MAHABARATA EPS 68 Di medan lain, Drona mengamuk - TopicsExpress



          

MAHABARATA EPS 68 Di medan lain, Drona mengamuk dengan dahsyatnya. Beratus-ratus pasukan Pandawa gugur dimedan itu. Dalam keadaan seperti itu, Krishna memberi tahu Arjuna: jika perang terus berlangsung dan Drona tetap memimpin Kaurawa, Pandawa pasti hancur. Satu-satunya jalan adalah membunuh Drona. Dan satu-satunya cara untuk mengalahkan guru Pandawa dan Kaurawa itu adalah dengan mengabarkan kepadanya bahwa Aswatthama, anaknya, telah gugur. Berita itu pasti akan membuatnya kaget, sedih, putus asa, dan meletakkan senjatanya. Sebab itu, salah seorang harus pergi menemui Drona dan mengabarkan berita itu. Arjuna kaget mendengar saran Krishna. Ia tidak sanggup berbohong, apalagi kepada mahagurunya. Dia akan menanggung aib. Tidak ! Ia tidak setuju usul itu. Yang lain juga menolak usul Krishna. Setelah lama berpikir dan tidak melihat ada jalan lain, Yudhistira bangkit lalu berkata, “Ya, baiklah akan aku pikul dosa ini.” Dia terpaksa membohongi gurunya walau pun hati kecilnya menentang perbuatan itu. Kemudian ia menyuruh Bhimasena melakukan sesuatu. Bhimasena lalu mencari gajah yang namanya sama dengan nama putra Drona: “Aswatthama” . Sesuai perintah Yudhistira, dia harus membunuh gajah yang besar, kuat, dan pandai berlaga itu. Setelah menemukannya, Bhimasena mengangkat gadanya lalu menghantamkannya ke kepala Aswatthama si gajah. Gajah itu langsung roboh berdebam ke tanah dan mati seketika. Setelah gajah Aswatthama mati, Bhimasena menyelinap ke dekat kemah Drona, lalu mengaum lantang agar terdengar oleh Mahasenapati Kaurawa itu. “Aku telah bunuh Aswatthama,” teriaknya. Mendengar kata-kata Bhimasena, Drona langsung bangkit dan pergi menemui Yudhistira. Ia hendak bertanya sambil dalam hati mengucapkan mantra brahmastra, “Yudhistira, benarkah anakku telah mati terbunuh?” Ia yakin, satu-satunya orang yang tak pernah berbohong adalah Dharmaputra. Kesatria Pandawa itu selalu mengatakan yang sebenarnya dan tak pernah berani berbohong. Ketika Drona bertanya kepada Dharmaputra, Krishna mengawasi mereka dengan cemas dan hati berdebar-debar. Demikian pula Bhimasena, ia merasa ngeri dan malu karena tadi dia yang “meneriakkan” berita itu. Yudhistira berdiri gemetaran, ngeri akan perbuatan dusta dan akibat mantra brahmastra yang diucapkan Drona. “Kalau sekarang engkau tidak sanggup menjawab, kita semua akan hancur. Brahmastra yang menyertai ucapan Drona mengandung kekuatan magis untuk memusnahkan Pandawa,” bisik Krishna kepada Yudhistira. Mendengar bisikan Krishna, Yudhistira menjawab perlahan dengan suara lirih sekali, “Biarlah ini menjadi dosaku.” Lalu dengan suara jelas ia berkata kepada Drona, “Benar,Aswatthama telah mati terbunuh.” Ucapannya itu menusuk hatinya sendiri. Ia tahu, dengan berbohong ia telah merendahkan martabat dan pekertinya. Kemudian ia meneruskan kata-katanya dengan suara yang semakin lirih, “Aswatthama gajah yang kuat dan mahir bertempur.” Kata gajah diucapkan sangat lirih agar tidak terdengar oleh Drona. Yudhistira belum pernah berbicara satu kata palsu sampai saat itu. Mendengar berita itu dari mulut Yudhistira yang terkenal tak pernah berbohong, Drona langsung lemas. Ia yakin, ia benar-benar telah kehilangan anak yang sangat dicintainya. Semangatnya menguap, bagaikan embun pagi disinari matahari. Semua keinginan duniawi hapus dari pikirannya, hilang tidak berbekas sedikit pun. Drona, mahaguru dan kesatria tua yang perkasa itu terlihat pucat dan layu. Pada saat itu Bhimasena berkata lantang kepadanya karena kecewa terhadap bekas mahagurunya, “Wahai guruku,sebagai brahmana engkau telah meninggalkan tugas dan kewajibanmu sesuai varna-mu. Engkau memilih varna kesatria dengan mengangkat senjata dan menyebabkan banyak raja, putra mahkota, dan kesatria tewas dalam perang ini. Jika engkau tidak terlalu bernafsu atau berambisi untuk meraih kekuasaan, pastilah kaum kesatria tidak mengalami kemusnahan seperti sekarang. Varna-mu sebagai brahmana mengajarkan bahwa ahimsa — tindakan tanpa kekerasan— adalah dharma tertinggi. Tetapi engkau menolak dharma itu dan memilih menjadi mahasenapati yang memimpin pertempuran. Sekarang, setelah korban berjatuhan, engkau ingkari semuanya. Perbuatanmulah yang membuat hidupmu penuh dosa. Dan engkau harus menerima akibatnya.” Drona merasa tersinggung dan terhina oleh kata-kata Bhimasena. Perasaan hampa karena tewasnya Aswatthama, putranya, semakin parah karena hinaan Bhimasena. Dengan putus asa ia meletakkan semua senjatanya, melepas pakaian dan atribut perangnya, kemudian duduk bersila di keretanya untuk beryoga. Tidak berapa lama kemudian Drona kemasukan roh halus. Pada saat itu Dristadyumna datang berlari mendekati Drona dengan pedang terhunus. Kesatria itu hendak menghabisi brahmana yang telah banyak membunuh kaum kesatria. Tanpa bertanya-tanya, ia melompat ke dalam kereta Drona sambil berteriak nyaring, “Mampus engkau Brahmana !” Dengan sekali tebas ia memenggal leher Drona. Kepala mahasenapati itu menggelinding, jatuh tepat di disisinya. Tetapi, ajaib ! Dari leher yang terpotong itu memancar cahaya kedewaan yang kemudian terbang ke angkasa, menuju surga, manunggal dengan Hyang Widhi. Kesuraman mendatangi perkemahan Kurawa mendengar berita ini, tapi dilain pihak tidak ada perayaan di perkemahan para Pandawa. Jadi hari kelima belas telah terbukti menjadi hari yang paling kejam selama perang di Kurukshetra. Drona dengan senjata Astra dewata dan Brahmastra telah mengambil korban dari dua puluh empat ribu Ksatria Pandawa. Tentara Kaurawa itu mundur dengan panik. Raja Kaurawa dan para prajurit berkerumun di bersama untuk berembuk. Aswatthama sudah tidak dapat mengendalikan dirinya mendengar kematian ayahnya yang terjadi dengan cara kejam. Dia bersumpah untuk mengirim semua Pandawa ke dalam kematian. Kedatangan Aswatthama memberi sedikit keberanian pada pasukan Kaurawa. Dipimpin oleh Aswatthama, tentara Kaurawa sekali lagi mempersiapkan diri untuk melawan. Para Pandawa terkejut oleh suara drum dan terompet oleh pasukan Kaurawa. Arjuna berkata, "Itu adalah suara Aswatthama yang memimpin tentara. Dia seperti ular yang terluka." Aswatthama memanggil astra yang paling dahsyat yang dimilikinya. Astra itu bernama Narayanastra, yang didapat dari Dewa Wisnu. Tentara Pandawa dicekam rasa takut. Tidak ada yang bisa berpikir bagaimana untuk menghindari atau mengatasi ini senjata yang dahsyat itu. Bahkan Arjuna juga tidak berdaya, untuk sekali ini, Yudhistira berkata bahwa dia yang bertanggung jawab atas semua tindakan dosa yang dilakukan dalam perang seperti matinya kakeknya Bhisma oleh tipu daya, sekarang membunuh Drona gurunya. Yudhistira menyediakan diri untuk dibunuh oleh Astra yang dahsyat itu, dan ia meminta semua prajurit untuk kembali ke kemah mereka dan tidak perlu berkabung untuknya. Krishna memperhatikan semua ini. Dia mengatakan kepada Yudhistira untuk tidak berputus asa, juga dia tidak perlu merasa bersalah karena apa yang telah terjadi selama perang. Yudhistira tidak memiliki kendali atas semua hal ini. Kemudian Yudhistira bertanya apakah ada jalan keluar untuk menyelamatkan diri dari astra yang dikirim oleh Aswatthama itu. Krishna tersenyum dan berkata bahwa dia mengenal Narayanaastra dengan baik. Sebuah jalan keluar untuk menyelamatkan diri adalah dengan cara untuk meletakkan senjata yang dipunyai dan menyerah di depan astra. Semakin seseorang menolak dan mencoba melawan astra tersebut, semakin kuatlah astra itu. Seluruh prajurit Pandawa meletakkan senjata mereka, kemudian berlutut dan bersujud di hadapan astra yang dahsyat tersebut. Mereka semua pun lolos dari bahaya kehancuran yang mungkin diakibatkan oleh Narayanaastra. Hanya Bhima yang berdiri menantang dengan mengayunkan gadanya. Astra itu mulai menuju ke arah Bhima. Arjuna segera menyambar gada yang dipegang oleh Bhima dan Krishna melindungi Bhima di bawah bayangannya. Kemarahan dari astra itu mereda. Melihat semua kejadian ini orang yang paling kecewa adalah Duryodhana. Astra yang terkenal dahsyat ini tidak berhasil membunuh seorang pun dari kubu Pandawa. Tapi Aswatthama sangat bangga bahwa semua orang telah menyerah kepadanya. Dengan demikian, dia menganggap bahwa mereka semua mengakui kekalahan mereka. Duryodhana tidak merasa puas dengan kemenangan moral dan spiritual tersebut. Dia meminta anak dari gurunya untuk menarik astra itu kembali. Tapi, Aswatthama mengatakan bahwa itu hal yang mustahil terjadi, karena astra itu bila berbalik akan membunuh seluruh tentara mereka. Aswatthama tidak tahu rahasia bagaimana menarik kembali astra tersebut karena Drona tidak pernah mengajarkan kepadanya. Harapan Duryodhana untuk menang pupus sudah. Dia sangat murung dan bermuram durja. Maka perang hari kelima belas itupun berakhir sudah. Kaurawa dirundung kemurungan karena kematian Drona komandan mereka dan kegagalan dari Narayanaastra yang dilepas oleh Aswatama. Bersambung..
Posted on: Mon, 29 Jul 2013 07:01:34 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015