bidadari-bidadari surga 03. bicara lama pula. Jadi kalian bicara - TopicsExpress



          

bidadari-bidadari surga 03. bicara lama pula. Jadi kalian bicara sekarang, baru tiga detik kemudian terdengar di seberang sana. Juga sebaliknya. Kami persis di pegunungan Alpen, Swiss. Ya ampun, ini benar-benar sialan semua urusan ini— Ada longsor yang menimbun jalan kereta! SWISS. Kami di SWISS, bukan ITALIA, PROFESOR. Hallo? Hallo? Tidak. Kami tidak berangkat dari Roma. Sepakbola sialan ini membuat semua penerbangan dari kota-kota di Italia penuh hingga dua hari ke depan. Terpaksa berangkat dari Paris. PARIS, bukan SWISS— Suara gemuruh hujan terdengar dari latar suara Ikanuri. Tidak. Tidak. Kami akan terbang dari Paris, Dalimunte. Dengan penerbangan besok pagi, jika semua tanah sialan ini berhasil dibersihkan. Di sini sedang hujan deras. Ada tebing yang longsor. Tanahnya memenuhi jalanan kereta. Apa? Sialan. SUARANYA PUTUS-PUTUS, DALIMUNTE! APA? Oo-Juwita, Delima, dan Ummi mereka sudah dalam perjalanan ke sana. Seharusnya dua-tiga jam lagi tiba di bandara. Kau sudah dijemput di bandara? Ikanuri entah untuk ke berapa kalinya memaki. Sementara di sini, sambil menelepon, Dalimunte melangkah cepat menuju lobi depan bandara. Mobil jemputan perkebunan strawberry sudah menunggu sejak tiga jam lalu. Perjalanan Jakarta menuju ibukota provinsi ini hanya butuh satu jam. Tujuh jam berikutnya dihabiskan dengan perjalanan darat menuju Lembah Lahambay. Dulu itu menjadi perjalanan yang menantang. Terpaksa tiga kali ganti kendaraan. Satu kali menumpang bus ke kota kabupaten. Satu kali lagi menumpang angkutan pedesaan terbuka menuju kota kecamatan. Terakhir naik starwagoon tua itu menuju perkampungan. Sekarang tidak lagi, sejak perkebunan strawberry punya cabang pabrik pengalengan di kota provinsi, akses ke sana jauh lebih mudah. Apa? Hallo? YASHINTA? Aku tidak tahu, Dalimunte! Ikanuri berteriak, suara hujan semakin deras, Aku sudah hampir sepuluh kali menghubungi telepon genggam satelit Yashinta. Tidak ada sinyal. APA? HALLO? TIDAK TAHU! Aku tidak tahu! Tentu saja ia baik-baik saja, Dalimunte— Kedua kakak-beradik itu (satu di Italia, satu di sini) mengernyit berbarengan. Dalimunte melipat dahinya lebih lebal, terlihat amat cemas. Dia juga sudah tiga kali mengontak HP Yashinta tadi. Sama. Sama sekali tidak ada sinyal. Mematikan HP? Tidak mungkin ia sudah di pesawat, bukan? Apa? Oo Terakhir aku ditelepon Yashinta tadi malam. Ia menginap di punggung lereng Semeru. Apa? Tentu tidak, Dalimunte. Kenapa pula kau persis seperti Mamak, mencemaskan hal-hal kecil. Anak itu dua kali lebih atletis dibandingkan Kak Laisa, apalagi dibandingkan kau! DIA AKAN BAIKBAIK SAJA, DALIMUNTE! Pembicaraan itu terdiam sejenak. Kelu. Dalimunte menelan ludah mendengar nama Kak Laisa disebut Ikanuri. Kau sudah menelepon Mamak di kampung? Ikanuri setelah ikut terdiam sebentar, bertanya. Dengan intonasi sedikit berbeda. Juga ikutan merasa ganjil setelah menyebut nama Kak Laisa. Baik. Baik. Jika kau tiba tujuh jam lagi bilang Mamak, aku dan Wibisana akan berusaha segera tiba di sana, Dalimunte. Ya ampun, apa yang sering kubilang dulu? Kau seharusnya sudah menemukan alat agar kami bisa pindah kemana saja dalam sekejap, Profesor. Bukan hanya mengurus soal bulan yang terbelah, itu kan sudah jelas pasti benar, Mamak dulu juga sudah bilang itu benar dalam cerita-ceritanya lepas Shubuh, tak perlu kau buktikan— Ikanuri mencoba bergurau, sebelum menutup sambungan internasional. Lengang. Dalimunte mengusap wajahnya sekali lagi. Terdiam. Bukan karena gurauan Ikanuri soal penelitiannya. Wibisana dan Ikanuri berdua memang sejak kecil kompak sudah suka mengganggu penelitian-penelitiannya. Menyembunyikan alat-alatnya. Dalimunte terdiam karena memikirkan sesuatu. Cemas. Abi, jadi naik nggak? Intan berseru memanggil dari dalam mobil. Putrinya sudah duduk rapi memeluk si belang. Sopir perkebunan strawberry juga sejak dari tadi menunggu. Dalimunte menghela nafas. Ya Allah, bertambah satu lagi hal mencemaskan. Yashinta! Kemana pula adik bungsunya itu? Ganjil sekali HP satelitnya tidak ada sinyal. Apa dia harus cek GPS (global positioning system) agar tahu posisi Yashinta? Tapi kalau HP satelitnya saja mati, apalagi GPS-nya. Itu satu paket dengan gagdet canggih Yashinta. Dalimunte setelah menghela nafas untuk kesekian kalinya, beranjak menghempaskan pantat di jok mobil. Mengangguk, memberikan kode jalan ke sopir. 11 LIMA KINCIR ANGIN MAKSUDMU, kita bisa mengangkat air sungai itu dengan kincir-kincir itu, Dali? Salah seorang pemuda bertanya, memecah lengang setelah Dalimunte selesai menunjukkan gambar-gambarnya. Dalimunte mengangguk mantap. Lantas membuatnya mengairi ladang-ladang kita? Bertanya lagi. Sedikit terpesona, lebih banyak sangsinya. Dalimunte mengangguk sekali lagi. Bahkan kincir-kincir itu bisa sekalian digunakan sebagai pembangkit listrik. Itu lima meter tingginya, Dalimunte! Sebesar apa kincir yang harus kita buat agar bisa mengangkat air dari sungai bawah cadas? Kau harusnya tahu itu. Pemuda itu berseru sedikit putus-asa. Tidak besar. Tidak besar! Dalimunte menjawab cepat. Setelah lima menit menjelaskan kertas-kertasnya dengan terbata-bata, meski masih gugup, dia jauh lebih tenang sekarang, Tapi kita akan membuat lima kincir air, membuatnya bertingkat! Tidak besar! Mustahil! Itu tidak mudah dilakukan— Pemuda yang lainnya menimpali, memotong, Bagaimana kau akan memastikan kincir-kincir itu bisa bergerak bersamaan? Menyusunnya agar bisa sesuai satu sama lain? Memasangnya di cadas batu? Ergh, dengan, dengan disusun secara tepat.... Secara tepat? Bah, secara tepat menurutmu itu apa. Kau tahu tidak ada yang sekolah hingga kelas enam di sini selain kau.... Tertawa, beberapa penduduk menyeringai. Lantas bagaimana pula kau akan memastikan air itu bisa dialirkan sejauh satu kilometer ke ladang-ladang kita? Yang lain berseru. Bertanya. Dengan pipa-pipa— Pipa-pipa? Itu pasti mahal membuatnya, Dalimunte! Belum lagi kayu-kayu. Pasak besi, Rel pemutar! Mana cukup uang kas kampung.... Mengeluh. Tidak! Tidak mahal, hanya dengan pipa bambu— Bambu? Omong-kosong! Kincir air itu tidak akan cukup kuat. Babak-babak kita dulu pernah membuatnya, Seruan-seruan sangsi terdengar. Balai kampung itu ramai kembali oleh seruan-seruan. Ergh, aku sudah membuat dua kemarin.... Sudah ada di sungai bawah cadas— Dalimunte mencoba meningkahi keramaian setelah terdiam sebentar, dia tidak menyangka akan ada banyak pertanyaan, seruan ragu-ragu semacam ini. Sepanjang pagi tadi dia hanya memikirkan hanya bilang soat idenya. Sisanya terserah Wak Burhan. Ternyata — Kau sudah buat dua? Lantas apa kincirnya bekerja? Pemuda yang lain mendesak. Ingin tahu. Mata-mata serempak memandang ingin tahu. Dalimunte seketika terdiam. Dia tidak tahu itu. Mana sempat lihatnya, keburu disuruh pulang Kak Laisa. Jangan-jangan kincirnya malah roboh duluan tidak cukup kokoh dihantam arus deras sungai. Dalimunte mulai ragu dengan idenya. Menatap sekitar mencari dukungan. Wak Burhan hanya diam. Seruan-seruan semakin ramai terdengar. Dalimunte menelan ludah. Tertunduk. Sia-sia. Idenya akan mubazir. Tidak ada yang menanggapinya serius. Persis seperti selama ini, penduduk kampung seolah sudah pasrah dengan takdir cadas lima meter itu. Mereka toh dulu sudah berkali-kali membuat kincir air raksasa, dan tidak ada hasilnya. Dalimunte perlahan mengumpulkan kertas-kertas, tertunduk, menelan ludah. Tentu saja kincir-kincir itu bekerja! Seseorang tiba-tiba berseru. Berseru dengan suara lantang sekali. Membuat dengung lebah terdiam. Seketika. Dalimunte menoleh. Gerakan tangannya terhenti. Dia kenal sekali intonasi suara itu. Kak Laisa! Kak Laisa sudah berdiri dari duduknya. Kita bisa melakukannya. Apa susahnya membuat kincir-kincir itu. Jika Dalimunte bisa membuat dua dengan bambu seadanya, kita bisa membuatnya yang lebih bagus, lebih kokoh. Kak Laisa berseru, melangkah ke depan. Mata-mata sekarang memandang Kak Laisa. Gadis tanggung berumur enam belas tahun itu dengan berani justru galak membalas tatapan penduduk lainnya yang jelas-jelas lebih tua dan lebih besar darinya. Kak Laisa terlihat begitu yakin dengan setiap kalimatnya. Sama sekali tidak terlihat gugup. Itu akan membuang-buang tenaga, Lais— Pemuda yang tadi menyahut, berusaha menurunkan intonasi suaranya. Tidak ada yang akan membuang-buang tenaga, Tidak ada, Jogar— Kak Laisa menukas cepat. Lebih galak. Siapa yang akan memastikannya akan berhasil, Lais? Kita dulu pernah membuat kincir besar itu. Dan percuma saja, terlalu besar, air sungai tidak cukup kuat untuk memutarnya, cadas itu terlalu tinggi! Salah satu orang tua memotong. Berusaha menjelaskan. Kalian tidak mendengarkan dengan baik kalau begitu. LIMA KINCIR AIR. Dalimunte bilang lima kincir air! Bukan kincir raksasa— Apa bedanya? Siapa yang akan menjamin itu berhasil? Tidak ada. Tidak ada yang menjamin itu akan berhasil. Benar! Itu akan membuang-buang tenaga jika gagal! Tapi jika berhasil? Kita sudah bertahun-tahun hanya menggantungkan nasib ladang kita, hidup kita, kampung kita, dari kebaikan hujan. Sudah saatnya kita membuat irigasi sendiri untuk ladang-ladang itu. Berpuluh-puluh tahun sejak kincir raksasa itu gagal dibuat tidak ada lagi yang memikirkan bagaimana caranya mengangkat air sungai dari bawah cadas. Tidak ada salahnya mencoba kincir-kincir air itu. Lima kincir bertingkat. Itu masuk akal. Semasuk akalnya seperti kita berharap benih di ladang tumbuh saat musim penghujan! — Kak Laisa berkata lantang dan cepat. Amat meyakinkan. Seruan-seruan terdengar lagi dibalai kampung. Lebih ramai dibanding saat membicarakan perambah hutan tadi. Seruan-seruan ragu-ragu, seruan-seruan sangsi, meski sekarang anggukan-anggukan kecil mulai bermunculan. Tidak ada salahnya, bukan? Laisa menatap sekitar. Sampai kapan kita harus mengalah atas cadas lima meter itu! Sampai kapan? Penduduk justru saling bersitatap. Baik. Sekarang siapa yang setuju dengan usul Dalimunte? Kak Laisa berseru dari tengah-tengah balai kampung, menghentikan dengung lebah untuk kedua kalinya. Menatap tajam. Muka-muka masih saling bersitatap satu-sama-lain. Sedetik. Dua detik. Dalimunte menggigit bibir. Sia-sia. Urusan ini tidak selancar yang dibayangkannya. Ide lima kincir air itu percuma. Lihatlah, tidak ada yang hendak mengacungkan tengan, meski Kak Laisa terlihat amat yakin dengan idenya. Siapa yang setuju dengan usul Dalimunte? Kak Laisa bertanya tegas. Sekali lagi. Tiga puluh detik berlalu. Tetap lengang. Yashinta yang pertama kali mengangkat tangannya, takut-takut (entah ia mengerti atau tidak urusan itu). Muka gadis kecil enam tahun itu menyeringai menggemaskan seperti biasa. Orang-orang menoleh. Wak Burhan menyusul, ikut megangkat tangan dengan mantap, sambil tersenyum ke arah Yashinta. Lantas Mamak Lainuri, Ikanuri, Wibisana, terus ibu-ibu kampung lainnya, hingga orang tua, dan akhirnya pemuda-pemuda itu. Kak Laisa tertawa lebar. Menyikut bahu Dalimunte yang berdiri di sampingnya. Anggukan dan seruan kenapa tidak sekarang ramai keluar dari mulut penduduk. Mereka akan mencobanya. Sekali lagi! Tertawa lebar dengan ide lima kincir air itu. Dalimunte mengigit bibir. Menghela nafas, lega. Hari itulah saat Dalimunte menyadari sesuatu. Memang dia yang memulai ide lima kincir air tersebut, tapi semua orang tahu, karena Kak Laisa-lah ide itu akhirnya dikerjakan. Hari itulah, Dalimunte belajar satu hal: bagaimana bicara yang baik di hadapan orang banyak. Belajar langsung dari Kak Laisa yang entah bagaimana caranya menguasai benar hal tersebut. Begitu yakin. Begitu tenang. Dalimunte mungkin tidak akan pernah tahu. Tidak pernah! Kak Laisa sama gugupnya seperti dia, sama gentarnya bicara di tengah-tengah balai kampung itu. Tetapi Kak Laisa tidak akan pernah membiarkan adik-adiknya kecewa. Tidak akan pernah membiarkan adiknya merasa malu. Jika harus ada yang kecewa dan malu, itu adalah ia. Bukan adikadiknya. Bagi Laisa, sejak babak pergi, hidupnya amat sederhana. Adik-adiknya berhak atas masa depan yang lebih baik dibandingkan dirinya. Lagipula Laisa akhirnya mengerti kenapa Dalimunte bolos sekolah kemarin. Maka demi rasa sesal telah memukul lengan Dalimunte, keberanian itu muncul begitu saja. Memberikan energi yang luar biasa. Begitu yakin. Begitu tenang. Dan tidak hanya hari itu Laisa melakukannya. Sungguh tidak. Ia melakukannya berkali-kali sepanjang umurnya. Demi keempat adik-adiknya. 12 BAGI MEREKA URUSAN INI SEDERHANA DALIMUNTE sudah di mana? Sudah naik mobil jemputan perkebunan strawberry, bersama Kak Cie Hui dan Intan. Ikanuri memasukkan telepon genggam ke saku. Merapatkan jaket hujan yang dikenakan. Kereta ekspres itu berhenti persis di tengah hutan. Di depan Sana belasan lampu sorot berkekuatan ribuan watt menerangi lokasi longsoran tebing. Hanya butuh setengah jam sejak longsoran itu terjadi, tim tanggap darurat kepolisian dan pasukan militer Swiss dari kota terdekat tiba di lokasi. Membawa alat-alat berat untuk membersihkan tanah liat yang menumpuk sepanjang lima belas meter. Mereka terbilang taktis dan gesit. Ada sekitar dua peleton pasukan di sana. Tapi hujan yang turun semakin deras, membuat pekerjaan semakin sulit. Apalagi, baru saja bersih lima meter, tebing itu longsor lagi. Lebih banyak. Signori, siete pregati di rientrare nelle carrozze, per favore? Senior, sebaiknya kalian segera masuk kembali ke gerbong, please? Gadis berambut pirang, petugas berseragam yang melayani penumpang kabin kereta (macam pramugari di pesawat terbang) berteriak dari pintu gerbong dengan toa. Ikanuri menoleh, mendesis sebal. epiu confortevole dentro— Gadis itu membujuk lagi. Sebentar Lagi— Ikanuri yang bete sejak tadi, menjawab mengkal seruan itu ( dengan bahasa Indonesia pula). Gadis itu mengernyit, tidak mengerti. Mereka baru tiga jam dari Roma. Kereta beranjak melintasi perbatasan Swiss. Tidak bisa tidur, meski kabin itu amat lega dan nyaman. Saat sedang berusaha menelepon Yashinta, Mamak Lainuri, dan Dalimunte kereta tiba-tiba berhenti. Aneh. Kereta itu kereta express, mana boleh berhenti sembarangan macam kereta di Indonesia. Ada apa? Ikanuri dan Wibisana beranjak keluar dari kabin. Segera mencari tahu. Dan segera pula menyumpahnyumpah (Ikanuri) saat tahu masalahnya. Karena sebal, Ikanuri dan Wibisana memutuskan turun dari kereta, ingin melihat langsung pekerjaan pembersihan rel. Masinis berbaik hati meminjami dua jaket hujan besar. Malam ini, kereta hanya berpenumpang tujuh orang. Penumpang yang lain sibuk tidur di kabin masing-masing. Tidak peduli. Siapa pula yang mau hujan-hujanan di luar dengan suhu nyaris nol derajat celcius. Masinis itu malah santai menonton siaran live sepak bola Juventus- Manchester United dari teve mungilnya. Kejadian ini berkah baginya, dia jelas tidak boleh menonton saat menjalankan kereta. Kau sudah telepon Yashinta lagi? Tersambung? Wibisana mengangguk, sudah. Terus menggeleng, tidak tersambung. Kenapa pula di situasi sepenting ini HP anak itu dimatikan? Ikanuri mendengus jengkel. Menatap putus asa puluhan petugas kepolisian dan pasukan militer yang seliweran membersihkan rel kereta. Lihatlah, dinding tebing itu longsor lagi setelah mereka berhasil memindahkan separuh tumpukan lumpur di atas rel. Bisa tidak sih mereka berpikir jenius seperti Dalimunte! sepuluh persen saja dari otak hebat Dalimunte. Dinding tebing itu harusnya di tahan dulu. Diberikan konstruksi penahan, atau entahlah yang penting bisa mencegah longsoran baru. Baru dibersihkan rel keretanya. Kalau begini urusannya, masih butuh berjam-jam lagi kereta ini bergerak. Bah! Percuma juga mereka taktis dan gesit kalau melakukannya dengan bodoh. Juwita dan Sekar sudah tiba di mana? Ikanuri bertanya. Lima menit lalu mereka bilang sudah di bandara, menunggu jadwal penerbangan dua jam lagi. Wibisana menjawab. Semoga kita bukan yang terakhir tiba. Tentu tidak, Ikanuri— Semoga kita tidak datang terlambat. Ikanuri mengeluh sekali lagi. Itu benar-benar keluhan tertahan. Wibisana menepuk-nepuk bahu Ikanuri. Tersenyum. Berbisik, Tidak akan terjadi apa-apa, Ikanuri. Kita akan tiba tepat waktu. Berdoalah, Kak Laisa akan baik-baik saja.... Hujan turun semakin deras. Badai semakin kencang. Empat jam setelah Dalimunte dan keluarganya mendarat di bandara kota provinsi, giliran Jasmine, istri Ikanuri, Wulan, istri Wibisana, beserta anak-anak mereka, Juwita dan Delima tiba di sana. Repot sekali Juwita dan Delima mendorong sepeda BMX mereka keluar dari lobi kedatangan bandara. Tadi meski Ummi mereka berdua memaksa buruan, kedua anak nakal usia enam tahun itu justru kompak memaksa membawa sepeda BMX spesialis trek gunung masing-masing, NGGAK MAU! Juwita harus bawa sepeda! Kan, asyik buat keliling kebun strawberry bareng Eyang Lainuri dan Wawak Laisa! Karena rumah mereka berseberangan halaman, maka jika yang satu membawa sepeda, otomatis yang lainnya juga ikutan bawa. Tidak mau kalah. Juwita dan Delima memutuskan untuk tidak banyak berdebat lagi. Membiarkan saja putriputri tunggal mereka membawanya. Jadi terlihat sedikit mencolok saat dua anak perempuan berumur enam tahun itu mendorong sepedanya dari counter pengambilan bagasi bandara. Mi, Kak Intan sudah sampai, belum? Delima bertanya, Masih di perjalanan, di mobil jemputan perkebunan— Wulan, Ummi Delima memasukkan telepon genggamnya ke tas tangan. Barusan menelepon Cie Hui, Ummi Intan. Eh, Mi, Kak Intan bawa sepeda juga, nggak? Juwita yang bertanya ke Umminya. Tidak tahu, sayang. Yang Ummi tahu Kak Intan pasti bawa gelang Safe The Planet-nya Jasmine, Ummi Juwita tertawa kecil. Membantu memotong tali rafia. Perkebun strawberry mengirimkan jemputan kijang kapsul, jadi dua sepeda itu terpaksa diikat diatas mobil. Dua gadis kecil itu menyeringai, bersitatap satu sama lain, idih, pasti Kak Intan maksamaksa lagi makai gelang itu. Perasaan baru dua minggu lalu mereka dikirimi satu kotak. Disuruh-suruh jual ke teman-teman di sekolah. Ditanyain tiap hari lewat telepon dan email. Orang mereka berharapnya kak Intan juga bawa sepeda, kan asyik bisa bertiga keliling kebun strawberry bareng Eyang atau Wawak. Siapa pula yang mau dipaksa-paksa pakai gelang karet norak itu. Mi, Tante Yashinta sudah di mana? Nggak tahu, sayang— Tante Yashinta juga pulang, kan? Nggak tahu. Harusnya iya— Abi kapan tibanya dari Itali, Mi? Ummi nggak tahu, Delima. Keretanya masih terjebak badai— Eh, Wak Laisa emang sakitnya apaan sih, Mi? Nggak tahu, Delima— Ummi melotot, ia sibuk membantu sopir mengikat sepeda, Delima justru sibuk bertanya. Terus yang Ummi tahu apaan, dong? Payah nih! Delima nyengir, sedikitpun merasa tidak berdosa dengan celetukannya. Imbalannya lengan Delima dicubit. Meringis. Dua gadis kecil itu benar-benar menyerupai Ikanuri dan Wibisana waktu kecil. Bedanya, mereka lebih jago bicaranya, ngeles. Terlatih. Lah, mereka belajar dari guru terbaiknya: Abi-nya yang sering kasih contoh di rumah. Setengah jam berlalu, mobil kedua melesat menuju perkampungan Lembah Lahambay. Melewati hampir tiga ratus kilo perjalanan. Kota-kota kabupaten. Kota-kota kecamatan. Pedesaan. Hutan-hutan lebat. Semak-belukar. Pohon bambu. Perkebunan kelapa sawit. Perkebunan karet. Padang rumput meranggas. Naik turun lembah. Melingkari bukit barisan. Sungai-sungai yang meliuk. Persawahan. Menyaksikan monyet yang berani bergelantungan di tepi-tepi hutan. Satu-dua babi liar yang nekad menyeberangi jalan aspal. Itu semua sebenarnya pemandangan yang menarik, sayang tidak untuk situasi saat ini. Juwita dan Delima pun sejak separuh perjalanan akhirnya lebih banyak tertidur. Lelah bertengkar di atas mobil. Bertengkar soal siapa yang akan duduk di tengah-tengah Eyang dan Wawak Laisa pas makan malam, padahal percuma juga mereka rebutan sekarang, toh Kak Intan biasanya ngusir mereka dari kursi strategis itu. Juwita dan Delima tertidur dengan wajah polos. Saling memegangi jidat. Bagi mereka, urusan ini sederhana. 13 KAU BUKAN KAKAK KAMI OMELAN MAMAK LAINURI malam itu hanya mempan seminggu. Ikanuri dan Wibisana memang rajin sekolah, sok rajin belajar, shalat di surau, lancar ngajinya, tidak banyak bertingkah, patuh dengan Kak Laisa selama seminggu terakhir. Namun lepas satu pekan, tabiat lama mereka kembali lagi. Lebih parah malah. Ahad berikutnya, seperti kesepakatan pekan lalu, penduduk kampung bergotong-royong membuat lima kincir air di pinggir cadas sungai. Melaksanakan ide Dalimunte. Lelaki dewasa, mulai dari orang tua hingga pemuda tanggung, setengah hari menghabiskan waktu di hutan, menebang belasan batang bambu besar-besar, setidaknya tak kurang satu jengkal diameternya. Setengah hari lagi dihabiskan untuk memotong-motong, mengikatnya dengan tali rotan, memakunya dengan pasak besi. Wak Burhan dua hari lalu juga memutuskan menggunakan uang kas warga kampung, membelinya di kota kecamatan, beserta semen dan keperluan pondasi lainnya. Sementara ibu-ibu dan gadis tanggung membantu meyiapkan kue-kue kecil macam serabi, putri salju, juga teh panas. Beserta pula makan siang. Meski seadanya, hanya dengan sayur terong dan sambal terasi, tapi setelah lelah bergotong-royong seperti ini, makan sepiring nasi yang masih mengepul terasa nikmat nian walau tanpa lauk. Apalagi mereka mengerjakan kincir air itu langsung di pinggir sungai bawah cadas. Asyik benar duduk di atas bebatuan sambil menyantap makan siang. Jika sudah sampai sejauh ini, maka tak ada lagi yang sibuk bertanya apa semuanya akan berhasil. Apa salahnya mencoba (lagi). Maka sesiang itu, Dalimunte sibuk membentangkan kertas-kertas miliknya, sibuk menjelaskan bagan konstruksi yang telah dibuatnya. Sebenarnya ganjil sekali melihatnya, lihatlah, tubuh kecil Dalimunte terselip di antara belasan lelaki dewasa lainnya. Wajah-wajah yang mengangguk-angguk mendengarkan penjelasannya, tidak banyak bicara. Ahad ini seluruh penduduk kampung 30-40 atap rumah itu berkumpul di pinggir sungai. Semua bekerja, membantu. Tak terkecuali Yashinta, ia membantu mengangkut bebatuan dengan keranjang rotan, bakal pondasi kincir. Anak-anak kecil lainnya juga sibuk mengumpulkan pasir. Yang sedikit besaran, terampil melubangi ruas bambu. Membuat pipapipa. Jika pun tidak ikut bekerja, anak-anak kecil lainnya sibuk menonton di pinggir sungai sambil bermain-main. Membuat sekitar ramai oleh teriakan (juga tangisan setelah satu sama lain bertengkar). Lais, kau lihat Ikanuri dan Wibisana? Mamak bertanya pelan. Ee.. bukannya tadi ada di sana, Mak? Laisa menoleh, menyeka dahinya, melepas gagang pelepah nyiur, uap mengepul dari dandang besar penanak nasi, menunjuk kelompok anak lelaki tanggung yang asyik membuat pipa-pipa. Tidak ada, Lais Ee, tadi ada di sana, Mak.... Benar-benar sigung bebal! Kemana pula mereka pergi ketika semua sedang sibuk bekerja. Bikin malu keluarga saja! Mamak Lainuri mendesis sebal. Memperbaiki bebat kain di kepala. Laisa menelan ludah. Mengangguk dalam hati. Kemana pula Ikanuri dan Wibisana sekarang. Lihatlah, semua penduduk kampung berkumpul di sini, bergotong-royong, dan mereka berdua entah kabur kemana. Menatap sekitar. Berkeliling. Tidak ada. Di dekat cadas Yashinta sedang tertawa bersama teman sepantarannya, ada satu yang terpeleset di air saat membawa keranjang pasir, basah kuyup. Di sisi lain, Dalimunte masih sibuk menunjuknunjuk kincir air yang mulai berbentuk. Tidak ada Ikanuri dan Wibisana. Juga tidak ada di antara anak-anak lainnya. Apa perlu Lais cari, Mak? Mamak Lainuri berpikir cepat, Nanti. Lepas dzuhur kalau tidak kelihatan juga ekornya, kau cari mereka. Dasar tak tahu malu. Tidak pernah ada di keluarga kita yang berpangku tangan saat orang lain sibuk bekerja— Mamak mengomel tertahan. Jangan-jangan mereka ikut starwagoon ke kota lagi, Mak! Muka Mamak mendadak memerah. Sebal. Kemungkinan itu benar-benar membuat Mamak marah. Apa tidak kapok juga keduanya setelah diomelin minggu lalu. Ee, atau hanya pulang sebentar ke rumah disuruh Dali ambil sesuatu— Laisa menelan ludah. Menyesal kemungkinan soal starwagoon itu. Mencoba membuat Mamak lebih nyaman. Percuma. Kalimat itu keliru, kalau dengan Laisa saja mereka berdua enggan menurut, apalagi dengan Dalimunte. Mana mau mereka disuruh-suruh begitu. Dan jelas Laisa keliru kalau membayangkan urusan kali ini sesederhana itu. Menjelang dzuhur, dua kincir air selesai. Dengan pasak besi, bebatan batang rotan, kincir bambu itu terlihat kokoh. Disandarkan di dinding cadas sungai. Dalimunte tersenyum senang, juga yang lain. Sejauh ini rancangan Dalimunte hanya keliru satu hal, jumlah potongan bambu yang dibutuhkan. Beberapa lelaki dewasa terpaksa masuk lagi ke hutan, mengambil belasan bambu berikutnya. Mak, Ikanuri dan Wibisana belum kelihatan juga— Laisa berbisik ke Mamak. Muka Mamak yang sedang membawa piring-piring plastik kentara sekali jengkel. Sementara penduduk kampung berkumpul di pinggir sungai, duduk membuat kelompokkelompok di atas bebatuan. Wak Burhan menyuruh mereka makan siang. Istirahat hingga satu jam ke depan. Beberapa selepas makan beranjak ke surau. Shalat dzhuhur. Kau cari sekarang, Lais. Bila perlu seret saja dua sigung bebal itu kemari— Mamak menahan marah. Bagaimana pula ia tak marah, tadi salah satu tetangga sebelah rumah sempat bertanya di mana Ikanuri dan Wibisana. Pertanyaan itu tidak serius, hanya bertanya apa kedua anak itu sakit? Pulang? Tidak enak badan? Mamak hanya tersenyum tipis, mengangguk. Bagi Mamak urusan ini sensitif sekali. Laisa tidak perlu diperintah dua kali, segera bergegas meletakkan ceret air yang digunakannya untuk mengisi gelas-gelas. Melepas kain celemek butut. Lantas beranjak menyeberangi sungai. Ia sama sekali tidak punya ide di mana Ikanuri dan Wibisana berada. Meski begitu, tempat yang pertama kali harus diperiksa adalah rumah. Siapa tahu mereka berdua sedang tidur mendengkur di bale bambu. Tidak ada. Laisa tidak menemukan Ikanuri dan Wibisana saat tiba di rumah sepuluh menit kemudian. Mungkin mereka bermain-main di desa atas. Laisa menyeka keringat di leher. Matahari siang, terik membakar lembah. Dari surau, Wak Burhan mengumandangkan adzan. Baiklah. Mamak menyuruhnya mencari. Itu artinya cari sampai dapat. Tidak ada kata kembali ke pinggir sungai itu tanpa Ikanuri dan Wibisana. Maka tubuh gemuk dan gempal Laisa beranjak menuruni anak tangga rumah panggung. Percuma. Satu jam berlalu. Ikanuri dan Wibisana tidak ada di desa atas. Starwagoon tua itu juga terparkir rapi di halaman rumah pemiliknya. Laisa menyeka keringat yang mengucur semakin deras, satu kilo berjalan, sia-sia. Memutuskan untuk memeriksa tempat kedua anak itu suka bermain-main. Tidak ada. Mereka tidak ada di Curug Cuak (air terjun). Tidak ada juga di jembatan gantung desa satunya lagi. Tidak ada di tempat biasa mereka mancing. Tidak ada. Laisa menelan ludah. Matahari sudah tergelincir dari puncaknya. Sudah pukul tiga. Laisa dan penduduk kampung terlatih sekali membaca jam dari gerakan matahari dan bayangan pepohonan. Di pinggir sungai, penduduk kampung sudah sejak tadi meneruskan pekerjaan. Jangan-jangan dua sigung itu sudah kembali ke pinggir sungai? Laisa mendesis jengkel. Baik, ia akan kembali ke sana sambil menyelusuri jalan yang berbeda dari berangkatnya tadi. Melewari kebun-kebun penduduk. Siapa tahu dua anak itu tiduran di pondok rumbia ladang padi mereka. Angin lembah bertiup lembut, Laisa menghela nafas sedikit lega, itu membantu banyak di tengah terik matahari awal musim kemarau. Kebun penduduk terlihat menguning. Batang padi merekah oleh bilur-bilur buahnya yang montok. Sebulan lagi mereka panen bersama. Penduduk kampung lembah itu umumnya berladang. Jika sudah dua-tiga kali mereka menanam padi, biasanya diganti dengan kopi atau lada. Atau diseling dengan jagung dan sejenisnya. Apa saja yang hasilnya bisa dijual di kota kecamatan. Setengah jam lagi berlalu. Ikanuri dan Wibisana tidak ada di pondok rumbia ladang mereka. Laisa mendengus sebal. Meneruskan langkah kaki. Harapan satu-satunya, dua anak nakal itu sudah kembali ke pinggir sungai setelah berpuas diri bermain. Saat itulah, saat Laisa mulai putus asa, tanpa sengaja sudut matanya yang terlatih menangkap gerakan dedaunan pohon mangga kebun Wak Burhan, di kejauhan lembah. Tidak lazim. Angin tidak akan membuat cabangnya bergoyang sedemikian rupa. Dan tidak ada uwa atau monyet yang sampai di sini, sungai dengan cadas lima meter itu bagai tembok besar membuat kampung mereka seolah terpisah dari hutan rimba. Laisa mendekat. Menyelidik. Menatap tajam pohon mangga yang sedang ranumranumnya berbuah. Daunnya yang rimbun seperti dipenuhi benjol-benjol buah yang besarbesar. Dahan pohon itu bergoyang-goyang lagi. Laisa melangkah semakin cepat. Tinggal sepelemparan batu, tinggal lima belas meter, akhirnya ia bisa melihat bayangan yang membuat pohon itu bergerak. Cepat, Ikanuri— Berbisik tertahan. Sebentar. Suara itu ikut tertahan. Kak Laisa! Ada Kak Laisa! Cepat turun... Sebentar, celanaku tersangkut— GEDEBUK! Ikanuri yang bergegas turun dari pohon mangga malah terjatuh, kehilangan keseimbang saat buru-buru, menimpa Wibisana yang sudah turun duluan. Tidak tinggi benar, hanya satu meter, karena mereka sudah tiba di dahan terendah. Tapi itu membuat pelarian mereka gagal total. Ikanuri yang sibuk mengaduh selama lima detik, memberikan waktu yang cukup bagi Laisa untuk mengenali siapa. IKANURI! WIBISANA! Persis seperti radio yang tiba-tiba disetel kencang-kencang. Laisa berseru galak. Berlari mendekat. Ikanuri dan Wibisana tersedak. Menatap jerih Kak Laisa yang mendekat. Berusaha menyembunyikan bukti kejahatan APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI? Ergh, ee, kita sedang memeriksa pohon mangga Wak Burhan, benar begitu kan, Wibi?— Ikanuri menjawab cepat, khas Ikanuri, seadanya bin ngarang, dengan wajah sama sekali merasa tidak berdosa. Wibisana tidak kalah begonya ikut mengangguk, Ya, Kak. Kita lagi menghitung jumlah buahnya. Ada berapa gitu— DIAM!! Err, bener Kak. Ada seratus sembilan puluh— DIAM!! Kalian benar-benar tak tahu malu! Semua orang bekerja di cadas sungai, kalian justru di sini. MENCURI MANGGA! Kak Laisa semakin galak, semakin dekat, tangannya cepat mematahkan salah satu ujung dahan semak belukar. Ikanuri dan Wibisana tahu persis apa yang akan terjadi. Mereka beringsut mundur. Laisa semakin dekat. Tertahan, gerakan Ikanuri dan Wibisana tertahan pohon mangga di belakangnya. Ujung dahan di tangan Laisa sudah terarah sempurna ke dada mereka berdua. Katakan apa ini? Apa yang kau lihat? Kak Laisa menunjuk dua-tiga buah mangga hampir ranum yang tergeletak di ujung kaki mereka. Terjatuh dari saku celana. Eee, aku tidak melihat apa-apa, ya kan Wibi? Ya, ya, kami tidak melihat apa-apa. Memangnya ada apaan— Kak Laisa benar-benar jengkel. Berani sekali kalian mencurinya. BERANI SEKALI Tidak ada di keluarga kita yang menjadi pencuri meski hidup kita susah, TIDAK ADA. Kak Laisa berseru marah. Menusuk nusukkan ujung dahan itu ke dada Ikanuri. Mereka berdua terdiam. Ikanuri meringis. Tidak sakit, hanya berpura-pura saja. Dia sudah kebal dipukul Kak Laisa. Apa yang kalian lakukan sepanjang siang? Main-main di Curug Cuak? Lantas pulang mencuri mangga Wak Burhan Tidak tahu malu. Apa yang akan dibilang Wak Burhan kalau dia tahu! APA COBA!? Diam, Ikanuri dan Wibisana bungkam. Kalian tidak pernah jera. Tidak pernah! Mau jadi apa kalian, hah? MAU JADI APA?? Kak Laisa mendesis. Kalau Mamak tahu kalian mencuri lagi, kalian pasti dihukum tidak boleh masuk rumah malam ini. Kalau Mama tahu.... Kak Laisa menelan ludah, berusaha mengendalikan diri. Kalau Mamak tahu Ikanuri dan Wibisana ternyata justru sedang mencuri saat orang lain sibuk bekerja? Itu benar-benar akan jadi marah besar. Pulang. Kalian ikut denganku ke pinggir sungai, sekarang— Laisa melotot, menatap galak. Memberikan perintah. Ikanuri dan Wibisana tetap bungkam seribu bahasa. AYO, PULANG! Tusukan ujung dahan itu semakin kencang, Ikanuri meringis, tapi dia tetap tidak beranjak berdiri. PULANG KATAKU! SEKARANG!! TIDAK MAU! Ikanuri entah apa yang sedang ada di kepalanya, tiba-tiba berteriak tidak kalah kencangnya. Melawan. Menepis kasar ujung dahan di dadanya. APA KAU BILANG? AYO, PULANG! TIDAK MAU! Ikanuri melotot. Dua ekor burung pipit terbang rendah di bawah pohon mangga itu. Mendesing menjauh mendengar keributan. Kami tidak mau pulang. Tidak mau. Kau bukan Kakak kami, kenapa pula kami harus menurut! Ikanuri mendesis tak kalah galak. Wajah anak berumur sepuluh tahun itu mengeras. Kalimat itu benar-benar membungkam waktu. Selaksa senyap di bawah pohon mangga. Seekor elang melenguh di atas sana, suaranya seperti dibatukan udara. Terdiam. Laisa sempurna membeku. A-pa.... A-pa yang kau katakan? Kau bukan Kakak kami! Kenapa pula kami harus nurut Ikanuri mengatakannya sekali lagi. Lebih lantang. Lebih kencang. Beranjak berdiri, malah. Melawan semakin berani. LIHAT! Kulit kau hitam. Tidak seperti kami, yang putih. Rambut kau gimbal, tidak seperti kami, lurus. Kau tidak seperti kami, tidak seperti Dalimunte dan Yashinta. KAU BUKAN KAKAK KAMI. Kau pendek! Pendek! Pendek! Kali ini kalimat Ikanuri benar-benar bak roket yang ditembakkan tiga kali di lubang yang sama. Berdebum. Membuat lubang besar itu menganga lebar-lebar, hitam pekat. Laisa terperangah. Sesak. Nafasnya sesak seketika. Ya Allah, apa yang barusan dikatakan adiknya. Apa ia sungguh tak salah dengar? Laisa gemetar. Tangannya yang mencengkeram ranting bergetar, terlepas. Kenapa? Kenapa kau diam? Kau marah kami mengatakan itu, hah? Ikanuri tanpa rasa iba bertanya bengis. Laisa menelan ludah.Matanyat iba-tiba berair. Ya Allah, aku mohon, jangan pernah, jangan pernah buat aku menangis di depan adik-adikku. jangan pernah! Itu akan membuat mereka kehilangan teladan. Laisa meremas pahanya kencang-kencang. Berusaha mengalihkan rasa sakit di hati ke rasa sakit di tubuhnya. Kami tidak akan lagi menurut... Kau bukan Kakak kami. Bukan! Bukan! BUKAN! Ikanuri berseru amat puas. Berkali-kali. Hentikan Ikanuri. Hentikan.... Laisa berseru, terbata. Kau bukan kakak kami! Hentikan Ikanuri, atau kau kuadukan pada Mamak, dan kalian akan dihukum tidak boleh masuk rumah selama seminggu, Laisa berkata dengan suara bergetar. Menahan tangis. Kau jelek! Jelek! JELEK! Hentikan Ikanuri— Pendek! Pendek! Hentikan, Ikanuri. Aku mohon — Jelek! Jelek! Pendek! Pendek! Ikanuri tertawa lepas. Lantas beranjak melangkah dari bawah pohon mangga dengan seringai penuh kemenangan, disusul oleh Wibisana (yang tertunduk dalam-dalam, sedikit merasa ganjil dengan teriakan kasar Ikanuri). Laisa sudah jatuh terduduk. Sempurna jatuh terduduk. Menatap punggung adik-adiknya yang menghilang dari balik semak belukar. Seekor jangkrik di batang pohon mangga berderik. Pelan. Meningkahi isak tertahan.Gadis tanggung berumur enam belas tahun itu mendekap wajahnya. Ia tak kuasa lagi menahan sedih di hati. Bukan karena Ikanuri melawannya, karena toh selama ini Ikanuri selalu berani melawan. Tapi karena itu benar! Ya Allah, apa yang dikatakan adiknya benar sekali. Ia bukan siapa-siapa bagi mereka. Ia bukan Kakak mereka. Seluruh penduduk lembah itu juga tahu. Ia bukan kakak mereka. Senyap. Hanya tangis tertahan yang terdengar. Senyap. Juga hanya tangis tertahan yang terdengar di sini. Kereta ekspress Eurostar melesat membelah perbatasan Swiss-Perancis. Kecepatan super tinggi. Maximum speed. Masinisnya berusaha membayar dua jam waktu yang terbuang di pegunungan Alpen. Setelah untuk ketiga kalinya tebing itu longsor lagi saat dibersihkan, beberapa insinyur dari dewan terdekat akhirnya tiba di lokasi dengan helikopter, mereka memberikan saran konstruksi darurat untuk menahan laju longsoran berikutnya. Satu jam berlalu, sejak dinding seadanya dipasang, kereta ekspress itu bisa kembali melesat menuju Paris. Menjejak batangan baja relnya. Hujan sejak lima belas menit lalu juga sudah berhenti. Jalan kereta yang meliuk melangkahi pegunungan sudah lama digantikan oleh hamparan tanah luas. Perkebunan anggur. Hamparan padang rumput. Pohon cemara tinggi-tinggi sudah tertinggal di belakang, Sepuluh menit lagi Eurostar akan tiba di perbatasan tanah bekas kekuasaan Kaisar Louis, Perancis. Wibisana memutuskan tidur. Lelah. Membiarkan Ikanuri yang sejak kereta berjalan lagi tadi tetap terjaga. Pukul 03.30 dini hari di sini. Di luar terlihat gelap. Hanya sesekali cahaya lampu yang berasal dari rumah pedesaan kecil pedalaman Swiss terlihat. Seperti kerlip kunang-kunang dari kejauhan. Indah. Mengembalikan semua kenangan. Wibisana menggeliat, merubah posisi tidurnya. Kabin itu luas. Lazimnya diisi berempat, karena mereka hanya berdua, jadi nyaman tidur di kursi panjang berhadapannya. Tapi Ikanuri tidak tidur, ia tidak bisa tidur sejak kereta jalan lagi, ia justru sedang sibuk menyeka ujungujung matanya. Ikanuri terisak pelan. Tertahan. Menatap kosong keluar melewati jendela kereta. Kunang-kunang— Ya Allah, dia jahat sekali. Jahat! Dua puluh lima tahun silam. Seperempat abad lalu. Kejadian itu tidak akan pernah terlupakan. Tidak akan. Wajah Kak Laisa yang menangis saat itu. Wajah Kak Laisa yang seperti tak percaya mendengar dia mengatakan kalimat-kalimat menusuk itu. Ikanuri tersedan. Lihatlah, wajah Kak Laisa sekarang seperti mengukir sempurna di bayangan jendela kereta. Wajahnya yang tersenyum, wajahnya yang selalu melindungi mereka, adik-adiknya yang bebal. Semua pengorbanan itu. Semua.... Ikanuri tersungkur. Tergugu. Dia benar-benar tidak tahan lagi Menangis terisak. Ya Allah, jika ada yang bertanya siapa yang paling penting dalam hidupnya.... Jika ada yang bertanya: Siapa? Maka itu sungguh adalah Kak Laisa. 14 PENGUASA GUNUNG KENDENG CELAKA. Benar-benar celaka. Kesibukan penduduk Lembah Lahambay hari itu ternyata tidak berhenti saat senja tiba. Tapi benar-benar hingga malam hari, 24 jam. Menjelang maghrib setelah dipotong istirahat shalat ashar, lima kincir air itu sudah berderet rapi di dinding cadas sungai. Lubang-lubang pondasi sudah dituangi cor semen. Belum terpasang. Meski pondasinya sudah siap, lima kincir itu baru akan dipasang minggu depan, jadwal gotong-royong berikutnya. Pondasinya dibiarkan dulu kering. Wak Burhan, para orang tua, pemuda dewasa, menyeringai lega melihat pekerjaan mereka. Lembah mulai remang, Wak Burhan menghentikan gotong-royong. Cukup untuk ahad ini. Kesibukan di pinggir sungai itu memang berhenti ketika mereka beramai-ramai beranjak pulang. Mandi. Berganti pakaian. Siap menjemput malam, beristirahat. Tetapi kesibukan lainnya mendadak menyusul. Lebih ramai dari sebelum-sebelumnya. Laisa setelah hampir setengah jam menangis di bawah pohon mangga beranjak kembali ke pinggir sungai. Menyeka luruh sisa-sisa tangis. Berusaha senormal mungkin saat bilang ke Mamak kalau Ikanuri dan Wibisana tidak mau nurut. Mereka bermain-main di ladang, dan justru lari menghindar saat disuruh pulang. Mamak mengomel, berjanji dalam hati akan menghukum dua sigung itu nanti malam. Meneruskan pekerjaan memberesi peralatan masak. Senja mulai turun, jingga membungkus lembah. Sementara Yashinta sejak tadi hanya dudukduduk saja di pinggir sungai selepas asyik mengejar capung air bersama teman-temannya. Tetapi keliru. Laisa yang berpikir Ikanuri dan Wibisana setelah pergi meninggalkan dirinya akan kembali ke rumah itu keliru. Juga Mamak yang sudah berencana membuat aturan main baru di rumah saat mengomel nanti malam. Keliru, Ikanuri dan Wibisana ternyata tidak pulang-pulang. Juga saat mereka sudah bersiap-siap shalat berjamaah. Dua sigung itu tetap tidak kelihatan batang hidungnya. Lepas maghrib, saat orang-orang pulang dari surau, denting kecemasan itu mulai tumbuh. Mamak Lainuri menatap cemas dari bingkai jendela depan yang masih terbuka. Kemana pula dua anak nakalnya pergi? Adzan isya. Lepas shalat isya. Lembah sempurna gelap. Dan sedikit pun tidak kelihatan tanda-tanda batang hidung Ikanuri dan Wibisana. Mamak semakin cemas. Menatap siluet hutan rimba dengan nafas bergetar. Pukul 19.30. Tegang sekali. Pukul 20.00, Mamak Lainuri akhirnya menyererah. Sejengkel apapun ia dengan Ikanuri dan Wibisana, dawai kecemasannya sudah berdenting terlalu tinggi. Ia menyambar obor di depan pintu. Melangkah cepat ke rumah Wak Burhan. Kak Laisa, yang meski hatinya masih bagai buah tersayat-sayat sejak kejadian tadi sore ikut ke rumah Wak Burhan. Mamak hendak melapor. Dua anaknya belum pulang. Belum pulang bagaimana, Lainuri? Belum pulang, Bang! Ikanuri dan Wibisana belum pulang ke rumah! Mamak mengusap wajahnya, tegang, cemas. Sejak kapan? Wak Burhan menyemburkan sirihnya. Sejak tadi siang— Ada yang tahu tadi siang anak itu kemana? Wak Burhan menyambar obor di depan pintunya, memotong kalimat Mamak. Ee, tadi siang, tadi siang mereka bermain-main di ladang— Laisa menjawab patah-patah. Serba salah. Ia tidak ingin menceritakan pertengkaran itu. Tidak ingin orang tahu kalau Ikanuri mengatakan kalimat kasar itu. Dan belum pulang? Wak Burhan memotong lagi. Cemas. Belum, Wak— Sekarang sudah hampir setengah sembilan, Wak Burhan menyimak gerakan bulan malam ketiga belas di atas sana, Ya Allah, Lainuri. Ini benar-benar mencemaskan. Mamak menelan ludah, wajahnya mengeras, amat tegang. Apa yang harus kulakukan, Bang? Wak Burhan bergumam. Seperti membaca mantra sajalah. Berhitung dengan cepat. Lantas berseru cepat. LAIS, BUNYIKAN BEDUK DI SURAU! Panggil seluruh pemuda kampung, suruh kumpul di balai, SEKARANG! Wak Burhan menyemburkan ludah sirinya. Dan kau Lainuri, ikut denganku ke balai pertemuan! Ini serius. Serius sekali. Semua orang juga tahu, kampung mereka berada di dekat hutan rimba. Di seberang cadas sungai, di hutan rimba sana, malam-malam begini ada sejuta mara bahaya mengintai. Pemuda dewasa saja berpikir dua kali kalau harus mencari kumbang masuk jauh-jauh ke dalam sana. Mereka biasanya hanya merambah dekat-dekat dengan cadas sungai. Itupun harus berombongan. Dua anak kecil? Laisa tidak perlu diteriaki dua kali. Dengan tangan gemetar, ikut merasakan ketegangan yang segera meninggi, langsung berlari menuruni anak tangga. Semoga adik-adiknya tidak kenapa-napa. Semoga mereka hanya bermain di desa atas, memutuskan untuk tidak mau pulang. Atau entah pergi ke manalah. Semoga mereka... Ya Allah, kenangan masa lalu itu serentak menyergapnya. Ya Allah! Wajah robek tak berbentuk. Tubuh tercabik-cabik bersimbah darah. Laisa menggigil. Ketakutan. Kakinya yang berlari terasa berat sekali. Bangkai korban sang siluman memenuhi pelupuk matanya. Hanya dalam waktu lima belas detik. Beduk masjid melenguh kencang. Kentongan bambu telah di pukul ramai-ramai. Sahut-menyahut. Bertalu-talu. Semua penduduk kampung keluar. Hilang sudah lelah tadi siang. Disingkirkan jauh-jauh. Benar-benar rusuh. Mereka mengenali ramai bunyi kentongan itu. Terakhir terdengar dipukul delapan tahun silam. Mereka berkumpul di balai kampung. Membawa obor. Membawa golok. Membawa tombak. Apa saja senjata yang bisa dibawa. Wajah-wajah cemas. Tegang. Balai kampung ramai kembali. Wak Burhan berdiri di tengah-tengah balai kampung, Kerlip cahaya obor membasuh wajah tuanya. Umur Wak Burhan sudah berbilang tujuh puluh, tapi dia masih gagah. Masih tegap sekali. Dalam situasi serius seperti ini, kedut wajahnya terlihat amat mengesankan. Kumis melintang. Rahang kokoh. Mata yang tajam. Makanya penduduk kampung amat segan padanya. Dua orang mencari ke desa atas. Dua orang mencari ke desa seberang. Kau dan temantemanmu ke Curug Cuak.... yang lain ikut aku.... Wak Burhan membagi kelompok-kelompok dengan cepat. Satu jam dari sekarang, saat bulan berada persis di atas gunung Kendeng, semua kembali ke sini... Jika Ikanuri dan Wibisana tidak ditemukan juga, seluruh rombongan akan dipecah dua, kita harus menyusuri hutan rimba. Kita harus melakukannya— Kepala-kepala mengangguk. Seruan-seruan kecil setuju. Sekejap. Pencarian itu dimulai. Mamak Lainuri sudah sejak tadi hanya terduduk di kursi bambu. Dipegangi oleh ibu-ibu lainnya. Mamak semaput. Wajahnya pucat oleh perasaan gentar. Ya Allah, ia seperti bisa melihat kejadian delapan tahun silam. Seperti tergambar jelas di depannya. Wak Burhan yang waktu itu lebih muda, juga dengan cepat memberikan perintah. Orang-orang yang membawa obor. Tombak. Golok. Pencarian hingga dinihari. Dan hasilnya? Mamak Lainuri jatuh pingsan lagi. Laisa berusaha menyeka keringat di wajah Mamak. Dalimunte yang terlalu kecil untuk ikut rombongan pencari duduk tertunduk di dekatnya, gentar. Yashinta memeluk lutut. Bahkan ia masih terlalu kecil untuk ingat banyak kejadian. Masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang sedang terjadi. Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja? Laisa mengangguk pelan ke arah Dalimunte. Cahaya obor rombongan pencari yang bergerak terlihat mulai menjauh. Ada yang menaiki lembah, ke desa atas. Menyeberangi ladang-ladang. Ke kiri. Ke kanan. Kerlapkerlip. Meski nyaris separuh penduduk kampung mencari Ikanuri dan Wibisana, balai kampung tetap ramai. Seluruh penduduk membawa anggota keluarganya ke sini. Tidak ada yang ingin meninggalkan anak-anaknya di rumah setelah mengerti maksud bunyi kentongan tadi. Mereka bermalam di balai kampung bersama-sama. Di atas kursi-kursi bambu Saling bersitatap ketakutan. Laisa menggigit bibir. Mengusap wajahnya berkali-kali. Gelisah melihat sekitar. Ia sungguh cemas. Ini pasti gara-gara ia tadi siang mengancam adik-adiknya. Ya Allah… Ini semua salahnya. Mereka pasti enggan pulang gara-gara dibilang akan dihukum tidak boleh masuk rumah, harus tidur di bale bambu, bawah rumah. Apakah ia harus menceritakan pertengkarannya ke Mamak? Tidak. Itu tidak perlu, dan jelas tidak bisa dilakukannya. Tapi kalau terjadi kenapa-napa dengan Ikanuri dan Wibisana? Ya Allah, semoga tidak. Semoga mereka hanya bermalam di desa atas. Gemerlap bintang di atas entah kenapa pelan mulai diselimuti gumpalan awan hitam. Seperti menambah tinggi tingkat kecemasan. Hening. Mencekam. Sudah pukul 22.00. Lembah itu mulai hening. Suara jangkrik berderik pelan mereda. Uhu burung hantu. melemah. Suara uwa menghilang. Malam beranjak matang. Satu jam berlalu. Rombongan pencari satu per satu kembali. Melapor. Hasilnya kosong— Maka benar-benar tegang sudah balai kampung itu. Hati-hati... Tetap dalam rombongan, jangan ada satupun yang terpisah— Wak Burhan berkata dengan intonasi suara tegas tanpa kompromi. Kelompak lelaki dewasa yang sudah terbagi menjadi dua rombongan tersebut, mengangguk Saat pijar matahari pagi terlihat di kejauhan, saat merah terlihat menyemburat membungkus lembah, kita berkumpul lagi di sini.... Sebelum itu, cari sampai dapat. Periksa seluruh semak belukar, jangan sampai ada yang tertinggal. Pastikan kalian mengenali bercak darah.... Mamak Lainuri yang sudah siuman mengeluh tertahan. Kalimat Wak Burhan, kalimat terakhir Wak Burhan bukan lagi perintah mencari orang yang masih hidup. Bercak darah…. Hati-hati, jangan sampai ada yang terpisah dari rombongan. Sang siluman mungkin masih mencari korban berikutnya.... Balai kampung itu terdiam. Seruan-seruan terhenti. Menelan ludah. Nama itu akhirnya tersebutkan sudah. Sang Siluman. Laisa sudah menggigil ketakutan. Wak Burhan memberikan instruksi dua-tiga kalimat lagi. Lantas dua rombongan bergerak meninggalkan bangunan. Rombongan membawa obor itu menghilang di tengah gelapnya hutan rimba seberang cadas lima belas menit kemudian. Menyisakan ketegangan yang meninggi. Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja? Dalimunte bertanya mencicit. Cemas. Dari tadi ia tidak bisa memejamkan mata. Tegang. Sementara Yashinta di sebelahnya sudah jatuh tertidur. Meringkuk di atas kursi bambu balai kampung. Kali ini Laisa hanya diam membeku. Tak kuasa mengangguk. Delapan tahun... delapan tahun silam. Ia menyaksikan sendiri dengan mata-kepalanya. Babak mereka dibawa pulang dari hutan persis saat semburat jingga pagi tiba. Setelah pencarian enam jam tanpa henti. Setelah hutan rimba. Muka yang robek tak berbentuk. Tubuh yang tercabik-cabik itu dibawa pulang. Sudah tak bernafas. Babak diterkam penguasa rimba, sang siluman, itulah nama seram menakutkan harimau Gunung Kendeng. Waktu itu umurnya baru delapan, Dalimunte empat, Ikanuri dan Wibisana dua tahun. Yashinta masih di kandungan. Hari itu, babak mereka pergi — Malam itu yang mereka tahu Babak hanya bilang hendak mencari kumbang bersama dua temannya ke hutan rimba seberang cadas, tidak jauh. Tapi entah apa pasalnya, rombongan mereka terpisah. Dua temannya panik. Pulang, segera melapor. Tidak ada yang mengerti, bagaimana mungkin mayat Babak justru ditemukan jauh sekali dari cadas sungai. Masuk ke dalam hutan rimba. Bukankah Babak seperti penduduk lainnya amat hafal dengan hutan itu? Bagaimana mungkin babak malah tersasar jauh ke sana? Seruan-seruan ganjil terdengar, Semua orang tahu tentang pemikat sang siluman, penguasa Gunung Kendeng. Membuat siapa saja yang berani merambah wilayahnya di malam hari akan tersesat di dalam hutan. Hanya berputar-putar saja di satu titik, lantas tanpa disadarinya sudah masuk ke dalam perangkap sang siluman. Sudah delapan tahun berlalu kejadian mengenaskan itu tidak terjadi lagi di lembah mereka. Dulu, waktu Laisa masih kecil, ia dua kali melihat kejadian serupa. Salah satu penduduk kampung yang tidak pulang-pulang hingga malam hari, besoknya ditemukan sudah dengan tubuh tercabik-cabik. Orang dewasa di kampung itu mengerti benar, kalau Ikamuri dan Wibisana sampai berani masuk ke dalam hutan rimba, pencarian mereka malam ini akan berakhir sama— Juga Wak Burhan. Siapa yang akan lupa lima belas tahun silam saat anak tunggal Wak Burhan yang berumur dua puluh empat tahun ditemukan keesokan paginya, hanyut di sungai deras dengan wajah berbilur cakaran. Yang membuat Wak Burhan tinggal sendirian hingga hari ini, karena istrinya sudah kapan tahun meninggal. Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja— Dalimunte pelan menyentuh lengan Laisa, bertanya cemas ke sekian kalinya. Laisa menoleh. Menggigit bibir. Entah menjawab apa. Ia sama sekali tidak mendengarkan pertanyaan Dalimunte. Kenangan buruk itu membungkus kepalanya. Kemana adik-.adiknya malam ini? Kemana Ikanuri dan Wibisana? Kemana, ya Allah.... Dan entah mengapa akhirnya kesadaran itu ditanamkan di kepalanya. Laisa mendadak ingat sesuatu. Ia ingat pernah mendengar pembicaraan Ikanuri dan Wibisana beberapa hari lalu setelah kejadian starwagoon tua itu. Ia tahu. Laisa tahu di mana harus mencari adiknya. Mukanya menyeringai oleh buncah cemas tak tertahankan. Berdiri. Bergegas. Kak Lais, hendak kemana? Dalimunte memotong. Tercekat. Hendak kemana? Pertanyaan Dalimunte barusan menyadarkan Laisa tujuan sebenarnya Ikanuri dan Wibisana. Ya Allah, Laisa gemetar seketika saat benar-benar baru menyadari adiknya dulu. Jalan pintas terdekat menuju kota kecamatan sebenarnya melalui Gunung Kaideng. Hanya delapan kilo jika melewati gunung itu.... Ikanuri dan Wibisana langsung menuju ke jantung sarang Siluman, entah apakah dua sigung nakal itu menyadarinya atau tidak. Aku ikut— TIDAK!! Kau tetap di sini, menjaga Mamak dan Yashinta— Aku ikut!
Posted on: Sun, 24 Nov 2013 02:07:03 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015