan tersambung dengan kekuasaan’. Inilah problem struktural yang harus diakhiri agar suatu sistem politik yang transenden, singular dan terbuka benar terealisasi secara paripurna di masa depan. Pelajaran pertama tentang otoritarian adalah hanya ada satu nilai absolut yang bisa diterima dalam arena politik kekuasaan. Kualitas primer yang berlaku dalam kehidupan politik kekuasaan adalah ketuhanan dan tumbalnya adalah warga (citizen). Artinya, setiap individu yang berada dalam area kekuasaan otoritarian, hanya terikat oleh hukum kekuasaan dan prinsip politik transenden. Inilah konsekwensi dari memilih otoritarian dalam sebuah masyarakat singular Centra Buwono. Fakta ini membawa konsekuensi unik, arena partisipatif publik harus tetap tinggal dalam koridor jeruji kekuasaan yang bebas ideologi humanis, dalam arti bebas dari obsesi profan nan partikular. Obsesi itu tidak hanya sekedar menyalahi prinsip keadilan melainkan intervensinya ke wilayah politik kekuasaan. Keputusan politik bebas berkembang tanpa kontrol warga, bebas memasuki area paling private yang paling dalam sekalipun. Inilah keunggulan politik otoritarian yang mampu menembus beragam barikade humanistik yang paling kokoh sekalipun sehingga politik menemukan bentuk hakiki sebagai cara kekuasaan mengejawantahkan potensi yang dimiliki secara total, holistik nan paripurna. Hanya melalui peran politik kekuasaan yang bebas bekerja tanpa kontrol itulah prinsip keadilan, singular, transenden, damai dan terbuka dapat diwujudkan. Dan tugas politik kekuasaan dimasa transisi ini bisa dikatakan berdiri persis semacam itu. Hal yang perlu disampaikan adalah soal paradigmatik dari konsep otoritarian, bahwa otoritarian semakin diterima sebagai tata politik yang mengikat warga secara global. Transisi kesadaran warga telah menyatukan persepsi tentang pentingnya pilihan dan alternatif politik yang mantab, kokoh, suprematif nan hegemonik, pilihan yang hanya mungkin bisa disediakan dalam pasar ide dan filsafat transenden non profan. Semuanya dimaksudkan untuk mempertahankan kondisi the open transenden sebagai wacana bagi penyelenggaraan singularisme. Misalnya, ketika Sang Noto agung berbicara perihal urgensi kedudukan warga sebagai budak yang ditumbalkan maka sekaligus bisa dipahami monolog itu sebagai gema yang akan mengamplifikasi tema itu ke dalam wacana nan praksis masyarakat global. Etika otoritarian harus ditempatkan dalam latar koneksi global semacam itu. Bismillahi al rohman al rohim la haula wala quwwata illa billahi al aliyyi al adhim. Allohumma inni asaluka ya qodimu ya daimu ya fardu ya witru ya ahadu ya hayyu ya qoyyimu ya dzal jalali wa alikrom fain tawaalau fa qul hasbiya alloh lailaha illa huwa alaihi tawakkaltu wahuwa robbu al arsyi al adhim.
Posted on: Tue, 01 Oct 2013 00:09:55 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015