Marxisme, Sosialisme, Komunisme: Apa, Siapa(oleh Franz - TopicsExpress



          

Marxisme, Sosialisme, Komunisme: Apa, Siapa(oleh Franz Magnis-Suseno) Hantu komunisme yg diramalkan Marx dalam Manifesto Komunis, barangkali sudah ompong, akan tetapi cap "komunis", bahkan "Marxis", sekarang pun masih dapat merupakan semacam hukuman mati sosial. Justru karena itu, ada baiknya kita mengetahui dengan tepat apa maksud nama2 yg keren itu. Pertama: "Semua bentuk Marxisme masuk dalam sosialisme, tetapi tidak semua sosialisme masuk ke dalam Marxisme" Sebenarnya tidak mudah merumuskan dengan persis apa itu sosialisme. Namun ada 2 hal yg mempersatukan segala macam aliran revolusioner, egalitarian, anarkis, utopis, reformis, teknokrat, religius dll yg menamakan diri sosialis sejak permulaan abad ke 19, yakni: (1) keyakinan etis bahwa perekonomian harus diarahkan pada kesejahteraan segenap orang dan bukan pada keuntungan segelintir orang; dan (2) bahwa sumber ketidakadilan sosial adalah hak milik pribadi (atas alat2 produksi). Secara singkat, sosialisme adalah (1) cita2 etis t3 masyarakat yg solider plus (2) tuntutan penghapusan hak milik pribadi. Marx sendiri membedakan diri dari sosialisme2 lain dengan klaimnya bahwa sosialismenya ilmiah, artinya, tidak sekedar berdasarkan kerinduan etis, melainkan berdasarkan analisa hukum perkembangan masyarakat. Pokok ajaran Marx dapat diringkas sbb: Motor perubahan sosial adalah pertentangan antara 2 kelompok kelas sosial: para pemilik("kelas2 atas") dan para pekerja ("kelas2 bawah"). Perkembangan ekonomis niscaya mempertajam pertentangan itu sampai kelas2 bawah mengadakan revolusi yg menghancurkan struktur sosial lama. Begitu pula kontradiksi2 internal sistem perekonomian kapitalis pada akhirnya akan memuncak dalam revolusi sosialis, dimana kapitalisme dihancurkan dan suatu masyarakat sosialis yg tanpa penghisapan dan penindasan dapat dibangun. Inilah kepercayaan2 mereka. Dengan lain kata: suatu gerakan bersifat Marxix apabila menolak jalan reformasi (perbaikan sosial melalui langkah2 kecil di dalam kerangka sistem perekonomian yg ada), mengutamakan pertentangan kelas di atas perjuangan sosial ( seperti membantu buruh dlm perjuangan demi upah lebih tinggi, perbaikan kondisi kerja dan jaminan sosial) serta keyakinan bahwa keadilan sosial hanya dapat tercapai melalui revolusi. Kedua: "Semua bentuk komunisme termasuk Marxisme, tetapi tidak semua bentuk Marxisme termasuk komunisme" Komunisme adalah Marxisme plus Leninisme, ya Marxisme Leninisme. Kalau Marxisme pada hakikatnya percaya pada dinamika perkembangan sosial (lewat kemajuan ekonomis dan pertentangan kelas), maka menurut Lenin hal itu tidak cukup: Kaum buruh hanya dapat merebut kekuasaan apabila dioimpin oleh sebuah elit revolusioner, yaitu partai komunis. Lenin adalah "Machiavelli"-nya Marxisme. Adalah inti Leninisme bahwa - demo kemenangan "proletariat"- partai komunis harus memegang monopoli kekuasaan dan ampun, kalau perlu dengan teror, menindas segala perlawanan dan penyelewengan. Komunisme bukan hanya menolak demokrasi parlementer tetapi sesudah berkuasa juga menghapus dewan2 buruh dan meniadakan Serikat Buruh besar. Di Rusia, begitu kaum Bolsheviki berhasil merebut kekuasaan dalam Revolusi Oktober 1917, mereka mendirikan "diktaktur proletariat" yg dalam kenyataannya merupakan diktaktur partai komunis: Uni Soviet menjadi regim totaliter paling menyeluruh yg pernah ada. Sejak itu strategi dan taktik perebutan kekuasaan menjadi obsesi komunisme. Demi obsesi itu mereka bekerja di atas dan di bawah tanah, bersikap radikal atau kompromistik (misalnya menyatakan mendukung Nasakom, padahal Nasionalisme dan agama bertentangan dengan ideologi Marxisme-Leninisme) dan bisa berkoalisi dengan siapa saja-tanpa perna lupa akan tujuan terakhir: kekuasaan tunggal di tangan pimpinan partai komunis. Apa bila perlu, mereka bahkan membuka diri bagi kapitalisme, seperti halnya di 2 fosil komunisme internasional, Vietnam dan Cina, asal saja monopoli kekuasaan partai komunis tidak terutik2. Akhirnya komunis hanya mengenal satu tujuan "suci": mempertahankan kekuasaan. Berbeda dengan pandangan populer, kebanyakan aliran Marxis justru tidak komunis. Kebanyakan menolak komunis karena dalam komunisme sekali lagi orang kecil diatasnamakan dan dikuasai oleh senuah elit yaitu partai komunis. Menurut mereka, komunisme merupakan penyelewengan dari cita2 Marx karena diktaktur partai komunis secara hakiki bertentangan dengan cita2 pembebasan sosialisme sejati. Ketiga:"Sosial demokrasi tidak sama dengan sosialisme, apalagi dengan Marxisme". "Sosial Demokrasi" atau "partai sosial demokrat" bukan "sosialisme demokratis" atau sosialisme lain, melainkan nama berbagai partai politik di Eropa Tengah dan Utara yg sudah sejak sesudah Perang Dunia II termasuk soko guru demokrasi parlementer barat, tegas2 anti komunis dan sering ikut dalam pemerintahan negara2 mereka. Sebenarnya partai2 sosial demokrat sudah meninggalkan Marxisme pada akhir perang dunia I. Waktu itu sayap radikal-revolusioner keluar dari partai2 sosial demokrat dan membentuk partai2 komunis di bawah naungan Partai Komunis uni Soviet. Sekarang partai2, termasuk yg bernama "sosialis", sudah lama juga tidak menganut sosialisme lagi. Selain menjadi pendukung paling vokal demokrasi dan HAM, mereka menerima sistem ekonomi pasar dalam rangka paham negara intervensionis: Negara secara aktif harus mengambil tindakan perundangan, pajak, fiskal dan kadang2 investasi langsung untuk merealisasikan cita2 negara sejahtera. SEJARAH sudah bicara cukup jelas. Komunis sudah ditelanjangi sebagai sistem penindasan diktaktoris, anti manusia dan anti agama terburuk segala zaman. Marxisme dengan penolakan jalan reformasi nampak mengering sebagai ideologi intelektualistik belaka dan terkompromi oleh retorika revolusi. Sosialisme, sebagai istilah payung segala aliran yg mengharapkan keadilan sosial dari penghapusan hak milik pribadi nampak sudah ditinggalkan sejarah: Utopi masyarakat orang baik2 non egois ternyata tidak pernah berhasil menyejahterahkan masyarakat dan dalam kenyataan hanya menghasilkan benalu2 birokrasi negara. Kiranya kalau keadilan sosial betul2 mau dimajukan dan solidaritas sosial dijadikan nyata, segala jalan ideologis yg memutlakan satu ide saja perlu dibuang: apa itu sosialisme yg mau menggantikan pasar dengan kebaikan hati dan administrasi negara, ataukah neo liberalisme yg, persis sebaliknya, memutlakan peran pasar seakan2 ada jaminan apapun bahwa pasar dengan sendirinya mesti menghasilkan kesamaan dan keadilan. Kiranya kita memerlukan pendekatan yg canggih dan multi kompleks. Seluruh keahlian ekonomis dan teknologis diperlukan, tetapi juga diskursus dan perjuangan demokratis dimana semua golongan dalam masyarakat dapat menyatakan harapan dan kepentingan mereka, dipersatukan oleh tekad untuk menghormati hak2 asasi sebagai ungkapan harkat kemanusiaan segenap warga masyarakat, dengan mendasarkan diri pada visi keadilan dan kemanusiaan yg berakar dalam warisan moralitas masyarakat yg bersangkutan.(*Prof Dr. Frans Magnis-Suseno, SJ, rohaniwan, mengajar etika dan filsafat sosial di STF Dryarkara dan UI)
Posted on: Sun, 22 Sep 2013 00:13:48 +0000

Trending Topics



ht:30px;">
Moms The Word at Thrive this week! * Share a pic of you and
EN BUENOS AIRES, LA CAPITAL DE LOS ARGENTINOS Y CIUDAD AUTÓNOMA
Loja
ains No. 1 Slot On Forbes 2013 List of The Most

Recently Viewed Topics




© 2015