Twilight Part 7 Jangan jadi pembaca gelap! Aku menggigit - TopicsExpress



          

Twilight Part 7 Jangan jadi pembaca gelap! Aku menggigit bibir, dan mengatupkan kedua telapak tangan serta mengaitkan jemariku, sehingga aku tak dapat melakukan hal-hal berbahaya. Aku dengar kau mau pergi ke Seattle hari itu, dan aku bertanya-tanya kalau-kalau kau memerlukan tumpangan. Benar-benar tak terduga. Apa? Aku tak yakin maksud perkataannya. Apa kau butuh tumpangan ke Seattle? Dengan siapa? tanyaku terkesima. Tentu saja aku. Ia mengucapkan setiap suku kata perlahan-lahan, seolah-olah bicara dengan orang cacat mental. Aku masih tertegun. Kenapa? “Well, aku berencana pergi ke Seattle beberapa minggu lagi, dan, sejujurnya, aku tak yakin trukmu bisa sampai ke sana. Trukku baik-baik saja, terima kasih banyak untuk kepedulianmu. Aku mulai berjalan lagi, tapi terlalu terkejut hingga tidak semarah tadi. Tapi apakah trukmu bisa sampai dengan sekali mengisi bensin? Ia berhasil menyusulku. Kupikir itu bukan urusanmu. Dasar pemilik Volvo silver tolol. Penyia-nyiaan sumber daya yang tak dapat diperbaharui adalah urusan semua orang. “Jujur saja, Edward. Aku merasakan kebahagiaan merasukiku ketika menyebut namanya, dan aku membencinya “Aku tak mengerti maksudmu. Kupikir kau tak mau berteman denganku. Aku bilang akan lebih baik kalau kita tidak berteman bukannya aku tak mau jadi temanmu. Oh, terima kasih, sekarang semuanya, jelas. Sindiran tajam. Aku sadar ternyata aku sudah berhenti melangkah. Kami berada di bawah atap kafetaria, jadi aku bisa lebih mudah melihat wajahnya. Yang jelas itu tidak membantuku berpikir lebih jelas. Akan lebih... bijaksana bagimu untuk tidak berteman denganku, ia menjelaskan. Tapi aku lelah berusaha menjauh darimu, Bella. Tatapannya begitu lekat ketika ia mengucapkan kalimatnya yang terakhir, suaranya berapi-api. Aku sampai tidak ingat bagaimana caranya bernapas. Maukah kau pergi ke Seattle bersamaku? tanyanya, masih menatapku tajam. Aku masih belum bisa bicara, jadi aku hanya mengangguk. Ia tersenyum sekilas, lalu wajahnya kembali serius. Kau benar-benar harus menjauh dariku, ia mengingatkan. Sampai ketemu di kelas. Ia langsung berbalik dan berjalan kembali ke arah kami datang tadi. 5. GOLONGAN DARAH AKU berjalan menuju kelas bahasa Inggris dengan setengah melamun. Aku bahkan tidak menyadari ketika aku sampai, pelajaran sudah dimulai. Terima kasih sudah datang, Miss Swan, sindir Mr. Mason. Wajahku merah padam dan aku bergegas ke tempat dudukku. Ketika pelajaran berakhir, barulah aku menyadari Mike tidak duduk di sebelahku seperti biasa. Aku merasakan cubitan rasa bersalah. Tapi ia dan Eric menungguku di pintu seperti biasa, jadi aku menyimpulkan mereka sudah sedikit memaafkanku. Mike sudah lebih cerewet ketika kami berjalan, dan semakin bersemangat ketika membicarakan prakiraan cuaca untuk akhir pekan ini. Hujan diperkirakan akan berhenti sebentar, dan itu berarti berita baik untuk rencananya jalan-jalan ke pantai. Aku berusaha terdengar bersemangat, sebagai ganti karena telah membuatnya kecewa kemarin. Tetap saja hujan atau tidak hujan, suhunya paling-paling sekitar 4ºC kalau kami beruntung. Sisa pagi itu berlangsung samar-samar. Sulit dipercaya bahwa aku tidak hanya mengkhayalkan perkataan Edward, dan sorot matanya. Barangkali itu hanya mimpi yang sangat nyata hingga sulit membedakannya dengan kenyataan sebenarnya. Kelihatannya itu lebih mungkin. Jadi aku merasa tidak sabar dan sekaligus ngeri ketika Jessica dan aku memasuki kafetaria. Aku ingin melihat wajahnya, aku ingin tahu apakah ia telah berubah dingin dan tidak peduli lagi, seperti yang kulihat beberapa minggu terakhir ini. Atau barangkali, berkat sebuah keajaiban, aku benar-benar mendengar yang kudengar tadi pagi. Jessica terus berceloteh tentang rencananya di pesta dansa—Lauren dan Angela sudah mengajak Eric dan Tyler dan mereka akan pergi bersama-sama. Ia benar-benar tidak menyadari sikapku yang tak menyimak. Kekecewaan menyergapku ketika pandanganku tertuju ke mejanya. Keempat saudaranya ada di sana, tapi ia tidak ada. Apakah ia pulang? Aku antre di belakang Jessica yang masih terus mencerocos. Hatiku hancur. Selera makan siangku lenyap—aku hanya membeli sebotol limun. Aku cuma ingin duduk dan mengasihani diriku. Edward Cullen sedang memandangimu lagi, kata Jessica, akhirnya membuyarkan lamunanku. Aku kepingin tahu kenapa ya dia duduk sendirian hari ini. Kuangkat kepalaku cepat-cepat. Aku mengikuti tatapan Jessica dan menemukan Edward, tersenyum lebar, menatapku dari meja kosong di seberang kafetaria tepat dari tempat ia biasanya duduk. Begitu kami beradu pandang, ia mengangkat tangan dan menggerakkan telunjuknya padaku, mengajaki bergabung dengannya. Ketika aku menatapnya tidak percaya, ia mengedipkan mata. Apakah maksudnya kau? Jessica bertanya, suaranya terkejut. Mungkin dia butuh bantuan untuk mengerjakan PR Biologi. gumamku menenangkannya. Mmm, sebaiknya aku cari tahu apa yang diinginkannya. Aku merasakan tatapan Jessica ketika pergi menghampiri Edward. Setibanya di meja cowok itu, aku berdiri di belakang kursi di seberangnya, ragu-ragu. Duduklah bersamaku hari ini, pintanya sambil tersenyum. Aku duduk, hati-hati mengawasinya. Ia masih tersenyum. Sulit dipercaya seseorang setampan ini begitu nyata. Aku khawatir ia bisa menghilang tiba-tiba di balik asap, lalu aku terbangun dari mimpi. Ia sepertinya menungguku mengatakan sesuatu. Ini tidak seperti biasanya, akhirnya aku berkata. Well. ia berhenti, lalu sisanya terurai begitu saja. Kuputuskan mengingat aku toh bakal pergi ke neraka, lebih baik kulakukan saja semuanya sekalian. Aku menunggu ia mengatakan sesuatu yang masuk akal. Waktu pun berlalu. Tahu nggak, aku sama sekali tidak mengerti apa maksudmu, akhirnya aku mengaku. Aku tahu. Ia tersenyum lagi. lalu mengubah topik. Kurasa teman-temanmu marah padaku karena telah menculikmu. Mereka akan baik-baik saja. Bisa kurasakan mereka mulai bosan menatapku. Aku mungkin saja takkan mengembalikanmu, katanya sambil mengedip jail. Aku menelan ludah. Ia tertawa. Kau tampak khawatir. Tidak, kataku, tapi konyolnya suaraku gemetar. Sebenarnya aku terkejut... apa yang menyebabkan ini semua? Sudah kubuang—aku capek berusaha menjauh darimu. Jadi aku menyerah. Ia masih tersenyum, tapi matanya yang kekuningan tampak serius. Menyerah? ulangku bingung. Ya—menyerah berusaha bersikap baik. Sekarang aku hanya akan melakukan apa yang kuinginkan, dan membiarkan semuanya terjadi sebagaimana mestinya. Senyumnya memudar ketika ia menjelaskan, dan suaranya terdengar serius. Lagi-lagi kau membuatku bingung. Senyum menawan itu muncul lagi. Aku selalu berkata terlalu banyak kalau bicara denganmu—itu salah satu masalahnya. Jangan khawatir—aku tak mengerti satu pun ucapanmu, sindirku. Aku mengandalkan itu. Jadi, terus terang, apakah sekarang kita berteman? Teman..., sahutnya menerawang, ragu-ragu. Atau tidak, gumamku. Ia nyengir. Well, kurasa kita bisa mencobanya. Tapi kuperingatkan kau, aku bukan teman yang baik untukmu. Di balik senyumnya peringatan itu tampak sangat nyata. Kau sering bilang begitu, aku mengingatkannya, berusaha mengabaikan perutku yang tiba-tiba bergejolak, dan menjaga suaraku tetap tenang. Ya, karena kau tidak mendengarkan. Aku masih menunggu memercayainya. Kalau pintar, kau akan menghindariku. Kurasa penilaianmu atas intelektualitasku cukup jelas. Mataku menyipit. Ia tersenyum menyesal. Jadi, selama aku adalah... orang yang tidak pintar, kita akan mencoba berteman? aku berjuang menyimpulkan pembicaraan yang membingungkan ini. Kedengarannya masuk akal. Aku menunduk memandang tanganku yang memegangi botol limun, tak yakin apa yang harus kulakukan. Apa yang kaupikirkan? tanyanya penasaran. Aku memandang matanya yang keemasan, bingung dan seperti biasa mengatakan yang sejujurnya. Aku mencoba menebak siapa sebenarnya kau ini. Rahangnya menegang, tapi ia tetap berusaha tersenyum. Apa kau berhasil? ia bertanya dengan nada tak acuh. Tidak terlalu, akuku. Ia tertawa. Apa teorimu? Wajahku merona. Selama sebulan terakhir ini, aku sendiri bimbang antara Bruce Wayne dan Peter Parker. Jadi tidak mungkin aku mengungkapkannya. Maukah kau memberitahuku? pintanya, memiringkan kepala ke satu sisi dengan senyuman menggoda yang tak disangka-sangka. Aku menggeleng. Terlalu memalukan. Itu sangat memusingkan, kau tahu, keluhnya. Tidak, aku langsung membantah, mataku menyipit. “Aku tak bisa membayangkan kenapa itu harus memusingkan—hanya karena seseorang menolak menceritakan apa yang mereka pikirkan, meskipun mereka terus-menerus melontarkan komentar misterius untuk membuatmu terjaga semalaman dan memikirkan apa sebenarnya maksudnya... nah, kenapa itu memusingkan? Ia nyengir. Atau lebih baik, lanjutku, semua pikiran mengganggu yang terpendam selama ini akhirnya bisa kukeluarkan dengan bebas, katakan saja orang itu juga melakukan halhal aneh—mulai dari menyelamatkan nyawamu dari keadaan mustahil pada suatu hari, sampai memperlakukanmu seperti orang asing keesokan harinya, dan ia tak pernah menjelaskan apa-apa, bahkan setelah berjanji akan melakukannya. Itu, juga, akan sangat tidak memusingkan. Kau marah, ya? Aku tidak suka bertele-tele. Kami bertatapan, tanpa tersenyum. Ia memandang lewat bahuku, lalu tanpa diduga mencemooh. Apa? Pacarmu sepertinya mengira aku bersikap tidak sopan padamu—dia sedang mempertimbangkan untuk menghentikan pertengkaran kita atau tidak. Ia mencemooh lagi. Aku tak tahu apa maksudmu, kataku dingin. Lagi pula, aku yakin kau salah. Tidak. Aku pernah bilang kebanyakan orang mudah ditebak. Kecuali aku, tentu saja. “Ya, kecuali kau. Tiba-tiba suasana hatinya berubah; tatapannya muram. Aku bertanya-tanya kenapa bisa begitu. Aku harus berpaling dari tatapannya. Aku berkonsentrasi untuk membuka tutup botol limunku. Aku meneguknya sekali, sambil menatap meja tanpa benar-benar melihatnya. “Apa kau tidak lapar? tanyanya, pikirannya teralih. “Tidak. Rasanya aku tak ingin memberitahunya perutku sudah kenyang—dengan ketegangan. Kau? Kutatap meja yang kosong di depannya. Tidak, aku tidak lapar. Aku tak mengerti raut wajahnya— sepertinya ia merasa lucu dengan ucapannya sendiri. Boleh minta tolong? pintaku setelah beberapa saat merasa ragu. Sekonyong-konyong ia seperti berhati-hati. Tergantung apa yang kauinginkan. Tidak susah kok, aku meyakinkannya. Ia menunggu, waswas namun penasaran. Aku hanya bertanya-tanya... kalau-kalau lain kali kau mau mengingatkanku sebelum memutuskan mengabaikanku, demi kebaikanku sendiri. Jadi aku bisa siap-siap. Aku memandangi botol limunku ketika mengatakannya, mengitari lingkaran tutupnya dengan kelingkingku. Kedengarannya adil. Ia merapatkan bibirnya supaya tidak tertawa ketika aku memandangnya lagi. Terima kasih. Lalu apa aku juga boleh minta satu jawaban sebagai gantinya? pintanya. Satu. “Ceritakan padaku satu teori. Uuppss. Jangan yang itu. Kau tidak memberi syarat, kau hanya bilang satu jawaban,” ia mengingatkan aku. Kau sendiri selalu ingkar janji. aku balas mengingatkan. Hanya satu teori—aku takkan tertawa. Pasti kau bakal tertawa. Aku yakin mengenai yang saru ini. Ia menunduk, lalu memandangku dari balik bulu matanya yang lentik, matanya yang kekuningan tampak membara. Please? ia menghela napas, mencondongkan tubuhnya ke arahku. Aku mengerjap, pikiranku kosong. Sialan, bagaimana ia melakukannya? Mmm, apa? tanyaku bingung. Ceritakan satu teori, sedikit saja. Matanya yang berkilat-kilat masih menatapku. Ehh, Well, digigit laba-laba yang mengandung radioaktif? Apakah ia bisa menghipnotis juga? Atau aku hanya penurut yang tak berdaya? Itu sih tidak kreatif?” ejeknya. Maaf, cuma itu yang kupunya, tukasku kesal. Kau benar-benar jauh dari kebenaran, godanya. Tidak ada laba-laba? Tidak ada. Dan tidak ada radioaktif? Tidak. Sial, keluhku. Aku juga tidak terkena batu kryptonite sahutnya sambil tertawa. Kau kan tidak boleh tertawa, ingat? Ia berusaha mengendalikan diri. Nanti juga aku tahu, kataku mengingatkan. Kuharap kau tidak mencobanya. Ia berubah serius lagi. Karena...? Bagaimana kalau aku bukan superhero? Bagaimana kalau aku orang jahat? Ia tersenyum menggodaku, tapi aku tak mengerti maksud di balik tatapannya. Oh. kataku, ketika beberapa potongan ucapannya yang misterius tiba-tiba terasa masuk akal. Aku mengerti. Benarkah? Wajahnya langsung menegang seolah-olah ia khawatir telah tidak sengaja bicara terlalu banyak. Kau berbahaya? aku menebak, denyut nadiku lebih cepat ketika dengan sendirinya aku menyadari kebenaran kata-kataku sendiri. Ia memang berbahaya. Ia telah mencoba memberitahuku selama ini. Ia hanya memandangku, tatapannya sarat emosi. Aku tidak mengerti. Tapi tidak jahat, bisikku, sambil menggeleng. Tidak, aku tidak percaya kau jahat. Kau salah. Suaranya nyaris tak terdengar. Ia menunduk, lalu mengambil tutup botol, dan memutarmutarnya di antara jemarinya. Aku menatapnya, membayangkan kenapa aku tidak merasa takut. Ia sungguhsungguh dengan ucapannya—itu jelas. Tapi aku hanya merasa khawatir, tidak nyaman... dan, lebih dari segalanya, terpesona. Perasaan sama yang selalu kurasakan ketika berada di dekatnya. Keheningan berlanjut hingga aku tersadar kafetaria sudah hampir kosong. Aku melompat kaget. Kita bakal terlambat. “Aku tidak ikut pelajaran hari ini, katanya, memutar tutup botol begitu cepat hingga tampak kabur. Kenapa tidak? “Membolos itu menyehatkan. Ia tersenyum padaku, tapi matanya masih waswas. “Well, aku masuk, kataku. Aku kelewat pengecut mengenai risiko ketahuan guru. Ia mengalihkan perhatiannya lagi ke tutup botol bekasnya. Kalau begitu, sampai ketemu lagi. Aku ragu-ragu, bingung, tapi kemudian bunyi bell pertama membuatku bergegas menuju pintu keluar—sambil menatap untuk terakhir kali, memastikan ia tak bergeser dari posisinya. Ketika aku setengah berlari menuju kelas, kepalaku berputar lebih kencang daripada tutup botol tadi. Hanya sedikit sekak pertanyaan yang telah terjawab, mengingat banyaknya pertanyaan yang muncul. Setidaknya hujan telah reda. Aku beruntung; Mr. Banner belum tiba di kelas ketika aku sampai. Aku bergegas duduk di kursiku, sadar Mike dan Angela menatapku. Mike tampak kesal; Angela kelihatan terkejut, dan sedikit kagum. Lalu Mr. Banner masuk, dan mengabsen kami satu per satu. Ia memain-mainkan beberapa kotak kecil di tangannya. Diletakkannya kotak-kotak itu di meja Mike, menyuruhnya membagikannya ke yang lain. Oke, guys, aku mau kalian mengambil satu potongan dari masing-masing kotak, kata Mr. Banner seraya mengambil sepasang sarung tangan karet dari saku jas labnya, lalu mengenakannya. Suara keras yang terdengar ketika sarung tangan itu masuk hingga ke pergelangan tangannya terdengar tidak menyenangkan bagiku. Yang pertama kalian ambil seharusnya kartu indikator, ia melanjutkan, meraih kartu putih dengan empat persegi di atasnya, lalu memperlihatkannya pada kami. Yang kedua aplikator segi empat— ia mengangkat sesuatu mirip sisir yang nyaris tak bergerigi —dan yang ketiga jarum suntik kecil steril. Ia mengangkat benda kecil yang terbuat dari plastik biru dan membukanya. Dari jauh ujung jarumnya tidak kelihatan, tapi perutku langsung mulas. Aku akan berkeliling dengan air tetes untuk mempersiapkan kartu kalian, jadi tolong jangan mulai sebelum aku datang Ia mulai dari meja Mike lagi, berhatihati meneteskan setetes air pada masing-masing keempat kotak itu. Lalu aku mau kalian dengan hati-hati menusuk jari kalian dengan jarum. Ia meraih tangan Mike dan menusukkan jarum itu ke ujung jari tengah Mike. Oh, tidak. Cairan lengket mengalir keluar di hadapanku. Taruh setetes darah, sedikit saja, pada masing-masing kotak. Ia memeragakannya, meremas jari Mike hingga darahnya mengalir. Aku menelan liurku karena tegang perutku rasanya mau meledak. Kemudian oleskan ke kartu, ia selesai dengan peragaannya, memperlihatkan kartu yang sudah ditetesi darah kepada kami. Aku memejamkan mata, berusaha mendengar penjelasannya dengan telingaku yang berdenging. Palang Merah menggelar acara donor darah di Port Angeles akhir pekan yang akan datang jadi kupikir kalian harus tahu golongan darah kalian. Ia terdengar bangga. Kalian yang belum genap delapan belas tahun perlu izin dari orangtua—aku punya formulir izinnya di mejaku. Ia berkeliling kelas dengan air tetesnya. Kutempelkan pipiku ke permukaan meja yang hitam, mencari kesejukan dan berusaha tetap sadar. Di sekelilingku aku bisa mendengar jeritan, suara anak-anak mengeluh, dan suara tawa ketika teman-teman sekelas menusuk jari mereka. Aku menghirup napas pelan lewat mulutku. “Bella, kau baik-baik saja? tanya Mr. Banner. Suaranya terdengar sangat dekat, mengagetkanku. “Aku sudah tahu golongan darahku, Mr. Banner, kataku lemah. Aku takut mengangkat kepala. “Apa kau mau pingsan? Ya, Sir, gumamku, diam-diam menendang diriku sendiri karena tidak membolos. Ada yang mau menolong bawa Bella ke UKS? seru Mr. Banner. Aku tak perlu melihat untuk mengetahui Mike-lah yang mengajukan diri. Kau bisa jalan? tanya Mr. Banner. Ya, bisikku. Keluarkan saja aku dari sini, pikirku. Kalau perlu, aku akan merangkak. Mike sepertinya bersemangat sekali ketika memeluk pinggangku dan menarik lenganku ke bahunya. Aku menyandarkan tubuhku sepenuhnya padanya ketika kami berjalan keluar dari kelas. Mike menarikku pelan menyeberangi sekolah. Ketika kami tiba di sekitar kafetaria, tak terlihat dari gedung empat, kalau-kalau Mr. Banner memerhatikan, aku berhenti. Biarkan aku duduk dulu sebentar, aku memohon padanya. Ia membantuku duduk di ujung jalan setapak. Dan apa pun yang kaulakukan, jaga tanganmu, kataku mengingatkan. Aku masih sangat pusing. Aku merebahkan diri dengan posisi miring menempelkan pipi ke lapisan semen yang dingin dan lembab, memejamkan mata. Bersambung... +Add fb saya Carteer Freez +Follow juga twitter saya @carteer_styles._. wkwk -CF-
Posted on: Sun, 10 Nov 2013 08:31:12 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015