Ketahanan Negara Peran TNI-AD Dalam Melindungi Segenap Bangsa Dan - TopicsExpress



          

Ketahanan Negara Peran TNI-AD Dalam Melindungi Segenap Bangsa Dan Tumpah Darah Indonesia -Bagian 3 Bagi Member yang belum membaca bagian 1,2 bisa di lihat di postingan sebelumnya ADMIN BESEMAH Berdasarkan persepsi ancaman yang telah dielaborasi tersebut, terbetik dengan jelas bahwa neoliberalisme dan kapitalisme merupakan tantangan utama terhadap nasionalisme kita. Wawasan Kebangsaaan Dan Jati Diri Bangsa Indonesia Sebagaimana dikupas pada bab-bab terdahulu, berdasarkan analisis terhadap lingkungan strategis (Lingstra) kita dihadapkan pada beraneka potensi ancaman baik pada tataran global dan regional maupun di ranah nasional/domestik. Berdasarkan persepsi ancaman yang telah dielaborasi tersebut, terbetik dengan jelas bahwa neoliberalisme dan kapitalisme merupakan tantangan utama terhadap nasionalisme kita. Kendatipun menawarkan pula sejumlah unsur ”positif dan populer” seperti pola pikir rasional, kebebasan berpikir, humanisme progresif (yang antara lain menjatuhkan aksentuasi terlampau kuat pada aspek proteksi HAM tanpa melihat keseimbangan dinamis dengan aspek-aspek lain dari kemanusiaan), namun neoliberalisme (dan kapitalisme) terbukti menjerat martabat bangsa, melumpuhkan kemandirian nasional, memudarkan nasionalisme, menguras sumber daya alam dengan tamak dan massif, memangkas kedaulatan negara dan seterusnya. Dengan demikian jatidiri dan wawasan kebangsaan yang hendak kita kembangkan kembali (reinvensi dan rekonstruksi) merupakan ”musuh besar” bagi neoliberalisme dan kapitalisme. Sebaliknya jatidiri dan wawasan kebangsaan itu sulit bertumbuh di ladang kehidupan bangsa yang telah dikuasai neoliberalisme dan kapitalisme. Semakin subur dan merambah luas paham tersebut, semakin terhimpit pula ruang hidup bagi nasionalisme. Oleh karena itu, merupakan ’pekerjaan rumah’ besar yang sungguh mendesak (urgen) agar kita kembali memperkuat dan terus memantapkan karakter dan jatidiri bangsa melalui apa yang disebut gerakan ”konsolidasi kebangsaan”. Namun sebelum mengunci paparan ini dengan ide tersebut, terlebih dahulu kita perlu secara obyektif-kritis menelaah masalah wawasan kebangsaan dan jatidiri bangsa kita. 1.Wawasan Kebangsaan dan Jati Diri Bangsa Sudah Terdistorsi Menghadapi gempuran arus globalisasi – yang pada hakikatnya merupakan “perang Ipoleksosbudhankam” – kita harus mampu merespon secara rasional, bijak, cermat dan tajam. Kita pun perlu mengambil sikap hati-hati dalam menyaring segala muatan yang digiring oleh globalisasi itu, dengan bersikap jeli mengambil segi positifnya sementara anasir negatifnya ditangkal dan dibuang. Sebagaimana dikemukakan di atas, pengaruhnya yang bersifat destruktif – termasuk nilai-nilai materialism, hedonism dan konsumtivisme – harus diredam karena meupakan ’virus’ yang mematikan karakter bangsa. Gelombang westernisasi (lebih tepat: Amerikanisasi) – nama lain dari globalisasi yang menyerbu bangsa kita – sedemikan dahsyatnya sehingga kebhinekaan kita menjadi rentan konflik, persatuan dan kesatuan menjadi longgar, perangai sebagian anak bangsa sudah berubah, budaya kita terdistorsi, ketahanan nasional kehilangan elan vital-nya, Wawasan Nusantara melempem, kebangsaan dan jatidiri bangsa Indonesia menjadi pudar. Kondisi seperti dipastikan akan menjadi kendala dan penghambat pencapaian tujuan nasional Bangsa Indonesia. Bagi sebuah bangsa yang besar semangat kebangsaan sangatlah mutlak dalam rangka mempertahankan eksistensi dan kelangsungan hidupnya. Pertanyaannya adalah bagaimana mengembalikan semangat kebangsaan dan jatidiri bangsa ini? Dalam konteks ini, seyogianya kita menimba spirit para pahlawan bangsa, meneladani para pendahulu yang puluhan bahkan ratusan tahun telah berjuang mempertaruhkan jiwa-raganya, dan para founding fathers yang telah berhasil melepaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan sehingga kita berhasil memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. 2.Wawasan Kebangsaan dan Rasa Kebangsaan Dari perspektif keIndonesiaan, Wawasan Kebangsaan adalah cara pandang persatuan dan kesatuan bangsa yang diikat oleh konsensus dasar berupa Ideologi Pancasila, UUD 1945, idea Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan semboyan Bhineka Tunggal Ika, yang pada hakekatnya merupakan salah satu elemen ”psychological institutional” yang amat penting dalam Ketahanan Nasional Bangsa Indonesia. Wawasan Kebangsaan sudah teruji dalam sejarah perjalanan bangsa dan negara Indonesia, baik dalam menghadapi segala bentuk ancaman keamanan internal maupun eksternal yang membahayakan kemerdekaan politik, integritas teritorial maupun kedaulatan negara. Kehandalan wawasan kebangsaan menjadi kunci bagi terjaminnya eksistensi NKRI. Sementara Rasa Kebangsaan (Nasionalisme) dalam arti luas adalah kesetiaan kepada kepentingan bangsa. Secara terminologis, bangsa adalah sekumpulan etnik atau budaya yang memiliki hak untuk menentukan kemerdekaan atau gerakan politik yang otonom berdasarkan atas persamaan sejarah dan tujuan. Dengan kata lain, kesatuan orang-orang yang memiliki kesamaan asal keturunan, bahasa, adat, dan sejarahnya, di bawah pemerintahan sendiri. Untuk mengikat kesatuan bangsa itu dan menjamin kelestariannya, nasionalisme merupakan paham dan semangat yang sangat diperlukan bahkan menjadi tuntutan mutlak. Tanpa nasionalisme, eksistensi suatu bangsa kehilangan ”roh”nya. Secara historis nasionalisme memberikan pengaruh yang sangat kuat pada perjalanan sejarah segala bangsa di dunia. Dari potik ke-Indonesiaan, terbentuknya negara-bangsa Indonesia yang sangat plural secara multidimensional – agama, ras, suku bangsa, adat-istiadat, sosial budaya, ekonomi dan demografis disertai postur geografis yang arkipelagis – namun memiliki sejarah masa lalu yang sama yaitu penjajahan merupakan suatu hal yang ”unik” dan berada di luar teori terbentuknya suatu negara-bangsa. Oleh karena itu secara religius diyakini adanya kekuatan maha besar yang mendorong terciptanya bangsa-negara ini, yakni Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Dalam bingkai pemahaman dan keyakinan inilah, sangat perlu upaya menumbuhkan kembali Wawasan Kebangsaan. Antara lain dengan mengapresiasi dan menghidupkan kembali warisan agung para leluhur dan pendahulu bangsa yang melahirkan Bangsa Indonesia melalui perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI berupa semboyan, ungkapan dan sesanti. Hal-hal itu merupakan pusaka bangsa yang berwibawaan dan mampu menggugah diri kita untuk kembali memahami bahwa kemerdekaan dan kedaulatan adalah untuk segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, dari Sabang hingga Merauke. Ungkapan dan sesanti tersebut antara lain: a.Semangat yang sangat penting dalam pemerintahan dan eksistensi negara: semangat penyelenggara negara atau para pemimpin pemerintahan. Hal itu diangkat pula dalam penjelasan UUD 1945. Tugas kita adalah menggelorakan semangat tersebut karena belakangan ini cenderung memudar. Yang malah muncul adalah semangat negatif (ingin cepat kaya, cepat berkuasa dan lain-lain). Selain itu yang juga perlu ditumbuhkan adalah semangat kebangsaan, patriotisme, semangat kompetisi-inovasi-inventif, semangat belajar dan sebagainya. Juga semangat untuk maju menjadi pelopor dan perintis. b.Semboyan ”Merdeka atau Mati!”, sebagai suatu ekspresi atau sikap batin yang tidak kenal menyerah dalam membela integritas dan kedaulatan tanah airnya konsisten, patriotik dan tak berkesudahan. Tugas kita adalah menerjemahkan makna semboyan di atas untuk tidak menyerah, tetap tegar dan patriotik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, antara lain: 1) ”Merdeka” a)Merdeka dari setiap bentuk penjajahan, baik yang bersifat ideologi, politik, ekonomi, budaya, militer, dan kini saatnya kita membangun dalam semangat merdeka untuk memagari diri dari ekses globalisasi yang berbentuk imperialisasi. b)Memerdekakan bangsa dari kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan. c)Menyuarakan dan menentukan sistem pemerintahan bangsa dalam kerangka yang sejalan dengan sejarah dan budaya bangsa sendiri, bukan meniru atau dipaksa mengadopsi konsep budaya asing. 2) ”Mati” a)Artinya harus mati-matian (sungguh-sungguh) dalam berupaya dan bekerja keras membangun negerinya berdasarkan cinta akan tanah air. b)Sebagai ungkapan ”tidak kenal menyerah”, membangun karakter diri menuju keluhuran budi seperti diamanatkan dalam UUD 1945, sebagai syarat membangun bangsa dan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. 3) ”Tidak Kenal Menyerah” a)Dalam arti positif berarti kuat, tegar dan tangguh dalam mempertahankan kepentingan nasional. b)Tahan uji dalam bekerja dan berkarya, memperjuangkan kemajuan bangsa. c.Nasionalisme Nasionalisme perlu digunakan sebagai salah satu parameter atau syarat seseorang menjadi pemimpin nasional, karena pemimpin adalah pembela bangsa. Perlu ditetapkan kriteria nasionalisme bagi para anggota DPR, baik tingkat pusat maupun daerah, dan bagi para pejabat negara pada umumnya. Dengan demikian kita dapat yakin bahwa para pemimpin kita benar-benar bekerja dan berjuang untuk bangsanya, bukan untuk pribadi atau golongan. Ditanamkan kepada anak bangsa sejak dini secara sistematis dan konsisten sehingga semua anak bangsa merasa memiliki dan memahami makna sejati dari Sumpah Pemuda 1928. Dengan cara iniberbagai ancaman terhadap integritas bangsa termasuk separatisme bisa diredam. d. Patriotisme ”Pro patria” – cinta tanah air merupakan salah satu dari ciri jatidiri bangsa yang wajib dikobarkan. Cinta tanah air memampukan seseorang menjadi pembela bangsa-negara. Semangat cinta tanah air membuat seseorang menjadi pejuang yang kokoh dan gigih, dan juga sebagai spirit dasar untuk membangun bangsa. e. ”Bhinneka Tunggal Ika – Tanhana dharma mangrva”, semboyan yang termaktub dalam kitab Sutasoma karya Mpu Tantular. Bagian pertama dijadikan sebagai sesanti nasional, tercantum pada lambang negara Garuda Pancasila. Mengajarkan kepada anak bangsa bahwa keanekaragaman atau pluralitas adalah kenyataan, maka hidup harmonis dalam pluralisme adalah kunci menuju tercapainya persatuan dan kesatuan nasional yang hakiki. 3.Memahami Jatidiri dan Karakter Bangsa Nilai-nilai luhur budaya bangsa telah dirumuskan oleh para founding fathers kita sebagai Pancasila. Jati diri bangsa (Pancasila) hanya dapat diimplementasikan oleh anak bangsa yang berjatidiri dan berkarakter. Karakter anak bangsa hanya akan terbentuk melalui pembentukan dan pembinaan terus-menerus (never ending process), baik melalui pendidikan maupun pengalaman. Suatu bangsa tidak dapat ditundukkan manakala rakyatnya tidak mau tunduk, dan hanya rakyat yang berjati diri/berkarakter yang memiliki tekad tidak kenal menyerah sehingga tidak dapat ditundukkan oleh bangsa manapun. Premis-premis tersebut di atas merupakan acuan bagi kita untuk membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan wawasan kebangsaan dan khususnya jatidiri dan karakter bangsa. Upaya membangun jatidiri dan karakter bangsa harus segera dilakukan secara intensif oleh segenap komponen bangsa. Mengawali pembahasan mengenai jatidiri bangsa perlu kiranya persamaan persepsi dan pemahaman mengenai jatidiri, karakter, kepribadian, dan jatidiri/karakter bangsa. a. Jati Diri Dipandang dari sudut budaya, jatidiri adalah ”diri yang sejati”, menunjukkan siapa sebenarnya kita, tidak tercemar karena merupakan fitrah. Manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa; merupakan bawaan sejak lahir (gift), merupakan sumber dari watak/karakter dan totalitas kepribadian yang terbentuk oleh proses sosialisasi nilai-nilai budaya dan interaksi dengan orang lain yang berlangsung secara terus-menerus, sejak manusia dilahirkan, melalui pendidikan – pergaulan – pembelajaran – pengalaman. Sehingga bila kita berbicara tentang masalah jatidiri maka kita berbicara seputar masalah manusia, kejiwaannya yang abstrak, yakni masalah watak, karakter, kepribadian, akhlak, budi/bathin, dan hati manusia. Sedangkan ekspresi jiwa tercermin dalam sikap, tingkah laku, perbuatan, tutur kata, bahkan tergambar dalam raut wajah seseorang. Jatidiri seseorang berkembang melalui proses interaksi dengan orang lain. Melalui proses ini seseorang akan mengetahui tempatnya dalam kelompok masyarakat. Cara orang bersikap terhadap orang lain merupakan pedoman yang terus berkembang untuk individu bersangkutan dalam melihat dirinya. Pedoman itu makin lama semakin terorganisasikan dengan semakin tersosialisasinya seseorang dalam pendewasaan diri, terjadi internalisasi dan pendefinisian kembali secara kontunyi akibat berlangsungnya proses sosialisasi dan interaksi. Jatidiri diilustrasikan sebagai lingkaran, yang terdalam adalah jatidiri yang merupakan sumber pembentukan karakter. Pada lingkaran kedua, selanjutnya karakter berkembang sejalan dengan perjalanan hidup manusia, mempertautkan sifat-sifat kejiwaan dalam kepribadian sehingga karakter merupakan totalitas atau keseluruhan utuh kepribadian terekspresikan dalam keseharian seseorang. Karakter dan kepribadian seseorang dapat berubah, terutama oleh pengaruh lingkungan (pendidikan, pergaulan dalam keluarga, sekolah, masyarakat), pengalaman dan pendewasaan, serta proses sosialisasi, interaksi dan internalisasi nilai-nilai budaya di mana seseorang berada. Proses tersebut di atas selanjutnya membentuk tata nilai diri pribadi seseorang yang tercermin dalam cara bersikap, berpikir, bertindak, berbicara, berpandangan, berperasaan, dan bersikap. Hasil proses sosialisasi, interaksi, dan internalisasi tersebut sangat ditentukan oleh lingkungan dan kemampuan adaptasi orang tersebut terhadap lingkungan dan perubahan sehingga dapat membentuk watak dan kepribadian yang berkategori ”sangat kuat, biasa, sedang atau lemah”, baik bernuansa positif maupun negatif. Jatidiri tercemar dan berubah image-nya (hakekat jatidiri tetap) karena terpolusi oleh akal dan nafsu buruk yang proses terbentuknya seperti diuraikan di atas. Oleh karena itu, orang yang berjatidiri adalah pribadi yang mampun mengintegrasikan dengan baik jatidiri, karakter, dan kepribadiannya atau dapat memadukan cita, rasa, dan karsanya. b. Jatidiri Bangsa Salah satu unsur pokok pembentukan jatidiri adalah sejarah dan budaya. Karena itu, pengembangan budaya merupakan salah satu penentu totalitas kepribadian atau jatidiri bangsa. Premis ini membenarkan asumsi bahwa mencari jatidiri bangsa harus berawal pada akar sejarah perjalanan bangsanya dan ditentukan oleh hasil proses aktualisasi nilai-nilai budaya bangsa (yang menjadi substansi Pancasila), yang tercermin dalam wujud kehidupan bangsa dan dijadikan dasar dan tujuan pengembangan hidup bersama sebagai bangsa NKRI yang merdeka, bersatu, berdaulat. Pakar budaya mengatakan bahwa kebudayaan itu adalah roh suatu bangsa. Tinggi-rendahnya martabat bangsa sangat ditentukan oleh budaya bangsa itu. Nilai-nilai budaya bangsa ini tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang merupakan substansi Pancasila, dan diberi makna secara politis oleh pelbagai komunitas sebagai sistem nilai yang utuh. Pancasila relevan dengan premis tersebut di atas. Sesungguhnya jatidiri bangsa Indonesia adalah Pancasila yang diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jatidiri bangsa yang mencerminkan karakter Bangsa Indonesia merupakan bagian dari kehidupan masyarakat bangsa, tampak antara lain dalam hal-hal ini: religius, kekeluargaan, gotong-royong, kebersamaan, musyawarah, ramah-tamah, cinta tanah air, respek kepada orang tua dan leluhur dan sebagainya. c.Karakter 1)Merupakan sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan perbuatan manusia. KUBI (Kamus Umum Bahasa Indonesia) menyebutkan watak sama dengan akhlak, sama juga dengan tabiat. Watak atau karakter juga diartikan sebagai semua gejala pada seseorang (seluruh kepribadiannya) yang dapat dilihat dari pandangannya tentang hal-hal yang salah atau benar, yang baik atau yang buruk. Tabiat/sikap laku seseorang merupakan kualitas karakter seseorang. Tingkah laku di atas dapat lemah atau kuat, baik atau buruk. Kekuatan karakter setiap orang berbeda. Dengan mengembangkan manfaat yang besar dalam menjalanin kehidupan, melihat gambaran apa yang bakal kita capai secara lebih baik. 2)Karakter atau watak kepribadian merupakan faktor utama dalam kepemimpinan. Jenderal Joseph W. Stilwell menyatakan bahwa kepemimpinan itu: 80% ditentukan oleh watak kepribadian; 10% ditentukan oleh kemampuannya untuk mengambil keputusan; 5% ditentukan oleh masalah teknis; 5% ditentukan oleh yang lain-lain. Setiap orang adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Hal tersebut di atas mengandung arti bahwa landasan utama kepemimpinan seseorang adalah watak kepribadiannya. Napoleon Bonaparte menyatakan bahwa seorang pemimpin militer harus memiliki watak/tabiat dan kecerdasan yang seimbang. Sayangnya tidak ada kumpulan sifat-sifat yang secara menyolok dapat dianggap sebagai keberhasilan seorang pemimpin. Tampaknya sifat atau kualitas kepribadian di atas tidak dapat dijadikan suatu pola atau ukuran untuk menjamin keberhasilan seorang pemimpin. d. Karakter Bangsa Salah satu unsur pokok dalam pembentukan karakter adalah nilai-nilai budaya. Maka pengembangan budaya merupakan salah satu penentu totalitas kepribadian/karakter bangsa yang berawal pada akar perjalanan sejarah bangsanya dan ditentukan oleh hasil proses aktualisasi nilai-nilai budaya bangsa (substansi Pancasila) yang tercermin dalam wujud kehidupan bangsa dan dijadikan dasar dan tujuan pengembangan hidup bersama sebagai bangsa. Karakter adalah kumpulan tata nilai yang mewujud dalam suatu sistem daya dorong yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku yang ditampilkan secara matang. Kepribdian merupakan penampilan sehari-hari yang tampak pada diri setiap orang. Penampilan ini belum tentu mencerminkan karakter yang bersangkutan. Mengenal karakter seseorang diperlukan waktu lama karena justru yang terpancar sebagai lingkaran terluar adalah kepribadian, sementara lingkaran kedua adalah karakter dan lingkaran terdalam adalah jatidirinya. e. Pemimpin yang Berkarakter Kualitas kepribadian manusia sering dikaitkan dengan kemampuan untuk memimpin dengan cara mengembangkan sifat-sifat kejiwaan secara positif disertai teknik mewujudkannya dalam suatu situasi tertentu. Berbekal pengetahuan tentang prinsip-prinsip kepemimpinan serta pemahaman terhadap segala kompleksitas pribadi manusia, seseorang dapat mengembangkan kualitas dan kemampuan pribadinya menjadi pemimpin yang berkarakter kuat dan tangguh sehingga berhasil dalam mengemban amanat kepemimpinannya. Jatidiri yang kuat memancarkan karakter yang kuat; itulah indikasi salah satu kualitas kepemimpinan yang dimiliki oleh seseorang. Pemimpin Indonesia yang berjatidiri (atau yang berjatidiri Indonesia) adalah tokoh yang memiliki orientasi dan falsafah yang berakar pada ”kepribadian Indonesia”, berwawasan kebangsaan, dan menghayati nilai-nilai luhur budaya bangsa serta mampu memahami akar sejarah bangsanya. Mendiang Jenderal Besar TNI (Purn) Soeharto pernah mengatakan, ”Bekal ilmu dan keterampilan teknis dapat dipelajari dari bangsa-bangsa yang lebih maju. Akan tetapi bekal kepemimpinan, watak, dan tekad sebagai bangsa yang membangun masa depannya haruslah tetap diambil dari sejarah perjuangan dari kepribadian bangsanya sendiri.” 4. Membangun Karakter Anak Bangsa Sering dipertanyakan apakah karakter dan jatidiri bangsa itu? Secara ringkas dapat diuraikan bahwa pembentukan karakter dan jatidiri bangsa itu berawal dari penanaman nilai-nilai keIndonesiaan (artinya khas dan berkepribadian Indonesia) melalui proses besar Character Building. Melalui proses tersebut akan terbentuk nilai-nilai kepribadian keIndonesiaan dalam diri setiap anak bangsa yang terpancar dalam sikap, perilaku dan tindakan. Dalam perspektif kebangsaan yang lebih luas, secara totalitas ekspresi nilai-nilai keIndonesiaan yang dipraktekkan secara kolektif dan utuh oleh seluruh warga bangsa – melalui proses sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai khas Indonesia secara sistematis (character building) -- itulah yang dinamakan jatidiri bangsa Indonesia. Namun sulit dipungkiri bahwa rusaknya karakter bangsa telah mengakibatkan berbagai krisis yang melanda tanah air. Jika kebanyakan orang menilai krisis multidimensional yang menyergap negeri kita lebih karena krisis moneter, maka dari sudut pandang kritis lainnya, krisis akbar ini justru lebih dikarenakan oleh runtuhnya pilar moralitas dan pudarnya jatidiri bangsa. Dengan kata lain, akar dari segala problematika bangsa Indonesia dewasa ini seharusnya dicari (dan kemudian ”dicabut”) dari dalam diri manusia Indonesia sendiri. Secara faktual terlihat jelas bahwa kendatipun Pancasila (dan semua agama yang diyakini bangsa Indonesia) mengajarkan nilai-nilai luhur dan baik, secara etis-moral bangsa ini memperlihatkan ironi yang memprihatinkan: virus KKN menyebar luas ke mana-mana elite politik lebih gemar berburu dan ’bermain’ dengan kekuasaan, praktik-praktik ekonomi/bisnis lebih diwarnai tendensi meraup keuntungan semaksimal mungkin dengan mematikan pesaing, kecenderungan materialisme dan hedonisme kian merambah ke segala lapisan dan sebagainya. Berbagai simptom yang merusak ini hanya dapat ditangkal dengan ”anti-virus”: karakter dan jatidiri bangsa. Pembangunan karakter bangsa atau ”character building” pada dasarnya merupakan proses berkelanjutan (never ending process) berupa pembentukan manusia Indonesia lewat proses pendidikan formal maupun non-formal sejak usia dini, dengan mentransformasikan nilai-nilai yang dilakukan melalui cara-cara berikut ini: a.Memberikan tata nilai: mengajarkan kepada anak-anak, mana yang baik dan yang buruk. b.Menanamkan mana yang boleh dan yang tidak boleh. Memberlakukan ”reward and punishment” yang seimbang. c.Menanamkan kebiasaan agar semua perilaku yang baik dan boleh dilakukan menjadi kebiasaan sehari-hari. d.Keteladanan: sikap dan perilaku orang tua sangat mempengaruhi perilaku anak; sikap dan keteladanan guru sangat dituntut. Oleh karena itu orang tua/guru harus selalu menampilkan perilaku terpuji. Keberhasilan dari proses pendidikan ini akan disempurnakan dalam proses selanjutnya melalui sosialisasi/pergaulan dalam masyarakat yang juga memegang dan meng-implementasikan tata nilai. Ujung dari proses ini diharapkan akan mampu membentuk suatu lingkungan masyarakat dan bangsa yang berkarakter. Ada 4 acuan dalam membangun karakter: a.Membangun karakter harus dimulai dari diri sendiri lalu ke arah keluarga, lingkungan masyarakat sekitarnya, sampai ke lingkungan masyarakat luas. Ini berarti membangun karakter bangsa secara bottom-up. b.Untuk mewujudkan suatu proses perubahan mustahil tanpa keteladanan. Inilah yang disebut top-down. Pemimpin pada tingkat manapun harus mampu memancarkan keteladanan di lingkungannya. c.Secara metodologis Samuel Miles mengatakan bahwa karakter dibentuk oleh kebiasaan, kebiasaan dibentuk oleh tindakan, dan tindakan dibentuk oleh pikiran. d.Menurut Hellen Keller membangun karakter tidak bisa dengan mudah dan santai, melainkan harus melalui perjalanan penuh cobaan dan pengorbanan. 5.Membangun Kembali Jatidiri Bangsa Indonesia Menumbuhkan jatidiri bangsa berarti pula mengembangkan Pancasila, sehingga nilai-nilai Pancasila teraktualisasikan oleh segenap anak bangsa dalam keseharian, yakni memantulkan pola dan sikap hidup yang: a.Religius – setiap warga bangsa harus berkeyakinan kepada Tuhan YME, mampu menciptakan kerukunan dalam kehidupan antar umat beragama yang dilandasi sikap toleran terhadap pluralitas bangsa (Bhinneka Tunggal Ika). b.Humanis – hubungan antara warga diliputi oleh rasa saling menghormati dan menghargai, toleran dan rukun. c.Nasionalis dan patriotis – memiliki wawasan kebangsaan yang mengamanatkan kesatuan dan persatuan dalam segala aspeknya dilandasi oleh rasa cinta bangsa dan tanah air sehingga rela mengorbankan jiwa-raganya. d.Demokratis – mengedepankan musyawarah dalam memutuskan secara bersama untuk mencapai mufakat yang dilandasi semangat hikmah kebijaksanaan. e.Pro-keadilan ­– menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan mengupayakan tegaknya keadilan sosial demi kesejahteraan bersama. Namun karena kehidupan bangsa dan negara telah terdistorsi oleh neoliberalisme/neokapitalisme sehingga yang mengedepan adalah paham/sikap individualisme, materialisme dan konsumtivisme. Demokrasi liberal dengan sistem ”one man one vote” telah menggeser sistem perwakilan, merontokkan nilai kekeluargaan sehingga menimbulkan ’tirani mayoritas’ dan kerap berujung pada konflik yang disertai kekerasan. Maka langkah strategis yang penting adalah sesegera mungkin melakukan ”kanalisasi” dan ”regulasi sistemik” untuk memagari berbagai dampak negatif dari (neo)liberalisme/liberalisasi dan kapitalisme. Serbuan nilai neolib dan kapitalisme telah mencengkeram dan menguasai segala lini kehidupan bangsa, menghisap kekayaan tanah-air sehingga terjadi pemiskinan yang sistematis, mencekik nasib dan masa depan rakyat. Misalnya, menjamurnya berbagai toko swalayan asing yang berjaringan luas dan diperbolehkan menjual segala macam kebutuhan dari barang elektronik sampai bumbu dapur, telah mematikan banyak pasar tradisional yang menjadi sumber penghidupan rakyat kecil. Hal ini terjadi karena kurang/tidak adanya regulasi yang menjadi rambu-rambu untuk membatasi gerak tamak dari kapitalisme. Kanalisasi terhadap neolib dan kapitalisme itu sebenarnya dapat dilakukan dalam satu periode kepemimpinan kalau saja ”otoritas negara” kembali kuat (setelah disedot oleh otoritas global-maya). Dengan kata lain, kepemimpinan yang kuat (strong leadership) merupakan faktor kunci dalam upaya konsolidasi kebangsaan khususnya dalam upaya kanalisasi arus deras neolib dan kapitalisme. Tentu saja gerak konsolidasi kebangsaan dalam rangka peningkatan nasionalisme, pembangunan dan pemerkuatan jatidiri bangsa tersebut harus paralel dengan upaya pencerdasan bangsa (melalui pendidikan) dan peningkatan kesejahteraan (melalui pembangunan ekonomi). Dalam konteks ini, sangat penting bahwa model pembangunan yang hendak kita kembangkan adalah pembangunan ”Negara Pancasila” yang sangat lengkap (total), menyeluruh (komprehensif), serba-bidang kehidupan (multidimensional) dan utuh (integral) dan berpandangan jauh ke depan (visioner). Hal ini perlu ditekankan terus-menerus mengingat belakangan ini kian santer terminologi ’baru’ seperti membangun ”Negara Kesejahteraan” (welfare state), yang justru bermakna parsial fragmentaris dan menyempitkan makna pembangunan Negara Pancasila. Dalam konteks Pertahanan, salah satu buah dari upaya membangun karakter bangsa adalah terciptanya nasionalisme, patriotisme dan sikap pantang menyerah yang jauh lebih kuat dan tangguh, baik secara individual maupun kolektif (kelompok dan bangsa). Dari perspektif ini, penanaman dan pengembangan nilai Bela Negara merupakan keniscayaan dan perlu diterapkan secara sistemik dan sistematis di berbagai kalangan terutama kaum muda, melalui pendidikan formal dan non-formal. Melalui pendidikan Bela Negara, diyakini dapat meningkatkan kembali ethos kejuangan, spirit nasionalisme dan patriotisme yang disinyalir memudar belakangan ini. Padahal dengan berkaca pada pengalaman sejarah masa lampau, kita belajar bahwa ethos dan spirit yang kuat dapat mengkompensasi kekurangan kita dari segi teknologi militer. Ketika pda akhir 1960-an hingga 1980-an kekuatan persenjataan kita rontok, militer kita (TNI) justru mampu bertahan dan tetap disegani lawan karena kekuatan ”spirit”nya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembangunan karakter dan rekonstruksi jatidiri bangsa merupakan conditio sine qua non, syarat mutlak bagi keberlangsungan bangsa dan terciptanya kehidupan bangsa yang bermartabat dan berdaulat, baik ke dalam maupun ke luar. Dalam bingkai besar kepentingan nasional itulah, sangat perlu segera diambil langkah ”Konsolidasi Kebangsaan” dengan melibatkan sebanyak mungkin eksponen dan komponen bangsa yang sungguh nasionalis dan berjati diri Indonesia. Dengan langkah tersebut, dapat dibangkitkan kembali kesadaran bersama untuk merekonstruksi jatidiri bangsa dna mengarahkan kembali perjalanan bangsa-negara ini menuju cita-cita nasional yang berlandaskan platform kebangsaan seperti digaris-tegaskan oleh Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila. -Bersambung
Posted on: Tue, 06 Aug 2013 15:49:12 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015