Desa dan Urbanisasi Carut marutnya desa akibat permainan dan - TopicsExpress



          

Desa dan Urbanisasi Carut marutnya desa akibat permainan dan sekenario politik modal dan orang di luar desa tak menyisakan ruang yang cukup bagi warga setempat untuk menempatkan desa sebagai pusat ekonomi, pusat politik dan pusat budaya. Berbagai kemiskinan, pengangguran dan merebaknya berbagai penyakit yang menunar hingg di tiap warga tak lagi bisa di hentikan. Mereka hidup dengan isapan jempol dan hayalan. Dan berbagai hutbah seringkali bertubi-tubi bercerita tentang potret malapekata warga. Namun upaya itu tak lain menjadi arena para makelar menghimpun dan mengumpulan berbagai energi dan aliran dana untuk klasnya. Bukan memastikan warga lepas dari alienasi wilayahnya.Dan energi yang hendak membebaskan itu tak pernah ada . yang ada selain cerita-cerita surga memasuki tiap kampung seperti air hujan, juga keranjang sampah yang di tumpukan bagi warga (hutang dan kebijakan yang menghimpit). Hilangnya areal yang menjadi tumpuan warga, Tentu tak lain dari berbagai kebijakan yang menghisap dan menelantarkan. Selain memenjarakan warga atas kebebasaan hak bawaannya. Tak ada ruang bagi warga dalam setiap kebijakan yang menjadi pelindung dan pelayaan atas jaminan keselamatan . kesejahteraan dan kesehatan. Penggusuran kemanusiaan, agraria, barang, modal dan informasi terus tiap waktu menjadi potret yang tak pernah surut. Meskipun itu prekwensinya lemah, tak lain dari arena peristirahata guna memasang untuk menekaan aliran yang lebih dahsat. Seperti biasa semua atas nama pembangunan, peningkatan pendapatan negara, menarik kaum investor, mengelola potansi perut bumi yang melimpah untuk “kesejahteraan rakyat”, demi masa depan bangsa, demi lepas landas menjadi negara “maju” dan demi-demi simbol klasik lainnya. Namun bila di urut satu persatu klas yang terus menikmati kue pembangunan dan aliran modal tak terlalu banyak singgah di warga kapung. Kaum miskin hanya memperoleh sisa dari makanan yang tercecer di lantai yang menjadi sampah. Bukan makanan bersih yang di peruntukan untuk mempertahankan dan memenuhi hidupnya. Diam adalah kematian. Tak ada pilihan lain selain mengadu nasib di wilayah sentral-sentral ekonomi lain (Kota) meskipun belum tentu menjanjikan bisa memperpanjang usia. Namun itu tak ada pilihan lain. Berat memang dilakukan meninggalkan wilayah yang ratusan tahun menjadi tumpuan harapannya. Namun ketika tangan-tangan kejam dan moncong senapan menjadi lawan yang harus di enyahkan dan dihadang dari ruang mereka sangat sulit bagi warga. Perlawanan dari kaum tertindas adalah pembangan bila dibaca oleh klas menengah dan birokrasi kapitalis. Rakyat terhisap tak memiliki ruang kebenaran selain sisa. Semua klaim kebenaran di kuasai oleh penguasa. Selain itu ruang tertutup. Meskipun di beberapa dokumen negara rakyat itu memiliki kedaulatan atas negara beserta isi perut bumi dan ruang buminya, disisi lain kaum klas penindas memiliki perlengkapan yang cukup untuk mensiasati secara konstitusi menelantarkan dan memenjaraka warganya. Tentu itu sah menurut konstitusi yang berlaku. Tak ada penyelewengan sekecil debupun. Dan yang nampak ada pengamalan dari konstitusi yang berlaku. Tentu ketika di arena perkotaan, warga kampung hanya bisa hidup di tumpukan sampah, korong aliran air, loring jembatan, pinghiran kali, dan trotoar jalan. Namun itu tak bisa di hindarinya. Dan bursa saham bagi mereka selain dari menadi buruh bangunan, pemulung sampah, pembersih rumput, tukang beca itupun bila tak digusur, penjuan alat dapur, penjual barang kelontongan, dan menadi musafir. Pengab memang dirasakan namun apa yang bisa dilakukan oeleh kaum warga pinggiran. Mereka tak pernah memiliki perlindungan dari negara bahkan yang lebih ironis mereka tiap waktu terancam oleh para aparat keamanan yang sering mengatasnamakan keindahan, kebersihan dan keindahan. Padahal mereka hidup di arena itu lahir dari sebah ketidak adilan strukturan. Kediktatoran penguasa dan ke bejadan mapa makelar barang, modal, barang, orang dan informasi. Seperti biasa para penindas tak bisa mengakui atas kesalahannya. Berbagai ketimpangan agraria, kerusakan, kemiskinan, dan bentuk malapetakan lainnya di tuduhkan pada warganya sendiri. Tak adil memang kelakukan itu. Namun begitulah kelakukan kaum birokrasi kapitalis dan klas menengah yang berbasis kapitalis dan neo imperialisme. Semua di tempatkan sebagai areana penghisapan, dominasi dan driskimanasi. Tak ada kran yng mengalirkan kesejahteraan erbagai potensi negeri bagi warganya. Rakyat hanya hidup sebagai tum[ukan sampah yang di kubur, di bunag dan bakarr Dan perpisahannya warga dengan areana potensi desa taklain dari driskimanasinya sektor padat modal atas kelola warga yang menggunakan perkakasan sederhana. Apalagi bila alas yang menjamin warga atas kelola itu keluar dari standar pelengkapan yang di tentukan oleh penguasa. Maka seketika perampasan tak menunggu waktu. Meskipun nyawa itu melayang. Namun bagi penguasa itu tak jadi soal. Yang terpenting adalah menjadi penguasa dan yang mengasai hajat hiup orang banyak. Bagi penindas membiarkan komunitas lainnya terpuruk tentu merupakan jaminan mengalirkan keuntungan yang tidak terhingga. Tanpa ketidak berdayaan warga maka sulit menghimpun kekuatan dan kekayaan perut bumi yang berpihak pada kaum penindas. Dan memainkan kehidupan kaum miskian adalah alasan penting untuk mendudukan warga sebagai korban yang tak berdaya. Tidak adanya pelayanan yang cukup maksimal bagi warga tertindas, pelayanan moral, pelayanan politik, dan pelayanan budaya adalah bentuk dari sikap politik yang harus di pelihara kaum tertindas. Dan menjaga itu tak bisa di lakukan dengan sendiri. Berbagai kekuatan yang mudah di kendalikan dengan aliran modal dan pasar di mobilisasi dan di ciptakan. Bila perlu pasukan yang khusus sebagai unit penindas di ciptakan dan di pertahankan. Sekenario ini bukan hasil pikiran umur jagung. Di produksi oleh kaum penjajah jauh hari sebelum warga indonesia bisa memakai perlengkapan keseharian layak. Sehingga tindakan yang dilakukan oleh penguasa yang menjadi orang nomor satu bangsa Indonesia tak lain dari kepanjangan tanga kaum imperialis. Dan kelakukan itu tak bisa di tolak. Semua kaum sekolahan ikut membenarkan dan mempertahankan atas kelakukan pilihan itu. Persoalannya bukan populis dan tak populis. Mereka hidup dalam rayuan dan pengetahuannya. Sehingga kegiatan urbanisasi menjadi kejadian sakral yang terus dilakukan warga, tanpa terkecuali. Karena warga memang di ciptakan untuk menjadi kaum urban. Desa tak ada penjagaan dan perlindungan dari penguasa secara de pakto. Namun jadi pengusa kaum klas penindas melalui de yure.
Posted on: Mon, 07 Oct 2013 04:15:31 +0000

Trending Topics



:30px;">
Hi everyone, hope you are all enjoying this bizarre weather we

Recently Viewed Topics




© 2015