“POLITIK RASIS DIBALIK KAMPANYE ANTI KOMUNIS ORDE BARU” ( - TopicsExpress



          

“POLITIK RASIS DIBALIK KAMPANYE ANTI KOMUNIS ORDE BARU” ( Keterangan foto : Aksi Penyerangan dan Perusakan Oleh Unsur-unsur KAP Gestapu Terhadap Kampus Universitas Res Publica, Grogol, Jakarta Barat, Oktober 1965 – Sumber foto : corbisimages/ ) Ada dimensi lain dari peristiwa G 30 S, yang selama rezim Orde baru, berkuasa, cenderung ditutupi dan dimanipulasi, yaitu dimensi rasisme yang demikian menonjol dan sangat mewarnai aksi-aksi anti komunis dan anti Bung Karno, selama periode 1965-1967. Politik rasis yang “membonceng” kampanye anti komunis ini, dengan sasaran spesifik warga negara Indonesia keturunan Tionghoa yang dianggap “kiri”, telah dimulai dalam hitungan hari pasca meletusny peristiwa G 30 S ini, di kota Jakarta, yang notabene adalah kota tempat dimana peristiwa G 30 S ini pertanma kali meletus. Elemen-elemen anti komunis yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan September 30 Puluh ( KAP Gestapu ) , memulai aksi aksi pengrusakan dan pembakaran terhadap gedung dan aset milik lembaga-lembaga Tionghoa yang punya hubungan dengan Baperki ( Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia ) . Sasaran pertama adalah kampus Universitas Res Publica (skrg Univ Trisakti ), yang berlokasi di kawasan Grogol, Jakarta Barat. Kampus yang bernaung dibawah Yayasan Baperki ini memiliki junlah dosen dan mahsiswa keturunan Tionghoa dalam proporsi yang cukup besar. Meski demikian, persentase mahasiswa Res Publica yang benar-benar condong ke kiri ini tidaklah merupakan mayoritas, dari seluruh mahasiswa keturunan Tionghoa yang menempuh pendidikan di kampus tersebut. ( pergulatan batin Monik, seorang gadis Tionghoa mahasiswi Res Publica, yang non komunis dan pemeluk Katolik taat, terhadap aksi –aksi rasis Kap Gestapu ini, digambarkan dengan baik oleh Mira W, dalam novelnya yang berjudul “Gema Sebuah hati” terbitan Gramedia 1982. Novel tersebut mengambil setting tahun-tahun 1964-1967) . Namun, tetap saja, elemen-elemen sipil anti komunis, dengan dukungan diam-diam dan kadang terang-terangan dari militer, menjadikan kampous ini sebagai target aksi kekerasan dan vandalistis. Kampus Res Publica dibakar habis oleh unsur-unsur KAP Gestapu pada tanggal 15 Oktober 1965, 4 hari setelah Menteri Pendidikan Tinggi kabinet Dwikora, Mayor Jendral Sjarif Thayeb ( saudara kandung anggota CC PKI Ir. Thaher Thayeb ), mengeluarkan keputusan untuk menutup 14 lembaga pendidikan tinggi yang beroriatasi ke kiri, termasuk Res Publica. Namun Sjarief Thayeb menyangkal bahwa kampus tsb dibakar oleh unsur-unsur Kap Gestapu, dan malah menuduh bahwa para mahasiswa Res Publika, khususnya yang menjadi anggota CGMI dan Perhimilah, yang “membakar sendiri” (sic ) kampus tempat mereka selama ini menimba ilmu. Aksi –aksi anti komunis dan anti Tionghoa yang diawali di Jakarta ini kemudian menyerbar ke seluruh pelosok Nusantara, dengan pola-pola yang kurang lebih serupa. Sepanjang bulan Oktober , November dan Desember, aksi-aksi anti Tionghoa, yang campur aduk dengan aksi anti komunis dan anti (pemerintah ) RRT, meletus di sejumlah kota besar dan kecil. Namun skala kerusuhan paling besar terjadi di dua kota utama di luar Jawa, yaitu di Medan dan Makasar, dimana aksi ini praktis menjadikan seluruh warga keturunan Tionghoa sebagai sasaran amuk, tanpa mempedulikan apakah warga Tionghoa tersebut adalah simpatisan kiri atau bukan. Aksi di Makassar mengambil momen pada hari Pahlawan 10 November 1965, dimotori oleh oleh organisasi mahasiswa HMI dan organisasi Pemuda Ansor. (Ketua Nasional KAP Gestapu adalah tokoh muda NU, Subchan ZE ) . Selain menargetkan aset dan properti milik warga Tionghoa, aksi di Makassar dan Medan ini juga menjadikan misi-misi diplomatik RRT sebagai target utama. Tanpa mempedulikan sama sekali aturan internasional yang menetapkan bahwa misi diplomatik suatu negara adalah merupakan bagian dari wilayah kedaulatan negara dimaksud, para pemuda anti komunis ini merusak kantor kosnulat RRT di kedua kota tsb, menghujaninya dengan batu , membuat sejumlah staf konsulat mengalami luka-luka serius. (mungkin para pemuda anti komunis ini bisa berdalih, bahwa aksi-aksi para pemuda komunis thd misi-misi diplomatik Barat, AS dan Inggris khususnya, pada periode pra G 30 S juga tidak kalah “santun” alias sama-sama tidak menghiraukan aturan dan etika internasional tentang perlindungan terhadap kedutaan-kedyaran asing. Pada bulan September 1963, para pemuda komunis dan naisonalis menyernag dan membakar Kedubes Inggris serta menganiaya sejuml;ah stafnya ) Aksi-aksi bernuansa rasis ini biasanya btidak mendapat hambatan yang berarti dari aparat keamanan, justru aparat militer (AD khususnya ) yang biasanya mendorong dan mermprovokasi sekutu-sekutu sipilnya ( KAP Gestapu, KAMI/Kappi, HMI PII, Ansor dll ) untuk melakukan kampanye anti komunis yang bernuansa rasis ini. AD malahan mempelopori tindakan “konfrontatif” pertama terhadap misi diplomatik RRT di Jakarta, saat militer (AD) memasuki dan menggeledah kantor Atase Perdagangan RRT pada tanggal 16 Oktober 1965, yang mana hal itu menimbulkan raksi berupa protes keras dari pemerintah RRT. Hubungan persahabatann antara Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok, yang dengan susah payah dirintis oleh Bung Karno dan Mao Tse Tung, dengan cepat merosot sampai ke titik yang paling rendah. Kampanye anti RRT yang dikombinasikan dengan aksi-aksi rasis ini tidak terbatas pada aksi-aksi fisik saja , namun juga disertai dengan propaganda hitam dan kampanye media yang sistimatis . Sejak bulan Oktober 1965, berita-berita yang provokatif dan tendensius tentang “ Aksi-aksi subversif RRT terhadap Indonesia “ mendominasi halaman-halaman muka surat kabar. Pada tanggal 12 Oktober 1965, koran “Api” yang didirikan oleh Mayjen Akhmad Sukendro, ( seorang perwira intel kawakan ), menulis sebuah laporan , bahwa sejumlah granat tangan dan senapan mesin buatan RRT, telah diselundupkan di dalam kapal yang mengangkut peti-peti yang berisi materail untuk proyek gedung CONEFO . Di bulan yang samak , suratkabar “Suara Islam “ menyiarkan sebuah berita yang tidak kalah provokatif, dengan menyebut bahwa kematrian Perdana Menteri RI Djuanda pasda tahun 1963, sebenarnya disebabkan oleh minuman anggur beracun yang diberikan kepadanya oleh “agen-agen RRT”. Tuduhan tersebut semauanya tidak benar dan tidak berdasar, namun pada saat itu, provokasi-provokasi media ini mampu memberikan dorongan untuk aksi-aksi anti RRT dan anti Tionghoa yang lebih sengit. Presiden Soekarno sebenarnya sama sekali tidak berpangku tangan, atas semua perkembangan destruktif yang berpotensi mengahcurkan hubungan persahabatan antara RI dan RRT ini. Dalam berbagai pidatonya, ia kerap mengecam , baik aksi-aksi fisik, maupun aksi-aksi propaganda media yang mendiskreditkan RRT dan warga Tionghoa ini. Dalamn pidatonya di depan Sidang Pantja Tunggal seluruh Indonesia, Presiden berkata dengan marah , “ ..telah terjadi beberapa kejadian rasialisme...Saya perintahkan kepadamu, laerang hal-hal yang demikian itu ! Siapa yang masih mengadakan pengrusakan dan pembakaran, dan sudah engkau larang, masih membangkang , tembak mati ! Dengar saya punya perintah !” ( Setiyono Budi dan Triyana Bonnie : Revolusi Belum Selesai : Kumpulan Pidato Presiden Soekarno – Pelengkap Nawaksara, Penerbit Ombak, Yogyakarta 2005. Hal. 43 ) Namun perintah dan komando Presiden ini praktis tidak ditaati, khususnya oleh militer dan sekutu - sekutu sipilnya seperti KAMI dan KAPPI, sehingga kekerasan yang bernuansa rasi ini terus berlangsung, dengan tensi yang main meninggi. Posisi Preiden Soekarno yang makin melemah, terutama pasca keluarnya Supersemar, membuat elemen-elemen “Orde Baru” yang anti komunis dan anti RRT , makin bisa mendekati tujuan akhir perjuangan mereka , yaitu : Pemutusan Total Hubungan Diplomatik Indonesia – RRT. Tujuan “sampingan” Orde Baru, yaitu melumpuhkan sama sekali kekuatan politik warga keturunan Tionghoa, praktis sudah tercapai di tahun 1966, setelah Baperki dilarang dan semua lembaga pendidikan yang bernaung dibawah Baperki ditutup atau diambil alih pengelola baru yang “bersih” dari pengaruh “komunis” . Perhimpunan Mahasiswa Indonesia atau Perhimi, sebuah organisasi mahasiswa yang berhaluan kiri dan dekat dengan Baperki, telah dilarang pada bulan Maret 1966. Tokoh-tokoh politik tekemuka keturunan Tionghoa, seperti Ketua Baperki Siauw Giok Tjan dan Menteri Negara Oei Tjoe Tat, telah ditangkap oleh militer pada bulan yang sama dengan keluarnya keputusan pelarangan Baperki. Puncak atau kulminasi dari kampanye anti RRT oleh Orde Baru ini terjadi pada bulan Oktober 1967, dua tahun setelah meletusnya Peristiwa G 30 S. Pada tanggal 1 Oktober 1967, massa yang berjumlah sekitar 1000 orang, terdiri dari unsur-unsur KAMI dan KAPPI, menyerbu dan mendrobak masuk ke dalam kantor Kedubes RRT yang terletak di kawasan Glodok, Jakarta Barat. Mereka membakar mobiul-mobil milik kedubes, merusak dan membakar sebagian perabotan ( dan menjarah sebagian yang lain.. ) dan menurunkan bendera RRT untuk diganti dengan bendera Merah Putih. Sejumlah staf Kedubes RRT, termasuk Kuasa Usaha RRT saat itu, mengalami luka-luka akibat tembakan yang dilepaskan oleh militer Indonesia, yang hendak “menghalau” para demosntran tersebut. Aksi tanggal 1 Oktober 1967 ini benar-benar membuat hubungan diplomatik RI dan RRT menjadi amat sulit untuk dipertahankan, apalagi, di RRT sendiri terjadi gelombang pasang radikalisme, sebagai akibat dari kampanye “Revolusi Kebudayaan”. Sehingga garis politik luar negeri RRT juga makin bergeser ke kiri, bertolak belakang dengan garis politik Indonesia yang makin bergeser ke kanan. Akhirnya pada tanggal 9 Oktober 1967, Presidium Kabinet RI memutuskan bahwa hubungan diplomatik RI – RRT telah “dibekukan” , dan pada tanggal 31 Oktober , seluruh staf diplomatik dari kedua negara, telah meninggalkan posnya masing-masing di kota Jakarta dan Peking. Momentum pembekuan hubungan diplomatik RI – RTT ini praktis menjadi akhir dan menjadi penutup dari kampanye anti RRT ( dan anti Tionghoa ) yang telah melanda Indonesia selama dua tahun penuh , terhitung sejak meletusnya peristiwa G 30 S pada tanggal 1 Oktober 1965. Setelah pembekuan hubungan ini, yang mungkin oleh para elite Orde Baru dianggap sebagai berakhirnya ancaman “Tjina Komunis” , maka pelan-pelan sikap rezim Orba menjadi lunak dan cenderung moderat. Aksi-aksi fisik yang bernuansa rasis tidak lagi mendapat dukungan rezim Orba, karena rezim tersebut sekarang membutuhkan iklim politik yang lebih tertib, stabil dan terkendali. Ini membuat rezim Orba mengambil pilihan untuk mengesampingkan aspirasi para sekutu-sekutu politiknya yang lebih “radikal” seperti unsur-unsur KAMI dan KAPPI , yang sebagiannya merasa tidak puas dengan politik “moderat” Orba dalam masalah RRT dan Tionghoa ini. Namun mereka praktis tidak berdaya untuk terus mendesakkan aspirasi “radikal”nya ini, mengingat posisi rezim yang makin solid dan kuat pasca tahun 1967. Namun sikap resmi Orde Baru terhadap RRT selama dua dekade pertama kekuasaan rezim itu, tetaplah dingin, dan sepertinya tidak ada isyarat atau tanda bahwa Indonesia akan menormalisir hubungannya dengan RRT pada periode 1970-an dan 1980-an. Baru pada tahun 1990, akhirnya “kebekuan” hubungan RI dan RRT selama 23 tahun ini berakhir, ketika Perdana Menteri RRC Li Peng berkunjung ke Indonesia untuk menyaksikan penandatangan pencairan kembali hubungan diplomatik RI – RRC, oleh Menlu Ali Alatas mewakili RI dan Menlu Qian Qichen yang mewakili RRC. Setelah dua dekade lebih “bermusuhan” akhirnya kedua negara ini memilih untuk mengesampingkan sentimen dan kontradiksi ideologisnya masing-masing, dan menggantikannya dengan sikap pragmatis yang cenderung oportunistis. ( Sebagian besar ulasan di atas diringkas dari : Charles A. Coppel – Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994 )
Posted on: Tue, 08 Oct 2013 06:32:02 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015