Jangan Jadi Tong Sampah Obat (bag. 1) Penggunaan obat yang - TopicsExpress



          

Jangan Jadi Tong Sampah Obat (bag. 1) Penggunaan obat yang sembrono hanya akan merugikan pasien. Ironisnya, pasien sering tidak menyadarinya. Pola pengobatan yang tidak rasional (Irrational Use of Drug atau IRUD) semakin banyak terjadi. Bentuknya bisa berupa polifarmasi - pemberian beberapa obat sekaligus yang tidak perlu - pemberian antibiotik dan steroid yang berlebihan, mengutamakan obat non-generik untuk mengambil keuntungan, juga obat-obatan yang pemakaiannya di luar indikasi resmi (off label use). Contohnya pemberian suplemen, vitamin, antihistamin untuk pilek atau flu, obat pelonggar saluran pernapasan untuk batuk pada infeksi saluran pernapasan atas, dan sebagainya yang belum tentu dibutuhkan. Hal ini disampaikan Dr Purnamawati S. Pudjiarto, SpAk, MMPed, dokter anak dan duta World Alliance for Patient Safety dari WHO (World Health Organization) untuk penggunaan obat rasional, dalam sebuah seminar di Rumah Sakit Ibu dan Anak Kemang Medical Care, Jakarta, belum lama ini. Ironisnya, pengobatan semacam ini sering tidak disadari dan terjadi hampir setiap hari dalam kehidupan kita. Padahal Dr Marius Widjajarta, SE, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) di Jakarta, mengatakan, pola pengobatan tidak rasional yang dilakukan oknum dokter untuk mengambil keuntungan dari pasien, bisa dikategorikan sebagai kejahatan. Dalam kehidupan sehari-hari Simak pengalaman Medina (29 tahun, bukan nama sebenarnya), dari Cipete, Jakarta Selatan. Setiap kali membawa anaknya berobat, dokter selalu memberinya segepok obat. Kali ini Rifki (3 tahun, anaknya) terserang diare. Selain diberi obat untuk menghentikan mencret, dokter juga meresepkan obat antimual, antikembung, suplemen untuk meningkatkan nafsu makan, imunomodulator untuk meningkatkan kekebalan tubuh, beberapa botol cairan elektrolit, dan probiotik atau bakteri baik, tutur Madina, saat dijumpai di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta. Karena obat-obatan itu bukan obat generik, maka ia harus menebus 7 jenis obat itu seharga ratusan ribu rupiah. Padahal, obat-obat itu tidak diperlukan. Penyakit harian seperti diare, batuk, pilek, demam ringan, serta radang tenggorokan umumnya tidak perlu obat, kata Dr Purnamawati. Sebab, kata dokter yang akrab disapa Wati ini, penyebabnya adalah virus dan akan sembuh sendiri dengan istirahat. Kalaupun perlu obat, biasanya tidak lebih dari 2 jenis. Wajar bila pasien yang langganan ke dokter jadi menyimpan berkotak-kotak obat di rumahnya, karena merasa sayang bila obat-obat mahal itu dibuang. Akibatnya, saat ada anggota keluarga lain yang mengalami gejala serupa, obat itu diberikan juga. Hal semacam itu sering dilakoni Mahardiani (27 tahun), dari Semarang. Yah... biar bermanfaat saja. Daripada pergi ke dokter, nanti juga dapat setumpuk obat dan sisa-sisa lagi, pemborosan, begitu alasannya. Padahal, memberikan obat untuk orang lain sama sekali tidak dibenarkan. Kondisi setiap orang berbeda, sehingga meskipun gejalanya sama, dosis dan penanganan yang diperlukan belum tentu sama. Akibatnya bisa fatal Meresepkan obat yang tidak perlu pun akhirnya menimbulkan lingkaran setan. Selain merugikan pasien secara ekonomi, kesehatan pasien juga dipertaruhkan. Dr Wati menjelaskan, sebagian besar obat tidak larut dalam air sehingga perlu diproses di dalam organ hati sehingga penggunaan obat yang terlalu banyak dan tidak tepat, bisa mengganggu fungsi hati. Selain itu, ginjal juga akan kesulitan mengeluarkan zat-zat yang tidak diperlukan oleh tubuh, jelasnya. Celakanya lagi, obat-obat yang beredar di pasaran, banyak yang dosis per- satuan tablet atau kapsulnya terlalu besar. Keadaan ini berisiko menyebabkan efek samping dan kadang-kadang berakhir dengan kematian, tambah Prof Dr Iwan Darmansjah, MD, ahli farmakologi dan Guru Besar Emeritus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Karena banjir obat Pemberian obat yang tidak tepat memang bukan hal baru. Secara garis besar, hal ini disebabkan oleh dua faktor: Pertama, membanjirnya obat dalam jumlah yang sangat besar. Di Indonesia, jumlah obat yang terdaftar mencapai sekitar 20.000 jenis (dari 200 pabrik farmasi), banyak di antaranya merupakan produk yang sama. Hal ini menyebabkan dokter sulit menentukan obat yang paling baik, ditinjau dari segi harga dan efektivitasnya (cost effective) . Keadaan ini diperparah lagi dengan lemahnya pemerintah dalam menegakkan peraturan. Termasuk, tidak berlakunya strategi mengenai pendaftaran obat yang benar-benar efektif dan aman. Banyak obat yang tidak efektif dibiarkan beredar. Buku Daftar Obat Esensial Nasional yang direvisi setiap 3 tahun dan berisi daftar obat yang paling bermanfaat juga tidak disosialisasikan secara luas. Dari jumlah 50.000 eksemplar buku yang dijanjikan Depkes, hingga saat ini yang dicetak baru sekitar 500 eksemplar. Padahal, buku ini seharusnya menjadi panduan untuk semua dokter di seluruh Indonesia dalam menentukan obat yang efektif dan aman, demikian penjelasan Prof Iwan, Ketua Panitia Obat Esensial Nasional dan mantan Ketua Panitia Evaluasi Obat, Departemen Kesehatan ini dengan kesal. Kedua, pertimbangan dokter dalam menentukan obat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk setiap jenis obat yang diresepkan, dokter dapat menerima komisi dari perusahaan farmasi yang bersangkutan. Menurut Prof Iwan, hal ini menyebabkan peresepan obat menjadi tidak obyektif. Proses memilih obat tidak lagi berdasarkan integritas intelektual dan hati nurani, melainkan pertimbangan materi semata, katanya. Pasien juga berperan Meskipun demikian, pemberian obat yang tidak perlu juga bisa disebabkan oleh pasien itu sendiri. Raharja (bukan nama sebenarnya), dokter umum yang berpraktik di sebuah rumah sakit pemerintah di Yogyakarta, mengakui banyak pasiennya yang meminta resep antibiotik atau suplemen, padahal tidak memerlukannya. Hal ini dibenarkan Dr Wati, yang menganggap sikap pasien tersebut umumnya disebabkan oleh pemahaman yang salah terhadap informasi seputar obat. Sayangnya, salah kaprah tersebut seolah diamini oleh tenaga medis. Padahal sudah seharusnya informasi yang benar digencarkan untuk mencerdaskan pasien, sesalnya. Beberapa salah kaprah yang paling sering terjadi antara lain: 1. Pasrah sepenuhnya pada dokter Dalam keadaan sakit dan galau, umumnya pasien pasrah saja pada tindakan dokter. Sebab lainnya, pasien juga menganggap dokter sangat memahami obat-obatan. Kenyataannya? Dokter juga manusia! Bisa mempunyai banyak kekurangan dan berbuat salah. Apalagi, kemajuan ilmu kedokteran dan obat-obatan terjadi sangat pesat. Misalnya, obat yang di luar negeri sudah tidak diberikan, namun karena dokter tidak selalu up to date dengan informasi, bisa saja tetap meresepkan obat tersebut pada pasien, tandas Dr Wati. 2. Antibiotik adalah obat dewa Antibiotik sangat berperan memerangi penyakit yang disebabkan bakteri. Ironisnya, banyak pasien mendapat (dan meminta!) antibiotik ketika demam, radang tenggorokan, dan diare, yang disebabkan virus. Sebabnya, masih banyak dokter yang berpikir dalam keadaan demikian antibiotik tetap perlu diberikan supaya penyakitnya cepat sembuh, atau untuk berjaga-jaga terhadap infeksi tambahan (yang belum tentu terjadi). Secara tidak langsung, kebiasaan ini membuat pasien ikut tersugesti bahwa antibiotik adalah obat dewa, sehingga sering menagih dokter bila tidak diresepkan. 3. Suntik supaya lebih cespleng Di negara berkembang, persentase pemberian obat suntik (yang semestinya bisa diberikan secara oral) berkisar antara 20 sampai 76 persen. Padahal selama masih bisa diberikan secara oral, obat suntik tidak diperlukan. Selain menimbulkan rasa sakit dan biayanya lebih mahal, obat suntik meningkatkan risiko efek samping obat dan memungkinkan masuknya bakteria saat proses penyuntikan. 4. Puyer untuk penyakit langganan anak-anak Puyer sepertinya sudah identik sebagai obat anak, sehingga banyak orangtua menganggap, untuk penyakit harian seperti batuk, pilek, flu, dan demam pun anak perlu puyer. Pemahaman inilah yang salah. Komposisi puyer yang menggabungkan beberapa jenis obat sekaligus terlalu berlebihan. Apalagi, untuk penyakit harian yang tidak perlu obat, kata Dr Wati. Pemberian puyer sendiri masih pro- kontra, sehingga memanfaatkannya pun harus ekstra hati-hati (lihat: Pro kontra puyer, bagaimana menyikapinya?). 5. Obat mahal lebih berkualitas Tidak dipungkiri, masih banyak pasien beranggapan bahwa kualitas obat sebanding dengan harganya. Akibatnya, ketika dokter memberi resep obat yang harganya jauh lebih mahal dari obat generik, mereka tidak keberatan. Sebagian di antaranya, bahkan merasa lebih mantap bila diberi obat mahal karena menganggap obat itu adalah obat paten. Padahal, menurut Dr Marius, obat yang disebut obat paten oleh oknum dokter itu sering berupa obat generik yang diberi label. Misalnya antibiotik generik bernama amoxicillin, bila diproduksi pabrik Tuti dengan kandungan yang sama, namanya menjadi Tuticilin yang dijual 40 sampai 80 kali lipat lebih mahal dari obat generik, demikian penjelasan Dr Marius, yang menilai bahwa ketidakjujuran oknum dokter dalam meresepkan obat generik berlabel merupakan faktor utama penyebab salah kaprah ini. 6. Berobat = mendapat resep obat Tidak sedikit pasien yang menganggap bahwa konsultasi medis merupakan kunjungan berobat alias upaya meminta obat. Sehingga ada perasaan kecewa, seandainya kunjungan ke dokter hanya berakhir pada diskusi atau anjuran untuk istirahat. Anggapan ini salah besar. Dr Wati mengatakan, konsultasi medis sebenarnya merupakan perundingan antara dokter dan pasien untuk mencari penyebab terjadinya penyakit (diagnosa) dan menentukan cara mengobatinya. Konsultasi itu tidak harus berujung pada secarik resep, karena terapi yang diperlukan sangat bergantung pada observasi konsultasi, tutur Dr Wati.
Posted on: Thu, 28 Nov 2013 06:52:15 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015