Kala Senja Menyapa (Cerpen gay ) Senja yang indah di - TopicsExpress



          

Kala Senja Menyapa (Cerpen gay ) Senja yang indah di malalayang, salah satu sudut kota manado yang terkenal dengan pantainya yang indah,. memang tak seindah pantai bunaken yang memang menjadi ikon bahkan bisa di klaim sebagai maskod pariwisata sulawesi utara, namun tetap tak kalah pamor dari pantai tersebut. Sinar matahari yang kian temaram, terbias sempurna oleh riak permukaan air laut yang beradu dengan kokohnya karang-karang disepanjang bibir pantai, detik demi detik kian berlalu seraya sang surya yang perlahan mulai tenggelam ke peraduannya, suasana senja seperti ini terasa begitu tenang dan menhanyutkan. Suara derap langkah lari seseorang semakin mendekati julian yang tengah asyik memandangi matahari terbenam, derap langkah itusemakin dekat beriringan dengan seruan seseorang memanggil namanya. “kak lian, ada surat nih? dari kak vino katanya, temannya dari bandung datang, nitipin ini sama aku, dia nggak bilang apa-apa trus pergi gitu aja, di baca gih kak!” serunya penasaran. Julian tak menjawab, diraihnya surat itu dari tangan adiknya lalu diletakan didadanya, suara radio di sampingnya makin ia perkeras, lantunan lagu titiek puspa semakin keras mengalun indah bersanding dnegan suara debur ombak yang menderu berkejaran. “ih kakak, dibaca dong suratnya kak!” serunya kesal. “dia pasti datang yanti, dia pasti datang” matanya terbuka perlahan menatap langit senja yang termaram, senyuman nanar tergurat di wajahnya, sesaat kemudian matanya kembali terpejam, kembali menikmati alunan musik dari radio butut kesayangannya. “kakak nih kenapa sih kak… !” “yantiii !!!” belum selesai yanti bicara, terdengar seruan mamanya dari arah rumah makan. “yantiii kamu kemana sih, ini banyak yang makan kamu malah keluyuran, mama kewalahan kalo begini !” omel ibunya semakin geram. “iya maa.. yanti balik sekarang.. huhhh…” dengan kesal ia meninggalkan kakaknya dipinggir pantai dengan rasa penasaran yang kembali harus di rengkuhnya. Julian masih betah tiduran dibatu besar itu, matahari kini sudah tak kelihatan, langit sudah abu-abu, hnaya bias cahaya sang surya yang masih mengintip di ufuk barat yang menjadi satu-satunya sumber cahaya di situ, kerlap-kerlip lampu hias dirumah-rumah makan disepanjang bibir pantai mulai semarak. Benak julian kini mulai menjelajah ke masa lalu, masa-masa indahnya bersama vino, ia menggumam sendiri. “vin, aku akan menunggu, aku tau kamu pasti akan datang, akan menyambutmu dengan sukacita, dengan merangkul tubuhmu erat. Kita akan jalani semuanya bersama lagi, jalan-jalan keliling kota, main voli bersama di pantai, nonton film, bantu mamak masak di rumah makan, jalan-jalan ke bukit-kasih bersama lagi, makan jagung disana…” ia terdiam sejenak. “atau sekedar duduk berdua di batu ini, mendengar musik klasik dari radio usangku ini…” matanya kini terpejam lagi, benaknya mulai kosong, kantuknya kini berkuasa, ia terlelap. Manado, Desember 1998 Deru ombak pantai manado seolah musik yang mengisi keheningan diantara dua pemuda yang saling bisu duduk bersandar disebuah batu. Tak ada kata terucap dari keduanya, mereka sibuk bergumul dengan pikiran masing-masing. Julian mendengus resah, tangan vino dipegangnya erat. “tolong mengertilah lian, aku.. ini bukan kemauanku, ini diluar dayaku, aku pun tak bisa apa-apa” ujar vino gundah. “apa kau harus vin ? tak adakah jalan lain ?” sergah julian kalut, terus berusaha membujuk vino. “aku tak tau yan, aku bingung, aku tak berdaya dengan orang tuaku,kabar hubungan kita sudah sampai ke telinga mereka, mereka sangat murka terhadapku” Julian tak menjawab, ia tertunduk bisu seraya mulai terisak pilu. “hanya sampai seginikah perjuanganmu untukku vin ?” cecar julian disela isakannya. “sudahlah lian, mengertilah, kita tak ditakdirkan untuk bersama, takdir kita adalah bersama wanita, menikah, berkeluarga, membesarkan anak. Sebaliknya aku ragu kalau kita punya alasan untuk bersama, apalagi untuk selamanya, itu tak mungkin ! bagaimana pun beratnya kita harus mengakhirinya”desah vino kalut. Julian menunduk muram, “lalu.. apa yang kau cari dariku, yang bagaimana pun juga nanti akan kau tinggalkan ini ?” “aku ingin menikmati segala yang masih tersisa sayang, dan… meskipun kita harus berakhir, bagaimana mungkin aku melupakanmu?” Keduanya kembali terdiam, hanya deburan ombak yang terdengar menderu. Cahaya sang raja kelana kian meredup, sinarnya terbias keemasan dipermukaan air laut, segerombol burung berwarna putih berterbangan menuju ufuk barat, seolah mengejar sang surya yang hampir tenggelam. Hari-hari itu, detik-detik terakhir kebersamaan mereka berdua, menjadi beban terberat yang terus menindih hati mereka. Sisa waktu dimana perpisahan sebentar lagi datang. Julian menegakkan tubuhnya, kemudian bangkit beranjak meninggalkan vino. “aku mau pulang, mamak pasti sudah mencariku..” katanya lesu. Vino mengangguk lemah, ia tak beranjak, hanya memandang lesu kekasihnya yang semakin menjauh. Tapi sesaat kemudian, batinnya berontak, dengan sigap ia berlari mengejar Julian. Diraihnya lengan julian dan menariknya hingga julian terhempas dalam rengkuhannya, dipeluknya tubuh itu dengan erat, bibir mereka bertemu, gemuruh batin gundah mereka menderu, emosi keduanya mencuat, salinng meluapkan hasrat yang mendalam…… “andai bisa, aku tak ingin meninggalkanmu..” bisik vino disela pelukan eratnya, terdengar parau berbalut isakannya. Langit senja yang temaram hanya bisa menjadi saksi bisu romansa ke dua insan ini. Senja yang mempertemukan mereka, senja yang menemani perjalanan cinta mereka yang singkat, dan senja pulalah yang kini dengan tega memisahkan mereka. ========================================================================================== Bandung , Desember 2010 Vino sedang tertunduk gundah memandangi langit senja yang keemasan, berbias rona merah muda yag terpantul indah di antara gumpalan-gumpalan awal yang terlihat begitu lembut dan empuk. Tatapan kosongnya menerawang ke arah gerombolan awan itu, ia teringat kenangan bersama julian bertahun-tahun yang lalu, awan itu seolah menjadi layar proyektor yang memproyeksikan memori kebersamaan mereka berdua. Suara langkah kaki terdengar mendekatinya, memasuki halaman belakang balkon rumahnya. “tuan ini ada paket kiriman tiki, katanya dari manado” kata orang itu dengan hati-hati. Mendengar pembantunya menyebutkan kata manado, vino langsung antusias, susah payah ia tergopoh-gopoh mendorong roda kursi rodanya mendekati pembantunya itu. Diraihnya sebuah bungkusan kotak seukuran kotak sepatu, isinya lumayan berbobot, tapi sama sekali tak ditemui identitas pengirim. Ia menyuruh pembantunya itu segera meninggalkannya. Saat tengah sendiri ia perhatikan lagi dengan saksama kotak itu, sama sekali tak ada identitas pengirimnya, perlahan ia mulai merobek kertas pembungkusnya, lalu kemudian membuka kotak itu. Wajahnya langsung berubah pucat melihat benda apa yang ada di dalam kotak, sebuah radio tua yang sudah terlihat usang. Ia tak mungkin lupa benda itu, benda yang tak pernah absen menemani kebersamaannya dengan julian, julian selalu membawanya kemanapun mereka pergi, benda itu adalah saksi bisu romansa cinta terlarang mereka berdua. Kini benda itu sudah terlihat lusuh, entah masih berfungsi atau tidak lagi. Vino menatap nanar benda di genggamannya itu, dalam kotak tu juga terdapat selembar surat. ‘kepada sahabat lamaku, Malvino Pradirga’ ‘Vino, bagaimana kabarmu disana, kami berharap kau baik-baik saja disana. Aku minta maaf karena tak ada balasan dari suratmu sebelumnya, hingga setelah bertahun-tahun kau berhenti menulis surat. Kini aku membalas suratmu, untuk mengab arkan beberapa hal yang sangat penting untuk kau ketahui.’ ‘Sejujurnya aku hampir tak ada keberanian untuk menulis surat ini untukmu, sebelumnya aku harap kamu disana tabah dan sabar mendengar berita ini, yang mungkin akan mengagetkanmu. Bertawakalah sebab mungkin ini sudah takdir yang kuasa.’ Vino mengernyit gugup membaca kalimat terakhir dari surat itu, ia rapikan posisi duduknya, diletakan dahulu kotak berisi radio yang dari tadi di genggamnya. Kini ia leluasa membaca surat itu lagi. ‘Selain itu aku juga agak kurang yakin dengan alamatmu di bandung, sampai akhirnya secara kebetulan aku bertemu dimas, teman kuliahmu itu, dia yang sering membawa surat darimu untuk kak julian. Aku jadi tahu alamatmu darinya. Dia bercerita sedikit tentangmu yang atanya sekarag telah menikah dan dikaruniai seorang putra.’ ‘andai saja aku membaca suratmu sejak awal,aku pasti bisa tahu lebih awal soalpernikahanmu yang sebenarnya sempat kau kabarkan disurat terakhirmu, dan tentunya tak akan terlambat tuk mengucapkan selamat atas semuanya. Sayang sekali, suratmu baru kubaca beberapa minggu yang lalu.’ ‘aku sudah meneliti surat-suratmu pada julian, surat terakhir yang sudah 7 tahun yang lalu kau kirim, dan sejak itu tak ada surat lagi darimu. Dan dengan sangat menyesal aku harus mengatakan padamu, bahwa kak julian tak pernah sekalipun membuka surat kirimanmu, dia hanya menyimpannya dilaci, tak pernah membacanya. Itulah sebabnya tak pernah ada balasan dari suratmu selama bertahun-tahun.’ ‘kamu perlu tau vin, sejak kau tak lagi tinggal di manado, julian sangat benyak berubah, tak lagi seperti kak julain yang ku kenal dulu. Kerjanya hanya melamun seharian, sepertinya sangat kehilanga sosok yang sangat berarti dalam hidunya.’ ‘sepeninggalnya kau ke bandung, julian seolah-olah tak menganggapmu sudah pergi. Beberapa tahun terakhir, ia begitu terlihat aneh bagi kami semua disini. Aku dan ibu adalah orang yang paling cemas melihat keadaannya yang kian hari kian memprihatinkan. Ia selalu berlaku seolah-olah kau masih bersamanya. Sering bicara sendiri, kadang seperti sedang bicara denganmu, dia terlihat begitu rapuh.’ ‘aku paham kedekatan kalian berdua, walau aku sendiri tak cukup dekat denganmu, dan walaupun hingga kini aku masih tak dapat mengerti bagaimana itu terjadi. Aku mengerti julian sangat membutuhkanmu, kau adalah sosok yang sangat berarti baginya, bahkan dapatku katakan kaulah semangat hidupnya, meski tetap masih sulit bagiku memahami alasannya.’ ‘kami tak tau bagaimana cara mengatasi masalah ini, kami sendiri buntu. Kami tak mungkin membiarkannya menyusulmu ke bandung, ide itu terlalu gila, terlebih karena kini kau telah berkeluarga di sana, kami tak mau di cap sebagai perusak kebahagiaan orang lain. Kami pun tak mungkin memintamu kembali ke manado kan hanya untuk menemui julian bukan, kami tak punya hak untuk itu.’ ‘ya, selama ini kami memang tak pernah menceritakan tentang julian kepada siapapun, termasuk kepadamu. Harus ku akui, hal ini terasa seperti aib di keluarga kami. Tapi sekarang, aku pribadi berinisiatif memberi tahumu karena aku sadar, kau juga bagian penderitaan julian. Dan sekarang derita itu telah berakhir.’ DEG ! jantung vino tiba-tiba semakin cepat berdetak setelah membaca kalimat terakhir tersebut, matanya merngernyit resah ke segala arah. Ia tak berani membaca lanjutan surat itu, yang kebetulan berada pada halaman berikutnya. Ia tak berani membukanya, karena agaknya ia sudah tahu lanjutan surat itu. Setelah bebrapa saat ia beranikan diri untuk lanjut membaca surat tersebut, dibukanya perlahan lembaran kedua surat itu. ‘vino, julian sudah meninggal, akhir april yang lalu,tepat sehari setelah ulang tahunnya yang ke 26. Sebelumnya ia telah sempat mencoba bunuh diri dengan meminum racun, saat itu nyawanya hampir tak terselamatkan. Namun semenjak kejadian itu kondisi kesehatannya semakin menurun, ia terus berontak minta dipulangkan dari rumah sakit, sampai akhirnya kami menyerah, membiarkan dia dirawat jalan dirumah saja. Berbagai metode pengobatan telah dicoba, dan entah sudah berapa macam obat yang di minumnya, namun hingga sekian bulan berlalu kondisinya tak kunjung menunjukan perkembangan.’ ‘suatu sore kami dibuat panik karena julian tak ditemukan dikamarnya, infusnya pun ia cabut sendiri. Sontak kami sekeluarga panik dan berhamburan mencari julian kemana-mana. Gelagapan kami berkeliaran disepanjang pantai mencari keberadaan julian, hingga di senja hari kami harus tertunduk lesu menelan duka yang begitu mendalam ketika mendapati tubuh julian telah terbujur kaku sambil memeluk radio kesayangannya itu, ia kami temukan terbaring sudah tak bernyawa di atas batu besar di pantai. Aku yakin kau pasti tahu batu itu, karena batu itu agaknya adalah saksi bisu kisah cinta kalian berdua, di batu itu kalian selalu bersama, berdua memandangi langit senja higga matahari terbenam.’ ‘kami menganggap kini pernderitaan kak julian sudah berakhir, kami sudah mengikhlaskannya sebisa mungkin. Sepeninggal kak julian, aku baru bisa membaca surat-surat darimu padanya. Aku sudah membaca semuanya, dan akhirnya aku mengerti bagaimana kau sudah berusaha membuatnya bisa menerima kenyataan. Tapi rupanya kakakku itu terlanjur hidup dalam dunianya sendiri, halusinasi dimana kau masih bersamanya. Kurasa itulah alasan ia tak pernah mau membaca suratmu, karena membacanyasama saja merelakan bahwa kau sudah pergi darinya.’ ‘aku tak menyalahkan kamu atau siapapun atas ini semua, aku hanya ingin kau tahu apa yang telah terjadi pada orang yang pernah dekat denganmu, orang yang sangat mencintaimu, orang yang tak pernah bisa menerima kepergianmu’ ‘aku mengirimkan radio julian ini untukmu, karena ku tahu benda ini punya banyak memori indah antara kalian berdua, aku ingin kau memilikinya.’ ‘maaf bila sudah merepotkanmu dengan apapun yang kusampaikan ini. Aku titip salam pada Mariana istrimu, juga putramu kevin, semoga kalian menjadi keluarga yang bahagia di sana’ salam sahabatmu Rezkyanti Permana. Vino tertunduk lesu seusai membaca surat itu, dengan tangan gemetar di lipatnya kembali surat itu. Ia termenung di kursi roda menatap nanar langit senja yang terlihat sangat suram hari itu. Airmatanya perlahan menetes, semakin deras dan semakin deras, isak tangisnya pun mulai terdengar, begitu pilu. Direngkuhnya radio usang milik julian itu, ia menangis sejadi-jadinya, menyesali ketidak berdayaannya melawan keadaan. Kalau saja dulu ia punya keberanian lebih melawan semuanya, mungkin keadaan tidak akan seperti ini. Namun, apalah daya, nasi sudah jadi bubur, semua sudah terlambat, disesali pun tak ada gunanya. Suara derap langkah kaki kecil yang berlari ke arahnya. Vino menoleh. “papaaa…” seorang anak kecil menekap tubuh rentah vino saat itu. “iya sayang ada apaa..” senyum kecil berusaha di paksakan vino untuk anaknya itu. “papa kenapa nangis, jangan nangis pa, julian ikut sedih kalau papa nangis” tangan mungil anak itu mengusap airmata vino. Vino tersenyum, airmatanya kembali tumpah melihat tingkah anak pertamanya itu, dipeluknya tubuh mungil anak itu erat. “papa nggak apa-apa kok sayang” ========================================================================================== Manado, akhir april 2011 “selamat ulang tahun sayang, hari ini aku datang untukmu, aku duduk disini, dibatu ini, tempat kita selalu bersama dulu, tempat kita selalu berdua menikmati langit senja yang indah. Maafkan aku yang tak mampu memperjuangkan cinta kita lebih lagi, maafkan semua kesalahanku dulu padamu. Semoga kau tenang disana, percayalah.. cintaku tak pernah berkurang untukmu.” Gumam vino yang tengah duduk diatas batu besar tempat mereka dulu. Ia duduk sambil menggendong julian, anak laki-laki satu-satunya yang ia punya. Ia sangat menyayangi anak itu. Istrinya sudah meninggal kerena kangker rahim yang dideritanya tak lama setelah melahirkan julian , putra semata wayang mereka. Vino bertekad akan membesarkan anaknya itu dengan baik, ia berjanji akan membuat anak itu bangga memiliki ayah seperti dirinya. “pa, langitnya indah yah..” ujar anak itu sambil menatap kagum langit senja yang keemasan. “iya nak, langitnya selalu indah disini” ia dekap tubuh anaknya itu makin erat, sambil tersenyum memandangi langit senja yang kian temaram. THE END
Posted on: Wed, 14 Aug 2013 16:25:57 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015