Pancasila Selamatkan Hizbut Tahrir dan Islam Antroposentris Tidak - TopicsExpress



          

Pancasila Selamatkan Hizbut Tahrir dan Islam Antroposentris Tidak semudah yang kita jalani dalam kehidupan sehari-hari untuk mengemas uraian kerangka pemikiran dalam memahami hubungan pancasila, ke-Indonesiaan dan Islam itu sendiri. Sangat berat sebetulnya menulis sesuatu yang sudah banyak faktaneka sejarah. Tetapi ini kewajiban untuk mencairkan suasana pemikiran kita dari atap peradaban yang sedang mengalami osteoporosis atau obesitas. Kita tentu butuh bacaan yang sangat apik dan renungan suci pada alam pikiran kita. Hal ini kita lakukan untuk menjernihkan suasana dan sejauh mungkin akan membuahkan kearifan yang harus diakui banyak pihak, muslim dan non muslim. Mengutif Ahmad Syafii Maarif seorang tokoh dan Guru Besar yang selama ini menjadi cermin generasi mendatang. Ahmad Syafii Maarif (2009 : 14) dalam bukunya berjudul “Islam Dalam Bingkai Kemanusiaan dan KeIndonesiaan” mengatakan agar Indonesia sebagai bangsa, negara tetap utuh dan bertahan lama, jangan sampai dibinasakan oleh tangan anak-anaknya sendiri yang tak tau diri, rakus dan buta peta. Bangsa ini wajib dibela secara jujur dan tegas bertanggung jawab. Apa yang dikatakan Ahmad Syafii Ma’arif sangat luar biasa dan membangkitkan kita pada makna sejati sebuah wujud nasionalisme terhadap bangsa Indonesia. Sebagai penduduk mayoritas, semestinya umat Islam tidak lagi mempersoalkan hubungan Islam, Pancasila, ke-Indonesiaan dan kemanusiaan. Konsep pancasila sudah melengkapi seluruh keterwakilan agama-agama dan adat istiadat. Pancasila harus di tempatkan dalam senyawa dan nafas Al Qur’an untuk dikembangkan, bukanlah Al qur’an dan Hadist yang merusak pancasila. Harus diberikan pengertian apabila terdapat generasi dalam aktivitas doktrin beranggapan demikian, seakan-akan personalitas dan lkepribadianya buta hurup dan juga buta peta. Pancasila Selamatkan Islam Pancasila telah membantu Islam berkembang dalam wajah ramah, inklusif, dan memberikan solusi terhadap berbagai problem bangsa ini. Selain itu, pancasila telah berjasa menjadi perekat umat Islam dalam berbagai kultur, ras, lingkungan, ekonomi dan agama yang beragam. Sekali lagi mengutif Ahmad Syafii Ma’arif mengatakan jika islam ditampilkan dalam wajah garang oleh segelintir orang – egoistik, penuh retorika murahan, ibarat monster pasti menakutkan dan dibenci oleh banyak pihak yang berpikir jernih, siapa pun mereka, apa pun ideologi dan agamanya. Sebuah monster yang sering berbicara atas nama Tuhan dan Al Qur’an, tetapi lepas dari makna syariah dalam arti sebenarnya yang tidak mengakui adanya sebuah Negara bangsa yang berdiri diatas kehendak bersama (shaffan) dalam batas kekuasaan tertentu, sebagaimana polemik Malaya antara Indonesia, Malaysia dan Timor-Timor (Baca; Rusdianto Poskolonial Serumpun – detik/07/01/13) yang ingin mereka satukan kembali. Sesuatu yang tidak mungkin dan Hizbut Tahrir Indonesia bertanggung jawab terhadap perampasan hak kemerdekaan dan berdaulatnya Timor-Timor, apabila keinginan mereka benar-benar dilakukan untuk rebut kembali dan satu dengan NKRI. Timor Leste sebuah Negara yang memiliki hukum, norma, dan kekuatan militer yang harus dihargai tanpa ada subjektif sejarah dalam bingkai generasi Indonesia dimasa mendatang. Mengapa demikian halnya ? karena sejarah memang berangkat dari pertentangan, bukan star dari kedamaian. Sebagaimana sejarah Indonesia di kancah internasional dalam merebut kemerdekaan melalui pertumpahan darah dan peperangan. Apakah pemberlakuan khilafah juga harus pertumpahan darah ?, apakah system syariah juga menjamin bahwa manusia dalam keadaan baik-baik saja ?. Pertanyaan diatas menempatkan Hizbut Tahrir Indonesia untuk menjawab pada proses perebutan kekuasaan tanpa pertumpahan darah dan jaminan akan syariah tanpa perbuatan seronok. Berbicara tentang system tidak ada yang salah, khilafah bukanlah produksi Al Qur’an (cuma dalam Al qur’an adalah khalifah/Ulil Amri) tetapi hasil buah olah pikiran manusia yang mengalami perubahan dalam segala gaya dan situasi cara berfikir. Kehadiran Pancasila tentu atas transformasi sejarah dalam perebutan kekuasaan untuk berdaulat dengan berbagai kekuatan. Para pendahulu kita seperti Sjafruddin Prawiranegara, Soekarno dan Ki Hajar Dewantara mengingatkan kita semua pada apa yang dinamakan “Monster Modern”. Tepatnya dalam risalah sidang kabinet Indonesia Serikat, Soekarno mengatakan bahwa suatu saat nanti pancasila akan menghadapi para pembangkang, mereka menantang pancasila dalam dunia modern, sampailah ketidakberdayaan pancasila dengan masalah ruwet dari dalam dan luar sana selalu hinggap dalam sila. Maka, wahai generasi nusantara dan para prikemanusiaan tidak boleh mengecilkan hati dan nyali hadapi dengan langkah baik, penuh nasionalisme”. Apa yang diungkapkan tersebut, merupakan bentuk penolakan Soekarno terhadap penjajahan dan agenda-agenda ideologi apapun selain pancasila atas keberadaan Negara Indonesia. Apa yang menjadi keinginan Khilafah, tentu harus di pahami sebagai arsitek politik yang berpetualangan dalam alam pendek akal dan “merasa benar di jalan kurang terpuji” dengan melucuti eksistensi ke-Indonesiaan. Sangat banyak generasi muslim terjebak pada mainstream ini yang memisahkan antara Islam, kemanusiaan, peradaban dan ke-Indonesiaan. Seolah-olah tidak ada senyawa biologis yang mempersatukan. Apalagi mereka berpendapat bahwa Islam (Al Qur’an) atau hadist sangat rumit untuk di anyam. Padahal berdirinya Indonesia – nusantara tidak terlepas dari perjuangan para tokoh kiyai dan pemuka agama-agama yang mendaulatkan dirinya agar merdeka dari penjajahan, seperti KH. Ahmad Dahlan Pendiri Muhammadiyah, KH. Hasyim As’ary Pendiri NU, Ki Bagus Hadikusuma (kesaksian Bagus yang mengesahkan Pancasila khusus sila kesatu yang berpolemik saat itu), Moehammad Hatta, dan banyak tokoh yang menyaksikan peristiwa-peristiwa tercetusnya ideology Negara sebagai amanah multicultural sebuah bangsa yang bernama Indonesia. Pandangan seperti apa yang menjadi keinginan saudara Ali Mustofa bersama Khilafahnya tidak perlu lagi menghabiskan energi sia-sia dengan menghadapkan Islam dan Pancasila tidak layak. Karena susunan partikel senyawa kimiawi antara Islam dan Pancasila sudah mencapai titik final (finaly of ideology). Banyak rujukan bacaan dan khasanah pemikiran yang bisa menjadi pangkalan menarik dari diskusi ini. Keampuhan pancasila menyelamatkan orang-orang Islam sangat menarik kita kaji dan menelitinya khusus di Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Sebagaimana apa yang di ungkapkan oleh Muhammad Hatta (2011) dalam sebuah bukunya “Bukit Tinggi Rotterdam Lewat Betawi, untuk Negeriku; Sebuah Otobiografi, Penerbit Kompas. Muhammad Hatta dalam pidatonya di forum Persyarikatan Bangsa-Bangsa, bahwa bertalian dengan keyakinanku sebagai orang Islam yang menghargai perbedaan dan keinginanku mari bersatu. Diakhir pidatoku ini ingin mengucapkan “Aku telah menyebut bahwa imprealisme apa pun namanya, harus disudahi untuk kepentingan kemanusiaan dan tiap-tiap bangsa yang terjajah mempunyai kewajiban untuk memerdekakan diri dari penjajahan. Karena itu, Indonesia harus merdeka dan bebas dari segala bisikan ideologi penjajah maupun manusia dangkal pikiran memakai agama untuk kepentinganya. Indonesia harus terus merdeka dan mencapai kemerdekaan manusianya demi kemanusiaan dan peradaban. Aku kuwatir sekali, ketika penjajahan di Indonesia belum berakhir, karena Indonesia pilar dunia dengan Pancasilanya”. (Muhammad Hatta, 2011 : 260). Jangan mudah terjebak pada pendapat yang mengatakan bahwa Islam tidak bisa dikurung dalam wadah Negara bangsa yang bernama Indonesia. Apabila ada orang berpendapat bahwa Islam tidak mengenal batas geografi, ras, suku dan Negara, ini jelas sebuah pandangan utopis yang mengawang diawan tinggi jauh dari bumi. Pendapat itu adalah sebuah mimpi orang tidur tengah hari, tidak bisa membedakan terang siang dan gelap malam. Jika pendapat mereka itu mengandung kebenaran, mengapa Al Qur’an mengakui keberadaan suku, budaya, dan bangsa-bangsa agar mengenal satu sama lain. Sehingga bias bertukar nilai budaya dan peradaban. Kesalahan fatal memang bisa terjadi ketika memberhalakan Al Qur’an dan Hadist sebagai hukum Negara. (Ahmad Syafii Ma’arif (2009 : 17) Dapatkah orang memisahkan antara kelahiran Islam dengan perubahan lingkungan kearaban yang selama ini ditempuh oleh sebuah ideology bernama Pancasila ?. tentu mereka yang berpendapat begitu sepertinya sedang mengalami kebutaan terhadap sejarah dan teori. Kalaupun sejarah dapat diciptakan dan tidak dapat diulang (historical review). Islam dan Kalam Tuhan (Al Qur’an) tidak berada dalam ruang kevakuman budaya. Al Qur’an saja di abadikan dalam bahasa arab, bahasa ibu Nabi Muhammad saw dan pancasila di bertransformasi dalam bahasa ibu pertiwi yang tidak pernah mengatakan bahasa Arab menjijikan bagi nusantara - Indonesia. (Ahmad Syafii Ma’arif (2009 : 18) Bahkan pancasila menyertai Islam sebagai sumber moral dinegara ini untuk dibumikan dalam konteks nasionalisme Indonesia sendiri, bukan nasionalisme dalam hal khilafah dan system syariah yang terjual oleh prilaku tak terpuji. Tindakan dalam nilai keislaman dan iman tentu akan berimplikasi pada pembumian pancasila, sedangkan prilaku perbuatan buruk dalam system syariah akan merusak makna Al qur’an atau Islam itu sendiri. Khilafah Is Beyond Help “Penyakit mental menerabas atau mentalitas perungkas pagar” sangat tidak menghargai kerja keras para tokoh-tokogh sejarah bangsa ini. Penyakit mental ini menjangkau seluruh elemen dalam radius yang sangat dalam, bahkan hingga kiyai, aktivis muslim, dan orang-orang yang suka mengumbar kepalsuan nasionalisme sendiri. Inilah faktor yang sangat merisaukan bagi kalangan yang sadar bahwa pancasila dan negara ini sudah final sebagai konsep membangun hubungan religious, egaliter dan humanism. Ir. Fournier (1923 – 1950-an), mengakui bahwa gagasan pemikiran Hatta dan Soekarno dalam pergerakan persatuan yang makan menjadi cikal bakal norma etika Indonesia bernama “Pancasila” itu merupakan asas-asas dan nilai agama Islam secara intrinsik. Fournier pun melanjutkan bahwa Islam tidak bukan penghalang bagi pancasila sebagai gagasan persatuan dan para teosofi-teosofi muslim. Pancasila memang bukan ajaran tetapi ideology yang memperkuat pendirian Islam untuk mencapai persaudaraan bangsa-bangsa didunia ini. (Muhammad Hatta, 2011 : 201) Bagi kita Indonesia tidak akan tiba pada kesimpulan untuk memperbaiki negara dengan berbagai faktor dominan atas dinamisasi sistem nilai. Kita harus menginsafi betapa serius problem bangsa hari ini yang tergerus dalam wajah suram. Kita jangan diam, kita harus berbuat baik sebanyak mungkin untuk memperbaiki nasib bangsa ini, demi kepentingan masa depan. Menyelamatkan bangsa dan negara menjadi sebuah kewajiban kolektif rakyat, tanpa ada pengecualian. Penerimaan Pancasila dalam konteks kultur Indonesia sampai sekarang ini tidak ada masalah dan konsep lain pun lebih nyaman dan tepat berada dibawah naungan pancasila. Tentu secara rasional menginginkan adanya persatuan dan kesatuan. Lima dasar pancasila tidak perlu diragukan lagi dalam berbagai pelaksnaan pemerintahan dan kekuasaan. Kelebihan pancasila paling mendasar adalah mampu menjadi rumah besar segala macam ideologi politik, ekonomi maupun agama atau keyakinan paham sempalan sala satu agama, pancasila tidak pernah melarang khilafah, kapitalisme, liberalism, demokrasi, fundamentalisme atau apapun nama dari sebuah ideologi yang ada. Pancasila selalu menjadi rumah dunia (Baca; Rusdianto Pancasila Rumah Dunia – detiknews 05/10/12) dari segala bentuk keyakinan dan adat istiadat manusia. Begitu juga sebaliknya, bukankah sistem khilafah melarang kehadiran pancasila sebagai ideologi dan pemikiran politik. Mungkin lebih kasar menganggap sesuatu yang sekuler dan liberal, inilah yang disebut sebagai khilafah Is Beyond Help (khilafah kan tak tertolong lagi) dalam berbagai argumentasinya. Jika pancasila dipahami dalam konteks nasionalisme dan perlawanan terhadap para “perungkas pagar” mengapa tidak ?. Nasionalisme sebagaimana digambarkan oleh Soekarno dalam buku Indonesia Menggugat berbunyi ”nasionalisme adalah sesuatu yang berharga yang memberi kepada suatu Negara tenaga untuk mengejar kemajuan dan memberi kepada berbagai suku, budaya, adat istiadat untuk mempertahankan hidupnya”. Jika pancasila di haramkan oleh khilafah, lalu apakah khilafah juga harus di haramkan dinegara ini ? tentu harus berfikir jernih dan objektif, bahwa khilafah juga produk manusia yang berfikir baik. Namun harapan khilafah berada diluar berfikir jernih pancasila yang plural, humanis dan menerima khilafah sebagai kelompok suatu golongan. Walaupun prilaku pelaksana negara tidak menunjukkan keberpihakan terhadap pancasila. Kalaupun system khilafah bukan antroposentrisme, lalu ?. Selagi mereka tidak objektif, akan tetap kesasar dalam agenda apapun dalam peradaban ini.
Posted on: Sat, 08 Jun 2013 02:22:01 +0000

Trending Topics



t:30px;">
The Jack Kent Cooke Foundation Undergraduate Transfer Scholarship

Recently Viewed Topics




© 2015