Pada tahun 1952, Bung Karno mengumpulkan seluruh Insinyur - TopicsExpress



          

Pada tahun 1952, Bung Karno mengumpulkan seluruh Insinyur Pertanian. Saat itu Bung Karno terobsesi dengan kemandirian pangan, dia rinci dalam pidatonya soal sawah-sawah di Indonesia, soal bagaimana Indonesia hidup bisa hidup dalam kemandirian pangan “Kita harus bisa menghidupi 80 juta rakyat Indonesia dengan sawah kita sendiri” kata Bung Karno saat itu. Lalu dari sanalah Bung Karno membangun Fakultas Pertanian Universitas Indonesia yang berada di Bogor, tahun 1963 oleh Bung Karno Fakultas itu diminta dipisah dan dijadikan Institut tersendiri. Politik kemandirian pangan ini juga menjadi agenda penting pada Deklarasi Ekonomi Djuanda yang disusun pada tahun 1960 dimana rakyat dilibatkan sepenuh-penuhnya dalam pengelolaan lahan sawah. Jaringan Rakyat tidak lagi bekerja sebagai buruh tani tapi kelak diberikan tanah sendiri, mengembangkan sawahnya, mengembangkan lahannya sehingga Indonesia bisa menjadi negara yang mandiri pangan. Saking terobsesinya atas kemandirian pangan, terobsesi mengembangkan lahan sawah di Indonesia, Bung Karno memaksa puterinya Megawati untuk kuliah di Fakultas Pertanian, bahkan Mega sempat menangis karena dipaksa Bung Karno, Mega punya keinginan lain. Pak Harto juga punya semangat yang sama dengan Bung Karno dalam pengelolaan lahan sawah, bahkan Suharto lebih maju lagi, karena menempatkan ‘Politik Logistik” sebagai taruhan terpenting dalam legitimasinya. Memang di jaman Suharto, varian benih padi berkurang, karena dipaksakan dengan varian benih padi yang di drop oleh negara, namun lahan-lahan sawah di Jaman Suharto tertutup untuk investasi asing, karena ini menyangkut ketahanan pangan bangsa ini. Sejak jaman Bung Karno sampai jaman Megawati, lahan sawah masuk ke dalam Daftar Negatif Investasi ini artinya : Objek atas investasi itu tidak bisa dimasuki oleh pemodal asing, karena menyangkut kepentingan vital bangsa. Tapi di jaman SBY yang amat permisif terhadap modal asing, lahan sawah sudah dimasuki investor asing, hal ini bisa dibaca dalam laporan Liputan6 : Kelompok agribisnis China-Malaysia tengah berupaya membangun lahan persawahan dan proyek pengolahan terpadu pada November mendatang di Indonesia. Dengan dana investasi US$ 2 miliar (Rp 20,3 triliun), perusahaan China ini berharap bisa memasuki pasar berkembang di tanah air sekaligus memenuhi pasokan beras domestik. Sejak didirikan pada 2000, Wufeng memiliki 24 lahan dan 2 ribu karyawan di provinsi Liaoning, China. Perusahaannya terus gencar melakukan perluasan bisnis ke Thailand, Vietnam, Kamboja dimana banyak padi ditanam untuk memasok kebutuhan beras di kawasan China daratan. (Perusahaan China-Malaysia Bangun Sawah, Liputan6) Jadi persoalan disini adalah penguasaan lahan sawah di-liberalisasi menjadi investasi terbuka pada asing, ini amat bahaya untuk ketahanan pangan masa depan Indonesia, kenapa tidak Pemerintah sendiri membangun sebuah skim dasar tentang penguasaan pangan misalnya lewat perusahaan BUMN atau membangun jaringan pertanian yang dimotori Departemen Pertanian daripada menyerahkan ke asing, kalaupun kita kekurangan teknologi, kita bisa saja menyewa teknologi itu atau menyewa konsultan asing, asal prinsip kedaulatan, prinsip modal dibawah kendali Indonesia. Apakah nanti nasib lahan-lahan sawah kita serupa dengan ladang-ladang migas kita? Hasil sawah kita tidak menjadi alat untuk swasembada, tapi dikirim ke Cina Daratan, atau diekspor keluar ketimbang memenuhi kebutuhan pangan rakyat. Harga Beras akan menjadi dikte pemodal, menjadi dikte Pasar, bukan lagi memenuhi asas Pasal 33 UUD 1945 dimana beras yang diproduksi di atas bumi Indonesia juga merupakan hajat hidup orang banyak sehingga Pemerintah bisa mengatur sirkulasi harganya sehingga harga tidak mahal. Dengan masuknya investor asing, petani-petani dipaksa menjual lahan sawahnya pada pemodal, selain itu Pemodal besar lokal juga akan menjarah lahan-lahan pertanian dan menjadikan masyarakat yang memiliki tradisi petani hanya jadi buruh tani, disini sawah yang tadinya bagian dari tradisi kepemilikan kolektif, atau bagian dari warisan adat menjadi sebuah industri yang padat modal, dimana hanya pemain-pemain yang punya duit banyak bisa masuk ke dalam industri tersebut. Desa-desa terancam kehilangan warisan budayanya, karena sawah, ladang dan tanah dimana mereka berpijak adalah pusat budaya, tapi ketika arus modal membombardir pusat budaya mereka, maka kegembiraan budaya akan hancur digilasi jam-jam industri. Penguasaan lahan sawah menjadikan Indonesia 100% dikuasai asing, tunduk dalam kuasa modal asing, seluruh lini mulai lapangan migas 90% dikuasai asing, Pasar-Pasar rakyat dikuasai oleh Pemodal Besar bukan lagi Pasar Tradisional, Industri Otomotif dikuasai asing, Perbankan dan Asuransi juga sudah dikuasai asing, kini satu-satunya warisan kebanggaaan bangsa ini yaitu : Sawah, juga dikuasai asing. Kita harus mengevaluasi ulang Ekonomi Liberalisme ini, karena ini amat melawan maksud pendirian Negara Republik Indonesia yang didasarkan pada asas Kedaulatan. Liberalisme membawa bentuk penjajahan baru dengan melakukan penipuan-penipuan modal sehingga Negara sedikit demi sedikit kehilangan kedaulatannya dan rakyat kemudian dijadikan tenaga kerja untuk bekerja pada Jam-Jam Kerja Asing, nilai tambah tenaga kerja kita untuk kemajuan bangsa lain. Liberalisme dalam hal apapun memang awalnya enak, tapi ketika kedaulatan sudah diluar kendali Negara, maka kehancuran tinggal tunggu waktu. ------ sumber, kompasiana, 23 Juli 2013 -----------
Posted on: Tue, 23 Jul 2013 13:34:40 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015