Sigit Wibowo | Senin, 09 September 2013 Rakyat Indonesia - TopicsExpress



          

Sigit Wibowo | Senin, 09 September 2013 Rakyat Indonesia seperti tikus mati di lumbung padi. Korupsi di sektor minyak dan gas (migas) memang telah berlangsung selama lebih dari empat dekade atau sejak Soekarno didongkel dari kekuasaan oleh Soeharto yang ditopang Amerika Serikat (AS). Indonesia lalu dipersembahkan kepada perusahaan-perusahaan multinasional atas jasa-jasanya memberikan kontribusi dalam menggusur pemerintahan nasionalis Soekarno yang dinilai anti-Barat. Tak mengherankan sejak era Soeharto perusahaan-perusahaan migas asing seperti Chevron, ExxonMobil, Total, British Petroleum (BP), dan lain-lain bisa mengekspolorasi migas Indonesia secara leluasa. Pemerintah Soeharto hanya memungut upeti dalam bentuk kepemilikan saham atau suap kepada keluarga Cendana guna memperlancar bisnisnya. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad paham akan masalah nyata yang dihadapi bangsa Indonesia. Maka pernyataannya yang secara berani dan terbuka saat memberikan pembekalan mengenai potensi korupsi dalam Rakernas III PDIP di Ecovention, Jakarta, akhir minggu ini menunjukkan Ketua KPK merupakan sosok calon pemimpin yang pro-rakyat dan menjadi harapan bangsa ke depan. Samad berbicara sekitar 1,5 jam menjelaskan mengenai berbagai potensi korupsi yang sangat mungkin terjadi karena perselingkuhan kekuasaan politik bekerja sama dengan perusahaan migas, baik asing maupun domestik. Untuk itu perlu perbaikan secara menyeluruh di sektor-sektor strategis yang saat ini masih dikuasai oleh perusahaan asing dan merugikan negara. Samad juga menyatakan berdasarkan hasil kajian KPK, 50 persen perusahaan di sektor migas dan batu bara tidak membayar pajak. "Pembagiannya seharusnya 60 persen untuk Indonesia, 40 persen asing,” ujar Samad. Indonesia memiliki 45 blok eksplorasi migas dan pertambangan. Hasil dari blok tersebut sangatlah besar. Misalnya eksplorasi minyak di blok Mahakam menghasilkan Rp 120 triliun per tahun, ditambah Rp 145 triliun dari blok Madura tiap tahun maka penduduk Indonesia sebenarnya tidak boleh ada yang miskin. Jadi amat ironis jika saat ini ada 50 persen penduduk Indonesia hidup dari US$ 2 per hari. “Sebanyak 45 Blok eksplorasi migas kalau beroperasi semua mendapat Rp 7.200 triliun. Dalam catatan migas tahun 2013, minimal pendapatan Rp 20.000 triliun per tahun. Saya mencoba membagi dengan 241 juta penduduk Indonesia. Setiap orang dapat Rp 20 juta, sehingga tak ada yang miskin," kata Abraham. Peneliti Institute for Global Justice (IGJ) Salamuddin Daeng menyatakan, akibat korupsi yang dilakukan mafia migas, rakyat Indonesia Indonesia ibarat tikus mati di lumbung padi. Konsesi blok migas kian meluas, bagaikan lubang tikus di tengah sawah, mencapai puluhan ribu sumur migas, namun produksi merosot karena tikus-tikus menggerogoti produksi minyak nasional. Pengamat intelijen John Mempi menyatakan ada pihak yang menikmati untung besar dari impor bahan bakar minyak (BBM), yakni elite penguasa. Ia mengutip sumber dari Badan Intelijen Negara (BIN), jumlah pembelian BBM dan minyak mentah melalui anak usaha Pertamina di Singapura yakni Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) sebesar Rp 33 triliun per bulan. Jumlah keuntungan Rp 12 triliun masuk ke kas Petral dan Rp 4 triliun masuk ke kantong seorang makelar yang bernama Reza Chalid. Mempi menjelaskan, Petral merupakan anak perusahaan Pertamina yang berhubungan dengan perusahaan minyak swasta Indonesia yang membeli minyak yang diolah oleh kilang-kilang Pertamina. Dari 840.000 barel per hari produksi nasional, 40 persen diekspor. Selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan nasional 700.000-800.000 barel per hari diimpor kembali. Kegiatan impor dan ekspor minyak ini menjadi lahan bisnis yang sangat menguntungkan bagi jaringan mafia minyak bekerja sama dengan penguasa korup. Pertamina Diabaikan Koordinator Eksekutif Gerakan Nasionalisasi Migas (GNM) Muslim Arbi mendesak KPK bertindak secara nyata dalam memberantas mafia migas yang ada dari hulu sampai hilir. Indikasi adanya kejahatan menggadaikan kekayaan sumber daya alam minyak dan gas bumi (migas) dilakukan pemerintah saat ini. Dalam catatan GNM, usai Sidang APEC di Santiago Chili pada 20-21 November 2004, setelah pertemuan Presiden Amerika Serikat (AS) George Walker Bush dan Presiden SBY selanjutnya blok Cepu diserahkan kepada ExxonMobil. Direktur Utama PT Pertamina Widya Purnama yang gigih dan secara tegas mengatakan Pertamina mampu mengelola dan menjadi operator Blok Cepu, pada 8 Maret 2006 dicopot dan diganti oleh Arie Soemarno. Beberapa hari usai persetujuan blok Cepu dikelola ExxonMobil, Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice pada 14 Maret 2006 berkunjung ke Indonesia. Selanjutnya, Perdana Menteri Inggris David Cameron menerima kunjungan Presiden SBY ke Downing Street, London, pada 2 November 2012 dan perusahaan Inggris BP dihadiahi proyek pembangunan gas alam cair (LNG) sebesar US$ 12 miliar. Sebelum penandatangan proyek ini, Ratu Inggris Elezabeth II memberi penghargaan Knight Grand Cross in the Order of Bath atau dikenal sebagai Anugrah Kesatria Salib kepada Presiden SBY di Istana Buckingham, London, pada 31 Oktober 2012. Hal ini berarti menganulir kesiapan Pertamina melaksanakan pembangunan kilang LNG Train-3 Blok Tangguh karena konsesi diserahkan kepada BP Plc lewat anak usahanya BP Indonesia. Muslim Arbi mengungkapkan isu migas yang sedang memanas adalah akan berakhirnya kontrak Total E&P Indonesie milik Prancis yang bermitra dengan Inpex Coporation asal Jepang di blok Mahakam pada 31 Maret 2017. Kendati Pertamina sejak Juni 2008 dan tahun 2011 telah menyampaikan proposal pengajuan untuk mengelola sekaligus menjadi operator Blok Mahakam pasca 2017, namun ini dianggap sebelah mata oleh pemerintah. Pejabat-pejabat Prancis mulai dari Perdana Menteri Prancis Francois Fillon, Menteri Perdagangan Luar Negeri Prancis Nicole Bricq, dan Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius datang ke Indonesia agar memperpanjang kontrak Total di blok Mahakam. Namun keberadaan mafia migas dari hulu ke hilir yang ditopang kekuasaan ini dibantah oleh Partai Demokrat yang merupakan partai penguasa. Ketua DPP Partai Demokrat, Didi Irawadi Syamsudin, membantah berbagai tuduhan yang menyatakan bahwa pemerintah sengaja membiarkan korupsi dan praktik mafia migas. Ia juga menolak bahwa korupsi sektor migas menguntungkan Partai Demokrat. "Tidak ada, rakyat Indonesia tidak ada yang diuntungkan oleh korupsi di sektor migas ini. Rakyat Indonesia dirugikan, termasuk Partai Demokrat dan semua. Apalagi Partai Demokrat sangat dirugikan dengan kejadian ini, karena ini kan bagian dari oknum kekuasaan yang menyalahgunakan kekuasaannya," kata Didi. Ia juga membantah bahwa pemerintah, dalam hal ini Partai Demokrat yang menguasai pos Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sengaja membiarkan korupsi terjadi karena menguntungkan mereka. "Pemerintah tidak pernah membiarkan. Itu adalah pihak-pihak tertentu yang membuat masalah, yang tentu harus ditindak. Kalau sistem pengelolaan migas di Indonesia ternyata memberikan peluang korupsi, ya sistemnya harus diperbaiki, ini yang paling utama. Sistem diperbaiki sehingga memperkecil celah terjadinya penyalahgunaan,” kata Didi. (CR-39). Sumber : Sinar Harapan
Posted on: Tue, 17 Sep 2013 02:27:33 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015