Ramadhan; Antara Tradisi Konsumsi, Sosial dan Intelektual Oleh: - TopicsExpress



          

Ramadhan; Antara Tradisi Konsumsi, Sosial dan Intelektual Oleh: Helman Manay Dalam penanggalan Islam, Ramadhan merupakan bulan istimewah, karena selain diposisikan sebagai 30 hari yang suci, bulan ini juga punya unsur diniawi yang meriah. Masyarakat muslim di seluruh dunia, punya cara masing-masing dalam menyambut kedatangan bulan penuh berkah tersebut. Salah satu yang cukup meriah adalah tradisi masyarakat Indonesia sebelum atau pada saat ramadhan. Hal ini dianggap wajar, sebab selain punya penduduk muslim terbesar, Indonesia juga dibingkai keragaman suku dan budaya. Oleh sebab itu, dalam beragama, unsur-unsur budaya sulit terpisahkan, termasuk dalam menjalankan ritual-ritual Islam. Kondisi ini sangat berbeda dengan negara-negara Arab misalnya, yang sangat tekstual dalam menerjemahkan ajaran universal Islam. Pendeknya dapat dikatakan bahwa Islam Indonesia benar-benar unik. Salah satu keunikan masyarakat Indonesia dapat dilihat saat menyambut bulan suci Ramdahan. Ada tradisi “dugderan” di kota Semarang, Jawa Tengah yang dilaksanakan 2 minggu sebelum tanggal 1 Ramadhan. Kebiasaan ini telah berlangsung turun temurun, yang secara harfiah berarti “dug” (suara bedung) dan “der” (bunyi meriam). Dua buah alat yang dibunyikan saat bulan suci ini tiba. Kini, “dugderan” telah menjadi even tahunan pemerintah kota Semarang sehingga menjadi salah satu atraksi wisata daerah tersebut. Di kalangan masyarakat Sunda, dikenal tradisi “mugguhan”, yakni berkumpul dan makan bersama dalam sebuah keluarga, rekan dan sahabat sebelum Ramadhan tiba. Hal ini dumaksudkan sebagai ajang silaturahmi dan saling memaafkan, guna menyucikan jiwa sebelum memasuki bulan suci. Sedikit berbeda dengan kebiasaan di atas, masyarakat Boyolali, Salatiga (Jawa Tengah) dan Yogyakarta mentradisikan mandi bersama (padusan) sebelum datangnya bulan Ramdhan. Hal ini dilakukan di kolam atau sungai dan sumber-sumber air yang dianggap suci. Di Sumatera, tradisi menyambut Ramadhan juga dilakukan muslim Aceh, Padang (Sumatera Barat) dan Riau. Masyarakat Aceh menggelar “maugang”, atau menyembeli kambing dan kerbau untuk disantap pada permulaan bulan Ramadhan. Hal ini dilakukan pula saat idul fitri tiba. Di Padang, terdapat kebiasaan “balimau” (berendam atau mandi bersama) sesaat sebelum datangnya bulan Ramadhan. Tradisi ini hampir sama dengan “padusan” pada sebagian masyarakat Jawa Tengah dan DIY. Sementara itu, di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, ada tradisi “jalur pacu”. Sebuah tradisi yang mirip dengan lomba dayung perahu tradisional yang dihias sedemikian rupa agar menarik. Selain tradisi-tradisi unik di atas, sebenarnya masih banyak kebiasaan serupa di berbagai daerah di Indonesia dan dunia dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Pada saat Ramadhan, kebiasaan yang sifatnya konsumtif marak dipraktekan oleh masyarakat kita. Meski berdimensi sosial, seperti buka puasa bersama anak yatim dan fakir, namun tetap saja faedah jangka pendek lebih besar dibanding manfaat jangka panjang. Terlebih jika dilakukan atas kepentingan even politik lima tahunan (pemilu). Agenda utama mengendalikan diri dan hawa nafsu, termasuk keinginan konsumsi, nampaknya sulit diwujudkan. Fakta bahwa setiap menjelang Ramadhan terjadi kenaikan bahan pokok yang signifikan, membuktikan bahwa pola makan selama bulan ini cenderung meningkat. Kenyataan tersebut sulit dicerna akal sehat, sebab salah satu idealitas puasa adalah mengurangi dan mengendalikan pola konsumsi yang sebelumnya cenderung berlebihan. Hal ini patut menjadi evaluasi serius bagi insan-insan ramadhan, termasuk penulis. Berbagai tradisi di atas, merupakan cermin kebiasaan sebagian masyarakat Indonesia yang cenderung lebih peduli pada hal-hal seremoni dibandingkan substansi. Hal ini berbeda dengan kenyataan pada minoritas muslim di Austria dan Jepang. Di kedua tempat ini kegiatan menjelang dan saat bulan Ramadhan lebih berdimensi sosial dan intelektual. Di Jepang, sebelum ramadhan dibentuk sebuah panitia yang bertugas menyebarkan leaflet tentang Islam dan jadwal puasa ke semua keluarga muslim dan restoran-restoran halal. Mereka juga menerbitkan buku-buku keislaman dan menyelenggarakan dialong keagamaan selama bulan Ramadhan. Sementara, di Aaustria jelang Ramadhan sebuah panitia dibentuk guna menggalang bantuan untuk warga Palestina. Ini dimaksudkan sebagai hadiah lebaran (idul fitri) dari warga muslim negara itu kepada saudara seimannya di Palestina yang masih kekurangan. Kegiatan-kegiatan semacam ini tentu cukup positif dan membawah manfaat jangka panjang bagi semua. Meminjam bahasa Ali Syariati, bahwa kebiasaan demikian telah menggeser “tradisi perut ke tradisi otak/akal”. Akhirnya, sebagai penutup catatan ini, penulis menekankan bahwa tradisi menyambut Ramadhan sungguh sebuah harta karun yang harus terus dijaga. Harta tersebut menjadi berkah jika dimanfaatkan pada hal-hal positif, demikian juga sebaliknya. Akan keliru jika tradisi menyambut Ramadhan menjadi primer, sementara puasa (dalam arti sesungguhnya) ditempatkan pada posisi sekunder. Salah besar jika selama bulan puasa kita gemar berbagi, namun angka kejahatan termasuk “korupsi” tetap menjadi berita utama di media. Tidak benar pula jika puasa pada siang hari tidak berefek pada peningkatan ibadah lainnya pada malam hari. Kepada semua muslim, mari menyiapkan diri agar bisa berpuasa dan beribadah dengan benar pada bulan suci nanti. Jangan sampai kita dimasukan dalam golongan yang hanya mampu menahan lapar dan dahaga, tetapi sama sekali tidak berpuasa. Sambutlah 1 Ramadhan 1434 H dengan sabar dan ikhlas.
Posted on: Sun, 07 Jul 2013 12:44:02 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015