WTO, KAUM KAPITALIS DAN KONGLOMERASI BUDAYA (mohon komentarnya - TopicsExpress



          

WTO, KAUM KAPITALIS DAN KONGLOMERASI BUDAYA (mohon komentarnya ) Dewasa ini kata Globalisasi sudah tidak asing lagi bagi kita. Globalisasi ini mencakup semua bidang yang berkaitan dengan kehidupan manusia, mulai dari kepentingan politik, bisnis, kesehatan, hiburan (seni visual, musik, tari, film dan seni lainnya) dan lain-lain. Jika dikaji lebih dalam, globalisasi sebenarnya mulai dan menyebar di eropa atau dunia barat. Jadi, sebenarnya kita lebih pantas menyebutnya westernisasi bukan globalisasi. globalisasi ini juga tidak benar-benar global. kegiatannya sebenarnya hanya terpusat pada daerah-daerah industri saja. Mayoritas pelakunya adalah tiga adidaya dunia: amerika serikat, eropa dan Jepang (Smiers 2009:22), untuk dewasa ini bisa saya tambahkan satu negara lagi yaitu cina. Aktivitas-aktivitas perekonomiannya juga semakin terpusat di sekelompok kecil kota-kota seperti New York ,Tokyo, London. Sassen mengatakan Kota-kota ini berfungsi dalam empat cara. Pertama, sebagai titik komando yang terpusat dalam ekonomi dunia. Kedua, sebagai lokasi-lokasi kunci bagi kegiatan finasial dan bagi bentuk-bentuk pelayanan tertentu yang telah mengganti posisi manufaktur sebagai sektor yang memimpin dalam perekonomian. Ketiga, sebagai situs produksi, termasuk produksi inovasi-inovasi di dalam industri maju ini. Keempat, sebagai pasar bagi produksi dan inovasi yang diproduksi tadi. Jika lebih di spesifikkan lagi, kaum kapitalis dan konglomerasi serta pemerintah yang mendukung lah yang memegang kendali dan bermain dalam era globasasi ini. Bisa kita katakan juga bahwa globalisasi adalah penjajahan (kolonialisme). WTO (World Trade Organization) salah satu lembaga PBB yang berdiri tahun 1994 menjadi jalan yang sangat mulus bagi para kaum kapitalis dan konglomerasi budaya yang ingin melebarkan sayap usaha atau bisnisnya di seluruh pelosok dunia. Tujuan WTO adalah untuk merancang aturan-aturan multilateral yang bersangkut paut dengan perdagangan internasional, serta tentu saja untuk membuat aturan-aturan yang bersifat mengikat. (Smiers 2009:24). Aturan-aturan yang sudah dipraktikkan sepanjang dasawarsa terkhir ini berbasis pada prinsip-prinsip neoliberal. Ricardo petrella meringkas ada enam firman tatanan hukum baru untuk hal ini. Pertama, kita harus menjadi global. Kedua, semua metode produksi yang terjamin menghasilkan, harus tunduk pada teknologi-teknologi yang didukung keimanan membuta terhadap digitalisasi. Ketiga, kondisi kemanusiaan hendaknya dipandang sebagai permainan yang didalamnya hanya ada pemenang dan pecundang. Keempat, negara harus meliberalkan pasarnya dan tidak diperkenankan adanya proteksi apapun untuk hal-hal yang dinilai berharga. Kelima, semua regulasi yang ada harus dikesempingkan. Keenam, apapun yang berada di ranah publik harus diswastanisasi. Colin Hines, meringkas prinsip-prinsip pokok peraturan WTO sebagai berikut, pertama, liberalisasi atau akses pasar yang memiliki tujuan secara bertahap mengurangi sebagian besar bentuk-bentuk proteksi dan memperbaiki atau mencencang tingkat yang sudah direduksi ini. Kedua, resiprokalitas yaitu proses-proses negosiasi dimana tiap negara dapat mengajukan tawaran pengurangan tarif secara bertaraf hingga sebuah rencana pengurangan tarif yang disetujui satu sama lain tercapai. Ketiga, non-diskriminasi. Semua ini berlaku untuk semua anggota wto termasuk indonesia, diwujudkan dalam tiga bentuk. Pertama, aturan-aturan WTO diterakan secara sama pada ekspor dan impor. Kedua, kelongaran-kelongaran yang diberikan pada suatu negara harus diperluas kepada semua negara WTO. Ketiga, tidak ada tarif, pajak, atau langkah-langkah lain yang memungkinkan adanya diskriminasi antara pemasok domestik dan pemasok luar negeri. Dari penjelasan diatas, kita bisa mengatakan bahwa kita hidup dengan gaya rimba, siapa yang kuat dan berkuasa dialah pemenangnya yang tidak lain adalah kaum kapitalis, konglomerasi budaya dan juga pemerintah. Globalisasi ini akan semakin meluluhlantakkan karena ia memperkuat korporasi multinasional sehingga mengusir bisnis-bisnis lokal keluar gelanggang sekaligus memindahkan operasinya secara konstan dan menyisakan kehancuran ekonomi di tempat yang ditinggalkannya. Deregulasi, swastanisasi, dan liberasasi investasi telah memindahtangankan perekonomian kepada korporasi-korporasi multinasioanal (Bello et all. 2008; 8). Dan bisa kita tambahkan, budaya-budaya dan kearifan lokal juga akan memiliki peluang yang besar untuk tersingkir. Misalnya, musik-musik klasik barat yang sudah hampir menempati semua penjuru dunia. Ini adalah salah satu akibat dari globalisasi dan di dalamnya juga ada kepentingan kelompok tertentu termasuk kaum korporasi budaya. Pemikiran yang menganggap bahwa globalisasi sama-sama menguntungkan adalah salah. Siapa yang kuat dan berkuasa dialah pemenang. Pemerintah setiap daerah adalah negara, adalah salah satu pemegang kendali yang bisa mengontrol laju globalisasi ini. Kita juga sebagai masyarakat harus lebih bijaksana, jangan membiarkan diri kita diseret arus. Kita harus bisa bertindak seimbang. Cina dan jepang adalah negara yang mengikuti permainan budaya barat tetapi mereka tidak tenggelam dengan arus, justru sebaliknya mereka malah bisa memimpin ekonomi dan budaya dunia. Bagaimana dengan kita indonesia? Kita daerah-daerah yang ada diseluruh indonesia, apakah kita mau kehilangan diri dan budaya kita dari peradaban dunia? Sangat disayangkann ketika kita indonesia sendiri saling menjajah daerah/suku-budaya yang satu dengan yang lain. Ingatlah bahwa kita diperhatikan dunia, mereka akan melihat peluang dan kesempatan emas yang bisa mereka dapatkan untuk “menjajah” kita.
Posted on: Wed, 23 Oct 2013 06:34:16 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015