Pengalaman merasa tercerahkan, tiba-tiba melihat dunia dari - TopicsExpress



          

Pengalaman merasa tercerahkan, tiba-tiba melihat dunia dari perspektif yang baru, dan seperti dipecahkan dari kejumudan pikiran dan pola pikir common sense adalah suatu pengalaman yang rasanya umum terjadi pada siapa pun ketika pertama kali ‘bersentuhan’ dengan wacana teoretik kritis dan pemikiran filsafat. Rasanya seperti tersadarkan oleh suatu karya seni yang menyentak kita serta mengingatkan kita akan suatu hal yang selama ini terlupakan. Sensasinya memang menggairahkan dan menyenangkan, namun seperti halnya makanan yang masuk ke lambung kita akan memberikan pengaruh pada tubuh kita, begitu pula dengan pemikiran dan bacaan yang kita lahap untuk pikiran kita. Pada tahap awal kita biasanya sedemikian terpana, lalu mengamini begitu saja, dan bagi yang kebetulan memang ‘rakus’, akan mengunyah lagi dan lagi hingga lama kelamaan wacana teoretik dan pemikiran filsafat itu menjadi ‘kacamata’ untuk melihat realitas, untuk melihat kehidupan. Butuh waktu lama biasanya untuk mulai menyadari asumsi dasar, worldview, latar belakang kultur dan personal tokoh yang menghasilkan suatu pemikiran yang kita kagumi dan pakai sebagai kacamata dalam melihat segala hal. Saya masih ingat saat masa begitu menggandrungi eksistensialisme Sartre yang suram itu, wah saya sendiri sering merinding kalau mengingatnya lagi sekarang. Eksistensi mendahului esensi, bahwa tatapan orang lain adalah neraka, bahwa kematian itu ‘si keparat’ yang merenggut makna kehidupan, gara-gara kematian hidup menjadi tak bermakna. Belum lagi ditambahi pandangan Heidegger bahwa manusia itu terlempar ke dunia ini, bahwa manusia itu tak punya esensi apa pun, dan tambah lagi dengan novel-novelnya Sartre dan Camus, lengkap sudah. Dunia terasa suram. (Saya sendiri merinding kalau mengingat seperti apa siklus hidup dan ucapan-ucapan saya di masa itu...) Lalu saat menggandrungi strukturalisme plus post-strukturalisme, saya memandang semua itu hanya konstruksi sosial semata, hanya bentukan, ditambah dengan wawasan hermenetika yang berhasil membuat iman saya goyah selama beberapa minggu seperti kehilangan pegangan karena dipaksa harus menerima bahwa ‘kebenaran itu tidak ada’ dan lain sebagainya. Namun, gugatan dari sahabat-sahabat dekat yang tak terlalu intens mengkaji dunia wacana teoretik dan filsafat malah terasa lebih manjur. Seperti Om Zaenal Muttaqin yang dengan gaya santainya pernah berkomentar beberapa belas tahun lalu: ‘Kenapa sih kalian itu kalau belajar wacana teoretik dan filsafat itu sampai diambil hati segitunya...?’ Iya sih, sungguh konyol sekali kelihatannya, seseorang bisa terlihat begitu cendekia, berwawasan luas, tahu pemikiran si ini si itu, namun tak sedikit pun dia bisa menikmati kehidupan ini dengan santai seperti orang-orang yang lugu dan awam dari wacana teoretik serta pemikiran filsafat itu. Semua pengetahuan dan wawasan yang dimilikinya seperti hanya menjadi kutukan baginya; hidup selalu terasa berjalan dengan salah dan tidak semestinya, orang di sekitarnya dianggap sedemikian bermasalah dan patut dikasihani karena ‘cuma jadi orang awam yang tidak tahu teori ini itu sehingga tidak menyadari ini itu’. Sebuah arogansi yang konyol lagi fatal, merasa punya kesadaran kritis lebih dari orang di sekitarnya namun tak pernah merasa puas dengan hidupnya, tak pernah bisa berdamai dengan permasalahan apa pun yang menyinggahi hidupnya, dengan pertemanannya, dengan interaksi sosial dan keluarganya, sehingga berpikiran bahwa semua kesalahan yang terjadi dalam hidupnya adalah sang liyan di luar dirinya. Dan, seperti yang sudah saya kemukakan di banyak status lainnya: “dalam kehidupan beragama pun terjadi dilema ‘wacana modern mengoreksi agama sedemikian rupa sehingga agama seolah hanya soal tubuh luaran, sosial budaya dan wacana rasional’ dan, baik disengaja atau pun tidak, dimensi batin dan spiritualnya diabaikan begitu saja karena tabu untuk dibicarakan dan bahkan tak bisa dibicarakan”. Saya selalu tersenyum setiap kali mengingat perkataan pak Bambang, guru saya, sewaktu di depan kelas. Beliau berkata begini: “Saya bisa mengajari Anda pemikiran filsafat ateis hingga membuat Anda mulai agak-agak ateis. Dan sebaliknya, saya juga bisa mengajari Anda pemikiran filsafat yang religius hingga Anda jadi agak-agak religius. Namun, setelah saya renungkan sekian lama, menurut saya, Tuhan yang dibahas para filsuf itu adalah Tuhan yang pucat pasi, Tuhan yang mati, Tuhan di atas kertas; sementara Tuhan yang kita geluti dalam kehidupan sehari-hari, rasanya baik-baik saja...” Ah, hidup itu kan jauh lebih besar daripada sekadar yang mungkin sepertinya telah dikuakkan oleh wacana teoretik dan pemikiran filsafat... Jangan terlalu di ambil hati kalau sedang getol mempelajarinya, santai saja kata Bang Haji Rhoma Irama juga wkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwk
Posted on: Sun, 01 Sep 2013 05:53:26 +0000

Trending Topics



iv>
Weekly Horoscope (4th Sept. - 11th Sept. ) Aries- Things seems to
CR7 Tak Pedulikan Status Sebagai Pemain Bergaji Tertinggi RMG

Recently Viewed Topics




© 2015