HARUSKAH MEMBAKAR DIRI ATAS NAMA PERJUANGAN? Oleh : H. Muh. - TopicsExpress



          

HARUSKAH MEMBAKAR DIRI ATAS NAMA PERJUANGAN? Oleh : H. Muh. Lutfi Tharodli, S.Sos.I.M.Pd.I. Guru di MTs N I Mataram dan pengasuh Ponpes Darul Musthafa NW Narmada Bakar diri dewasa ini telah menjadi trend untuk menyelesaikan sebuah masalah, bahkan bakar diri telah dianggap sebagai simbol perlawanan rakyat dalam menghadapi rezim diktator dan penguasa yang korup. Pelaku bakar diripun oleh sebagian masyarakat telah dijuluki sebagai seorang pahlawan sejati dalam menentang ketidakadilan penguasa. Kita masih ingat, masyarakat dihebohkan oleh peristiwa yang mengenaskan yaitu seorang mahasiswa semester VII Fakultas Bung Karno atas nama Sondang Hutagalung melakukan aksi bakar diri di depan Istana Merdeka dan menghembuskan napas terakhir pada pukul 17.45 WIB pada hari Sabtu 10 Desember 2011. Peristiwa tersebut seakan mengingatkan kita pada peristiwa serupa di Tunisia, Mohamed Bouzizi pada akhir Desember 2010 membakar dirinya di depan kantor gubernur. Ada kemiripan motif dari kedua aksi tersebut, yaitu kecewa pada elite politik yang korup, mengabaikan HAM, dan gagal menyejahterakan rakyat. Pertanyaannya adalah apakah setiap kekecewaan dan perlawanan harus diakhiri dengan cara bakar diri? Penulis yakin seandainya, semua pembela HAM dan pembela rakyat berpikiran untuk memperjuangkan tegaknya HAM dengan cara membakar diri maka akan berpengaruh buruk bagi kelanjutan perjuangan dan berdampak negatif bagi generasi pejuang selanjutnya seandainya pola perjuangan bakar diri seperti itu diikuti, malah hal tersebut hanya akan membuat elit politik yang haus kekuasaan akan tertawa kegirangan, sekalipun secara zahir tampak seperti berduka. Perjuangan menurut penulis adalah perjuangan yang tiada henti, selalu optimis, terorganisir dengan rapi, dibalut ketabahan dan kesabaran dan tidak cepat putus asa. Model perjuangan dengan jalan membakar diri, aksi bom bunuh diri, dan merusak tempat ibadah orang lain adalah ekspresi dari sebuah keprustasian dan keputusasaan dalam berjuang. Jadi, menurut penulis seseorang yang membakar diri dalam berjuang , mengebom tanpa sebab yang jelas adalah orang-orang yang prustasi, tidak memiliki keteguhan hati dan kesabaran. Tindakan membakar diri atas nama perjuangan menunjukkan pelecehan atas ciptaan Tuhan dan ketidakfahaman terhadap ajaran agama karena tiada satupun agama yang memperbolehkan umatnya untuk membakar diri. Dunia diciptakan oleh Tuhan sebagai lahan untuk berjuang, maka sebuah kerugian jika momentum perjuangan dirusak dengan memudaratkan diri sendiri melalui cara yang ilegal. Perjuangan butuh semangat dan pantang menyerah dan siap mengambil resiko apapun selama yang diperjuangkan benar. Hasil akhir dalam perjuangan adalah peringkat yang ke seratus tetapi yang paling utama adalah kemauan dan niat yang mulia untuk berjuang. Karena yang dicatat oleh Allah adalah ikhtiar (usaha) bukan hasil dari perjuangan itu, akan tetapi seorang pejuang harus tetap optimis dalam berjuang dan yakin bahwa perjuangan itu akan tetap benilai terlepas dari berhasil atau tidaknya perjuangan tersebut. Kalau kita membaca sejarah perjuangan pahlawan bangsa, tidak pernah kita mendengar para pahlawan prustasi atau putus asa dalam berjuang walau mereka hanya menggunakan senjata bambu runcing apalagi sampai membakar diri di dalam menentang penindasan penjajah. Perjuangan mereka anggap sebagai ladang ibadah, mereka mempunyai motto perjuangan sepanjang hayat, bisa saja nyawa mereka melayang pada saat berjuang tetapi melayangnya bukan dengan jalan membakar diri tetapi dibakar. Harus bisa kita bedakan antara membakar diri dengan dibakar. Kalau pelaku yang berdalih memperjuangkan kebenaran dengan jalan membakar diri agar aspirasinya didengar oleh penguasa, perbuatan bakar diri tersebut namanya mati konyol alias bunuh diri, lain halnya dengan pejuang kebenaran yang dibakar oleh penguasa yang zalim hal tersebut namanya mati syahid. Banyak pejuang HAM dan keadilan di negeri ini, dan akhir hidup mereka wafat dengan cara terhormat. Almarhum Munir contohnya, beliau berpuluh-puluh tahun memperjuangkan HAM tanpa kenal menyerah dan putus asa, selalu optimis, dan semata-mata mengharap ridho Allah. Beliau sebagai martir dalam menegakkan HAM di Indonesia dan seandainya Tuhan mengizinkan dia ingin terus berjuang sepanjang hayat, dan tidak mengakhiri perjuangan dengan cara membakar diri sebagai protes terhadap ketidakadilan HAM, tetapi beliau wafat dengan cara diracun “bukan bunuh diri”. Cut Nyak dien, sampai tua dan mata beliau buta tetap berjuang melawan penjajah membela rakyat, tidak ada rasa pesimis atau putus asa dalam berjuang tanpa ada niat membakar diri sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan penjajah Belanda di kala itu. Demikian juga dengan pahlawan-pahlawan yang lain yang telah mengorbankan tenaga dan jiwanya dalam berjuang, mereka diintimidasi, melihat ketidakadilan di depan mata mereka, dipenjara karena membela keyakinan mereka tetapi terus optimis berjuang, tidak prustasi atau putus asa apalagi membakar diri. Mereka tetap teguh berjuang dan yakin perjuangan yang dilakukan tidak akan sia-sia tetapi tidak dengan jalan mewarisi kecengengan dan keputusasaan pada generasi berikutnya. Merekalah pahlawan sejati, bahkan jika perlu mereka ingin hidup seribu tahun untuk terus bisa mengawal perjuangan rakyat di negeri ini. Di dalam ajaran agama Islam tidak dibenarkan merenggut nyawa sendiri dengan jalan membakar diri sekalipun dengan dalih untuk mengekspresikan kekecewaan terhadap pemerintah yang korup. Masih banyak jalan lain yang elegan dan terhormat yang mendatangkan keridhoan Allah SWT di dalam menegakkan kebenaran dan keadilan di negeri ini. Kita harus yakin Allah Maha Mendengar dan Mengetahui sampai di mana ikhtiyar perjuangan dan doa hamba-hambaNya. Jika ada situasi yang gawat, di dalam Islam ada istilah “qunut nazilah” , yang bisa dimaknai sebagai “protes” kepada Tuhan dalam menghadapi situasi yang tidak menentu dan kesewenang-wenangan penguasa atau “istigotsah” yang difahami secara politik sebagai demonstrasi. Muhammad Rifa’i al-Thahthowi, juru bicara Universitas Al-Azhar berpendapat “bahwa Islam melarang membunuh diri dengan alasan apapun. Islam melarang membunuh diri sebagai aturan yang umum dan tidak menerima pemisahan jiwa dari tubuh sebagai ekspresi stress, marah, atau protes.” Mengutip tulisan dari seorang Psikiater, Dosen FK UKRIDA Jakarta, dr. Andri, SpKJ beliau mengatakan “Tidak ada yang bisa memastikan apa yang terdapat dalam pikiran almarhum (Sondang Hutagalung) ketika melakukan aksi nekatnya tersebut. Keluarga terutama ayah yang diwawancarai beberapa media juga menyatakan penyesalannya akan tindakan almarhum, bahkan ayah almarhum yang bekerja sebagai sopir taksi juga seringkali mengingatkan almarhum agar tidak berdemo karena mengganggu lalu lintas.” Bakar diri pernah akrab dalam berita beberapa waktu lalu. Banyak pemuda melakukan hal tersebut karena “kecelakaan” saat mencoba mengancam membunuh diri akibat pertengkaran dengan kekasih. Kasus-kasus seperti ini sebenarnya lebih bisa dilihat sebagai suatu hal yang banyak berhubungan dengan kondisi gangguan kepribadian ambang (borderline personality disorder). Gangguan kepribadian ambang seringkali dianggap sebagai kondisi yang membuat penderitanya sulit menerima penolakan dan mudah melakukan sesuatu yang berisiko berhubungan dengan penolakan itu. Sifat pasif agresif, artinya secara ekspresi emosional bersikap pasif tetapi agresif secara perilaku cukup erat dengan tipikal gangguan kepribadian jenis ini. Beberapa orang dengan suatu ciri kepribadian ini sering dikatakan siap bertindak nekat dengan alasan yang kadang tidak terlalu jelas. Impulsif dalam artian mudah meletup-letup juga adalah bagian dari perilaku yang dihubungkan dengan kondisi kepribadian tipe ini. Salah satu hal yang banyak terjadi adalah perilaku menyakiti diri sendiri yang banyak terjadi pada orang dengan gangguan kepribadian ambang. Jadi kalau memang tindakan bakar diri adalah suatu tindakan impulsif dan merupakan tindakan yang dihubungkan dengan suatu kekecewaan yang kemudian dilepaskan dalam bentuk perilaku menyakiti diri sendiri, bisa saja hal ini diamini sebagai suatu bagian perilaku berisiko yang dilakukan oleh individu yang mengalami gangguan kepribadian ambang. Kembali ke masalah almarhum Sondang, apakah sekiranya yang menjadi faktor pemicu almarhum melakukan tindakan yang dikatakan nekat ini? Apakah ini disebabkan karena kekecewaan berat terhadap penguasa yang tidak dapat ditahannya sendiri dan kemudian dimanifestasikan dengan tindakan membakar diri? Ataukah ada motif lain dari apa yang dilakukannya? Tidak ada yang tahu pasti mengapa itu terjadi. Tapi setidaknya dari pikiran pribadi saya sendiri, sebenarnya masih banyak cara lain yang lebih pas untuk mengekspresikan diri atau menyatakan kekecewaan. Membakar diri rasanya bukan jalan yang bijaksana. Apalagi jika dalam kehidupan sosial, almarhum adalah orang yang diharapkan keluarga.” Penulis sangat menghargai dan menghormati idealisme dan semangat juang Sondang Hutagalung sebagai aktivis HAM tetapi tidak membenarkan tindakan bakar diri yang akhirnya merenggut nyawanya. Tulisan ini bukan untuk membuka front adu argumentasi antara yang pro dan yang kontra atau menerima dan menolak apa yang dilakukan oleh Sondang Hutagalung karena benar dan salah adalah hak prerogatif Allah SWT. Penulis hanya khawatir jika semangat bakar diri ini menular pada para pemuda dan mahasiswa di Indonesia yang konstribusi mereka sangat dibutuhkan bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat pada masa yang akan datang. Apalagi jika semangat bakar diri telah dianggap sebagai suatu yang wajar dalam menentang kezaliman dan pelakunya dianggap sebagai pejuang dan pahlawan sejati, berarti sama artinya dengan kita menafikan semangat juang para pahlawan yang telah mengorbankan jiwa dan raga mereka bukan dengan cara membunuh diri. Hidup adalah perjuangan, dan perjuangan haruslah bermanfaat bagi semua. Hidup adalah pilihan tetapi pilihlah sesuatu yang bisa menghidupkan semua. Wallahu A’lam bisshawab.
Posted on: Thu, 27 Jun 2013 11:32:07 +0000

Recently Viewed Topics




© 2015