Kamar Ayna, pukul 19.47 … Ayna mematut dirinya di depan cermin. - TopicsExpress



          

Kamar Ayna, pukul 19.47 … Ayna mematut dirinya di depan cermin. Seulas senyum menghias di wajah cantiknya. Sesekali Ayna mengusap – usap kedua pipinya yang memerah. Ada beberapa bekas jerawat yang sempat singgah disana. Juga tahi lalat kecil melekat abadi di sudut dagu lancipnya. Disela – sela antara telinga kanan dan rambutnya kini terselip bunga melati segar yang mewangi. Melati itu tidak begitu besar, namun wanginya mampu menyebar kesudut – sudut ruang. Ayna mencoba mengibaskan rambutnya yang panjang. Melati itu semakin memperjelas kecantikannya yang alami. Dalam – dalam ia menatap bayangan matanya di dalam cermin. Mata itu begitu bening dan lembut, namun seperti memiliki magnet yang begitu kuat menyeretnya lebih jauh dan lebih dalam. Semakin dalam. Bayangan wajah Ayna dalam cermin itu kini menjadi lebih cantik. Bahkan menjadi sangat cantik. Tak ada lagi bekas jerawat di pipinya. Kulitnya begitu bening dan halus. Matanya menjadi begitu teduh dan lembut. Diam – diam hatinya berdesir, benarkah itu dirinya? Benarkah ia begitu cantik seperti bayangan cermin yang ada di depannya? Lalu rambut itu? Selendang itu? Anting – anting dan kalung itu? Ah, Ayna seperti dibawa kesebuah dunia tanpa nama. Seperti sebuah dunia dari masa lalu. Mungkin mayapada, nirwana, atau lorong waktu, ia tak peduli. Wajah cantik itu mengalahkan segala kemungkinan yang ada di kepalanya. Tak ada lagi cermin dan kamar tidur di sekelilingnya. Dihadapannya wanita berselendang kuning tak henti menebar senyum. Wanita itu mengenakan kemben sutra dengan garis – garis merah putih yang menawan. Bunga melati yang sama dengan milik Ayna, terselip pula ditempat yang sama. Namun ia yakin itu bukan dirinya. Ayna meraba melati disela telinganya. Matanya tak bergerak seolah – olah tak ingin melepaskan pandangannya. Tak ingin sekedippun kehilangan peristiwa yang ada disekelilingnya. Samar – samar dibelakang wanita cantik yang tak dikenalnya itu memberkas sesosok lelaki gagah perkasa. Lelaki berkumis tipis itu hanya mengenakan rompi kulit berwarna gelap. Tak ada perhiasan apa – apa. Hanya sebuah cakra emas di genggamannya. Lelaki itu mencoba tersenyum pada Ayna. Senyum itu begitu ramah seperti ingin menyapa Ayna. Namun bagi Ayna senyum itu mencurigakan. Senyum lelaki itu menyiratkan hasrat seolah ingin menyentuh atau sekadar menyapa Ayna. Ayna menarik kakinya mundur beberapa langkah. Lelaki itu terus mendekat. Keringat dingin mengucur deras didahi Ayna. Ayna beringsut ingin meronta. Namun lelaki itu semakin leluasa mendekatinya, seolah ada kekuatan luar biasa yang melunglaikan tulang – tulang Ayna. Ia tergagap, ia berontak. ” Jangan ……!” Akhirnya sebuah teriakan mengembalikan Ayna kekamar tidurnya. Ini bekan mimpi. Ayna ingat betul bahwa ia tidak sedang tertidur. Sesuatu yang baru saja hadir didepannya adalah nyata. Dicermin itu masih ada dirinya. Bukan wanita cantik yang beberapa saat lalu ada didepannya. Ayna tercenung menormalkan kembali aliran darahnya. Memandang kesetiap sudut kamarnya. Tak ada yang berubah. Semua tetap sama seperti sedia kala. ” Ayna, ada apa?” Suara pak burhan ayah Ayna manyadarkannya dari diam. Rupanya teriakan Ayna tadi telah sampai ketelinga mereka dari ruang keluarga. Ayna menceritakan semua yang ia alami beberapa menit yang lalu. Menceritakan fenomena yang secara nyata tiba – tiba hadir didepannya. Dunia masa lalu itu, lelaki bersenjata cakra itu, wanita cantik berselendang kuning itu … Tanpa disadari, melati disela telinga Ayna kini telah berpindah ketelapak tangannya. Melati itu masih segar dengan wangi yang sama seperti pertama kali ia menyentuhnya. Melati itu masih utuh setiap kelopaknya. Melati itu masih indah dan tak memudar warnanya. Padahal ini adalah hari ketiga melati itu berada ditangannya. Entah dengan alasan apa pada waktu itu Ayna mau menerimanya. Ketika itu Ayna dan teman – teman sekolahnya sedang mengadakan kunjungan ilmiah untuk melengkapi materi dalam pelajaran sejarah. Mereka mengunjungi sebuah situs yang berada di kampung Dermayu. Pak Sulistijo mengajak Ayna dan rekan – rekannya menuju sebuah komplek pemakaman yang meremangkan bulu kuduk. Beberapa pohon tua menambah kesan seram. Dan hari – hari berikutnya adalah hari – hari yang paling aneh dalam hidup Ayna. Seperti siang ini, ketika jam pelajaran dimulai dan belajar seperti biasanya. Ketika semua murid tengah memperhatikan pelajaran yang diberikan oleh guru mereka. Ketika Ayna tengah asyik menggores – goreskan tinta hitamnya diatas selembar kertas guna mencatat ilmu – ilmu penting yang diluncurkan oleh gurunya, seketika tercium kembali wangi melati yang memenuhi seluruh ruang kelas, tiba – tiba 2 orang pria itu melintas di depan kelas. Ayna tersentak, hingga hampir menjatuhkan batang pulpennya. Ayna mencoba mengabaikannya, namun kembali mereka menampakkan dirinya lagi, lagi, dan lagi dihadapan Ayna, mengganggu konsentrasi Ayna pada pelajarannya. Dan Ayna ingin menceritakannya kepada teman sebangkunya yang juga sahabat dekatnya yaitu Seno. Namun ia takut Seno tidak percaya seperti teman – teman yang lainnya. Kehadiran 2 orang pria tadi benar – benar mematungkan Ayna seolah – olah kembali menyedotnya ke masa lalu seperti keanehan yang terjadi di kamarnya tempo hari. Namun kini tidak 1 orang, melainkan 2 orang. Satu sosok lagi seorang pria tua, berusia kira – kira lebih setengah abad, berperawakan tinggi jangkung, dengan badan tegap, hidung mancung, dengan pakaian yang sederhana, yang diduga sebagai pembantu dari pria sebelahnya. Lagi – lagi mereka tersenyum seolah – olah ingin menyapa Ayna. Ayna pun ingin membalas senyuman dan sapaan mereka, namun sebuah tepukan yang dijuruskan pada pundaknya mengembalikannya pada ruang kelas seperti semula. “ Na, kamu kenapa?” tanya Seno sahabat Ayna sambil menatap heran pada sahabatnya. Namun Ayna hanya menggeleng diam. Seolah – olah tidak ingin menceritakan semuanya kepada sahabatnya itu. “ Ayolah na, ceritakan saja padaku. Aku tak seperti yang lainnya, yang tidak percaya akan ceritamu.” Kata Seno meyakini Ayna. “ Kau mencium bau melati tidak?” tanya Ayna hati – hati kepada sahabatnya. Namun, ketika Seno sedang mencari – cari bau bunga melati itu, seketika Ayna menegurnya dengan alasan pasti sahabatnya ini tidak akan percaya pada ceritanya. “ Ah sudahlah, kamu pasti tidak akan menanggapi pertanyaanku, dan tidak akan mempercayai kata – kataku.” Kata Ayna dengan nada sedikit tinggi, yakin bahwa sahabatnya tidak akan percaya. “Ayna tunggu, walaupun aku tidak dapat mencium bau melati itu, dan hanya kau yang bisa merasakannya, tetapi aku tetap percaya padamu.” Kata Seno benar – benar ingin sahabatnya itu percaya. “ Aku sahabatmu, aku sangat mengenalmu. Kamu adalah anak yang jujur, itulah yang menyebabkan aku percaya padamu.” Lanjut Seno. Seketika Ayna merasakan kejujuran dibalik perkataan sahabatnya itu. Namun, ia tetap tidak ingin melibatkan sahabatnya dalam permasalahan yang hampir membuatnya kehilangan sebagian rasa keberaniannya. “ Teeettt …..!” Suara bel tanda pulang pun telah berdentang kencang di setiap depan ruang kelas. Itu pula yang menjadi pertanda pulangnya para murid – murid. Semua murid berhamburan keluar kelas. Kembali pada singgasananya. Karena ibu dan ayah kini tengah menanti kehadirannya di istana berkarpet merah yang siap menyambut kedatangannya. Langkah yang bagai alunan nada mengantarkan Ayna kembali kerumahnya. Panas matahari tak menghalangnya untuk segera kembali ke singgasananya. Namun siang itu, entah karena kekuatan apa langkah Ayna tidak mengantarkannya pada rumahnya. Sementara itu, Seno sahabat Ayna yang melihatnya berjalan dengan arah yang berbeda dari biasanya, langsung menegur Ayna. “ Na, kamu mau kemana? Bukankah arah rumahmu kesana? Mengapa kamu malah berjalan kearah matahari tenggelam itu?” tanya Seno mulai cemas melihat keanehan pada diri sahabatnya. Namun seolah Ayna tak mendengarkan teguran sahabatnya, Ayna hanya diam, tatapannya seolah kosong, dan terus melangkah hingga membawanya kesebuah istana sederhana yang terbuat dari kayu, dengan atap terbuat dari kayu tanpa singgasana. Diistana itu pula, Ayna mendengar samar – samar percakapan seorang pria yang pernah dilihatnya didepan kelas dengan seorang wanita cantik yang pernah dilihatnya sewaktu ia bercermin. “ Terimakasih tuan hamba telah mengubah keadaan di padukuhan ini dengan segala ilmu pertanian yang tuan hamba miliki.” Kata pria bertubuh tinggi jangkung itu. “ Sama – sama tuan. Tak pernah terfikirkan dalam benak hamba untuk mengubah seluruhnya yang berada di padukuhan ini. Hamba hanya ingin berbagi ilmu pertanian dengan para warga disini.” Ujar wanita itu lemah lembut, laksana daun yang jatuh dari rantingnya. “ Tidak. Tuan hamba telah memberikan dampak positif di padukuhan ini. Maka dengan senang hati hamba menerima segala tindakan tuan hamba.” Kata pria itu sambil tersenyum. Seketika, datanglah seorang pria yang diduga sebagai pangeran guru bersama 24 pengikutnya, seraya berkata. “ Hai nyi endang dharma, mengapa selama ini kau tak pernah kembali? Bukankah kau sudah menjadi permaisuri ku? Mengapa tak sekalipun kau berhubungan dengan ku?” tanya pangeran guru itu sambil menarik urat nadinya. “ Tak sudilah kiranya hamba kembali padamu wahai pangeran guru! Dari dulupun, hamba tak pernah mau dipersunting olehmu!” jawab wanita itu menahan amarahnya. “ Oh begitu rupanya. Setelah kini engkau memiliki ilmu kanuragan.” Kata pria itu lagi menatap wanita itu sinis. “ Sesungguhnya seorang wanita itu tak pantas memiliki ilmu kanuragan. Jika memilikipun pasti tidak seberapa. Bagaimana jika kau uji dengan ilmu kanuragan milikku?!” sambung pangeran guru sambil mengangkat dagunya seolah merendahkan wanita itu. Perkataan sinis yang menghujam hati wanita itu, seolah memaksa amarah wanita itu untuk melayani ajakannya. “ Baiklah jika itu mau tuan hamba, akan saya layani.” Jawab wanita itu tak kuasa menahan amarahnya. Seketika terjadilah peperangan yang sangat dashyat oleh pangeran guru beserta 24 pengikutnya dengan wanita itu. Melihat peperangan itu, Ayna hanya dapat terkejut, mulutnya menganga tak percaya. Hingga akhirnya, satu – persatu pengikut pangeran guru harus menerima ajalnya. Tumbang satu demi satu, hingga kini giliran pangeran guru untuk menjemput para pengikut – pengikutnya yang telah menunggu di pintu alam baka. 25 orang dapat ditebas habiskan oleh wanita itu. Yang kemudian jasad pangeran guru beserta para pengikutnya dimakamkan di makam selawe, yang berarti 25 ( jumlah pengeran guru dan 24 pengikutnya). Perasaan haru biru pun menyelimuti perasaan Ayna. Hingga akhirnya buliran bening telah membentuk tirta dipipinya. Sementara itu, Seno sahabat Ayna yang masih penasaran pada tingkah laku sahabatnya, ternyata telah mengikuti sahabatnya berjalan dibawah alam sadarnya. Seketika melihat sahabatnya itu menangis dipinggiran makam pangeran guru, Seno langsung menyadarkannya dan menyeretnya pada kenyataan bersama orang – orang lainnya. “ Na, kamu kenapa? Kenapa kamu menangis di pinggiran makam seperti ini? Apa yang terjadi na?” tanya Seno pada sahabatnya yang terus menangis dipinggiran makam guru. Ketika suasana telah tenang, Ayna langsung menceritakan yang barusan ia alami pada sahabatnya, juga tentang melati yang selama ini membawanya bermuara menyusuri dunia dibawah alam sadarnya. Mendengar cerita yang diluncurkan oleh sahabatnya dengan air mata yang masih tersisa menggenang dimatanya, Seno langsung meminta bantuan orang lain untuk membawa sahabatnya kembali kerumah. Sesampainya dirumah, Seno menceritakan semuanya yang ia lihat dan terjadi pada sahabatnya kepada orang tua Ayna. Orang tua Ayna hanya dapat menatap anaknya penuh rasa prihatin dan sedih. Namun, Seno tetap meyakinkan orang tua sahabatnya itu untuk percaya pada semua cerita yang dialami oleh anaknya. Hingga akhirnya, orang tua Ayna menanyakan dari mana asal melati yang membawa anaknya berkelana didunia lain itu, guna untuk mencari solusi pada masalah yang sedang di derita oleh anaknya. Namun Seno tidak tahu, hingga ia menyuruh orang tua Ayna untuk menanyakannya langsung pada Ayna. Namun, ketika orang tua Ayna hendak menanyakan hal seputar melati itu pada anaknya, tiba – tiba mereka mendapati kamar Ayna yang kosong. Ternyata wangi melati itu kembali mengantarkannya pada sebuah keluarga yang memilki lukisan Nyi Endang dharma yang sangat cantik dengan selendang kuning yang dikenakannya, dan sebuah bunga berwarna merah yang menempel pada telinga sebelah kanannya. Dan terdapat pula bunga – bunga lainnya yang tergeletak di atas selendang yang berada di pangkuannya. Berhidung mancung, dengan tatapan mata yang dalam. Cantik sekali. Ayna pun menceritakan semua kejadiannya yang berkaitan dengan melati dan wanita yang berada dilukisan itu. Dan kakek – kakek pemilik lukisan itu menyarankan agar Ayna datang ke tempat pemakaman Raden Wiralodra. Dengan diberi petunjuk oleh kakek tua itu, dan tuntunan bau melati itu, akhirnya Ayna sampai juga di pemakaman Raden Wiralodra. Disana terdapat 2 pemakaman, yang diduga sebagai pemakaman R.Wiralodra dan Ki Tinggil. Disana terdapat pula beberapa kertas, foto, bunga, minyak wangi, uang logam, kain putih, kelambu, dupa, Al – Qur’an, dan tercium pula bau bunga dan dupa menambah keangkeran suasana. Serta terdapat pula seorang gadis cantik yang telah menginap 3 malam di pemakaman Raden Bagus Aria Wiralodra I, entah apa yang sedang ia tunggu di sana, hingga perasaan takut dapat ia tepis untuk tetap bermalam disana. Lalu terdapat pula seorang pria sedang membaca kitab di pemakaman Ki Tinggil, dan terdapat beberapa makam lainnya yang juga dianggap keramat. Ketika Ayna tengah asyik melihat silsilah dari R.Wiralodra ke I hingga R.Rolat ( Purbadinegara) ke II, bau melati itu kembali mengantarkan Ayna pada dunia yang berbeda. Seketika ia melihat pertempuran seorang pria dengan perawakan kekar dengan seorang wanita yang pernah ia lihat dilukisan milik kakek tua tadi. Samar – samar Ayna mendengar percekcokan diantara keduanya. “ Engkau tahu mengapa hamba disini berdiri menghadapmu?” tanya pria itu dengan suara yang tegas. “ Maafkan hamba tuan, hamba tidak tau pasti apa alasan tuan berhadapan dengan hamba sekarang.” Jawab wanita itu sambil menundukan kepalanya. “ Itu semua karena berita yang telah hamba dengar, bahwa enkau telah membunuh pangeran guru dan para pengikutnya.” Jelas pria itu dengan nada sedikit tinggi. “ Jika memang itu kesalahan hamba, maafkan hamba tuan. Hamba ingin bermaksud membela diri, karena pangeran guru itu telah merendahkan hamba.” Terang wanita itu dengan raut muka yang sedih. “ Tetapi engkau harus membayar semua yang telah engkau lakukan ditanah ini.” Ujar pria tadi seraya mulai mengeluarkan kehebatannya. “ Duh gusti, hamba mohon ampun tidak sanggup melawan tuan gusti.” Kata wanita itu kembali dengan raut muka yang sedih. “ Jangan takut. Aku hanya ingin melihat seberapa hebatnya engkau hingga dapat menumbangkan pangeran guru beserta para pengikutnya.” Jelas pria itu siap memulai peperangan. “ Jika demikian titah tuan, hamba akan menjunjungnya.” Jawab wanita tadi memulai peperangan. Kini, dihadapan Ayna telah terjadi suatu pertempuran yang dashyat. Denting – denting pedang bergesekan beradu perang. Mereka sama – sama mengeluarkan segala macam ilmu dan kelebihannya. Tak pernah sepercik pun rasa menyerah timbul dibenak mereka, hingga akhirnya melalui pertempuran tadi telah melumpuhkan wanita cantik itu. Wangi melati itupun kembali menyeret Ayna pada sebuah sungai besar, airnya mengalir jernih, sungai ini seperti sebuah jalan panjang tentang kehidupan, ia menjadi untaian cerita yang menakjubkan, sempat terbesit rasa kagum pada diri Ayna ketika melihat sungai ini. Tiba – tiba, Ayna melihat seorang wanita yang sedang menceburkan dirinya disungai itu. Melihat itu, Ayna langsung terkejut dan panik, Ayna hendak ingin menyelamatkan wanita itu agar tidak jadi menceburkan tubuhnya ke sungai. Ayna mengulurkan tangannya pada wanita itu, sedikit demi sedikit ia memasukan tubuhnya ke dalam sungai untuk memperoleh tangan wanita itu dan kemudian menariknya, terus berusaha, berusaha, dan berusaha hingga Ayna seolah – olah ikut masuk ke dalam sungai itu. Namun, dibalik usahanya menyelamatkan wanita itu Ayna mendengar samar – samar suara wanita yang berisikan pesan“ Apabila hamba sudah tiada, berilah saja nama padukuhan ini dengan nama hamba agar untuk kenangan kelak, dan apabila suatu hari nanti terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di tanah ini, hamba berjanji akan keluar untuk menyelesaikannya.” Itulah tadi suara tanpa wujud yang ternyata adalah sebuah pesan. Namun, ketika ia masih berusaha menyelamatkan wanita itu, kenyataan menamparnya telak – telak, ketika ia ditarik oleh sebuah lengan seorang laki – laki yang sudah sangat tidak asing baginya. Tangan Seno sahabat Ayna yang daritadi telah mengikuti perjalanan Ayna. Seketika ia tersadar, bahwa kini ia tengah berdiri di sebuah bangunan sekolah, bukan didepan sungai. Setelah seharian melakukan perjalanan yang aneh, tiba – tiba Ayna menyadari bahwa dirinya kini telah berada di sebuah ruangan serba putih, dengan sebuah selang menempel dihidungnya. Di hadapannya telah berdiri seorang dokter dengan seragam khasnya yang serba putih, dan terlihat ayah, ibu yang memandangnya dengan tatapan yang sedih dan prihatin, barulah ia menyadari bahwa dirinya sedang berada di rumah sakit. Kemudian dengan suara yang berat, Ayna menceritakan semua yang barusan ia alami. Namun, ternyata dokter telah memvonis Ayna, mengidap penyakit Schizophrenia. Lalu dokter itu menyarankan agar Ayna dapat diberi perhatian yang lebih, dan tidak membiarkan Ayna pergi sendiri. Setelah diberi pesan oleh Dokter tadi, Ayna merasa kini hidupnya serba dibatasi. Namun, kini orang tua Ayna telah mempercayai anaknya sedikit demi sedikit. Karena cerita Seno yang telah meyakinkan kedua orang tua Ayna. Seketika, muncullah seorang anak lelaki remaja beserta seorang wanita setengah baya dari balik tirai putih pembatas pintu dan tempat tidur . Ya, dia adalah Seno dan mbah Tuti . Seno sengaja membawa mbah Tuti untuk datang ke rumah sakit sebab himbauan dari orang tua Ayna yang ingin cepat mendapatkan penjelasan atas masalah yang sedang di alami oleh anaknya . ” Semua ini terjadi, karena Ayna merupakan satria piningit generasi kesekian yang kelak akan menjadi pemimpin di Kota ini . Ayna telah dipercaya dan mendapatkan wangsit agar menjadi generasi penerus para pemimpin yang pernah memimpin kota ini . Jadi janganlah khawatir, semuanya akan baik – baik saja . ” Ujar mbah Tuti . Kemudian mbah Tuti menyelipkan sebuah kertas putih di tangan Ayna yang terkulai lemas . Kertas itu berisi sebuah pesan atau yang dapat dikatakan sebuah Prasasti . Kini Ayna berdiri di balik jendela berlukiskan semburat cahaya berwarna kemerahan, menatap kosong setiap bayang – bayang pepohonan di luar jendela . Bersiap menerima kedatangan hari esok yang masih menjadi misteri, berjuang tuk mewujudkan segala keinginan di hati, tuk membangun tanah yang kian asri, menjadi generasi penerus setelah pemimpin – pemimpin lainnya .
Posted on: Tue, 02 Jul 2013 05:54:14 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015