Moral Hazard Dunia Migas Effnu Subiyanto ; Kandidat Doktor Ilmu - TopicsExpress



          

Moral Hazard Dunia Migas Effnu Subiyanto ; Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair MEDIA INDONESIA, 21 Agustus 2013 DITANGKAPNYA Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini (14/8) oleh KPK atas tuduhan menerima suap US$700 ribu dari Kernel Oil sangat mengejutkan masyarakat Indonesia. Begitu besar pengorbanan rakyat sebagai dampak kebijakan migas yang amburadul. Yang didapatkan adalah kenyataan bahwa kekayaan perut bumi ini ternyata dibuat bancakan segelintir kelompok untuk keuntungan sendiri. Penaikan harga BBM (22/6) sebesar 22,22%-44,44%, misalnya, merupakan konsekuensi karena kegagalan target lifting yang sudah direncanakan. Dampaknya ialah melesetnya penerimaan negara dari sektor migas. Negara akhirnya tidak mampu mengimpor kekurangannya dari kocek APBN, pintu terakhir penaikan harga BBM akhirnya tidak terelakkan lagi. Fakta kongkalikong petinggi SKK Migas tentu membuat miris negeri ini. Sudah jamak apabila perilaku pucuk pimpinan selalu diikuti bawahannya. Tidak terbayangkan lagi bagaimana carut-marut kebijakan migas jika sudah seperti ini. Kasus Rudi amat mungkin hanya fenomena gunung es. Selama ini rakyat sudah curiga dengan salah satu mekanisme trade-off lifting yang dilaporkan tiap-tiap kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Logikanya, jika nilai cost recovery semakin besar diklaimkan untuk mendapatkan reimburse, seharusnya volume lifting juga bertambah. Di Indonesia terjadi anomali, nilai cost recovery semakin besar, tetapi produksi minyak makin merosot. Produksi minyak mentah pada 1980-an yang mencapai 1,6 juta barel per hari (bph) dan masih bertahan di atas 1 juta bph sampai 2002, belum terpecahkan sampai kini. Malah ketika BP Migas sudah dibentuk, tingkat lifting minyak kian merosot. Pada 2003, lifting masih di kisaran 1,1 juta bph, berikutnya menjadi 1,09 juta bph (2004). Pada 2005, lifting malah di bawah titik psikologis 1 juta, yakni hanya 999 ribu bph. Padahal, target APBN ialah 1,075 juta bph. Tahun berikutnya (2006) lifting kian jatuh 959 ribu bph atau di bawah target 1 juta bph. Target lifting pada 2007 diturunkan menjadi 950 ribu bph, betapa pun realisasi lifting 899 ribu bph. Pada 2008 realisasi 978 ribu bph (target APBN 1,034 juta bph), 2009 dihasilkan 945 ribu bph (target 960 ribu bph), 2011 hanya mampu 898 ribu (target 975 ribu bph). Pada 2012, realisasi lifting ternyata 861 ribu bph, padahal target APBN 930 ribu bph. Pada tahun ini realisasi lifting sementara masih 830 ribu bph dengan target 840 ribu bph yang sudah diturunkan, tetapi untuk mencapainya juga sangat susah payah. Terus meningkat Ironisnya ketika lifting yang menjadi andalan untuk mencegah defisit APBN itu tidak pernah tercapai, BP Migas malah menjadi pelopor kenaikan cost recovery yang harus dibayarkan negara kepada kontraktor migas sebagai kompensasi saat eksplorasi dan produksi. Pada 2003 nilai cost recovery masih US$5,1 miliar, kemudian menjadi US$7,126 miliar (2004), bertambah menjadi US$7,4 miliar (2005), terus naik menjadi US$7,8 miliar (2006) dan US$8,34 miliar (2007). Pada 2012, nilai cost recovery sudah double digit US$13,34 miliar dengan lifting hanya 860 ribu bph, dan kini akan bengkak menjadi US$17,5 miliar. Jika dihitung per satuan unit, nilai cost recovery per barel adalah US$11,1 pada 2004, naik menjadi US$11,54 (2005), kemudian eskalasi US$12,13 (2006) dan menjadi US$14 (2007). Ini tentu ironis karena lifting minyak rata-rata turun 3,3 % per tahun, sementara cost recovery mengalami eskalasi dengan kenaikan rata-rata 6% per tahun. Pada 2012, nilai cost recovery per barel sudah sangat luar biasa, yaitu US$42,62 per barel dan tahun ini akan menjadi US$58,57 per barel. Bau rekayasa cost recovery sudah tidak tertahankan lagi. Berkembang dugaan di masyarakat bahwa sebetulnya lifting memang besar, tetapi terjadi deal tersendiri antara penambang KKKS dan oknum SKK Migas dengan motif untuk keuntungan sekelompok orang. Siapakah yang mampu memonitor volume produksi KKKS yang mengebor minyak di lepas pantai di tengah laut? Dalam jangka pendek mungkin petugas SKK Migas teguh bertahan dengan prinsip. Namun, siapakah yang mampu menahan godaan gemerencing jutaan dolar dalam jangka panjang? Inilah saat ketika moral hazard terjadi, antara petugas pemeriksa dari SKK Migas dan KKKS. Dalam berbagai wawancara elektronik, kredibilitas Rudi Rubiandini pada awalnya cukup meyakinkan. Namun, pascapenangkapan dirinya dalam operasi tangkap tangan (OTT), figur yang seolah putih bersih ternyata tidak bisa dipercaya. Jika Prof Dr Ing Rudi Rubiandini bersikap seperti ini, bagaimana portofolio pejabat SKK Migas di bawah Rudi? Bagaimana pula kredibilitas petugas SKK Migas yang tersebar di daerah terpencil sampai yang bertugas di tengah-tengah laut? Beberapa waktu lalu juga terjadi kasus bioremediasi yang menggegerkan. Kasus yang membelit eksekutif PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) kemungkinan kongkalikong lain dari oknum SKK Migas sendiri. Modusnya mark-up dana proyek bioremediasi US$9,9 juta di Riau pada 2006-2011 untuk diakui sebagai bagian dari cost recovery. Inilah rekayasa financial engineering itu, jadi sama sekali tidak berkorelasi dengan mekanisme over/under lifting settlement dalam production sharing contract (PSC). Jeratan Pasal 3 jo Pasal 18 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo perubahannya UU No 20/2001 Pasal 55 jo KUHP Pasal 64 oleh Pengadilan Tipikor Jakarta sudah tepat. Perbuatan ini memenuhi unsur kriminal dan merupakan tindakan moral hazard pelaku bisnis kategori serius. Kerugian kepada negara cukup besar yang pada saat ini seharusnya menghitung dengan cermat setiap sen yang disebabkan anggaran negara demikian bleeding. Moratorium Inilah politik salah kaprah dalam menyambut investor. Kampanye karpet merah untuk investor migas dan untuk menyenangkan investor asing tidak perlu disikapi dengan cara berlebihan, karena malah tidak menguntungkan bagi Indonesia. Secara psikologis Indonesia inferior, sementara investor asing tersebut superior. Dampak supremasi ini akan diwujudkan dengan cara-cara seperti terjadi dalam transaksi cost recovery atau proyek bioremediasi tersebut. CPI atau KKKS tentu saja sudah berhitung bahwa keberaniannya disebabkan oknum pejabat Indonesia yang menjadi pengawasnya juga bertindak mendapatkan keuntungan pribadi, sama biadabnya. Inilah fakta yang terang benderang bahwa ada moral hazard pada bisnis migas Indonesia. Jika sudah demikian sebaiknya migas Indonesia dimoratoriumkan dan SKK Migas dibubarkan saja. ●
Posted on: Mon, 26 Aug 2013 00:37:19 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015