Teman-teman, Laskar KRIS merupakan kelompok pejuang asal Sulawesi - TopicsExpress



          

Teman-teman, Laskar KRIS merupakan kelompok pejuang asal Sulawesi di Jawa yang turut mengambil bagian dalam perang Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Jawa setelah pasca Proklamasi RI. Nah, pada 8 Oktober KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) genap berusia 68 tahun yang berdiri di Jakarta. Untuk itu saya turunkan beberapa tulisan dari cuplikan buku saya, Mengindonesiakan Indonesia. Semoga bermanfaat. 1 Partisipasi Orang Minahasa Dalam Kancah Revolusi di Jawa Ribuan orang Minahasa di Jawa turut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Ribuan telah menyumbangkan darah dan jiwanya bagi tanah air. Mereka berjuang tidak atas perintah Yang Mulia Soekarno atau Yang Mulia Hatta, tetapi atas kemauan sendiri. Dr GSSJ Sam Ratu Langie (suratnya kepada guru-guru di Tondano, Desember 1945) Masyarakat Minahasa Korban Aksi Teror Selang dua tiga hari setelah peristiwa Ikada 17 September 1945, Ketika itu Karel Tobing bersama dua pemuda dari Kelompok Tanah Tinggi menuju Jalan van Heutz (Teuku Umar) untuk menemui Nico Mogot, seorang teman yang menjanjikan "jatah" pembagian senjata bagi kelompok pemuda Tanah Tinggi (Purbaya-Nakula). Tetapi teman yang dicari tidak di rumah, supaya lebih dekat kembali ke sana pada siang harinya, para pemuda meneruskan perjalanan ke Jalan Lembang 17 menemui keluarga Mamuaya menanyakan nasib seorang teman di penjara Salemba. Mamuaja adalah pegawai tinggi "Gevangenis-Wezen" (penjara) departemen Kehakiman. Pada percakapan itu, para pemuda mendapat keterangan, semua tahanan yang tak berbahaya di Salemba dan Cipinang, secara berangsur dibebaskan. Mamuaja juga menjelaskan bahwa beberapa tahanan sudah di bebaskan Jepang, tepatnya di beri kesempatan "melarikan diri". Katanya, para petugas Indonesia selalu memberi kesempatan pada tahanan-tahanan tertentu untuk melarikan diri. Dia menyesali tindakan penculik Nico Mogot, kepala penjara Cipinang, yang tidak bertanggung jawab, karena sebagai kepala penjara dia selalu membela para tahanan. Tidak dapat dipercaya, bahwa dia seorang mata-mata Belanda. Pada masa penjajahan Nico Mogot adalah anggota Volksraad dan semasa Jepang dia di angkat menjadi kepala penjara Cipinang. Anak Nico, adalah pahlawan kemerdekaan Daan Mogot, gugur dalam sebuah pertempuran merebut gudang senjata Jepang di Pesing (Tangerang). Oknum-oknum yang tak dikenal telah menculik bapak Mogot dari rumahnya di taman van Heuts (Cut Meutiah) pada akhir bulan Agus¬tus 1945. Ibu Margo Mamuaja adalah anggota pengurus yayasan amal Penolong Kaum Celebes (PKC). Setiap hari sibuk mengajar dan membimbing wanita yang ditampung di Kramat 75. Sementara Margo Mamuaya bercerita tentang usaha PKC, datang seorang pembantu yayasan dari Jalan Asem Baru 26 yaitu Weinur, yang tampak agak gugup. Tanpa memberi salam dia langsung mela¬porkan, bahwa kompleks militer di Tanjung Oost dan Tanjung West diserbu barisan "Banteng". Penghuni-penghuninya dirampok, malah ada yang ditelanjangi. Dia berkata, bahwa barisan itu membawa bendera merah berkepala "Banteng". Suami isteri Mamuaja sangat kaget, lalu Mamuaya bertanya, apakah Piet Pantow, Cayus Gagola dan Bart Ratu Langie sudah mengetahuinya. Dia menjawab: "Belum. Mereka tidak ada di rumah". Ibu Mamuaja menyuruh dia segera mencari mereka, supaya mereka mengambil tindakan. Setelah Weinur pergi, ibu Mamuaya menerangkan, bahwa semua penghuni kamp penampungan Tanjung Oost dan Tanjung West adalah keluarga para anggota KNIL, yang ditawan Jepang atau yang turut melarikan diri ke Australia dengan pejabat-pejabat pemerintah Hindia-Belanda. Supaya mereka jangan terlantar dan terpaksa melakukan perbuatan-perbua¬tan tidak baik, atas prakarsa Dr Ratu Langie dibentuk badan sosial PKC, yang oleh Jepang di izinkan mendirikan tempat-tempat penampungan di Tanjung Oost dan Tanjung West untuk orang-orang tuna wisma asal Sulawesi. Selanjutnya mereka dididik dalam berbagai ketrampilan. Yang trampil jahit-menjahit dipekerjakan di Kramat 75, dan kepada yang belum mempunyai ketrampilan khusus diberikan santunan, yang didapat dari sumbangan-sumbangan orang-orang Kawanua. Selang beberapa waktu Weinur datang kembali memberitahukan, bahwa dia tak berhasil menjumpai siapa pun. Hari sudah lewat tengah hari. Ibu Mamuaya bertanya pada tamu-tamunya siapakah dapat membantu. Kebetulan dua orang pemuda Sulawesi datang ke Jalan Lembang, yang juga mengabarkan tentang terjadinya perampokan di kamp Tanjung Oost dan Tanjung West dan menyatakan kesediaan membantu. Jalan menuju Tanjung Oost dan Tanjung West harus melewati pos-pos penjagaan laskar-laskar rakyat. Jadi, jika benar laskar rakyat yang memusuhi orang-orang Manado, pemuda-pemuda Sulawesi tidak akan mereka biarkan lewat begitu saja. Pada waktu itulah Karel Tobing, seorang dari tiga pemuda Jalan Purbaya, meminta bantuan mobil dari seorang teman, Komisaris polisi Kanapi. "Kalau dia sendiri tidak punya mobil, mungkin di kantor ada yang dapat meminjam", kata Karel Tobing menjelaskan gaga¬sannya. Selanjutnya, ketiga pemuda tamu itu pergi ke kantor pusat Kepolisian di Departemen Dalam Negeri di Noordwijk (sekarang Kantor Departemen Dalam Negeri) menemui Komisaris Kanapi. Di sana para pemuda mengetahui bahwa hari itu Kanapi baru mengambil sebuah pickup Mercury dari sebuah kantor Jepang. Setelah para pemuda menjelaskan maksud kedatangan mereka, dia segera menyerahkan mobil itu. Di samping itu dia juga memberi dua buah pistol dengan beberapa butir pelurunya untuk membela diri, yang menurut keterangannya juga baru saja diambil dari kantor Jepang yang sama. Persoalannya sekarang, siapa yang jadi sopir. Tidak ada yang mahir. Tobing dapat menjalankan mobil tetapi sama sekali belum mahir. Namun karena tidak ada yang lebih tahu, akhirnya Tobing yang menyetir. Mobil sampai juga di Jalan Lembang dan kebetulan seorang dari dua pemuda Sulawesi tadi, Frits Runtunuwu, mahir membawa mobil. Mobil diserahkan padanya, supaya dia dapat mengungsikan wanita dan anak-anak Tanjung Oost dan Tanjung West . Setelah mengucapkan "selamat", Tobing dan kawan-kawan hendak pergi menyelesaikan urusan mereka dulu ke Jalan van Heutz (kini Jalan Cut Mutiah) dengan janji pada sore harinya mereka akan datang lagi ke Jalan Lembang. Tetapi Margo Mamuaja merasa khawatir kalau nanti rakyat tidak akan membiarkan pemuda-pemuda Manado itu pergi ke Tanjung Oost dan Tanjung West, dan mendesak supaya mereka ikut. Akhirnya Tobing setuju membantu mengungsikan para wanita sedang dua temanya akan menyelesaikan urusan mereka. Sebenarnya tidak seluruh kabar yang didengar tentang pelaku-pelaku perampokan itu dapat dipercaya. Agak sulit diterima akal bahwa anak buah Dr. Muwardi akan merampo di kamp-kamp penampungan janda dan piatu. Namun emosi tidak menghiraukan pertimbangan akal waktu itu, maka untuk sementara Dr. Muwardi dituduh membiarkan anak buahnya merampok wanita dan anak-anak berdasarkan laporan bahwa perampok-perampok itu membawa-bawa bendera merah dengan gambar kepala Banteng. Setelah melalui berbagai rintangan dan pemeriksaan, yang semuanya berlangsung dalam suasana persaudaraan, kelompok kecil itu tiba di Tanjung Oost. Melihat mobil memasuki kompleks kamp, para penghuninya lari terbirit-birit mencari tempat sembunyi di tempat-tempat yang dianggap aman. Masing-masing memegang buntalan, sisa barang milik mereka. Mereka ketakutan, curiga dan siap melarikan diri. Keadaan mereka imengenaskan, terlebih anak-anak mereka. Di antara orang-orang yang lari itu tampak seorang ibu yang hanya mengenakan pakaian dalam. Rupanya dialah yang telah di jarah habis-habisan. Di antara mereka hanya terdapat seorang laki-laki tua, Oom Umboh, selain wanita dan anak-anak kecil. Frits Runtunuwu segera turun memanggil mereka. Mendengar suara yang dikenal, satu persatu mereka keluar dari tempat per¬sembunyian. Tidak terlalu lama semua sudah kumpul kembali menden¬gar maksud para pemuda itu. Frits menjelaskan, bahwa mereka datang untuk mengungsikan ibu-ibu itu ke kota. Rencana itu lang¬sung di sambut dan berebutan naik mobil. Pemuda-pemuda tak dapat menghalangi mereka. Maka kepada yang masih tertinggal, para pemuda berjanji akan segera kembali menjemput mereka. Setelah angkutan pertama itu tiba di Jalan Lembang, ibu Margo Mamuaya meminta, supaya mereka diantarkan ke rumah Umbas di Jalan Madura. Di sana Umbas bersama istri dengan tangan terbuka menyambut para ibu dan anak-anak itu. Setelah semua turun, para pemuda segera kembali ke Tanjung Oost menjemput yang lain. Setelah angkutan kedua, Tobing tinggal di Jalan Lembang. Angkutan ketiga merupakan terakhir, orang-orang dibawa ke Kramat 75. Sementara pick-up dengan muatan melaju di Jalan Jatine¬gara, terdengar berondongan letusan-letusan senjata dan sebutir peluru mengenai bagian depan mobil. Dengan cepat Frits Runtunuwu membanting stir, memasuki halaman bangunan terdekat. Dia ingin mengamankan para ibu dan anak-anak dalam mobil. Setelah dirasa aman mereka pergi menyelidiki keadaan di sekitar. Beberapa tentara NICA yang sedang mengendarai sebuah truk dari jurusan Salemba secara membabi buta melepaskan tembakan-tembakan ke rumah-rumah berbendera Merah-Putih. Teman Frits, Alex Pangemanan segera menembak beberapa kali ke arah truk itu. Pasukan NICA sadar, bahwa mereka sudah jauh dari basisnya, tetapi karena takut di kepung, mereka segera melarikan truk dengan kecepatan tinggi ke arah Senen. Frits Runtunuwu dengan kawannya kembali meneruskan perja¬lanan membawa pengungsi-pengungsi ke Kramat 75. Tempat kerja dan latihan yayasan sosial PKC bertempat di Kramat Raya 73, sedang Tanjung Oost dan Tanjung West merupakan asrama, tempat penampungan keluarga-ke¬luarga Minahasa yang tidak mempunyai tempat tinggal. Kantor PKC sekaligus menjadi tempat tinggal anggota pengurus yang masih membujang terdapat di jalan Nieuwe Tamarindelaan (kini Jalan Dr. Sam Ratulangie) No. 26. Di sana tinggal Piet Pantouw, Bart Ratoe Langie, Willy Pesik, Cayus Gagola, Nan Pondaag dan setelah peris¬tiwa Tanjung Oost, Karel Tobing diajak tinggal di sana. Kekacauan terjadi akibat lumpuhnya aparat kekuasaan pemerintah, sedang arah dan tujuan Proklamasi Kemerdekaan belum jelas. Oleh sebab itu, banyak avon¬turir (petualang) membentuk kelompok-kelompok laskar berkedok perjuangan. Tujuan mereka mencari keuntungan, kesenangan dan harta dengan mempergu¬nakan situasi yang "sangat baik" itu. Dalam penampilannya mereka berlagak menjadi Republikan sejati yang tidak mengenal kompromi. Biasanya mereka paling senang memakai slogan-slogan dan kata-kata bersayap sambil membabat ke kiri dan kanan. Sementara mereka membangun kekuatan menjadi "war-lord". Masuknya RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and In¬tronees = Badan Pembebas Tahanan-tahanan Perang), yang oleh Willy Pesik diubah menjadi (Rescue all pretty women immediately), tidak dapat ditolak pemerintah Republik Indonesia yang baru merdeka. Tetapi sangat disayangkan, badan sosial itu di salah¬gunakan oleh Belanda untuk memasukkan agen-agennya di Indonesia. Pegawai-pegawai NICA dan tentara KNIL dimasukkan sebagai pekerja-pekerja Rapwi, sehingga mereka masuk dengan leluasa. Pemerintah Indonesia tidak dapat berbuat apa-apa, karena Priok (pelabuhan) seluruhnya berada di bawah kekuasaan pasukan sekutu. Dengan demikian Belanda dengan KNIL bebas masuk ke Indonesia, dan segera membentuk pemerintah NICA (Netherlands Indies Civil Administration) dan KL (Koninklijk Leger) serta KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger). Serdadu-serdadu asal Indonesia yang di permulaan perang dunia II dibawa Belanda mengungsi ke Australia, datang kembali. Setiba orang-orang itu di Indonesia, yang pertama mereka lakukan ialah mencari anak-istri serta keluarga yang rela ditinggalkan. Usaha mereka itu tentu mudah diketahui para tetangga, terutama di kampung-kampung, yang dalam kondisi yang sedang dihadapi menim¬bulkan kecurigaan, karena: a. kunjungan dilakukan dengan mengendarai jeep Sekutu; b. mereka datang lengkap dengan pakaian lapangan tentara dengan menyandang senjata; c. mereka datang dalam suatu kelompok kecil; d. kebanyakan mereka adalah orang-orang Ambon, Manado, Timor dan orang-orang Indonesia Timur lainnya. Kejadian-kejadian itu ditambah dengan pengalaman, bahwa orang-orang Manado dan Ambon, biasanya fasih berbahasa Belanda dan hidup menurut pola Barat, oleh para pengacau dijadikan bukti, bahwa suku Manado dan Ambon berusaha memulihkan penjajahan di Indonesia. Banyak orang Manado, Ambon dan Indo menjadi korban aksi terror kelompok radikal. Tidak terkecuali asrama-asrama di Tanjung Oost dan Tanjung West. Dengan begitu mereka melampiaskan kepengecutan, menuduh wanita-wanita dan anak-anak, merampok barang-barang mereka. Dampak dari Kampanye Anti-Semitisme Gaya Jepang Otto Rondonoewoe tiba di Jakarta pada awal bulan September. Dia melarikan diri dari Bangka dan mendarat di Banten dan beberapa hari kemudian tiba di Jakarta. Otto menceritakan, dalam perjalanan ke Jakarta dia melihat 82 peristiwa pembunuhan terhadap orang-orang asal Sulawesi. Umumnya mereka mati karena tusukan bambu runcing dan beberapa di antaranya di lempar hidup-hidup ke dalam sumur. Selama perjalanan dia bersama teman seperjalan yang berasal dari Aceh di kuasai oleh perasaan ngeri dan takut. Beberapa waktu sebelum tentara Jepang menyerah, lebih kurang 70 orang penduduk asal Sulawesi mereka bantai di pulau timah yang ditinggalkan, termasuk orang tua Otto sendiri. Di Cilegon, di depan sebuah markas pemuda Indonesia, mereka membaca sebuah pengumuman yang berbunyi seperti berikut: "kami menyatakan perang kepada Belanda, Indo, Ambon dan Manado". Tertanda, Kyai Haji Slamet. Waktu itu Otto berkata kepada teman seperjalanannya, "Nasib kita sama. Sama-sama dicurigai. Orang Banten kira, hanya Banten saja Indonesia". Memang masa itu suasana di Indonesia, khususnya Jawa, dalam soal kesukuan dan kedaerahan masih rawan. Di bulan September 1945, Karel Tobing, yang menjabat sebagai kepala Penerangan Pucuk Pimpinan KRIS 1945-1946, berkata: "Pulau Jawa bagaikan pusaran air yang menghisap, yang ingin dijauhi, tetapi daya menjauhinya tidak ada. Perubahan-perubahan situasi dan kondisi yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945, yang memaksa Jepang menyerahkan kekuasaan pada kelom¬pok-kelompok Pejuang Kemerdekaan RI, di luar kehendak dan perhi¬tungan pekerja sosial Maesa, telah menimbulkan ancaman terhadap golongan mereka". Nasib Naas Orang Manado, Ambon dan Indo di Jakarta Sampai saat itu, perasaan tidak suka terhadap orang-orang Ambon dan Manado di titik-beratkan pada kelakuan dan pribadi seseorang. Tetapi dengan penampilan serdadu-serdadu Hindia-Belan¬da, yang secara demonstratif memamerkan keadaannya yang lebih mewah dan lengkap di depan rakyat sambil memuntahkan kata-kata merendahkan terhadap Republik dan perjuangan kemerdekaan membuat akyat membenci pada suku Manado/Ambon. Mereka menyimpulkan, semua orang Ambon dan Manado begitu sikapnya. Oleh karena itu, tercetus tuduhan yang mengakibatkan korban nyawa: "Manado - Ambon anjing NICA" langsung di ikuti oleh tindakan-tindakan penganiayaan terhadap para keluarga Ambon dan Manado dan mereka yang di anggap Ambon dan Manado yang tinggal di daerah pinggiran seperti, Jatinegara, Manggarai, Pasar Minggu dan Ancol. Semua kejadian diikuti pemuda-pemuda Asem-Baru dengan perasaan geram. Pada waktu itu anggota-anggota Angkatan Muda Sulawesi (AMS), jelmaan organisasi Pemuda Maesa Jakarta, sudah berhubungan dengan API, tetapi tak banyak menolong. API berpendapat, orang Sulawesi harus mampu membela keadaan sendiri. Untuk itu harus ditemukan jalan keluar. Pada waktu itu sudah terdengar ada pemikiran untuk mengubah AMS menjadi APIS. Masalahnya soal tujuan, apakah tetap sebagai anak organisasi "Maesa" yang bersi¬fat sosial, atau sebagai anak organisasi API, menjadi badan pejuang, atau melakukan dua pangilan sekaligus? Pemikiran itu tidak hanya terdapat di kalangan pemuda Asem Baru. Pemuda-pemuda Sulawesi yang tergabung dalam kelompok lain sudah tiba pada arah pemikiran yang sama, antara lain, kelompok pemuda Sulawesi yang tergabung dalam kesatuan Kaigun (pelayaran) di Gunung Sahari, pemuda-pemuda Senen di Kramat, dan pemuda-pemuda Sulawesi Selatan, bertempat di Pasar Ikan. Pendaratan dan operasi tentara Sekutu, yang secara berangsur-angsur menduduki tempat-tempat strategis di Jakarta, dan menyerahkannya pada pengurusan Belanda, yang disebut NICA, menjadi bahan percakapan kalangan pemuda. Terdapat pandangan bahwa badan Rapwi, yang berpakaian Sekutu sebenarnya merupakan gerakan politik tersembun¬yi, melalui tugas-tugasnya menolong tahanan perang, turut berusaha menegakkan kembali kekuasaan Belanda di Indonesia. Kejelasan itu diketahui dari keterangan beberapa dokter Rapwi berbangsa Indonesia, di antaranya Neurolog Dr Ildrum Siregar. Disamping itu tempat-tempat dimana semula berkibar bendera Palang Merah, pada suatu saat berganti dengan bendera Merah Putih Biru. Tujuan usaha tersebut akhirnya harus diakui tidak tercapai, karena mereka tidak memperhitungkan faktor semangat laten bangsa Indonesia. Semula mereka berpikir, bahwa dengan tenaga-tenaga Belanda, bentuk pemerintahan lama dengan sendirinya dapat dita¬namkan kembali di bumi Indonesia berdasarkan "sifat abdi" rakyat Indonesia. Pihak tentara NICA, menyamar sebagai tentara pengawal untuk bekas-bekas tawanan perang, masuk ke Indonesia) Justru hal itu menjadi keuntungan bagi perjuangan Republik, karena pada dasarnya, kolonialisme memakai segala cara demi kepentingannya. Belanda mengirimkan pasukan-pasukan asal Manado dan Ambon, yang tak terlalu banyak jumlahnya, dengan hara¬pan orang-orang Ambon dan Manado di Indonesia akan bangkit membantu politik Belanda, dilaksanakan. Dengan cara ini Belanda ingin menjadikan orang-orang Manado dan Ambon menjadi tumbal bagi kolonialisme; bahwa suku-suku lain akan memusuhi mereka juga telah diperhitungkan, maka diharapkan mereka akan lari mencari perlindungan pada Belanda. Dengan demikian Belanda akan memperoleh tenaga-tenaga potensial sebagai tenaga-tenaga pelaksana untuk cita-cita mereka. Pada bulan-bulan pertama Belanda berhasil. Pergolakan terjadi di kalangan masyarakat Manado dan Ambon dan banyak orang yang lari mencari perlindungan Belanda. Untungnya yang pergi itu kebanyakan orang-orang pensiunan Belanda dan orang-orang yang memang tidak dapat diharapkan tenaganya dalam perjuangan, sehingga kepergian mereka tidak merugikan kedudukan golongan Manado sebagai unsur dalam perjuangan Kemerdekaan. Tetapi kesadaran orang-orang Manado dan Ambon sebagai orang Indonesia cukup kuat dan rela menghadapi gelombang sebesarpun demi Kemerdekaan. Begitu pula dengan turunan Indo yang lahir dan besar di Indonesia. Banyak dari mereka ini menjadi korban diskriminasi oleh kebanyakan Belanda Totok yang menguasai masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Lagi pula bila berada di negeri Belanda, turunan Indo sering diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua. Untuk itu banyak pula di antara mereka ini merasa lebih betah dan berpihak kepada Indonesia. Aksi perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dan memperjuangkan Indonesia sebagai bangsa merdeka dilakukan oleh Eduard Douwes Dekker (kemudian bernama Setia Boedhi) Indo yang mendirikan partai Insulinde pada 1906, yang merupakan partai politik pertama di Indonesia. Kendatipun turunan Manado, Ambon, Indo, bahkan juga turunan Cina di Jakarta menjadi korban agitasi. Di penghujung September 1945, laskar rakyat mulai menguasai daerah-daerah pinggiran di dukung oleh masyarakat tani. Akibat agitasi pada lapisan bawah, para pedagang sayur atau ikan berada di bawah ancaman, dilarang menjual sesuatu pada orang-orang Belanda, Ambon, Manado dan Indo. Mereka yang tidak mematuhi perintah itu adalah "mata-mata musuh". Akibatnya, kalangan tengkulak tengkulak di pasar-pasar dari Jatinegara sampai Senen tidak mau meladeni pembelian orang-orang Manado dan Ambon, malah kalau kedapatan ada yang membantu membeli sayur buat orang Manado, dan Ambon, atau Belanda, pasti dianiaya atau dibunuh. Pengadaan Kupon Keadaan ini sangat meresahkan dan menyusahkan keluarga-keluarga dari Indonesia Timur, termasuk pemuda-pemuda jalan Asem Baru. Oleh karena itu, atas inisiatif Tobing dan Willy Pesik, mendekati badan-badan perjuangan yang giat terlibat melakukan aksi pemboikotan itu. Namun usaha mereka tidak berhasil, karena tidak ada kelompok yang berani menyatakan bertanggung jawab. Barisan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan aparat pemerintah dalam pembangunan, dipimpin oleh Kasman Singodimojo, sedangkan bagian pengamanannya (field-security) dipimpin oleh Zulkifli Lubis. Waktu itu BKR bermarkas di Pejambon (gedung Deplu sekarang). Pada pertemuan antara Willy Pesik dan Karel L Tobing dengan Zulkifli Lubis menghasilkan dikeluarkannya surat-surat “clearing” berbentuk kupon-kupon untuk diberikan kepada keluarga-keluarga Manado, Ambon dan Indo yang tidak memihak kepada Belanda. Dengan menunjukkan kupon-kupon tersebut mereka dapat membeli keperluannya. Zulkifli Lubis berjanji segera memberitahukan kepada semua badan-badan perjuangan tentang kupon-kupon itu, supaya para pedagang tidak lagi dilarang menjual bahan makanan kepada pemegang kupon. Buku-buku kupon segera dibuat dan distempel, sementara kurir dari Zulkifli Lubis sudah berangkat dengan contoh kupon ke daerah-daerah ping¬giran. Sore itu buku-buku kupon diserahkan pada Nan Pondaag dan Piet Pantouw yang akan mengurus distribusinya. Dengan dikeluarkannya kupon itu, aksi boikot dapat di atasi, dan keesokan hari, semua orang sekalipun tanpa kupon dapat membeli bahan-bahan yang diperlukan di pasar-pasar. Kejadian aksi boikot tambah terasa keharusan bagi turunan Manado untuk lebih nyata berpartisipasi dalam perjuangan. Willy Pesik berpendapat, bahwa keredaan yang dicapai belum menjadi jaminan seterusnya.
Posted on: Mon, 07 Oct 2013 07:55:13 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015