khutbah Jum’at CAKNUR :: PESAN TAKWA :: Hadirin sidang - TopicsExpress



          

khutbah Jum’at CAKNUR :: PESAN TAKWA :: Hadirin sidang Jum’at yang terhormat. Pada kesempatan khutbah Jum’at kali ini, saya ingin urun rembuk berkenaan dengan sembahyang Jum’at. Sebagaimana kita tahu, be-berapa aspek sembahyang Jum’at telah menjadi discourse atau wacana dalam masyarakat kita, yang kadang-kadang mengganggu ukhuwah Islamiyah di antara kita. Salah satu rukun khutbah Jum’at ialah membaca salam. Setelah salam, khatib kemudian duduk. Hal itu sebetulnya adalah sikap rileks yang merupakan sisa-sisa praktek Nabi. Pada waktu itu, Nabi tinggal di sebelah masjid. Rumahnya, yang sekarang menjadi makam beliau, terletak satu tembok dengan masjid. Kalau dirasa sudah banyak orang yang datang ke masjid untuk salat Jum’at, beliau keluar rumah dan mengucapkan salam. Kemudian beliau duduk sambil mengamati siapa yang hadir dan siapa yang tidak hadir. Tempat duduknya dibikin lebih tinggi, yang kemudian menjadi rujukan disain mimbar Jum’at. Oleh karena itu ada sebagian umat Islam dan para ulama yang menganggap mimbar Jum’at seperti yang ada sekarang ini adalah bid’ah, karena tidak sesuai dengan disain Nabi. Yang betul seperti apa? Kalau kita pergi ke masjid Tanah Abang, di sana ada contoh mimbar Jum’at seperti zaman Nabi. Setelah Nabi mengucapkan salam, kemudian dikumandangkan-lah adzan. Seolah-olah diumumkan bahwa sembahyang akan segera dimulai, karena Nabi telah hadir. Pada zaman Utsman bin Affan, ketika Madinah sudah menjadi kota yang sangat besar, adzan sekali dirasa tidak cukup. Maka Utsman memerintahkan agar azan juga dilakukan di luar masjid untuk mengumumkan bahwa salat Jum’at sudah dimulai. Maka tumbuhlah adzan dua kali. Ini sama saja dengan perkembangan salat tarawih. Awalnya dilaksanakan sendiri-sendiri di rumah. Nabi selalu mengerjakannya di rumah, karena pada prinsipnya sembahyang sunat memang dilakukan di rumah. Oleh karena itu sekarang masih ada orang yang seusai sembahyang wajib, lalu ketika sembahyang sunat dia pindah tempat. Itu sebetulnya tiruan simbolik pindah ke rumah. Jadi begitu-lah, banyak aspek rileks dari agama yang telah menjadi formalitas karena kita tidak tahu asal usulnya. Padahal sebetulnya banyak yang menyangkut masalah praktis seperti dipraktekkan Nabi. Ketika khutbah, Nabi selalu menyandarkan pedang atau tom-bak pada bahu beliau, karena waktu itu umat Islam adalah komunitas militer. Setiap orang Islam adalah seorang militer. Maka orang yang murtad kala itu menjadi disersi dan hukumannya adalah dibunuh. Padahal menurut al-Qur’an, yang menghukum orang murtad adalah Allah swt sendiri di akhirat nanti. Tapi karena waktu itu murtad mempunyai implikasi disersi (meninggalkan barisan perjuangan) maka hukumnya dibunuh. Dalam konteks itulah, ketika menjadi khatib Jum’at Nabi tampil gagah sekali di atas mimbar sambil me-nyandarkan pedang, atau kadang tombak, pada bahu beliau. Praktek itu sekarang masih ada di masjid-masjid lama, hanya saja pedang dan tombaknya kini diganti dengan tongkat. Setelah itu, seperti yang telah kita ketahui bersama, isi khutbah yang paling penting dan wajib disampaikan ialah pesan takwa. Karena itu khatib selalu mengutip firman Allah yang berkenaan dengan takwa. Ayat yang biasa dikutip ialah firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, dan jangan sampai kamu mati kecuali sebagai orang-orang yang muslim” (Q 3:103). Seluruh ayat al-Qur’an sendiri, sebagaimana tergambar dalam ayat-ayat pertama surat al-Baqarah, sebenarnya dirancang sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Indikasi orang yang ber-takwa menurut ayat-ayat pertama surat al-Baqarah, yang pertama adalah: “Mereka yang percaya kepada yang ghaib.” Ghaib pada ayat ini adalah ghaib dalam pengertian seluas-luas-nya, tidak seperti pengertian harian yang berlaku sekarang. Indikasi kedua: “Dan mereka menegakkan salat.” Jadi, orang yang bertakwa tidak sekadar mengerjakan salat, tetapi menegakkan salat. Patut diperhatikan, dalam al-Qur’an perin-tah salat tidak pernah dalam bahasa, “Salatlah kamu!” atau “Kerja-kanlah salat!”, akan tetapi, “Tegakkanlah salat!” atau aqîm-u ‘l-shalâh. Indikasi ketiga: “Dan mereka mendermakan sebagian harta yang telah Kami anugerahkan kepada mereka.” Di samping mempunyai kesadaran vertikal, berupa hubungan dengan Allah swt, orang yang bertakwa juga memiliki kesadaran ho-rizontal, yaitu hubungan dengan sesama manusia. Dua kesadaran itu dilambangkan dalam praktek salat. Salat dibuka dengan takbîrat-u ‘l-ihrâm, artinya takbir yang mengharamkan segala pekerjaan selain menghadap Allah, dengan ucapan Allâh-u Akbar, Allah Maha Besar. Takbir ini menggambarkan kesadaran vertikal. Tetapi salat harus diakhiri dengan ucapan salam, al-salâmu ‘alaykum, yang secara simbolik menunjukkan bahwa kita mempunyai perhatian kepada sesama manusia. Kemudian diperkuat dengan an-juran menengok ke kanan dan ke kiri, seolah-olah Allah berpesan, “Kamu betul telah sungguh-sungguh menghadap-Ku melalui salat-mu, membina hubungan yang baik dengan-Ku. Maka tunjukkanlah buktinya dengan membina hubungan yang baik dengan sesama ma-nusia.” Itulah akhlâq-u ‘l-karîmah, yang intinya adalah perhatian kepada kelompok-kelompok masyarakat yang kebetulan tidak beruntung. Ciri orang bertakwa berikutnya adalah: “Dan mereka beriman kepada kitab suci yang diturunkan kepada engkau (Muhammad) dan yang diturunkan kepada mereka sebelum engkau (Muhammad).” Allah berfirman dalam al-Qur’an bahwa Ia mengutus seorang utusan untuk setiap umat. “Sungguh telah Kami bangkitkan untuk setiap umat itu seorang Rasul” (Q 16:36). Di mana-mana, kalau ada sekumpulan manusia yang bisa dise-but umat, maka di situ pernah ada rasul, sebab al-Qur’an juga me-ngatakan: “Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan” (Q 35:34). Dan para rasul berbicara menurut bahasa masing-masing umatnya. “Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka” (Q 14:4). Nabi Muhammad adalah orang Arab, karena itu beliau me-nyampaikan pesan-pesannya dalam bahasa Arab. Tetapi Isa berba-hasa Aramia. Sehari-hari dia menggunakan bahasa Aramia yang dicampur dengan bahasa Yunani, karena waktu itu wilayah Timur Tengah sudah mengalami pe-Yunani-an atau Helenisasi, sehingga disebut daerah Helenik. Kitab suci Nabi Musa lain lagi. Ia menggu-nakan bahasa Ibrani, yaitu bahasa Yahudi kuno. Padahal Nabi Musa sendiri berbahasa Mesir. Nama Musa adalah perkataan Mesir yang artinya air. Nama ini diberikan Fir’aun karena ketika bayi, Musa ditemukan istri Fir’aun di sungai Nil. Musa mulanya menggunakan bahasa Mesir. Kemudian belajar bahasa Ibrani melalui kaumnya, yaitu Bani Israel yang ada di Mesir. Tetapi Musa mengetahui atau belajar agama itu dari mertuanya, Nabi Syu’aib, dari Madyan, yang agaknya adalah seorang Arab. Oleh karena itu Musa juga menggunakan perkataan Arab, yang sampai sekarang orang Yahudi sendiri tetap tidak faham yaitu kata Yahweh. Yahweh berasal dari kata Arab “Ya Huwa”, artinya wahai Dia, maksudnya ialah Allah swt. Dalam bahasa Arab, kalau kita me-manggil seseorang dengan penuh kemesraan, maka ditambah de-ngan Yâ. Misal, Yâ Abâhu, Wahai Ayah, Yâ Ummahu, Wahai Ibu, Yâ Huwa, Wahai Dia Tuhanku. Ciri orang bertakwa selanjutnya: “Dan mereka yakin akan hari akhirat”. Hari akhir adalah hari pertanggungjawaban pribadi secara mut-lak di akhirat. Di sana tidak ada khullah. Khulah itu berasal dari kata khalîl yang artinya teman. Di akhirat tidak ada pertemanan. Tidak ada solidaritas. Tidak ada perkoncoan. Semua orang tampil secara pribadi di hadapan Allah swt. Dan tidak ada perantaraan dengan Allah swt. “Dan jagalah dirimu dari (‘azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa‘at dan tebusan daripadanya, dan tidaklah mereka akan ditolong” (Q 2:48). Hadirin sidang Jum’at yang terhormat. Kesadaran kepada hari akhirat ini penting sekali, karena impli-kasinya sangat besar dalam kehidupan sehari-hari. Hidup di dunia ini akan menuju kepada kehidupan akhirat. Itulah hidup yang sebe-narnya. Hidup di dunia ini harus kita jalani dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, karena semuanya akan berakhir dengan pertanggungjawaban pribadi di hadapan Allah swt. Rangkaian in-dikasi-indikasi takwa tadi jelas merupakan dasar yang sangat kukuh bagi kehidupan yang benar. Dalam ayat al-Qur’an yang lain disebut-kan, bahwa takwa adalah asas hidup yang benar. Bahasa kita sudah mengenal kata asas, yang kadang-kadang bagi mereka yang tidak tahu bahasa Arab, ejaannya diganti menjadi azaz. Yang benar adalah asas. Kata asas dalam al-Qur’an ada yang disebut-kan berkenaan dengan sebuah peristiwa menyangkut masjid Dirar. Yaitu masjid yang didirikan kaum munafik atas dasar i’tikad kurang baik. Ini kebalikan masjid Kuba yang didirikan Nabi sendiri, yang disebut sebagai masjid-un ussis-a ‘alâ taqwâ, masjid yang didirikan atas dasar takwa. Setelah cerita hal praktis-historis ini, ada pesan moral yang bunyinya sebagai berikut: “Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridlaan (Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (Q 9:109). Ini adalah gambaran mengenai asas hidup. Asas hidup itu hanya dua: yang benar dan yang salah. Asas hidup yang benar adalah takwa kepada Allah dan keinginan mencapai ridla-Nya. Asas hidup mana pun, selain takwa kepada Allah dan keinginan mencapai ridla-Nya, adalah tidak benar. Kalau kita betul-betul mengasaskan hidup kita kepada takwa dan keinginan mencapai ridla-Nya, maka dengan sen-dirinya kita akan terbimbing ke arah budi pekerti luhur atau al-akhlâq al-karîmah. Melalui takwa, kita menyadari kehadiran Tuhan dalam hidup. Inti takwa adalah kesadaran yang sangat mendalam bahwa Allah selalu hadir dalam hidup kita. Takwa ialah kalau kita mengerjakan segala sesuatu, kita kerjakan dengan kesadaran penuh bahwa Allah beserta kita, Allah menyertai kita, Allah mengawasi kita dan Allah memperhitungkan perbuatan kita. “Dan Dia bersamamu di manapun kamu berada. Dan Allah maha mengetahui tentang segala sesuatu yang engkau kerjakan” (Q 57:4). Hadirin sidang Jum’at yang terhormat. Inilah pengawasan melekat (waskat) yang sebenarnya. Penga-wasan yang built in dalam diri kita melalui iman. Dengan demikian, takwa menghasilkan tindakan yang ikhlas, tulus, dan tanpa pamrih. Dengan takwa, kita berbuat baik bukan karena takut pada orang. Kita meninggalkan perbuatan jahat juga bukan karena pengawasan orang. Tetapi karena dinamika yang tumbuh dalam diri kita sebagai akibat dari takwa. Kalau kita sudah memperhitungkan kehadiran Allah dalam hidup kita, dan segala sesuatu yang kita kerjakan menurut kesadaran bahwa Allah mengawasi dan memperhitungkan perbuatan kita, maka dengan sendirinya kita akan terbimbing ke arah budi pekerti luhur. Logikanya, kalau kita hanya melakukan sesuatu yang diridlai Allah, maka dengan sendirinya kita hanya melakukan sesuatu yang baik. “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (Q 36:12). Dari mana ukuran kebaikan itu? Pertama-tama dari modal pri-mordial yang diberikan Allah kepada kita, yaitu hati nurani. Hati ini disebut nurani—berasal dari kata nûranîy-un, artinya bersifat cahaya—karena merupakan modal pertama dari Allah untuk menerangi sikap kita. Banyak hadis yang menggambarkan bahwa kalau kita ingin tahu mana yang baik dan benar, maka kita harus bertanya kepada hati nurani. Nabi bersabda: “Mintalah fatwa pada dirimu, mintalah fatwa pada hatimu wahai Wabishah (bin Ma’bad al-Aswadi). (Nabi mengulanginya) tiga kali. Kebaikan adalah sesuatu yang membuat jiwa tenang dan membuat hati tenang. Dosa adalah sesuatu yang (terasa) tidak karuan dalam jiwa dan (terasa) bimbang dalam dada” (HR Ahmad). Ukuran kebaikan yang kedua ialah agama. Karena itu, agama disebut juga hati nurani yang diturunkan oleh Allah atau fitrah yang diturunkan oleh Allah kepada manusia (fithrah munazzallah). Kalau hati nurani yang ada dalam diri kita itu adalah fitrah (kecenderungan suci) yang ada secara alami dalam diri kita, maka agama adalah fitrah yang diturunkan Allah swt kepada umat manusia untuk memperkuat fithrah alami itu. Ukuran kebenaran yang ketiga ialah mu‘âhadah al-‘uqûd, yaitu perjanjian-perjanjian antar sesama manusia. Manusia mempunyai sisi keburukan dan kebaikan, oleh karena itu kumpulan dari pikiran manusia besar sekali kemungkinan menuju kepada kebaikan. Allah selalu berpesan agar kita senantiasa menghormati perjanjian-perjanjian atau kontrak-kontrak (‘uqûd) di antara kita. Karena itu undang-undang yang betul-betul absah harus kita hormati. Maka kalau kita sudah sepakat lampu merah adalah berhenti, kita harus menghormati lampu merah itu. Ini adalah ketaatan yang sepertinya sederhana, tetapi dari segi agama hal itu adalah ketaatan kepada Allah. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya” (Q 5:1). Dengan ayat itu, jelaslah bahwa umat Islam adalah umat yang dididik untuk taat kepada aturan. Makanya Islam disebut sebagai dîn. Dîn adalah sistem ketundukan atau kepatuhan. Sedangkan masya-rakatnya disebut madînah, artinya suatu tempat di mana kehidupan itu teratur, karena orang-orangnya tunduk dan patuh kepada aturan.
Posted on: Thu, 15 Aug 2013 05:17:20 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015