Tiga Celaka Bank Syariah Kita Di Indonesia, negeri yang hampir 90 - TopicsExpress



          

Tiga Celaka Bank Syariah Kita Di Indonesia, negeri yang hampir 90 persen penduduknya Muslim – dari sekitar 230-an juta jiwa, bank-bank syariah kita seharusnya bisa tumbuh subur. Tumbuh bongsor seperti kebanyakan anak-anak belasan tahun sekarang, yang karena kelebihan gizi dan bersimbah kasih sayang, ukuran tubuh mereka lebih besar ketimbang anak-anak seusia mereka di era generasi bapak-ibunya. Nyatanya, bank syariah kita kuntet, pertumbuhannya tidak normal. Tidak selaju bank konvensional. Kalau asetnya kita bandingkan, bank kovensional besarnya seperti gajah (aset per akhir 2009 lebih dari Rp 60 trilyun!), sementara bank syariah cuma seukuran kambing (pada periode sama asetnya hanya Rp 2,3 trilyun). Inilah celaka pertama bank syariah kita. Potensi pasarnya gede, tapi tidak mampu tumbuh maksimal. Tidak mampu memanfaatkan potensi pasar di depan mata: lebih dari 200 juta penduduk Muslim! Kalau tidak karena potensi pasar yang demikian besar itu tentu bank-bank konvensional tidak merambah ke ranah bisnis perbankan syariah. Bayangkah, kini hampir semua bank konvensional telah memiliki unit usaha syariah atau mendirikan bank umum syariah. Bukan hanya bank nasional. Bank asing pun menghadirkan unit syariah atau bank umum syariahnya di Indonesia. Celaka kedua: pemerintah kita ogah-ogahan mengembangkan bank syariah, dan malah sepertinya tidak pro-bank syariah. Yap, benar. Memang tidak adil membandingkan bank syariah dan bank konvensional head to head begitu. Bank syariah di negeri ini ‘kan secara resmi hadir baru belasan tahun, sementara bank konvensional sudah puluhan, bahkan, ratusan tahun eksis. Eksistensi bank syariah kita baru sampai tahap edukasi pasar, sementara bank konvensional sudah sampai tahapan “membuat kecanduan”. Muncul klaim bahwa bank syariah kita bisa tumbuh sampai tahapan sekarang ini semata karena inisiatif pengembangan yang justru datang dari industri bank syariah sendiri. Bukan dari pemerintah. Agar kontras, Malaysia bisa kita jadikan sebagai pembanding. Pemerintah negeri jiran ini menyiapkan regulasi dan mengarahkan pengembangan bank syariah secara tepat. Sedangkan pemerintah kita tidak. Malaysia antusias menarik investor dari Timur Tengah untuk mengembangkan perbankan syariah di negaranya. Di Indonesia, langkah itu nihil. Celaka yang ketiga: bank syariah kita miskin diferensiasi. Hampir tidak ada beda yang jelas pada produk, jasa, dan praktik antara bank syariah dan bank konvensional. Beda tidak jelas, jelas tidak berbeda. Padahal, dalam konteks bisnis, misalnya, diferensiasi merupakan jiwa dari inovasi – dan kita tahu, karena inovasi-lah perbankan berhasil menjaga kelangsungan bisnisnya. Dan karena bank syariah kita minim diferensiasi, masyarakat pun mulai terang-terangan menyamakan bank syariah dengan bank konvensional. Seseorang menilai, “Apa bedanya dengan bank konvensional. Tidak ada.” Dengan nada mirip, yang lain bilang, “Bank syariah saat ini sama saja dengan bank lainnya.” Dengan kalimat yang menusuk langsung ke jantung, bank syariah kita dinilai belum (tidak) benar-benar syar’i. Bank yang katanya tanpa bunga, tetapi tetap penuh riba. Direktur Wakala Induk Nusantara, Zaim Saidi, dalam buku karya terbarunya: Tidak Syar’inya Bank Syariah di Indonesia dan Jalan Keluar Menuju Muamalat (Penerbit Delokomotif, Yogyakarta; Mei 2010), bahkan dengan terang-terangan, bukan hanya menyebut bank syariah kita tidak syar’I, tapi juga telah keblinger. “Akibat dari semata-mata penerapan ‘prinsip-prinsip syariah’ dan tidak merujuk pada realitas historis ‘amal, praktik perbankan syariah tidak lagi sesuai atau terkait dengan pengalaman sejarah yang secara ekstensial dialami umat Islam di masa lampau. Kontrak-kontrak bisnis dalam muamalat tidak diterapkan seperti praktik asalnya, tapi hanya diambil prinsipnya, dan tidak diterapkan untuk sesuatu yang berbeda.” (hal. 188). Dalam endorsmen yang diberikan untuk buku tersebut, Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada, Revrisond Baswir bahkan mengingatkan khalayak akan adanya bahaya lain yang tak kalah seriusnya. “Buku ini (Tidak Syar’inya Bank Syariah di Indonesia ,,,) menguraikan secara terinci manipulasi syariah yang dilakukan oleh para pengusung bank syariah di Indonesia. Melalui manipulasi syariah itu, para pengusung bank syariah di Indonesia tidak menyadari bahwa mereka sedang menyeret umat Islam ke dalam jebakan neokolonialisme. Setiap umat Islam yang mewaspadai bahaya neokolonialisme wajib membaca buku ini,” kata Revrisond Baswir. Kalau begitu, ini bukan celaka lagi. Ini namanya celaka yang benar-benar celaka – orang Brebes dan Tegal bilang, cilaka mencit. Jadi, dalam bahasa sehari-hari orang Brebes dan Tegal, untuk tiga celaka bank syariah tadi, ungkapan ringkasnya kira-kira begini: Cilaka temen bank syariah. Wis ora maju-maju, pemrentahe ora ngrewes, ora syar’i maning. Cilakane dadi saabreg-abreg. Siapa bersedia menambah “daftar celaka” bank syariah kita lainnya, ditunggu tuh komentarnya.
Posted on: Thu, 27 Jun 2013 10:15:23 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015