::: Saya mau mengulas ihwal bagaimana umat beragama yang satu - TopicsExpress



          

::: Saya mau mengulas ihwal bagaimana umat beragama yang satu memandang agama umat yang lain. Ulasan ini penting berhubung kita setiap hari bertemu dengan orang-orang yang menganut agama-agama yang berbeda dari agama yang kita anut, dan kita perlu tahu posisi apa yang harus kita ambil sebagai posisi yang paling tepat. Ketika berhadapan dengan agama-agama lain, posisi umum yang diambil umat beragama adalah posisi eksklusivis. Perspektif eksklusivis menempatkan agama sendiri sebagai agama yang benar satu-satunya. Di luar agama sendiri tak ada wahyu ilahi apapun. Jika anda berposisi eksklusivis, bagi anda kebenaran mutlak dan final hanya ada dalam agama anda sendiri. Dengan posisi eksklusivis, anda meng-eksklusi agama-agama lain dari dunia kebenaran dan wahyu. Hanya agama anda sendiri yang mendiami dunia kebenaran dan wahyu. Dalam eksklusivisme, Tuhan dan kebenaran hanya ada dalam agama anda sendiri. Di luarnya hanya ada setan dan kesesatan. Dengan posisi eksklusivis, anda menjadi seorang beragama yang triumfalis: memandang diri sebagai sang pemenang, sang viktor, dan lawan-lawan anda para pecundang. Dengan posisi eksklusivis, anda memandang sang Matahari hanya bersinar bagi agama sendiri, dan di luarnya hanya ada kegelapan. Matahari ada hanya satu, yaitu agama anda sendiri. Dengan posisi eksklusivis, sang rembulan purnama yang bercahaya terang hanya bisa ditemukan dalam agama anda sendiri. Tak ada sang rembulan lain. Ada hanya satu. Posisi eksklusivis sangat kuat dianut umat-umat beragama pada umumnya, berhubung ada teks-teks suci yang mendukung posisi ini, yang selalu diulang-ulang dalam setiap kegiatan pembelajaran umat. Terus diindoktrinasikan, tanpa pernah ditinjau ulang keabsahannya. Dalam gereja, posisi eksklusivis pernah diungkap dalam pernyataan “extra-ecclesiam nulla salus”, artinya: “di luar gereja tak ada keselamatan”. Di luar gereja, orang tak akan menemukan surga. Dengan posisi eksklusivis, anda memandang surga akan dicapai hanya lewat kendaraan agama anda sendiri. Tiket masuk ke surga hanya diberi agama anda. Tak ada kendaraan lain. Tak ada loket lain. Ya, sangat sepi dan lengang. Tak ada kompetisi. Sang viktor sudah ditentukan, ada hanya satu. Jalan lurus menuju surga hanya ada satu, yakni agama anda sendiri. Agama-agama lain adalah jalan-jalan yang bengkok, yang bermuara pada jurang maut yang terjal, yang sudah banyak memakan korban. Tapi anehnya, anda dan banyak orang lain yang eksklusivis tak ingin cepat-cepat masuk surga, tapi menunggu nanti kalau sudah uzur, setelah mengecap sangat banyak kenikmatan dan kesenangan dunia ini. Ketika perjumpaan agama yang satu dengan agama yang lain makin intensif dan ekstensif, posisi eksklusivis dipandang tak memadai. Tak sesuai fakta di lapangan. Selain itu, karena studi-studi atas agama-agama lain gencar dilaksanakan, dirasa perlu untuk memikirkan posisi lain yang tidak eksklusivis. Maka muncullah posisi yang sedikit lebih maju, yakni inklusivisme. Dengan posisi inklusivis, kebenaran-kebenaran dan wahyu dipercaya ada juga dalam agama-agama lain, tapi dalam jumlah terbatas, tak penuh. Dengan inklusivisme, diakui dalam agama-agama lain memang ada juga bulan, tapi bukan bulan purnama, hanya setengah bulan atau bulan sabit dengan cahaya yang lemah. Dengan posisi inklusivis, bulan purnama yang sempurna hanya ada dalam agama anda, di luarnya hanya ada bulan-bulan yang bercahaya redup. Jika seseorang mau menjumpai cahaya bulan yang sempurna terangnya, orang ini harus datang ke dalam agama anda. Sang rembulan hanya purnama di dalam agama anda saja. Dengan posisi inklusivis, anda mengakui ada kebenaran dan wahyu dalam agama-agama lain, cuma hanya secuil, sama sekali tak lengkap. Sebagai penganut inklusivisme, anda menegaskan, jika orang lain mau menemukan kebenaran final atau kebenaran mutlak yang sempurna, orang ini harus masuk ke agama anda. Dalam inklusivisme, sementara agama-agama lain diakui memiliki kebenaran, agama-agama ini harus berjumpa dengan agama anda jika mau sempurna. Start dimulai dalam agama-agama lain, tapi garis finish terletak dalam dunia agama anda saja. Inilah inklusivisme. Dalam inklusivisme, anda ramah pada agama-agama lain dan menghargai semuanya, tapi dengan satu catatan penting dari anda, yaitu agama-agama lain hanya akan sempurna kalau bermuara pada agama anda saja. Rembulan-rembulan yang redup akan menjadi purnama jika disedot ke dalam sang rembulan purnama agama anda sendiri. Tidak bisa ada dua atau tiga atau empat bulan purnama. Ada hanya satu bulan purnama, yakni agama anda sendiri. Dalam inklusivisme, wahyu ilahi dipandang bergerak progresif dari satu agama ke agama lain, dengan muaranya pada agama anda sendiri. Agama-agama lain anda pandang sebagai sungai-sungai yang mengalir, lalu bermuara dalam agama anda sendiri sebagai samudera. Di dalam samudera agama anda, semua agama lain ter-inklusi. Kendatipun inklusivisme kelihatan lebih terbuka pada kebenaran dalam agama-agama lain, tapi di ujungnya tetap sama dengan eksklusivisme: agama anda agama sempurna, agama-agama lain tidak sempurna meskipun memuat kebenaran-kebenaran juga. Saat studi-studi atas agama-agama lain mulai dilakukan dengan empatetis, tak lagi dengan perspektif outsider, inklusivisme dinilai tak memadai. Ketika orang mulai melintas batas-batas agama sendiri, lalu masuk ke agama-agama lain, terbenam di dalamnya, inklusivisme ditinggalkan. Ketika agama-agama lain mulai dipahami dengan sudut pandang orang dalam, posisi ketigapun muncul: pluralisme. Pluralisme adalah sebuah perspektif yang memandang setiap agama sebagaimana penganut agama itu sendiri memandangnya. Pluralisme adalah sebuah model yang paling terbuka dan paling rendah hati dalam menempatkan agama-agama dalam suatu dunia yang ditandai kemajemukan dan keterbukaan. Dalam dunia pluralisme, setiap agama adalah sang rembulan purnama atau sang Matahari yang terang bersinar tanpa tertutup awan gemawan. Jika inklusivisme mengharuskan agama lain berjumpa dengan agama anda jika mau tiba pada kebenaran sempurna, pluralisme tak demikian. Dengan posisi pluralis, anda memandang setiap agama memiliki autentisitas dan kedalaman yang khas, yang harus dihargai sebagaimana adanya. Dengan posisi pluralis, anda melihat kebenaran itu tidak monolitis uniform, tetapi plural dan multiform, yang semuanya bersumber dari satu kebenaran yang lebih besar. Dengan posisi pluralis, anda memandang kebenaran-kebenaran autentik dalam agama-agama lain sebagai bagian-bagian dari kebenaran yang lebih besar. Kebenaran yang lebih besar ini, yakni kebenaran final atau kebenaran mutlak, tak bisa diserap habis oleh satu agama saja atau bahkan oleh semua agama. Kebenaran final atau kebenaran mutlak selalu mengelak ketika mau dikuasai satu agama, bak angin yang sukar bahkan mustahil digenggam, atau bak belut yang sukar atau mustahil dicengkeram oleh tangan. Namun dari perspektif historis insani, penggalan-penggalan kebenaran dari kebenaran final yang ada dalam agama-agama cukup untuk memandu kehidupan manusia ketika agama-agama mula-mula dilahirkan, di suatu tempat tertentu di zaman dulu. Dalam model pluralisme yang sedang saya gambarkan, metafora lama “banyak jalan menuju puncak gunung” tak memadai lagi, sebab tujuannya selalu bergeser menjauh dan lebih besar: dari puncak gunung, menjauh ke sang bulan, menjauh lagi ke sang Mentari, menjauh lagi ke galaksi Bima Sakti, menjauh lagi ke galaksi-galaksi lain, menjauh lagi ke jagat raya kita (universe), lalu menjauh lagi ke jagat-jagat raya lain (multiverse), demikian seterusnya. Dengan demikian, dalam pluralisme beragama itu selalu suatu ziarah menuju masa depan yang tak pernah berakhir, yang menyediakan banyak kemungkinan baru yang menggairahkan, mencerahkan dan mengejutkan. Berpaling ke belakang hanya sekali-sekali, tapi seluruh konsentrasi diarahkan ke masa kini dan ke masa depan tanpa akhir. Feel and know the present moment and the endless future. Pengakuan dalam pluralisme atas adanya kebenaran final yang tak bisa habis dikuasai agama apapun, mencegah penyamaan kebenaran final dengan suatu agama. Dalam dunia pluralisme, agama-agama dipandang hanya sebagai wahana-wahana menuju kebenaran final yang tak akan bisa tuntas dicapai. Dalam rangka mencapai kebenaran-kebenaran yang lebih besar, penggalan-penggalan kebenaran yang ada dalam setiap agama harus dipertemukan untuk fertilisasi silang dan mutual enrichment, pengayaan timbal-balik. Karena itu, dalam rumah pluralisme, dialog dan pengayaan timbal-balik antaragama dijalankan dengan serius dan terus-menerus dalam dunia yang terus berubah. Lewat dialog, para peserta akan bersama-sama melihat apa tugas dan tanggungjawab mereka bersama di dalam suatu dunia dan zaman yang sudah berubah, yang tak sama lagi dengan dunia dan zaman ketika masing-masing agama mula-mula dibangun. Dalam dunia pluralisme, tak ada agama kelas satu, kelas dua atau kelas tiga; semuanya sederajat dan sama-sama autentik, sama-sama dalam, dan sama-sama khas. Jadi, dalam dunia pluralisme, tak ada agama yang dipandang sama. Justru karena agama-agama berbeda satu sama lain, pluralisme jadi mungkin dijalani. Orang yang menilai pluralisme membuat semua agama sama, orang ini tak paham sama sekali apa itu pluralisme, bahkan tak mengerti arti kata plural. Dalam dunia pluralisme, dialog dan fertilisasi silang membuat semua peserta dialog tumbuh dan bergerak ke kawasan-kawasan baru yang menakjubkan. Saat seorang Kristen berjumpa dan berdialog dengan seorang Buddhis, si Kristen ini diubah menjadi Kristen plus lewat pengayaan dari Buddhisme. Begitu juga si Buddhis menjadi Buddhis plus karena diperkaya oleh agama Kristen mitra dialognya. Lewat metode ini, setiap agama tersebar makin jauh, tanpa menimbulkan persoalan pemurtadan atau perpindahan agama. Dalam dunia pluralisme umat-umat beragama saling memperkaya lewat dialog dan fertilisasi silang antaragama, menjadi umat-umat plus. Umat Buddhis plus. Umat Kristen plus. Umat Yahudi plus. Umat Muslim plus. Dan seterusnya. Dengan demikian, dalam dunia pluralisme tak akan terjadi perpindahan agama atau pemurtadan, yang diharuskan terjadi oleh eksklusivisme dan inklusivisme. Tapi pada sisi lain, dalam dunia pluralisme seseorang dapat pindah ke agama lain untuk sementara waktu, bisa bertahun-tahun lamanya, suatu kegiatan yang dinamakan “passing over”. “Passing over” dilakukan untuk seseorang mengalami dengan real dan autentik bagaimana hidup sungguh-sungguh di dalam suatu agama lain. Setelah “passing-over”, menyusul “coming back”, kembali ke agama semula untuk memperkayanya dengan berbagai pengetahuan dan pengalaman yang diterima selama pindah agama. Alhasil, agama semula si pelintas batas ini diperkaya dengan berbagai perspektif baru, tanpa kehilangan jati diri aslinya. Dengan metode ini, agama-agama makin tersebar jauh. Tentu saja, metode ini hanya bisa dijalankan oleh sedikit orang yang telah membekali diri dengan pengetahuan-pengetahuan dan kecakapan-kecakapan yang diperlukan. Tentu saja akan banyak orang menyatakan bahwa pluralisme membuat orang melakukan sinkretisme, sehingga jati diri asli agama sendiri lenyap, tercampur agama-agama lain. Lalu mereka mengharamkan pluralisme. Tapi, mari kita tengok ke sejarah kelahiran agama-agama, lalu temukan apakah ada agama yang sepenuhnya puritan, tak berinteraksi dengan agama lain? Mari periksa dengan teliti, apakah suatu agama yang diklaim para penganutnya sebagai agama wahyu murni tidak memakai agama-agama lain yang sudah ada sebelumnya sebagai sumber-sumber data dan informasi? Cobalah tengok ke dunia ilmu pengetahuan, apakah ada ilmu pengetahuan puritan, yang tak berinteraksi dengan ilmu-ilmu pengetahuan lain? Cobalah tengok, adakah cara berbudaya yang betul-betul puritan, tak berinteraksi dengan budaya-budaya lain, yang lokal maupun yang global? Cobalah periksa, apakah anda sebagai pribadi tumbuh menjadi dewasa tanpa interaksi sosial, ataukah interaksi sosial justru menjadikan anda pribadi yang makin dewasa? Hanya budaya, agama dan orang yang sudah mati tak akan lagi berinteraksi dengan budaya, agama dan orang lain. Jadi, adalah fakta sosiologis bahwa kita hidup dalam suatu dunia yang di dalamnya berbagai faktor berinteraksi terus-menerus membentuk dunia. Tak ada suatu sektor kehidupan yang sama sekali terisolasi dari sektor-sektor kehidupan lainnya. Ada interdependensi dalam kehidupan ini. Ada interaksi dan saling pengaruh antaragama dalam kehidupan masyarakat, sejak dulu hingga kini dan seterusnya. Sinkretisme adalah sebuah kebajikan yang cerdas, sebuah kecerdasan yang bajik. Tetapi pahamilah, kendatipun terjadi pengayaan timbal-balik dan fertilisasi silang antaragama, jati diri fundamental masing-masing agama tidak lenyap, melainkan diperkaya dan terus diperluas. Dengan demikian, pluralisme menolak indifferentisme: hidup sendiri-sendiri dalam agama sendiri, agama yang satu tak perduli pada agama yang lain, masing-masing hidup dalam dunianya sendiri-sendiri. Yakini agama anda mutlak benar hanya untuk diri anda sendiri. Kata anda, “Aku, aku; engkau, engkau. Agamaku, agamaku; agamamu, agamamu.” Indifferentisme bukanlah suatu bentuk pluralisme sebagaimana dianggap sementara orang, tapi suatu penyangkalan mendasar atas pluralisme. Jika anda menyatakan bahwa anda tak memerlukan pengayaan intelektual dan spiritual dari agama-agama lain, karena agama anda sudah mutlak benar dalam segala hal buat anda sendiri, tentu saja itu hak anda untuk menyatakan demikian. Tetapi agama apapun pasti mengajarkan para penganutnya untuk dengan rendah hati mau belajar dari umat-umat beragama lain. Dalam tradisi Islam malah ada sebuah perintah suci untuk umat Muslim belajar, menuntut ilmu, sampai ke negeri Cina. Bahkan dari semut yang eksistensinya sering kita abaikan, kita dapat belajar beberapa hal penting; apalagi dari sesama manusia yang berlainan agama. Pesan saya, jangan gecek seekor semut dengan jempol anda. Belajarlah darinya bagaimana saling memberi salam ketika berpapasan, dan bagaimana bergotongroyong menghimpun makanan untuk persiapan ke depan. Juga tanyalah diri anda sendiri, pelajaran buruk apa yang dapat anda peroleh dari seekor belalang sentadu yang sebelum mencengkeram, menggigit, membunuh dan melahap seekor ulat hidup di depannya, mengangkat kedua belah tangan depannya, mengambil sikap berdoa? Hanya orang yang angkuh dan hidup bak katak di bawah tempurung, atau yang merasa dirinya sudah setingkat dengan Allah yang mahatahu, tak memerlukan pengayaan pengetahuan dan kebijaksanaan dari orang-orang lain yang menganut agama-agama yang berbeda. Tapi bagaimana anda bisa belajar pikiran-pikiran besar para raksasa kebijaksanaan, jika anda tak bisa belajar dari seekor semut dan dari seekor belalang sentadu? Jika bagi anda agama anda mutlak benar hanya bagi diri anda sendiri, anda sesungguhnya hidup dalam rumah keyakinan anda sendiri, terisolasi dari dunia. Dengan indifferentisme, anda hanya yakin di dalam rumah agama anda sendiri, tak perduli apa kata orang luar tentang agama anda. Artinya: anda hidup dalam delusi. Apakah anda mau bertahan hidup terus-menerus dalam delusi? Atau keluar darinya dan masuk ke dunia luas untuk belajar lebih banyak pengetahuan dan kebijaksanaan? Akhirnya, adakah kebenaran mutlak atau kebenaran final yang habis tuntas dikuasai suatu agama? Yang dimaksud dengan kebenaran mutlak/final adalah kebenaran yang mencakup segala sesuatu, tak terbatas, tak terlampaui, tak tertandingi, definitif, sudah pasti, tak bisa salah dan tak bisa digugat. Dalam sains jelas tidak ada kebenaran mutlak atau kebenaran final. Tapi dalam teologi, kebenaran mutlak atau kebenaran final itu dipandang ada, yakni diri Allah sendiri. Jika Allah itu sang Kebenaran Mutlak, atau sang Kebenaran Final, itu Allah, bukan agama. Agama tak sama dengan Allah. Agama bukan Allah. Agama apapun tidak bisa menampung keseluruhan diri Allah yang tak terbatas―pernyataan ini adalah fakta, bukan sebuah dogma. Jika sebuah agama itu kebenaran mutlak atau kebenaran final, mustinya sudah tercatat dalam kitab suci agama ini segala hal yang ada sejak kosmos terbentuk 14 M tahun lalu dan terus mengembang, hingga nanti (bermilyar-milyar tahun dari sekarang) kosmos menciut dan surut lagi menjadi singularitas lubang hitam. Faktanya tokh tidak demikian. Jika sebuah agama itu kebenaran mutlak atau kebenaran final, seharusnya sudah termuat dalam kitab suci agama ini semua pengetahuan manusia mulai dari yang primitif di zaman sangat purba sampai yang sangat maju di zaman-zaman yang jauh di depan. Faktanya tokh tidak demikian. Tentu anda tahu, ensiklopedi-ensiklopedi ilmu pengetahuan yang telah disusun dan diterbitkan, selalu memerlukan revisi-revisi berkala. Apakah agama anda sebuah ensiklopedi segala ilmu pengetahuan yang serba mutlak dan final? Jangan dilupakan, sekarang saja banyak temuan sains modern yang tak mendukung keyakinan-keyakinan keagamaan kita. Jadi, tepatkah jika kita mengklaim agama kita kebenaran mutlak? Juga harus anda selalu ingat, makin banyak nilai-nilai moral yang ditawarkan agama-agama yang tidak relevan lagi dalam kehidupan kita di masa kini. Jadi, betulkah jika anda mengklaim agama anda kebenaran mutlak? Haruslah disadari, ada banyak cara hidup (individual dan sosial) dan cara berbudaya yang tertulis dalam kitab-kitab suci yang sudah tidak dipraktekkan lagi dalam zaman sekarang. Jadi, tepatkah jika anda mengklaim agama anda sebagai kebenaran final? Pendek kata, biarlah kebenaran mutlak dan final berdiam dalam diri Allah, dan janganlah kita jatuh ke dalam dosa syirik dengan menyamakan agama kita dengan Allah sendiri. Inilah kritik pluralisme terhadap siapapun yang memperilah agamanya. Justru karena kita mengakui agama-agama kita tidak memuat kebenaran final atau kebenaran mutlak, kita dengan bergairah melibatkan diri dalam dialog antaragama untuk mendapatkan kebenaran-kebenaran yang makin bertambah dan makin luas, yang membuat kita makin cerdas dan makin berwawasan luas dan mampu mengoreksi pandangan-pandangan lama dan cara-cara hidup lama kita yang kedapatan keliru atau tidak tepat lagi. Dalam rangka tujuan yang sama ini, kita juga bersama-sama masuk ke dunia ilmu pengetahuan, dan mendialogkannya dengan pandangan-pandangan keagamaan kita. Sebagaimana ditegaskan Dalai Lama dalam konteks Buddhisme, kita perlu bersiap-siap mereformulasi agama-agama kita jika agama-agama kita sudah tak sejalan lagi dengan pandangan-pandangan ilmu pengetahuan tentang segala realitas empiris. Pluralisme sesungguhnya sejalan dengan rasa ingin tahu kita, dengan kuriositas kita, yang mendorong kita untuk mengetahui dengan lebih banyak dan lebih luas lagi, untuk belajar lagi, belajar lagi, setiap hari. Dengan demikian, pluralisme membuat kita makin paham siapa Allah yang mahabesar dan mahabenar dan siapa kita insan yang fana dan terbatas dan bagaimana terbatasnya agama kita. Pluralisme membuat anda lebih cerdas dan lebih rendah hati beragama. Tentu setiap agama umumnya mengajarkan para penganutnya untuk rendah hati dan mau belajar terus; tetapi susahnya agama yang sama juga kerap membuat para penganutnya angkuh luar biasa dan sama sekali tak mau belajar lagi karena meyakini diri telah memegang seluruh kebenaran mutlak. Jika anda tipe orang semacam ini, kenalilah dan pahamilah pluralisme; niscaya anda akan berubah radikal. Ada banyak guru agung dan ada banyak begawan kebijaksanaan yang muncul dalam pentas sejarah insani dari zaman ke zaman, dari tempat ke tempat, yang berasal dari berbagai latarbelakang agama-agama yang berbeda. Belajarlah dari mereka semua, dengan hati yang bergairah dan pikiran yang tertantang. Jadilah seorang warga dunia agama-agama, dunia yang plural. Orang-orang semacam ini diperlukan jika kita ingin ke depannya dunia kita menjadi tempat yang damai untuk semua orang.
Posted on: Sat, 09 Nov 2013 03:02:53 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015