…Seni terindah atau filsafat terbijak adalah setiap apa yang - TopicsExpress



          

…Seni terindah atau filsafat terbijak adalah setiap apa yang merupakan kematian dari orang-orang tersayang,dan atau adalah kematian di usia muda yang bodoh serta ceroboh,dan juga adalah kematian manusia-manusia saat mereka liar dan cabul… (…sebuah kutipan tiada nama… Manusia,dunia dan ranah ide pada dasarnya,dikatakan oleh Jaqques Lacan dan Marleau Ponty adalah serba ambigu (ambiguinitas),demikian juga pada dasarnya seni ataupun juga filsafat,serta disiplin ilmu dengan pengetahuan,namun tidak dengan hal lain selain manusia dan semesta (kosmis),Tuhan adalah kebijaksanaan itu sendiri (AUM VIPASSANA) dan keberadaan seni adalah aras kedewaan Kamajaya,sebuah media penebusan dosa (purgatoriality) yang pada hakekatnya sebagian besar bertumpu pada perasaan (vedana) sebagai paradigma niati,mazhab Franfurt menyebut kondisi semacam ini sebagai “einfuhlung” namun mazhab India yang merupakan mazhab post-kolonial (paska kolonial) menyebut kondisi (stimmung) tersebut sebagai “piti”,”lust” dalam Dante atau kegiuran,suatu hasrat untuk memiliki seni tanpa dapat menjadi keindahan itu sendiri. Dalam kenyataan yang ada seni dihasilkan oleh suatu kebudayaan (culture) serta peradaban yang ada pada sejarah atau suatu rentang sejarah (distingtion),meski seni dapat menciptakan sebagian dari sejarah,kebudayaan ataupun juga peradaban,seni tak akan pernah dapat merubah sebuah masyarakat selain beberapa bagian dari lapisan sosial (social sphere) atau kelompok sosial (crowl) yang ada pada masyarakat,selain sebuah karya seni (pulcrum opus) yang memiliki sisi ketakutan (paranoia) ataupun kekejaman (pschicopatic)) yang kemudian terkait dengan legitimasi kekuasaan (politik) serta menjadi bagian dari sebuah legitimasi sejarah. Dalam ungkap Bernard Shaw,manusia menjadi bukti bahwa manusia sebagai mahluks ejarah tak pernah mampu sepenuhnya dapat atau mau untuk belajar dari sejarahnya bahwa seni tak menciptakan sebuah masyarakat (society),selain bilamana kita memberikan anggapan bahwa politik adalah seni maka sebuah negara (state) adalah sebuah hasil karya seni,namun adalah seberapa jauh seni (art) yang menjadi bagian dari sebuah kebudayaan dapat melakukan perimbangan atas sebuah peradaban (civillization) yang menciptakan seni tanpa pijakan sejarah (trace) atau budaya selain kekosongan (emptyness),maka dalam kenyataan seniman tak dapat sepenuhnya menjadi agen sosial (social agent) apalagi ketika kebudayaan dalam kenyataan yang ada atau peradaban sama sekali tak terciptakan oleh seni selain anggapan idealitas (citta) sebagai seni,sebuah cipta yang menjadi awal budaya melalui tindakan (n’ach) dan simbolisasi serta kemudian memunculkan peradaban,tanda (sign) sebagai suatu dialektika aras jaman yang dapat dikatakan tanpa jiwa jaman (zeitgeist) apalagi kesadaran selain anonimisitas dan antinomi. Dalam ranah praktis,apa yang diharapkan dari suatu masyarakat (sosialitas) adalah keindahan universal (pulcrum universum) yang tak terdapat pada artefak (artefact) pada budaya dan peradaban ataupun chiffer (chiffre) yang ada pada agama (religio),masyarakat telah terlanjur tertuju secara alamiah pada sebuah keindahan monadik (naturalia),sebuah karya yang nyaris tak dapat diciptakan manusia sama sekali meskipun Tuhan akan memberikan legitimasi atas artefak (artefact) atau chiffer sebagai sebuah keindahan monadik,manusia seolah mendapat sebuah tugas (dharma) untuk suatu monadisasi dari setiap apa yang telah dibongkar olehnya (abau),kehendak manusia untuk menjadi Tuhan yang tak pernah jeda,menjadikan manusia seolah menciptakan monad bagi dirinya,namun tidak bagi alam dan Tuhan. Adalah sebuah kenyataan sosial (de facto) bahwa seni tak dapat sepenuhnya bisa mendapatkan suatu legitimasi sosial atau legitimasi lain selain legitimasi alam,budaya atau legitimasi dari peradaban,dalam sawala politik ataupun sejarah,seni yang dapat merubah perspektif sebuah masyarakat atau bahkan merubah masyarakat dan membentuknya adalah seni yang bernilai subversif (perverse),terutama adalah seni yang memiliki aspek horror (horrosophia pulcrum) ataupun terror (terrosophia pulcrum),sejarah telah memberikan bukti (novum) akan asumsi seni yang menyimpang (anomalik) yang terkait pada arena politik kekuasaan yang kemudian dapat menjadikan adanya perubahan masyarakat (social change)serta perspektif masyarakat terhadap seni (art) yang terkait pada dua aspek tadi,kamp konsentrasi Nazi (Mein Kampf),pembantaian di Tiananmen atau kehancuran gedung WTC adalah karya seni yang terkait pada apa yang dikemukakan oleh Theodore Adorno sebagai sebuah negativitas (kemeskian),demikian juga atas apa yang dilakukan Jack the Ripper. Perenialitas (keabadian) yang ada pada seni adalah nihil selain sebuah keberadaan narasi besar (grand narrative) yang tiada hingga (tacit),omnisistensi Tuhan (omnipotent) yang menggetarkan (tremendum) dan mengaggumkan (fascinans) adalah ontologi awal (unde) dari negativitas (pengetahuan) ataupun positivitas aksiologi seni sebagai ilmu,manusia kemudian,disebutkan Rene Girard,melakukan pemenuhan kehendak mimetik (copy cat) atas setiap anggapan kesecitraaan Tuhan (imago dei) atas dirinya tanpa pernah bisa menjadi (to be) selain memiliki diriNya,manusia senantiasa gagal (cul de sac) untuk suatu keabadian (perenialitas) dari sebuah keindahan (ketidakmeskian) atau ketidakindahan (kemeskian) yang abadi selain melalui alam (monad) yang terkait pada ke-Tuhanan (chiffer),berimannya alam dalam perwujudan monadik (monadisasi) merupakan simbol keangkuhan (arogansi) atas ketidakmampuan hermenetik manusia atas diriNya. Mengutip sedikit dari Zoetmoelder,kebudayaan,agama serta peradaban adalah sebuah perwujudan manusia (artefact) untuk dapat selaras (imbang) dengan Tuhan semata atau menyatu padanya dalam emanasi (panteisitas),memiliki tanpa dapat menjadi,beriman tanpa kebebasan,beragama namun tak ber-Tuhan,harmoni dengan masyarakat namun tiada harmoni dengan alam adalah sebuah akibat dari kegagalan universalitas Tuhan dalam menciptakan manusia sebagai sebuah karya seni (ouvre) bagi diriNya untuk memberi anggapan bahwa setiap ciptaaNya adalah seni,sebuah kebaikan yang benar atau keindahan yang bebas,keindahan yang tiada batas (tacit art) adalah Tuhan demikian juga halnya pada iblis (evil) dalam kedudukan perspektif keadilan manusia yang setara pada kebebasan dirinya dalam membongkar (on decontruction) atau menyusun kembali (recontruction) bahwa seni yang indah atau filsafat yang bijak (sophistik) adalah filsafat seni yang muncul dari kesakitan yang sangat (dukha),ketakutan berlebihan (paranoia),kebingungan (floating),kegelisahan (anxs) yang menjadi awal dari sebuah pemberontakan manusia (rebellion) atas apapun termasuk persepsi manusia liyan (others) dan Tuhan terhadap seni. Dapat dikatakan bahwa seni yang baik dan benar telah mengalami kematian (marana),sebuah kebangkitan dinantikan ketika setiap kesalahan (false) atau keburukan menjadi noumena (shankara) ketimbang fenomena (shankata),sementara kebenaran,kebaikan telah sirna,jiwa dan perasaan manusia demikian juga halnya,manusia,pikiran dan tubuh dimana-mana,kesadaran (vidia) dan ketidaksadaran (avinana) adalah ucap Milan Kundera belaka,suatu filsafat yang sangat bijaksana atau seni yang paling terindah diibaratkan adalah sebuah kematian orang-orang yang tersayang,seorang ibu yang teladan atau seorang anak yang diharapkan menjadi teladan,atau adalah sebuah kematian yang awal bagi mereka yang bodoh (ideotic) dan ceroboh di usia manusia yang liar dan cabul,kebijaksanaan atau keindahan (vipassanasundaram) hanya lahir (jati) dari sebuah upaya kesakitan yang kritis,perjuangan tanpa henti dan juga berpikir bahwa segala sesuatunya telah usai bagi Tuhan selain keserakahan (gluttony) atau dikatakan mazhab Delhi sebagai “tanha”,sebuah kerakusan manusia yang tak pernah cukup untuk kenikmatan (shivam) ketika sebenarnya Tuhan adalah seni itu sendiri (AUM SUNDARAM),keindahan yang abadi (nirvana sundaram) yang tak pernah dipahami diri manusia pada diriNya sendiri,hakekat seni adalah realitas ultim (ultimum reality) suatu kesepadanan bagi manusia dengan berbagai keunikan (ideosinretik) bagi setiap sebutan untuk dirinya. Namun demikian adalah sebuah harapan (sollen) untuk sebuah kenyataan (sein) bahwa manusia pada dasarnya adalah mahluk yang berkeindahan (homo aestheticus) selain juga adalah mahluk sosial (homo socious) yang tak lepas dari alam serta Tuhan sebagai suatu sistem eksistensial bagi setiap kebijaksanaan (vipassana) ataupun juga adalah keindahan (sundaram),setiap segala apapun dihadapkan pada kenisbian (anicca),demikian juga filsafat dan seni,keunikan perseptual ataupun dinamika sejarah budaya pada sebuah masyarakat berperadaban,dan bahwa segala sesuatu diawali dari sebuah kehendak (cetana),mengalami kepedihan (dukha) dan samsara (kompetisi),demikian juga manusia dengan keindahan dan kebijaksanaanNya,filsafat seni terus menjadi (bhava) demikian juga ilmu (animus) ataupun pengetahuan (anima),senantiasa menyempurnakan manusia untuk menjadi Tuhan (jhana),demikian dikatakan Eric Fromm,dan bahwa adalah rekontruksi keindahan (sundaram) atau kebijaksanaan (vipassana) bukan sebuah kehadiran belaka (presentasi),namun sebuah penghadiran kembali (anagami) atau representasi,pengembalian manusia pada Tuhan melalui dunia (mundi) dan kehendak (wil),kembalinya yang abadi dalam filsafat dan seni (eternal return) ketika semua diatasi dan dilampaui (arhat) melalui kemualan manusia akan kata (rupa) baik dalam dalam ranah ideasional (teoretis),ranah praktis (sein) ataupun juga pada ranah intitusional (akademisi) dan strukturalitas (intelektual) sebagai bagian dari seni yang juga lahir dari sebuah kenyataan serta harapan sosial dan suatu sejarah dalam kebudayaan serta peradaban manusia pada sebuah masyarakat.
Posted on: Fri, 22 Nov 2013 08:05:23 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015