KATEKESE 19 JULI BOLEHKAH PASANGAN SUAMI ISTRI KATOLIK MELAKUKAN - TopicsExpress



          

KATEKESE 19 JULI BOLEHKAH PASANGAN SUAMI ISTRI KATOLIK MELAKUKAN STERILISASI? Sebenarnya, tujuan perkawinan menurut ajaran agama Katolik adalah: KGK 1601 Perjanjian Perkawinan, dengan mana pria dan wanita membentuk antar mereka kebersamaan seluruh hidup, dari sifat kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta pada kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan Perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen” (CIC can. 1055, 1). Maka, kita ketahui di sini bahwa terdapat dua tujuan perkawinan Katolik, yang tidak terpisahkan yaitu: 1) kesejahteraan suami istri dan 2) kelahiran dan pendidikan anak. Dengan kedua hal inilah maka pasangan yang menikah mendalami misteri kasih Allah kepada umat-Nya yang dilambangkan dengan perkawinan, seperti yang dinyatakan dalam Alkitab PL, dan PB, dimana Kristus digambarkan sebagai mempelai laki-laki dan Gereja-Nya sebagai mempelai perempuan. KGK 2369 “Dengan melindungi kedua aspek hakiki [dalam perkawinan, yaitu] persatuan penuh cinta kasih/ unitive dan pembiakan/ procreative, maka hubungan di dalam perkawinan secara penuh dan utuh mempunyai arti cinta kasih timbal balik yang sejati dan pengarahannya ke tugas mulia sebagai orang-tua, untuk mana manusia itu dipanggil” (Humanae Vitae 12). Pada PL, Allah memerintahkan manusia untuk berkembang biak dan menguasai bumi (lih. Kej 1:28), maka sejak awal mula perkawinan memang dimaksudkan Allah untuk mendatangkan keturunan bagi pasangan suami istri. Maka kesuburan hendaknya dilihat sebagai berkat/ sesuatu yang positif dan bukannya negatif. Katekismus mengajarkan: KGK 2366 Kesuburan adalah satu anugerah, satu tujuan perkawinan, karena cinta suami isteri dari kodratnya bertujuan supaya subur. Anak tidak ditambahkan dari luar pada cinta suami isteri yang timbal balik ini, ia lahir dalam inti dari saling menyerahkan diri itu, ia merupakan buah dan pemenuhannya. Karena itu Gereja yang “membela kehidupan”, mengajar “bahwa tiap persetubuhan harus tetap diarahkan kepada kelahiran kehidupan manusia” (Humanae Vitae 11). … KGK 2367 Suami isteri yang dipanggil untuk memberi kehidupan, mengambil bagian dalam kekuatan Pencipta dan ke-Bapa-an Allah Bdk. Ef 3:14; Mat 23:9.. “Dalam tugas menyalurkan hidup manusiawi dan dalam tugas mendidik, yang harus dianggap sebagai perutusan mereka yang khas, suami-isteri menyadari diri sebagai mitra kerja cinta kasih Allah Pencipta dan bagaikan penerjemah-Nya. Maka dari itu hendaknya mereka menunaikan tugas mereka penuh tanggung jawab manusiawi serta kristiani” (Gaudium et Spes 50,2). Oleh karena itu, baik suami maupun istri selayaknya tidak menghalangi kemungkinan adanya kehidupan baru yang dapat Allah hadirkan sebagai buah kasih suami dan istri. Begitu pasangan memasuki jenjang perkawinan, seharusnya mereka menyadari bahwa mereka masuk dalam rencana kasih Allah, di mana pasangan tersebut merupakan mitra kerja Allah pada saat mereka berkerjasama dengan Allah untuk menghadirkan kehidupan baru dan membesarkan keturunan mereka sesuai dengan rencana Tuhan. Dengan demikian pasangan tersebut menerapkan kasih yang total (total self-giving) baik kepada pasangan maupun kepada anak/ keturunan mereka, sehingga dengan demikian mereka menjalani panggilan hidup mereka sesuai dengan rencana Allah. Dengan panggilan hidup menjadi orang tua-lah pasangan itu berpartisipasi dalam peran Allah membimbing umat-Nya, yaitu anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada mereka. Maka kasih di sini memang harus dilihat sebagai kasih yang tidak ditujukan “untuk kebahagiaan hidup berdua tanpa harus mengurus anak.”Pikiran “tidak mau repot mengurus anak” sesungguhnya bertentangan dengan makna perkawinan. Sebab anak sesungguhnya harus dilihat sebagai berkat Allah dan bukan sebagai beban, sebab anak malah dapat melipat gandakan kebahagiaan suami dan istri. Maka dapat dimengerti, bahwa Gereja Katolik menolak sterilisasi, yang menolak kemungkinan adanya kelahiran anak. Paus Paulus VI dalam surat ensikliknya, Humanae Vitae 14 mengatakan: “Magisterium Gereja telah menyebutkan berkali-kali bahwa sterilisasi yang langsung/ disengaja itu tidak diperbolehkan, entah sementara atau seterusnya, entah di pihak laki-laki atau wanita.” Dalam kalimat definitif, Gereja melarang sterilisasi yang disengaja dalam kondisi apapun. Kekecualian hanya diberikan jika misalnya sterilisasi menjadi akibat dari pengobatan penyakit yang berkaitan langsung dengan organ reproduksi, yang tidak dapat dihindari, untuk menyelamatkan jiwa sang istri atau suami yang sakit. Misalnya istri mengidap menyakit kanker rahim, maka rahimnya harus diambil, sehingga praktis ia tidak dapat melahirkan. Hal ini diperbolehkan. Namun pada kasus bukan pengobatan, hal itu dilarang. Humanae Vitae 15 menyebutkan: “Gereja memperbolehkan penggunaan pengobatan medis (medical treatment) yang diperlukan untuk penyembuhan penyakit, meskipun melalui pengobatan ini fungsi pro-creation dapat terhalang/gagal. Pengobatan ini diizinkan, walaupun kondisi infertilitas yang terganggu sudah dapat diperkirakan, asalkan kondisi infertilitas ini tidak dilakukan dengan sengaja, untuk alasan apapun juga.“ Jadi untuk menjawab pertanyaan Santoso, apakah menurut Gereja diperbolehkan pasangan menjalani sterilisasi, demi alasan keuangan dan mencari kesenangan suami istri tanpa repot mengurus anak; jawabnya adalah tidak. Silakan anda merenungkan sekali lagi pertanyaan anda, apakah masalahnya keuangan, atau karena tidak ingin repot mengurus anak? 1) Terus terang, masalah keuangan adalah relatif. Apakah kesulitan keuangan yang anda maksudkan adalah sampai, maaf, tidak bisa membeli makanan? Barangkali tidak. Sebab jika anda benar-benar kesulitan keuangan maka lebih baik dana yang ada digunakan untuk membeli makanan daripada menyewa atau membeli film BF. Namun, jika-pun benar, bahwa anda sungguh-sungguh terbatas dalam keuangan, maka silakan memilih KB alamiah yang dilakukan dengan benar. 2) Kebahagiaan dengan tidak repot mengurus anak, sebenarnya merupakan bentuk kesenangan yang tidak melibatkan kasih yang “self-giving“, sebab yang menjadi prioritas adalah keinginan sendiri. Sedangkan kasih yang memberi diri seutuhnya, adalah kasih yang tertuju kepada orang lain, terutama juga kepada Tuhan yang mempunyai rencana kepada kehidupan tiap-tiap orang. Lalu juga karena pada keluarga yang sudah mempunyai 3 anak, apakah Gereja memperbolehkan sterilisasi? Jawabnya juga tidak. Jika untuk alasan-alasan yang legitim, pasangan berusaha membatasi jumlah anak, maka cara yang diizinkan Gereja adalah KB Alamiah. Sumber: Situs Katolisitas --Deo Gratias--
Posted on: Thu, 25 Jul 2013 12:00:01 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015