Islam, Politik, dan Negara di Tunisia Kelompok Islami dan sekuler - TopicsExpress



          

Islam, Politik, dan Negara di Tunisia Kelompok Islami dan sekuler Tunisia semakin terpolarisasi sejak 2011 terutama setelah Al Nahda, gerakan Islam moderat yang didirikan pada tahun 1980 oleh Rachid Ghannouchi dan Abdelfattah Mourou memenangkan Pemilu 2011. Al Nahda memenangkan 37% suara. Oleh karena itu partai telah menemukan dirinya di tengah perdebatan yang muncul atas agama, negara, dan identitas. Pemimpin Al Nahda menyebut diri mereka sebagai kelompok moderat yang mendukung partisipasi demokratis, mendukung pemisahan agama dan negara, menentang ekstremisme agama, dan berusaha mendukung kebebasan perempuan. Namun partai tampaknya akan menghadapi perpecahan internal setelah kelompok-kelompok Islam radikal mendapat dukungan rakyat. Kelompok sekuler menuduh Al Nahda sebagai partai berwajah dua karena menampilkan moderasi agar bisa masuk di pemerintah dan meyakinkan mitra asing, tapi bertahap memperkenalkan undang-undang secara ketat. Sebaliknya, anggota Al Nahda mengaku merasa terancam oleh kelompok kiri dan aktor elit sekuler yang mereka tuduh membatasi pengaruh politik kelompok Islamis. Anggota parlemen Al Nahda pernah mengusulkan agar syariah dijadikan sebagai sumber hukum di Tunisia, telah bertentangan dengan Konstitusi lama Tunisia yang menyatakan bahwa “agama Tunisia adalah Islam, bahasa Arab sebagai bahasa resmi Negara. Pengamat menilai usulan itu beretentangan dengan identitas masyarakat Tunisia. Kelompok Islam konservatif menggelar unjuk rasa besar untuk mendukung usulan tersebut, sementara Majelis Ben Jaafar mengancam mengundurkan diri jika usulan Al Nahda diadopsi. Al Nahda akhirnya mengumumkan tidak akan mendukung syariah, dan menegaskan kembali mendukung konstitusi. Keputusan ini dielu-elukan oleh pihak sekuler dan dinilai sebagai kemenangan bagi suara-suara moderat di intenal partai, namun beberapa kelompok konservatif, melihat hasil tersebut sebagai sebuah pengkhianatan. Perdebatan serupa muncul ketika Kementerian Agama Negeri mengatur tentang kegiatan keagamaan menyatakan bahwa kelompok Salafi sebagai kelompok Islam konservatif. Pemahaman keagamaan salafi terlihat pasca Ben Ali, yang menantang pemerintah melalui protes, ancaman, dan kadang-kadang melalui tindakan kekerasan. Awal 2012 Ghannouchi dan tokoh Al Nahda lainnya menyatakan bahwa partai itu melibatkan kelompok Salafi dalam dialog tentang sistem politik, dan menekankan bahwa aksi-aksi kekerasan dan ideologi jihad tidak akan ditoleransi. Kritikus Al Nahda ini menilai tidak adanya tindakan yang cukup untuk mencegah dan menghukum kelompok Salafi yang berusaha untuk mengintimidasi aktivis sekuler, intelektual kampus, dan lawan politik. Agitasi dan kekerasan kelompok Salafi meningkat walaupun pemerintah telah mengambil sikap tegas terhadap mereka. Mei 2012, ribuan pendukung mereka menghadiri “konferensi nasional” yang diselenggarakan oleh kelompok Ansar al-Syariah Salafi di Kairouan. Bulan yang sama, kelompok Salafi menyerang penjual minuman keras di pusat kota Sidi Bouzid, dan pada pertengahan Juni, mereka juga terlibat dalam kerusuhan di Tunis, serta bentrok dengan polisi memprotes pertunjukan seni yang mereka anggap telah melukai umat Islam. Perdana Menteri Jebali dan Menteri Dalam Negeri Ali Laraydh memperingatkan bahwa pemerintah tidak ragu menggunakan kekuatan untuk menertibkan kelompok pemerotes. Setelah kerusuhan Juni, pemerintah mengancam menggunakan undang-undang anti-teror terhadap mereka yang menggunakan kekerasan. Pada saat yang sama, pemerintah mengutuk tindakan-tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Posted on: Wed, 30 Oct 2013 07:03:42 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015