Ketekunan Berdakwah di Jalur Sulit SEMARANG - Kerja keras, - TopicsExpress



          

Ketekunan Berdakwah di Jalur Sulit SEMARANG - Kerja keras, ketekunan, dan konsistensi Dahlan Iskan dalam mengembangkan perusahaan dan membangun dunia industri diapresiasi dunia akademik. Jerih payahnya dinilai sebagai sebuah dakwah bagi umat yang kemanfaatannya sangat riil di era sekarang. Wartawan yang pernah menjabat CEO Jawa Pos, Dirut PLN, dan kini menjadi menteri BUMN itu kemarin (8/7) mendapatkan anugerah gelar doktor kehormatan dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang. Gelar doctor honoris causa (Dr HC) diterima alumnus pesantren itu karena dianggap berjasa di bidang komunikasi dan penyiaran Islam. Dahlan dianggap sukses melakukan dakwah bil hal, yaitu dakwah dengan perbuatan nyata. Penganugerahan yang dilaksanakan di kampus III IAIN Walisongo Semarang itu dihadiri berbagai kalangan. Mulai mahasiswa, para pejabat BUMN, rektor berbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta, pengusaha, hingga pejabat pemerintah. Sejumlah tokoh yang hadir antara lain bos Transcorp Chairul Tanjung, Ustad Yusuf Mansur, utusan khusus presiden T.B. Silalahi, serta para Dirut BUMN yang duduk berbaur dengan seribu lebih undangan. Dalam orasi ilmiahnya, Dahlan menjelaskan panjang lebar (tanpa teks) sejarah, perkembangan, dan tantangan dakwah Islam di era dulu dan kini. Menurut dia, ada banyak metode dakwah. Ada yang mudah, yang sulit, juga yang sangat sulit. Salah satu contoh yang sangat sulit adalah dakwah menyebarkan Islam ke Tiongkok. Dalam literatur abad keenam disebutkan, para pendakwah kesulitan untuk masuk ke Tiongkok karena faktor huruf Mandarin. Huruf Mandarin tidak mengenal A B C D maupun alif ba ta. Huruf Mandarin hanya mengenal simbol-simbol atau gambar. Untuk menulis sesuatu, selalu digunakan simbol yang sudah dikenal. “Sedangkan simbol Islam tidak dikenal. Seperti simbol Allah, tidak ada dalam bahasa Mandarin. Apalagi simbol panjang seperti Laa Ilaaha Illallah, tentu tidak ada,” ujarnya. Dahlan mengatakan bahwa dakwah di era tersebut adalah yang paling sulit. Saking sulitnya, akhirnya setelah sekian ratus tahun kemudian, para pendakwah menempuh cara dengan menyimpulkan: Islam itu persis dengan Konghucu. Bedanya, tidak boleh makan babi dan harus percaya kepada Allah. Hal itu dilakukan karena memang tidak ada yang bisa digunakan untuk menjelaskan Islam itu apa, Allah dan Muhammad itu siapa, dengan bahasa Mandarin. Namun, dengan cara begitu, pelan-pelan Islam bisa masuk ke Tiongkok. Lulusan Madrasah Tsanawiyah Sabilul, Pesantren Sabilul Muttaqin, Takeran, Magetan, tersebut mengungkapkan, dakwah yang juga sulit “meski tidak bisa mengalahkan sulitnya dakwah masuknya Islam ke Tiongkok” itu adalah dakwah bil hal. Jenis dakwah yang memerlukan ketekunan, karakter, dan bukti bahwa yang diucapkan dan dikerjakan betul-betul menjadi kenyataan. Sedangkan dakwah lisan dan tulis, pembuktiannya di akhirat kelak, yang kita semua belum pernah melihatnya. Dahlan pernah mengira istilah dakwah bil hal dipakai di semua dunia Islam. Tapi, ternyata istilah itu hanya ada di Indonesia. Dia sudah mencoba menelusuri ke negara-negara Timur Tengah, tapi ternyata di sana tidak ada istilah tersebut. “Saya sudah kontak dengan ulama yang lama tinggal di Timur Tengah, tidak ada,” ucapnya. Lantas siapa orang pertama di Indonesia yang mencetuskan dakwah bil hal? Ada yang mengira ahli tafsir Prof Dr Quraish Shihab orangnya. Lalu Dahlan pun menghubunginya. “Pak Dahlan, bukan saya yang pertama memopulerkan istilah itu,” kata Dahlan menirukan ucapan Quraish Shihab. Dahlan akhirnya menyimpulkan, ternyata baru pada 1970-an istilah tersebut dipakai. Dugaannya, saat itu umat Islam mengalami persoalan. Di era tersebut baru saja meletus prahara Gestapu. Banyak orang miskin yang menjadi anggota Partai Komunis. Nah, ketika awal-awal pemerintahan Orde Baru, penguasa menggariskan bahwa Golkar harus memenangi pemilu. Karena itulah, aktivis-aktivis gerakan Islam yang ingin mengaktifkan kembali partai Islam mengalami kendala luar biasa. Banyak aktivitas keagamaan yang dikonotasikan ke dalam aktivitas politik. Pada saat itu mubalig tidak bisa melakukan dakwah secara terbuka. Karena itulah, muncul istilah dakwah bil hal. Istilah tersebut muncul agar tidak kelihatan ekstrem dan sensitif dalam kacamata politik saat itu. “Karena itulah, kata dakwah di telinga lebih soft ketimbang yang ada di podium-podium,” jelasnya. Menurut Dahlan, dakwah bil hal yang paling relevan dan konkret pada zamannya adalah dunia pendidikan. Itu terjadi ketika NU, Muhammadiyah, dan organisasi lainnya mendirikan organisasi sekolah dan madrasah di desa-desa di seluruh pelosok tanah air. Saat itu tantangannya ialah memberantas kebodohan. Sebab, penjajah Belanda menomorduakan penduduk pribumi dalam mengakses pendidikan sehingga kebodohan ada di mana-mana. Dengan demikian, muncullah semangat memberantas kebodohan. “Maka, metode dakwah bertambah dari dakwah lisan menjadi tulis,” ucapnya. Hal itu sudah dibuktikan hasilnya dan berlangsung sampai sekarang. Nah, saat ini ada tantangan berikutnya lagi, yaitu bagaimana melakukan dakwah di sektor ekonomi. Sebab, ekonomi adalah disiplin tersendiri yang mudah diucapkan, tapi sulit dipraktikkan. “Tapi, sesulit apa pun dakwah bil hal di bidang korporasi masih lebih sulit dakwah para ulama pendahulu yang menyiarkan Islam di Tiongkok. Bayangkan masa itu, pasti kita akan terhibur karena tidak akan sesulit mereka,” paparnya. Di Indonesia, tantangan dakwah saat ini, salah satunya, ada di sektor ekonomi. Dunia sudah berubah dari pertanian ke industri, komunikasi, dan teknologi. Tapi, sebagian besar umat berada di pedesaan dan umumnya menggeluti pertanian. Menurut Dahlan, itu merupakan persoalan yang sangat sulit. Solusinya berbentuk korporatisasi usaha individual umat. Dahlan mencontohkan, warga di desa memiliki usaha pribadi. Misalnya memiliki sapi, sawah yang terus mengecil karena tiap tahun dibagi untuk warisan, dan punya ayam. Namun, pola ekonomi seperti itu tidak akan membawa kemajuan. Sebab, usahanya kecil dan individual sehingga nilainya tidak bisa maksimal. Menurut hemat Dahlan, umat Islam di desa tidak mungkin semuanya bisa diajak bermigrasi ke dunia industri, apalagi ke dunia IT. Harus ada yang tetap bergerak di basis ekonomi pertanian dan peternakan. Agar bisa maju, harus ada komunalisasi usaha individu di pedesaan. Misalnya, satu orang memiliki dua ekor sapi di rumah. Sapi itu tidak akan memberikan kehidupan karena keekonomiannya sangat kecil. Tapi, kalau satu desa sapinya dikelompokkan jadi satu, keekonomiannya akan lebih besar. Dahlan memerinci, jika ada dua ekor sapi di rumah, air kencing dan kotorannya akan terbuang begitu saja.”Tapi, jika 500 ekor sapi berada dalam satu kandang komunal yang dimiliki seratus warga, keekonomiannya sangat tinggi. “Air kencing sapi harganya lebih mahal daripada soft drink seperti Coca-Cola. Tapi, untuk dua ekor sapi tidak bernilai,” tegasnya. Jika disatukan, air kencing 500 sapi bisa ditampung dengan sistem tertentu, maka akan lebih bernilai. Dengan begitu, biaya pengelolaan sapi akan tertutupi. Hal itu bisa terwujud dengan peran mubalig. “Ini memang sulit. Tapi ingatlah, penyebar dakwah ke Tiongkok mengalami hal yang lebih sulit,” tuturnya. Dahlan menerangkan, itulah dakwah yang cocok dengan masalah yang sedang dihadapi masyarakat sekarang. Menurut dia, jika hal tersebut tidak kita lakukan, akan ada agama lain yang justru berkembang karena melakukan dakwah bil hal secara konsisten. Dia mengungkapkan, ada agama yang berpusat di Taiwan Timur yang umatnya berkembang sangat pesat. Ajarannya hanya berbuat baik dan melakukan kerja nyata untuk siapa saja, tidak terbatas untuk umat agama itu. Bahkan, agama tersebut justru melarang mendirikan rumah ibadah karena dikhawatirkan mengakibatkan persaingan dan pertentangan antarumat. Pria yang tak sempat lulus dari Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Cabang Samarinda itu menggambarkan kegigihan seorang anak muda dari Korea. Dia pernah menjadi manajer operasional pembangunan jalan tol Jagorawi di Jakarta yang mutunya bagus sampai sekarang. Karena prestasi itu, karirnya bagus. Sampai akhirnya dia menjadi wali kota Seoul. Jabatan wali kota membuat kegigihannya terus meningkat. Dia ingin mengubah sebuah kampung kumuh menjadi lebih maju. Namun, banyak warga yang menolaknya. Wali kota yang satu ini tidak menyerah. Dia mengadakan rapat, bahkan hingga 3.000 kali, sampai akhirnya masyarakat sadar. Dia pun akhirnya menjadi presiden Korea Selatan. “Banyak dari kita gampang menyerah. Baru rapat 20 kali saja sudah menyimpulkan rakyat tidak mau berubah. Kalau ada yang gampang putus asa seperti itu, ingatlah wali kota Seoul. Kesulitan akan menemukan jalan keluar dan kemudahan,” tegasnya. Di akhir orasinya, Dahlan Iskan meminta maaf kepada para rektor sejumlah perguruan tinggi yang lebih dulu menawarkan pemberian gelar kehormatan kepadanya, namun tidak diterimanya. “Jangan tanya kenapa. Saya tidak tahu kenapa sekarang saya menerima gelar ini. Karena ketika dulu menolak, sebenarnya juga tidak jelas apa alasan saya,” kata Dahlan disambut tawa dan tepuk tangan hadirin. (eko/c9/lk/ce1) Sumber bit.ly/12jom6V
Posted on: Thu, 11 Jul 2013 09:32:05 +0000

Trending Topics



;">
May 2, 1814 His Excellency Isaac Shelby Governor of Kentucky,
Nikon Edg Vr Spotting Scopes Where to order Nikon Edg Vr Spotting

Recently Viewed Topics




© 2015