KETIKA FLAMBOYAN BERBUNGA MARIA A. SARDJONO part 13 Target 29 - TopicsExpress



          

KETIKA FLAMBOYAN BERBUNGA MARIA A. SARDJONO part 13 Target 29 like #jacob_black Bram. Rasanya sudah berabad-abad lamanya aku tak pernah lagi mendengar suaranya. Kenapa tiba-tiba dia meneleponku? Akan mengabariku bahwa dia akan menikab dengan Nina yang pernah menjadi teman. dekatku itu? Masih ingat suaraku? tanya suara di seberang sana. Siapa, ya? Aku pura-pura tidak ingat. Pertama, belum tentu telingaku benar. Si penelepon itu bukan Bram. Mungkin saja itu suara seseorang yang mirip dengan suara Bram. Kedua, aku tidak ingin Bram jadi besar kepala karena aku masih ingat pada suaranya. Masa lupa sih? Maaf, aku benar-benar tidak mengenali suara Anda. Semula kusangka suara Gatot, tetapi kok agak beda, sabutku. Pikirku, kalau itu memang suara Bram, aku ingin memberinya kesan bahwa aku sudah mempunyai teman laki-laki. Siapa itu Gatot? Kudengar suara itu lagi. ini aku, Ambar, Bram. Bram? Aku masih tetap berpura-pura tak ingat. Bram, Bram yang dulu itu? Ya, Ambar. Masa kau tak mengenali suaraku? Aduh, maaf. Aku pangling, sahutku berusaha tenang. Sudah terlalu lama aku tidak mendengar - suaramu, mana mungkin. aku bisa segera mengenali¬nya? Benar-benar sudah tidak ada lagikah aku dalam kenanganmu, Ambar? Tidak tersisa sedikit pun? Tentu saja masih ada yang kukenang, Mas. Masa iya kulupakan begitu saja. Wah, kejutan kalau begitu. Ak:u tak menyangka kau masih mau mengingat diriku! Kudengar nada suara hangat dari seberang sana. Terima kasih, Ambar. Tetapi bolehkah aku tabu kenangan mana yang masih ada padamu itu? Samakah seperti yang kukenang selama ini? Itu Tho, Mas, kenangan sewaktu aku terburu¬buru ke temp at kosmu untuk mengatakan sesuatu, tetapi di sana aku menemukan dirimu sedang ber¬mesraan penuh gairah dengan Nina! aku menjawab dengan kalem. Ah, Ambarl Suara Bram di seberang sana mulai hilang kegernbiraannya. Tetapi memang itulah kenangan tentang dia yang masih tersisa padaku. Sesuatu yang justru memacu dirik:u untuk bersikap lebih waspada dan lebih arif dalam menjalani kehidupan selanjutnya. Khususnya yang berkaitan dengan pergaulan. Kenangan pahit dengan Bram telah kuambil hikmahnya. Bahwa be¬tapapun sakitnya diriku saat itu, pengalaman itu te¬lab membuka wawasan baru dalam diriku. Misal¬nya mengenai betapa tipisnya batas an tara cinta dan nafsu. Jadi, bagaimana mungkin aku bisa melu¬pakan kenangan pahit saat aku menyaksikan sebuah kesetiaan cinta tercabik hanya oleh nafsu badaniah? Kusangka kau masih mengenangku dalam hal lainnya. Kudengar lagi suara Bram. Ada nada merajuk dalam suaranya. Kalau yang Iainnya, terns terang saja aku talc pernah mengingatnya lagi. Lagi pula semua itu kan gombal belaka, masa harus dikenang? sa¬hutku. Laiu dengan gesit aku mengalihkan pembi¬caraan. Apa kabar, Mas? Tumben meneleponku. Jangan-jangan mau menyarnpaikan kabar gembira tentang kau dan Nina. Kalau ya, jangan lupa kartu undangannya lho, Aku pasti akan datang untuk mengucapkan selamat pad a kalian berdua. Wah, bukan main tangkasnya bicaramu sampai aku tak bisa menyelamu. Maaf, aku bergumam pelan. Nab, kalau begitu katakanlah segera, kapan hari babagiamu akan di¬langsungkan ? Tidak ada kabar gembira seperti yang kau¬sangka itu kok, Ambar, Hubunganku dengan Nina sudah putus sejak kemarin-kemarin. Oh, maaf. Aku ikut prihatin mendengarnya. Aku kaget mendengar berita itu. Lalu kenapa kau meneleponku? . Tidak boleh, ya? Bukannya tidak boleh. Tetapi untuk apa? Kok untuk apa? Kudengar Bram menggerutu. Hubungan cinta di antara kita berdua mernang sudah berakhir. Tetapi itu kan karena kau yang memutuskannya. Seribu kali aku minta maaf kepa¬damu, tetapi seribu kali pula kautolak permintaan maafku itu. Telepon dari Nina pun tak pernah kauterima. Tetapi aku ingat betul tentang persetujuanku tatkala aku memintamu agar kita tetap berteman meskipun sudah tidak menjadi sepasang kekasih lagi. Lalu sekarang apa maumu? Menagih janjimu, yaitukita tetap berteman. Maka hari ini aku ingin menyaparnu. Sapaan per¬tamaku adalah ingin tahu apa kabarmu. Kabarku? Aku baik-baik saja. Terima kasih! Ah, seharusnya kuakhiri saja pembicaraanku de¬ngan Bram itu. Aku agak curiga mengapa dia tiba¬tiba menghubungiku lagi. Jangan-jangan itu dise¬babkan karena hubungannya dengan Nina putus lalu ia mulai merasa kesepian. Aku tak berminat jadi ban serep baginya. Memangnya aku ini siapa? Kedua, aku ingin tahu apakah sesekali aka masih boleh datang berkunjung ke rumahmu. Sebab menurut janjimu waktu itu, kita kan masih berte¬man. Dan yang namanya berteman, tentunya ada saat di mana saling berkunjung atau sedikitnya sa¬ling berkabar di antara ternan. Bagaimana Ambar, boleh? Terserah. Kok terserah? Habis aku harus mengatakan apa? Kalau aku mengatakan tidak seperti yang ada di dalam hatiku, tentu itu tidak pantas diucapkan oleh seorang te¬man. Mau mengatakan boleh, aku tak bisa menja¬min apakah aku ada di rumah atau tidak saat kau datang berkunjung. Sekarang ini aku sibuk sekali dan sering bepergian. Kalau saat aka datang ke rumahmu kau tidak ada di rumah, itu risiko yang harus kuterima. Yang penting, asal kau memberiku izin berkunjung ke rumahmu. Aku diam saja sehingga Bram mengisi kediam¬anku dengan suaranya lagi. Ambar, tidakkah kau ingin tahu kenapa hu¬bunganku dengan Nina putus? Terus terang, tidak. Untuk apa sih? Lagi pula itu kan bukan urusankulagi, Mas Bram. jawabku tegas. Tetapi aka ingin menceritakannya padamu, Ambar. Setidaknya aku bisa mengeluarkan ganjalan perasaanku sebagai seseorang yang pemah dekat dengarunu! kala Bram. Terutama aku ingin me¬ngatakan kepadamu betapa pedihnya perasaanku setiap aka teringat bagaimana kau memergoki peng¬khianatanku waktu itu. Apalagi yang mengkhia¬natimu itu bukan hanya kekasihmu saja, tetapi juga sahabatmu .... . Peristiwa itu sudah lama kulupakan. Untuk apa dibicarakan lagi sib, Mas! aku memotong perka¬taan Bram yang belurn selesai itu, Aku cuma mau mengatakan betapa besar pe¬nyesalanku karena pernah menikamkan penderitaan ke jantungmu, dan sekarang ini aku rnengalami hal yang sarna. Rasanya aku seperti kena kutuk. Nina mengkhianatiku dengan ternan sekantorku sen¬diri dan kemudian ... Aduh, Mas, jangan menyangkut-pautkan apa yang kaualami sekarang ini dengan peristiwa lama yang sudah terkubur, aku memotong lagi perkataan Brarn dengan perasaan muak. Rupanya masih saja dia tidak memahami bahwa rasa sakit yang menghunjarn kalbuku itu lebih ba¬nyak disebabkan oleh kekecewaanku atas pengkhia¬natan terhadap kesetiaan, persahabatan, rasa hormat, dan keteguhan memegang prinsip moral, daripada kehilangan seorang kekasih dan sahabat baik. Dan bahwa yang tidak bisa kuterima adalah kenapa pengkhianatan yang meneabik prinsip hidup uta¬maku itu justru dilakukan oleh dua orang yang paling dekat dengan diriku. Sarna sekali dia tidak mengerti di mana sakit yang kurasakan itu berasal. Tetapi, Ambar ... Tunggu, aku belum selesai bieara! selaku lagi. Peristiwa lama itu jangan kauungkit-ungkit lagi, Mas. Buat apa? Aku benar-benar sudah melupa¬kannya. Kalaupun ada kaitannya, itu adalah hikmab yang kudapat dari pengalaman pahit itu. Antara lain bahwa dalarn kehidupan manusia, ada banyak rene ana, cita-cita, keinginan, dan lain sebagainya yang bisa mengalami kegagalan sebelum kita dapat meraihnya. Tentu saja itu menimbulkan kekece¬waan, ked! maupun besar porsi kekecewaannya. Tetapi suatu ketika nanti, cepat atau lambat, kita bahkan bisa berterima kasih kepada Tuhan atas atas kegagalan itu. Sebab kemudian terbukti, ada hal lain yang jauh lebih baik dari rencana kita. Dan itulah yang kualarni. Alangkah bijaknya kau sekarang, Ambar. Men¬dengar perkataanmu itu tiba-tiba saja aku mulai melihat sisi baik dari pengkhianatan Nina dengan temanku itu. Pertarna, sekarang aku jadi lebih mampu memahami bagaimana perasaan orangyang dikhianati. Kedua, pengkhianatan itu untungnya terjadi sekarang, sebelum Nina menjadi istriku. Ketiga, dengan keadaanku yang bebas begini, aku jadi tidak takut lagi menghubungimu. Sebab se¬belum ini Nina sangat eemburu terhadapmu. Men¬dengar namainu kusebut saja dia sudah marah¬marah Dan yang keempat, sekarang aku bisa lebih meresapi makna maafk:u terhadapmn atas perbuatan¬ku di masa lalu. Aku terdiam, berusaha mencema apa yang baru saja diceritakan Brarn. Jadi begitulah rupanya akhir hubungan cinta mereka berdua. Nina bermain api lagi. Aku ingat, gadis itu memang agak nakal. Dulu semasa kami masih duduk di SMA saja pun, dia sering main mata dengan pemuda-pemuda yang barn dikenal. Pacamya berganti-ganti. Kalau ku¬nasihati, dia marah. Katanya, perbuatannya itu cuma iseng saja. Bukan sesuatu yang serius. Tetapi temyata di masa dewasanya, keisengan itu masih saja dipertahankannya. Bahkan tanpa menenggang perasaan orang. Karena aku tidak memberi komentar apa pun atas perkataannya tadi, Bram melanjutkan kata¬katanya. Sungguh, Ambar, aku merasa lega karena akhir¬nya keinginanku untuk menghubungimu kembali terwujud, katanya. Entah apa maksud ueapannya itu. Tetapi sedikit pun aku tak berrninat untuk mengetahuinya. Sudah terlalu banyak yang kupikirkan saat ini. Aku tidak ingin menambahinya lagi. Maaf, Mas, aku sedang banyak pekerjaan, akbirnya kuputuskan untuk menghentikan pembica¬raan yang tak ada manfaatnya itu. Kapan-kapan saja kita mengobrol lagi, ya? Tidak enak melihat teman-temanku bekerja dan kita mengobrol di te¬lepon. Tuggu dulu, Ambar. Aku masih beluin selesai mengeluarkan isi hatiku. Sebentar saja. Ternyata tidak mudah menghindari Bram. Baiklah. Tetapi cepat, ya? Oke. Begini, Ambar, setelah kupikir-pikir lagi temyata dikhianati kekasih itu tidak selalu menye¬dihkan ... Mas, hari ini sudah cukup banyak aku mende¬ngar kisahmu dengan Nina, kataku menyela. Ah, temyata ya cuma itu-itu saja yang ia katakan pa¬daku. Sungguh menyebalkan, Bicara yang lainnya ajalah. Saat ini aku benar-benar sedang repot! Oke. Tetapi berikanlah padaku pandangan¬pandanganmu yang mungkin bisa menjadi bahan refleksi buatku. Aku hanya bisa mengatakan bahwa aku ikut prihatin ata gagalnya hubunganmu dengan Nina. Sudah kukatakan tadi, kan? Tetapi mudah-mudahan itu menjadi pelajaran bagimu di mas a depan. Kalau kau akan menjalin hubungan baru dengan gadis lain, sebaiknya kau lebih berhati-bati dan lebih arif. Jangan biarkan nafsu kotor mernbauri cinta. Sebab pasti tidak akan bagus akhirnya, Oke? Aku ... aku ... mengerti, kudengar suara Bram mengandung rasa malu. Tetapi hanya itu sajakah . yang kaukatakan padaku sesudah sekian lamanya kita tidak pemah saling berkabar? Lho, aku hams mengatakan apa lagi? sahutku dengan suara agak meninggi. Bahwa aku merasa senang karena kau juga mengalami apa yang pemah kurasakan waktu itu? Wah, kau keliru kalau ber¬. pikir seperti itu. Sebab bagiku, akan lebih menye¬nangkan kalau aku mendengar kau sudah menikah dengan Nina dan hidup berbahagia bersamanya. Sebab dengan demikian, kau tidak lagi punya ke¬sempatan untuk meneleponku. Apalagi pada saat jam kantor sedang sibuk-sibuknya. Maaf aku ter¬paksa mengatakan apa adanya. Dalam hal yang penting begini aku tak mau berbasa-basi. Ini me¬nyangkut tanggung jawabku sebagai karyawan. Tetapi, Ambar, percayalah bahwa aku tidak akan berani meneleponmu seandainya aku tidak mengetahui banyak hal tentang dirimu. Kata me¬reka, kau ... Banyak bal seperti apa dan siapa yang menga¬takannya? aku memotong lagi perkataan Bram dengan tidak sabar. Ah, apa saja yang orang-orang bicarakan di belakangku? Bahwa di kantor dan di antara teman-temanmu di Iuar kantor, kau dijuluki dengan sebutan si gu¬nung es. Ya, kan? Si gunung es? Kukerutkan dahiku. Aku belum pernah mendengar julukan itu, Lagi pula apa alas¬annya? Wah, rupanya kau tidak rnenyadari keadaan di¬rimu sendiri, Ambar, Orang-orang itu bilang bahwa sejak kau putus hubungan denganku, sikapmu ber¬ubah rnenjadi dingin, kaku, dan rnengambil jarak dalam pergaulan. Terutama terhadap laki-laki. Me¬reka juga rnengatakan padaku bahwa sampai saat ini kau masih belurn rnempunyai seorang kekasih. Karena itulah, Ambar, aku berani meneleponmu. Aku tahu ada banyak ternan yang menganggap¬ku kapok berpacaran lagi ketika mereka rnelihat perubahan sikapku setelah putus dengan Bram. Tetapi aku tidak pemah menyangka diriku telah menjadi bahan pembicaraan mereka dan bahkan mendapat julukan sebagai gunung es, kaku, meng¬ambil jarak, dan seterusnya. Hmm, begitu, sabutku kemudian. Lalu ba¬gaimana rnenurutrnu endiri? Terus terang aku merasa edih. Akibat per¬buatankulah kau jadi dingin terhadap laki-laki. Sungguh, aku sangat menyesal. Tak perlu sedih begitu. Itu cuma cerita lama. Sekarang aku sudah tidak seperti apa yang dikata¬kan orang-orang itu di belakangku. Kan tadi sudab kukatakan padamu bahwa aku telah mendapat hik¬mahnya, sahutku. Saar ini aku sedang giat-giatnya menyusun masa depan yang lebih gemilang. Jadi, Ma , kurasa sudah tidak rel evan lagi kalau kau rnasih membicarakan hal-hal yang telah lewat. Nah, kita cukupkan pembicaraan kita sarnpai sekian ... Tunggu dulu Ambar! Sudahlah, Mas, aku tak punya waktu lagi untuk berlama-lama denganmu. Aka hanya berharap kau bisa segera mendapat kekasih baru yang lebih baik segalanya. Maaf, aku harus rnengingatkanmu bahwa saat ini aku masih di kantor. Baiklah kalau begitu. Tetapi boleh kan kalau kapan-kapan aku datang untuk menjurnpaimu di rumah atau mungkin di kantor? Terserah. Sudah kukatakan tadi, kan? Juga de¬ngan segala alasannya? Kudengar helaan napas Bram di seberang sana. Baiklah, Ambar, kita sudahi dulu pernbicaraan kita. Tetapi rasanya ingin sekali aku segera meli¬hatmu kernbali. Seperti apa kau sekarang? Perkataan Bram kupotong dengan cepat. Sela¬mat siang, Mas! Dan sebelum kudengar apa pun dari seberang sana, kuletakkan kembali gagang telepon ke tern¬patnya. Aku benar-benar merasa kesal ditelepon oleh Brarn. Sudah begitu bicaranya lama dan ber¬tele-tele seperti kantor ini milik ayahku saja. Ba¬giku, dia itu sekarang tak berarti apa-apa lagi. Dan aku sudah tidak mempunyai perasaan apa pun terhadapnya. Entah itu cinta, entah itu rindu, entah itu benci atau apa pun. Dia hanyalah salah satu perjumpaan dalam hidupku. Sarna seperti per¬jumpaan-perjumpaanku dengan orang lain. Berpa¬pasan sekali atau dua kali, bertegur sapa untuk kemudian terlupakan seiring dengan jalannya waktu. Sahat yang duduk tak jauh dari meja telepon melirikku. Aku yakin, ilia cukup banyak mendengar suaraku dan menarik kesimpulan dari perkataan-perkataan yang kuucapkan tadi. Ah, apa peduliku? Bukan utusannya. Tempi, seorang ternan yang ke¬betulan lewat di muka meja kerjaku setelah ak:u kembali duduk di situ, menegurku. Hei, kenapa kau seperti orang sedang sakit gigi, sih? Kuangkat wajahku. Linda, si burung nuri di kantor kami, sedang menghentikan langkah kakinya sejenak dan berdiri ke arahku dengan penuh gaya. Ada beberapa lembar kertas di tangannya. Bisik-bisik ternan di kantor mengatakan bahwa Linda pernah menjadi model dan peragawati. Tetapi tidak diteruskan karena kekasibnya tidak menyetujui profesi yang mas a kejayaannya tidak panjang itu. Maka Linda pun melanjutkan studinya sampai S2 dan berkarier di bidang perbankan. Kini sang ke¬kasih telah menjadi suami yang sangat mencintai¬nya. Mereka hidup berbahagia. Dan gaya Linda yang aduhai bisa ditatap secara langsung di mana¬mana. Tidak perlu melalui foto dan tidak usah di atas cat walk. Kenapa kau bilang begitu, Lin? Aku pura¬pura tak tahu. Padahal aku sadar, sejak Bram me¬neleponku tadi, ak:u jadi uring-uringan sendiri. Biasanya meskipun tidak banyak bicara, wa¬jahmu selalu tampak cerah dan memancarkan ke¬manisan hatimu. Linda tersenyum. Apakah kau sedang kedatangan itu tuh, si rembulan? Mau tak mau aku tertawa. Linda selalu saja menghubungkan emosi ternan-ternan perempuannya dengan siklus haid. Jangan kaitkan aku ke situ, Nyonya, sahutku kemudian. Aku tak pemah terpengaruh o1eh hal¬hal semacam itu. Dan kalaupun ada pengaruh semacam itu, percayalah aku pasti bisa menga¬tasinya. Manusia kan dianugerahi akal budi oleh Tuhan. Dan nianusia mempunyai martabat yang tinggi. Maka kalau kita menyerah pada hal-hal yang bersifat biologis, lha apa bedanya kita de¬ngan . makhluk lainnya, bukan? Dan ke mana martabat kita sebagai makhluk tertinggi ciptaan Tuhan ini? Linda ganti tertawa. Kau semestinya tidak bekerja di sini, Ambar. Tetapi menjadi dosen! perempuan muda itu ber¬komentar. Nab, kembali ke soal semula, kenapa bibirmu meruncing begitu sih? Kalan kau memang ingin tabu, katakanlab pa¬daku dengari terus terang ten tang satu hal yang ingin kuketahui. Apa itu? Apakab benar teman-teman kita pernah men- julukiku si gunung es di belakangku? Linda tertawa lagi. Kok kau tahu sih? dia rnalah balik bertanya. Ya tahu dong. Ada yang bilang! aku meng- gerutu. Sialan. Begini kok dijuluki i gunung es! Untuk ketiga kalinya Linda tertawa. Makanya, Non, jangan selalu bersikap dingin seperti e dan menganggap ternan-ternan pria kita seperti angin lalu. Mereka takut mendekatimu, katanya kemudian sambil melenggang pergi. Jadi sebaiknya kauubah sikapmu dan jangan uring-uringan kalau dijuluki .gunung es lagi. Aku terdiam. Kutatap punggung Linda yang nyaris 1enyap di ba1ik pintu. Harus kuakui, dia be¬nar. Aku memang terlalu banyak mengambil jarak terbadap teman-ternan pria di kantor ini. Kalau ada di antara rnereka tampak mulai ramah sedikit saja, aku langsung menutup diri. Memang kupikir¬pikir, orang-orang itu pasti merasa seperti mem¬bentur gunung es yang menju1ang tinggi .kalau berhadapan denganku. Mungkin memang aku harus mulai mengubab sikap demi sopan santun pergaulan, pikirku sambi1 berusaha berkonsentrasi untuk melanjutkan peker¬jaanku kembali. Tetapi menjelang jam dua belas, konsentrasiku dibuyarkan lagi oleh suara dering telepon. Kali itu telepon dari bawah. Bukan dari luar kantor. Namun temyata juga untukku. Ada yang mencarimu, Ambar, Kusuruh dia du¬duk di ruang tunggu, kata seorang ternan yang bertugas di bawah. Hatiku berdebar. Bram-kah yang datang? Atau siapa? Laki-laki atau perempuan? tanyaku kemudian. Perempuan. Entah siapa lagi yang mengganggu ketenanganku itu, tanyaku dalam hati, Kulirik arloji yang me¬lingkari tanganku. Jam dua belas kurang enam rnenit. Sebentar lagi jam istirabat makan siang. Maka kusambar dompet dari dalam tas yang kugantungkan di punggung kursiku. Aku ingin makan soto mi. Hujan-hujan begini pasti enak -makan yang panas-panas tetapi menyegarkan seperti itu. Tetapi temyata han ini nasibku memang sedang sial. Tamu yang mencariku itu temyata RinJ., bekas kekasih Gatot. Entah mau apa dia mencariku sam¬pai kemari. Tetapi radar dalam kepalaku memintaku agar aku waspada. Dengan pikiran itulah kuajak dia masuk ke ruang tamu yang tak terlalu ramai. Aku tak ingin ada orang yang mendengar pembi¬caraan kami. Ada yang perlu kubantu? tanyaku begitu karni telah duduk berhadapan. Ya. Bantulah aku! Dalam hal? Menyadarkan Mas Gatot, bahwa dia masih mencintaiku ! Aku nyaris temganga mendengar perkataan tak terduga itu. Rupanya radar di dalam kepalaku tadi cukup peka menangkap ge1agat yang tak menye¬nangkan. Kau itu bicara apa sib, Rin? kataku sesudah mampu mengua ai diri. Memangnya Mas Gatot itu anak kecil yang masih bisa didikte dan diarah¬kan begitu saja semau gue? Kalan begitu jauhkanlah dirimu dari dia, Rini meralat. Wah, bukan main beraninya gadis ini. lnikah yang disebut kemajuan zaman? Alasannya? aku bertanya dengan sikap sabar yang berhasil kuperlihatkan. Aku tak mau jadi perhatian ternan-ternan yang ada dl sekitar tempat kami duduk. Alasannya, aku ingin dia kembali kepadaku! Rini menjawab langsung. Sebab putusnya hu¬bungan kami waktu itu tidak disebabkan oleh hal¬hal besar. Juga bukan karena orang ketiga. Jadi Aku tertegun lagi. Ingatanku melayang kepada Tina. Seandainya dia yang didatangi Rim, entahlah apa yang terjadi. Adikku itu masih sangat rnuda. Kalau Rini rnenekan dan mernojokkannya, maka kemungkinan besar dia akan kalah. Jadi, untunglah . Rini tidak tahu bahwa kekasih Gatot yang sebe¬narnya bukanlah orang yang ada di hadapannya ini. Lalu kau mau apa, RiD? Sudah kukatakan tadi, membuka mata Mas Gatot bahwa sesungguhnya dia rnasih mencintaiku dan bahwa hubungannya dengan gadis lain, siapa pun dia, hanyalah pelarian belaka. Dalam hal ini perlu kauketahui, Am bar, bahwa kami dulu betul¬betul saling mencintai. Kekurangan kami, sama¬sama belum matang secara mental. Waktu itu aku terlalu banyak menuntut darinya. Ya waktunya, ya 214 perhatiannya, ya daya juangnya. Antara lain, aku ingin agar dia bisa seperti ayahku yang sukses. Tetapi kemudian ... Tunggu dulu, Rin, aku memotong perkataan¬nya. Sebenarnya apa sih tujuanmu menceritakan semua ini padaku? Rini tertegun beberapa saat lamanya. Mungkin dia sadar, dirinya terlalu banyak bercerita, se¬dangkan apa tujuannya menjumpaiku belum diuta¬rakannya secara jelas. Kalaupun dia memintaku agar menjauhinya, bagaimana caranya dan apakah Gatot bisa semudah itu diatur olehku ataupun olehnya? Begini, sahutnya beberapa saat kemudian. Seperti yang sudah pernah kukatakan kepada Gatot waktu kita bertiga makan bersama 1tu, dia sekarang benar-benar sudah maju. Bahkan bolehlah disebut sukses. Tetapi dalam hal ini mungkin kau tidak tahu, Ambar, bahwa kesuksesan itu berkat diriku . Aku punya andil besar di dalamnya. Akulah yang rnemacu dirinya sebingga bisa seperti........... Next
Posted on: Mon, 28 Oct 2013 14:13:49 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015