Kisah Sepasang Rajawali Bab 37 "Sudahlah, Ceng Ceng, sudahlah. - TopicsExpress



          

Kisah Sepasang Rajawali Bab 37 "Sudahlah, Ceng Ceng, sudahlah. Tuhan menghendaki demikian dan memang sebaiknya begini daripada menghadapi kenyataan bahwa cintaku hanya sepihak. Bagiku sama saja, Ceng Ceng, engkau tetap seorang keluarga dekat dan aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mengusahakan pengobatan bagimu. Engkau masih dalam cengkeraman bahaya maut...." Tiba-tiba Kian Lee berhenti dan kaget karena tanpa disengaja dia telah membuka rahasia itu. "Jangan ragu-ragu, Siok-siok (Paman). Dalam keadaan setengah sadar aku pun samar-samar mendengar dari kakek tukang obat ini bahwa aku hanya dapat bertahan hidup sampai sebulan saja, bukan?" Kian Lee mengangguk. "Akan tetapi, dia sedang berusaha untuk mencarikan obat bagimu, Ceng Ceng. Dan aku akan pergi mencari Ayah, karena menurut Yok-kwi, yang dapat mengobatimu hanyalah Ayah, atau Ban-tok Mo-li...." "Ban-tok Mo-li sudah mati." "Bagaimana engkau bisa tahu?" "Karena aku muridnya." "Ahhh!" Kian Lee terkejut dan sekarang mengertilah dia mengapa gadis ini berubah menjadi dingin dan aneh. Kiranya telah menjadi murid nenek iblis itu. "Kata Yok-kwi, tubuhmu mengandung racun sehingga dia tidak mampu menyembuhkanmu. Kalau engkau murid Ban-tok Mo-li, tentu kau dapat mengobati sendiri." "Tidak bisa, Siok-siok. Ilmuku belum sedemikian tingginya dan pukulan Hek-tiauw Lo-mo amat hebat. Akan tetapi, biarlah.... aku tidak takut menghadapi kematian.... dan pula, hidup lebih lama lagi untuk apakah?" "Ceng Ceng....!" "Benar, Paman. Hidupku penuh dengan kesengsaraan dan mahapetaka selalu datang menimpa diriku...." "Ceng Ceng, jangan putus harapan," Kian Lee berkata, hatinya sendiri seperti ditusuk pisau dan dia maklum bahwa tidak akan mudah baginya untuk menyembuhkan "lukanya" sendiri ini. Tiba-tiba seorang perajurit penjaga muncul dan berkata bahwa di luar ada seorang tamu yang mengaku bernama Topeng Setan dan hendak bertemu dengan Nona Lu Ceng. "Topeng Setan?" Kian Lee berseru kaget. Akan tetapi Ceng Ceng tersenyum. "Dia pembantuku, Paman." Dari luar terdengar suaira memanggil, "Lu-bengcu....!" "Eh, siapakah yang berteriak itu?" "Itulah Topeng Setan, pembantuku. Siok-siok, ketahuilah bahwa keponakanmu yang sesat ini telah menjadi seorang beng-cu kaum sesat di dekat kota raja dan Topeng Setan adalah pembantuku." Ceng Ceng lalu keluar dari kamar itu diikuti oleh Kian Lee yang masih bengong saking herannya. Bun Beng juga keluar dari kamarnya dan mereka bertiga lalu keluar dari gedung itu. Topeng Setan telah berdiri di depan gedung, dan dia menjura ketika melihat Ceng Ceng. "Harap Beng-cu maafkan saya yang terlambat menghadap karena saya tidak tahu bahwa Beng-cu berada di sini." "Tidak apa. Aku telah bertemu dengan musuh-musuh berat, terkena pukulan-pukulan dari Tambolon dan kemudian terpukul oleh Hek-tiauw Lo-mo sehingga keracunan hebat. Topeng Setan, aku telah ditolong oleh mereka ini. Kau harus memberi hormat, pemuda ini adalah siok-hu Suma Kian Lee dan ini adalah...." Dia meragu ketika memandang kepada Gak Bun Beng karena tidak tahu harus menyebut apa kepada orang yang tadinya dianggap sebagai ayahnya itu. "Menurut hubungan keluarga, sebut saja aku supek-hu (uwak seperguruan)." Bun Beng membantunya sambil tersenyum. "Dia ini supek-hu Gak Bun Beng," Ceng Ceng melanjutkan. Topeng Setan menjura kepada Kian Lee dan Bun Beng. "Terima kasih kepada Ji-wi Taihiap (Dua Pendekar Besar) yang telah menyelamatkan Beng-cu kami." Kemudian Topeng Setan berkata lagi kepada Ceng Ceng, "Karena Beng-cu menderita luka parah, marilah kita pergi mencari obatnya." Ceng Ceng mengangguk. "Supek, dan Siok-hu, aku akan pergi bersama Topeng Setan...." "Eh, Ceng Ceng, engkau masih sakit. Kita sedang menanti kembalinya Yok-kwi yang mencarikan obat untukmu," Gak Bun Beng berkata. "Ceng Ceng, kau harap menanti di sini. Aku akan mengusahakan sekuat tenagaku untuk mencarikan obat bagimu. Aku akan ke Pulau Es...." kata Kian Lee. "Tidak perlu, Supek dan Siok-siok, terima kasih atas kebaikan kalian. Akan tetapi, kurasa lebih baik kalau aku pergi saja dan tidak merepotkan kalian lagi.... aku.... aku.... ah, aku lebih senang merantau....!" Ceng Ceng mengangguk kemudian pergi dari situ tanpa menoleh lagi. Topeng Setan menjura dengan hormat kepada Bun Beng dan Kian Lee. "Harap Ji-wi tidak khawatir, saya akan mengusahakan sampai Beng-cu kami sembuh kembali," katanya perlahan, kemudian dia pergi menyusul Ceng Ceng. Kian Lee hendak mencegah, akan tetapi Bun Beng memegang tangannya. "Sebaiknya begitu, Sute. Dan kulihat Topeng Setan itu bukan orang sembarangan. Mungkin saja dia dapat mengusahakan kesembuhannya." Mereka berpandangan dan Kian Lee menunduk, tidak menjawab, hanya mengangguk. Hatinya terasa kosong, seolah-olah semangatnya ikut pergi terbawa oleh Ceng Ceng, gadis yang menjadi cinta pertamanya akan tetapi yang ternyata adalah keponakannya sendiri itu. "Kita harus menyusul ke Teng-bun, melihat keadaan di sana dan menemui Syanti Dewi dan Kian Bu sute. Kabarnya Syanti Dewi telah diselamatkan di sana." Bun Beng berkata lagi dan Kian Lee hanya mengangguk sunyi. *** "Gak-taihiap, apakah engkau tidak bertemu dengan puteraku?" tanya Jenderal Kao Liang kepada Gak Bun Beng ketika Bun Beng dan Kian Lee tiba di Teng-bun disambut oleh jenderal itu sendiri. "Puteramu, Goanswe?" Bun Beng bertanya heran karena baru sekali dia melihat putera jenderal itu, dan yang terjadi di dalam medan pertempuran maka dia lupa lagi. "Saudara Kok Cu telah berhasil dengan pasukannya menyerbu Koan-bun dan membasmi pemberontak, Kao-goanswe. Akan tetapi dia bertemu dengan Hek-tiauw Lo-mo dan mengejar Ketua Pulau Neraka itu." Kian Lee menjelaskan karena dia sudah mendengar dari Bun Beng tentang putera jenderal Itu yang mengejar Hek-tiauw Lo-mo. "Ah, anak itu terlalu berbakti kepada suhunya, melaksanakan perintah suhunya sampai lupa kepada orang tua dan belum juga dapat berkumpul dengan kami." Jenderal itu menghela napas. "Dan.... apakah Ji-wi bertemu dengan Nona Lu Ceng?" Kian Lee merasa jantungnya tertusuk, dia menunduk dan tidak berkata apa-apa. Bun Beng yang kini menjawab, "Nona itu hebat sekali, Kao-goanswe! Akan tetapi dia telah pergi bersama Topeng Setan, pembantunya, padahal dia menderita luka hebat." Jenderal yang hatinya penuh kegembiraan karena pemberontakan telah terbasmi dan yang selalu bersikap polos dan terbuka itu menghela napas dan berkata kepada Gak Bun Beng, "Gak-taihiap, lihat betapa seorang tua seperti aku selalu menjadi kecewa karena ulah orang-orang muda! Ataukah kekecewaanku ini terjadi karena keinginanku sendiri yang bukan-bukan sehingga tidak tercapai? Aihhh, sampai bermimpi-mimpi olehku betapa akan bahagianya kalau benar Nona Lu Ceng masih hidup dan kelak menjadi mantuku, menjadi jodoh Kok Cu....!" Mendengar pernyataan yang terang-terangan ini, Bun Beng dan Kian Lee saling pandang. Akan tetapi karena Kian Lee melihat bahwa suhengnya tidak berkata apa-apa mengenai hubungan keluarga antara dia dan Ceng Ceng, dia pun tidak mau mengatakannya, pula karena ada rahasia yang kurang baik tentang ayah kandung gadis itu. Betapapun juga dia tidak dapat berdiam diri saja ketika teringat akan peristiwa aneh di Koan-bun antara Ceng Ceng dan Kok Cu, maka dia berkata, "Kao-goanswe, ketika puteramu datang memimpin pasukan menyerbu Koan-bun, dia telah bertemu pula dengan nona itu, akan tetapi, entah mengapa.... Nona Lu Ceng telah menjadi marah-marah dan memukul Saudara Kok Cu sampai dua kali." "Eihhh....?" Kenapa?" Jenderal itu berseru kaget sekali. "Entahlah, kami juga tidak tahu mengapa. Mungkin saja di dalam perantauan mereka sudah pernah saling bertemu," kata Kian Lee. "Pada saat itu Nona Lu Ceng baru saja mengalami pukulan tangan beracun yang hebat. Bisa saja terjadi bahwa dia kurang sadar lalu menganggap puteramu musuh dan memukulnya, Kao-goanswe." Bun Beng cepat berkata dan jenderal itu mengangguk-angguk. Hanya Kian Lee yang tahu bahwa suhengnya itu sebetulnya juga merasa heran, dan ucapannya itu hanya untuk menghibur belaka karena mereka berdua mendengar betapa Ceng Ceng memaki dan menyebut nama Kok Cu sebelum memukul, yang hanya berarti bahwa Ceng Ceng memukul dalam keadaan sadar dan telah mengenal pemuda putera jenderal yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi itu. "Kao-goanswe, di mana adanya Enci Milana, kakakku? Dan di mana pula adikku Kian Bu dan Puteri Syanti Dewi? Kami mendengar bahwa mereka berada di sini." Kini Kian Lee bertanya, merasa heran mengapa hanya jenderal itu seorang yang menyambut dia dan suhengnya. Bun Beng juga memandang kepada Jenderal itu dengan pandang mata penuh pertanyaan, karena sesungguhnya sejak tadi dia pun ingin sekali tahu di mana adanya Puteri Syanti Dewi dan Puteri Milana, dua orang yang selalu berada dekat sekali di lubuk hatinya. "Mereka telah berangkat ke kota raja. Puteri Milana khawatir kalau terjadi sesuatu dengan keluarga Kaisar di istana karena perbuatan Pangeran Liong Bin Ong, dan beliau ingin cepat-cepat melaporkan kepada Kaisar tentang tertumpasnya pemberontakan dan juga agar cepat dapat menangkap Pangeran Liong Bin Ong yang sebetulnya merupakan tokoh pertama dalam pemberontakan itu. Maka beliau segera berangkat ke kota raja, sekalian mengajak Puteri Syanti Dewi menghadap Kaisar, diikuti oleh Suma Kian Bu taihiap. Selain itu, beliau juga membawa seorang tawanan yang amat penting, yaitu Ang Tek Hoat bekas tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong." "Ahhh, pemberontak lihai itu!" Kian Lee berseru. Gak Bun Beng juga teringat akan tokoh muda pemberontak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan yang memiliki tenaga sin-kang seperti tenaga Inti Bumi sehingga pernah mengejutkan hatinya. "Benar," kata Jenderal Kao Liang. "Dan dia pulalah yang berjuluk Si Jari Maut, yang telah banyak melakukan kejahatan dengan menggunakan namamu, Gak-taihiap." "Ahhh....!" Gak Bun Beng berseru heran. "Heran sekali, mengapa orang sejahat itu tidak dibunuh saja dan malah dibawa ke kota raja oleh Enci Milana?" Kian Lee bertanya. Jenderal Kao Liang menghela napas. "Kalau aku tidak salah menduga, hal itu adalah karena cinta! Cinta memang amat kuasa menimbulkan segala macam peristiwa hebat-hebat dan aneh-aneh di dalam dunia ini di antara manusia." "Heemmm, apa maksud kata-katamu itu, Goanswe?" Bun Beng bertanya. "Puteri Milana, aku sendiri, dan Suma-taihiap tadinya juga berpendapat demikian dan akan membunuh saja Ang Tek Hoat itu. Akan tetapi anak angkatku itu, Puteri Syanti Dewi, adalah seorang wanita yang halus budi dan mulia. Dialah yang melarang kami membunuh Tek Hoat." "Ahhh....!" Gak Bun Beng terkejut dan alisnya berkerut, "Mengapa?" "Kiranya Tek Hoat yang terluka berat dan parah itu telah menyelamatkan Syanti Dewi dari bahaya maut dan pemuda yang sesungguhnya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi itu ternyata telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong, sepasang kakek kembar Siang Lo-mo, dan Hek-wan Kui-bo yang lihai dalam perlawanannya membela Syanti Dewi. Mengingat akan jasa-jasanya semua itu, bukan hanya menyelamatkan nyawa Syanti Dewi akan tetapi juga membunuh pentolan-pentolan pemberontak itu, maka Puteri Milana lalu memutuskan untuk menawan pemuda itu dan membawanya ke kota raja sebagai tawanan dalam keadaan masih terluka hebat karena pukulan-pukulan maut dari Siang Lo-mo. Apalagi menurut Puteri Milana, beliau merasa terheran-heran melihat betapa pemuda itu pandai mainkan ilmu silat rahasia dan simpanan dari Puteri Nirahai sehingga menduga bahwa tentu ada hubungan sesuatu antara pemuda itu dengan Thian-liong-pang, bekas perkumpulan yang dipimpin Puteri Nirahai." Gak Bun Beng mengangguk-angguk. Kini dia dapat mengerti mengapa Milana menawan pemuda itu dan dia dapat menduga pula bahwa yang dimaksudkan oleh jenderal itu tentang cinta tadi adalah perubahan yang terjadi pada diri pemuda pemberontak itu yang karena cinta sampai membalik dan melawan, bahkan membunuh Pangeran Liong Khi Ong sendiri bersama tiga orang pengawalnya yang lihai-lihai itu. Dan tidak anehlah baginya kalau Syanti Dewi mencegah pemuda itu dibunuh. Dia sudah cukup mengenal kepribadian Syanti Dewi yang penuh dengan kelembutan dan belas kasihan, juga penuh dengan perasaan ingat budi. "Kalau begitu, aku akan segera menyusul ke kota raja, Suheng!" Kian Lee berkata. "Harap Gak-suheng suka menemani aku ke sana." "Hemm.... aku tidak mempunyai kepentingan di kota raja, Sute." Bun Beng menjawab karena di dalam hatinya, dia sungkan, bahkan takut untuk bertemu dengan Milana dan Syanti Dewi, maklum akan kelemahan hati sendiri. Jenderal Kao Liang memandang tajam dan berkata, suaranya biasa saja akan tetapi pandang matanya bicara banyak. "Gak-taihiap, sebelum berangkat Puteri Milana meninggalkan pesan kepada saya untuk menyampaikan kepada Taihiap bahwa beliau ingin membicarakan suatu hal penting dengan Taihiap setelah urusan negara selesai. Hanya itulah pesan beliau." "Kalau begitu, sebaiknya kita berangkat berdua, Suheng. Apakah Suheng tidak ingin bertanya kepada Ang Tek Hoat yang ditawan itu mengapa dia menggunakan nama Suheng untuk melakukan kejahatan? Pula, apakah Suheng tidak ingin mengurus tentang Adik Syanti Dewi?" Bun Beng tidak dapat mengelak lagi. Terpaksa dia memenuhi permintaan Kian Lee dan setelah bermalam di Teng-bun pada keesokan harinya mereka berangkat meninggalkan Teng-bun, naik kuda pilihan yang disediakan oleh Jenderal Kao Liang untuk mereka. *** Ang Tek Hoat rebah terlentang di atas pembaringan, mukanya pucat sekali dan napasnya empas-empis. Semenjak dia dibawa dari Teng-bun sampai ke kota raja, dia terus pingsan, tak sadarkan diri dan keadaannya makin memburuk. Ramuan obat yang diminumkan kepadanya oleh tabib-tabib tentara tidak menolong sama sekali. Akhirnya Puteri Milana yang mendengar akan keadaan tawanan ini, menyuruh pengawal membawa pemuda yang menderita luka-luka pukulan beracun itu ke istananya. Puteri Milana bersama suaminya, Han Wi Kong, yang ketika bala tentara menyerbu ke utara juga ikut memimpin pasukan penyerbu ke Teng-bun, diikuti pula oleh Suma Kian Bu dan Puteri Syanti Dewi telah menghadap Kaisar. Kaisar menerima mereka dengan girang sekali, terutamaa mendengar laporan bahwa pemberontak di utara telah dibasmi dan bahwa dara jelita itu adalah Puteri Syanti Dewi dari Bhutan yang dapat diselamatkan. Ketika mendengar laporan Puteri Milana tentang Pangeran Liong Khi Ong yang tewas sebagai pimpinan pemberontak, Kaisar hanya menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Akan tetapi ketika Puteri Milana melapor bahwa Pangeran Liong Bin Ong berada di balik pemberontakan itu, Kaisar mengerutkan keningnya dan berkata, "Liong Bin Ong tidak pernah meninggalkan Istananya di kota raja. Untuk menentukan salah tidaknya, harus dilakukan pemeriksaan dan penelitian lebih dulu, jangan sampai aib menimpa kerajaan." Kemudian Kaisar menahan Syanti Dewi sebagai tamu Istana untuk menghormat Raja Bhutan dan untuk memperlihatkan iktikad baik kerajaan terhadap Kerajaan Bhutan, dan minta kepada Puteri Milana untuk menanti keputusannya tentang Pangeran Liong Bin Ong, dan juga tentang diri Puteri Syanti Dewi yang kini gagal menjadi mantu Kaisar karena matinya Liong Khi Ong itu. Berat hati Milana terutama hati Kian Bu, meninggalkan Syanti Dewi di Istana Kaisar. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani membantah, apalagi karena Puteri Bhutan itu diberi kebebasan untuk saling berkunjung dengan Puteri Milana setiap saat pun. Demikianlah, ketika Ang Tek Hoat sudahdiangkut k e istana Puteri Milana, puteri ini dan Kian Bu memeriksa keadaannya. "Enci, kiranya hanya ada satu jalan untuk mencoba menolongnya. Dia terpukul oleh pukulan beracun yang hebat. Bagaimana kalau kita berdua membantunya?" Milana mengangguk. "Memang itulah yang ingin kulakukan. Dia telah berjasa besar dan untuk jasanya itu sudah cukup menjadi alasan bagi kita untuk menolongnya." Han Wi Kong yang juga berada di situ berkata, "Memang tepat sekali pendapat itu. Belum tentu orang yang sekali berbuat dosa, lalu selama hidupnya menjadi orang berdosa. Apalagi dia masih amat muda." Bekas panglima yang gagah ini selalu bermuram durja semenjak dia kembali dari penyerbuan di utara. Biarpun dia tidak menyaksikan serdiri, namun dia mendengar akan pertemuan antara isterinya, Puteri Milana dengan Gak Bun Beng, dan dia merasa berduka sekali karena dia merasa bahwa dialah yang menjadi penghalang bagi kebahagiaan isterinya. Memang cinta kasih mengambil jalan yang aneh-aneh. Han Wi Kong dahulu adalah seorang panglima muda yang gagah perkasa, yang terpaksa dipilih oleh Puteri Milana karena desakan Kaisar agar cucu ini menikah. Han Wi Kong dipilih di antara banyak calon karena selain gagah perkasa, juga sifat lemah-lembut dan penuh pengertian dari panglima ini menimbulkan kepercayaan di dalam hati Milana. Memang tadinya Han Wi Kong pun hanya tertarik sekali dan laki-laki manakah yang tidak akan tergila-gila kepada seorang puteri seperti Milana? Akan tetapi, setelah menikah Han Wi Kong betul-betul jatuh cinta kepada isterinya, cinta yang murni dan hanya satu keinginan di hatinya, yaitu melihat Milana hidup bahagia. Oleh karena itu, dia mau menerima kenyataan bahwa Milana tidak cinta kepadanya, bahkan kenyataan pahit bahwa Milana mau menikah dengan dia hanya karena hendak memenuhi perintah Kaisar. Karena cintanya yang murni, yang jauh lebih kuat daripada nafsu berahi, Han Wi Kong menekan penderitaan batinnya, dia rela menderita batin dan tidak pernah menuntut haknya sebagai seorang suami! Justeru sikap Han Wi Kong inilah yang membuat Milana terharu dan selalu berusaha agar di depan umum mereka merupakan suami isteri yang rukun. Dia berusaha menyenangkan hati suaminya dengan cara lain, sungguhpun dia maklum bahwa semua itu tentu tidak dapat mengobati kesengsaraan batin suaminya. Han Wi Kong telah mendengar pengakuan Milana tentang cinta kasih yang gagal dari isterinya itu, tentang Gak Bun Beng yang semenjak pernikahan mereka itu tidak pernah terdengar lagi namanya, seolah-olah pendekar itu telah lenyap ditelan bumi. Hatinya mulai merasa lega karena dia ingin sekali melihat Milana dapat melupakan kekasihnya itu, dan kalau Gak Bun Beng telah meninggal dunia atau lenyap, dia percaya lambat laun kedukaan hati isterinya itu akan sembuh. Dia sama sekali bukan mengharapkan agar isterinya akan dapat membalas cintanya, ha1 ini sudah tidak menjadi jangkauan harapannya lagi. Dia melainkan ingin melihat isterinya bahagia. Maka, dapat dibayangkan betapa duka rasa hatinya mendengar bahwa Gak Bun Beng muncul lagi dan sejak pendekar ini muncul di kota raja, isterinya selalu gelisah dan merana. Bahkan secara halus namun terus terang Milana pernah menyatakan kepadanya sejak Milana melihat Bun Beng di kota raja, bahwa Milana akan pergi mencari Bun Beng sampai dapat bertemu setelah urusan pemberontak dapat diselesaikan. Kemudian dia mendengar akan pertemuan Bun Beng dengan Milana yang membuat isterinya pingsan dan semenjak itu isterinya berwajah pucat dan sering termenung. Tentu saja dia merasa makin berduka dan diam-diam dia menaruh hati benci kepada Bun Beng, bukan membenci karena didasari iri atau cemburu, melainkan benci karena Bun Beng dianggapnya sebagai orang yang telah merusak kehidupan dan kebahagiaan Milana! Demikianlah, dengan menahan perasaan gelisah melihat isterinya kehilangan kegembiraan hidupnya, Han Wi Kong ikut menyaksikan ketika Ang Tek Hoat dibawa ke Istananya oleh isterinya. Dia pun dapat menerima pendapat isterinya tentang Ang Tek Hoat, apalagi ketika isterinya menceritakan betapa pemuda bekas tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong ini mahir I1mu Silat Pat-mo Sin-kun yang digabung dengan Pat-sian Sin-kun, padahal penggabungan ilmu ini adalah merupakan ilmu simpanan dan rahasia dari Puteri Nirahai! "Kalau begitu, mari kita mencoba untuk menolongnya, Adik Bu. Kong-ko (Kanda Kong), harap kau suka menjaga di pintu, jangan sampai ada yang mengganggu kami karena hal itu bisa berbahaya." "Baik," Han Wi Kong menjawab. Dia sendiri pun seorang yang berkepandaian, dan sungguhpun sin-kangnya tidak sekuat isterinya atau Kian Bu sebagai anak-anak dari Pendekar Super Sakti, namun dia cukup maklum akan bahayanya orang-orang yang lagi mengerahkan sin-kang untuk menyembuhkan orang lain apabila diganggu oleh orang luar. Dia mengambil sebuah bangku dan duduk di ambang pintu. Puteri Milana dan Kian Bu lalu duduk di tepi pembaringan, berslla dan meletakkan telapak tangan mereka di dada dan lambung Tek Hoat, mengumpulkan hawa murni dan mulailah mereka mengerahkan sin-kang ke dalam tubuh pemuda yang terluka parah di sebelah dalam tubuhnya itu. Dari ambang pintu, Han Wi Kong duduk dan memandang penuh kagum. Isterinya dan Kian Bu adalah keturunan dari Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai dan betapa bahaganya dia dapat disebut sebagai suami puteri yang cantik jelita dan berilmu tinggi serta gagah perkasa ini. Seorang pahlawan wanita sejati! Wajah Tek Hoat tadinya pucat sekali. Lewat satu jam setelah dua orang keturunan Pulau Es itu menyalurkan sin-kang mereka, wajah Tek Hoat berubah, makin lama makin menghitam. Itulah tanda bahwa hawa becacun yang mengeram di dalam tubuh mulai dapat didesak naik dan keluar. Lewat tiga jam, warna hitam di muka Tek Hoat itu makin lama makin menipis, lalu berubah menjadi putih pucat lagi. Han Wi Kong melihat betapa isterinya dan adik iparnya mulai berpeluh. Akan tetapi lewat lima jam, warna putih wajah Tek Hoat mulai menjadi merah dan pernapasannya mulai teratur. Akhirnya terdengar pemuda itu mengeluh dan membuka matanya. Mata itu melirik dan terbelalak seperti orang terkejut dan keheranan melihat dua orang itu yang sedang mengobatinya. Cepat dia pun mengerahkan sin-kangnya untuk menolak dan kedua orang itu melepaskan tangan mereka lalu melompat turun dari pembaringan, menghapus keringat dari dahi dan leher. Milana memandang adiknya dengan senyum penuh kagum, karena ternyata bahwa pernapasan Kian Bu tidak begitu memburu seperti napasnya, hai ini menandakan bahwa dalam hal sin-kang, adiknya itu sedikit lebih kuat daripada dia! "Engkau sudah sembuh sekarang," katanya sambil memandang kepada Ang Tek Hoat. Pemuda ini cepat bangkit duduk, memejamkan mata sejenak karena ketika bangkit itu matanya berkunang dan kepalanya pening, tubuhnya lemas sekali karena sudah berhari-hari dia tidak makan. "Berbaringlah dulu, engkau masih lemah," kata pula Milana. Akan tetapi Tek Hoat tetap duduk di tepi pembaringan, lalu membuka mata lagi memandang kepada Milana, Kian Bu, dan Han Wi Kong yang sudah masuk ke kamar lagi bergantian. "Pa.... paduka.... adalah Puteri Milana....!" katanya agak gagap dan bingung, karena apa yang dilihat dan dialaminya tadi seperti dalam mimpi saja. "Dan kau.... kau adalah seorang di antara dua pemuda perkasa itu, mata-mata pemerintah!" Milana memandang dengan senyum dan Kian Bu memandang dengan tajam penuh selidik. Tidak seperti encinya, dia masih curiga kepada bekas pembantu pemberontak yang dia tahu amat lihai ini. "Kenapa....? Kenapa Ji-wi (Anda Berdua) menolong dan mengobati saya?" "Ang Tek Hoat, engkau telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong si pemberontak dan tiga orang pengawalnya yang lihai, untuk menyelamatkan Syanti Dewi. Hal itu saja cukup membuat kami berpendapat bahwa engkau bukanlah musuh lagi," kata Milana. "Enciku ini memang bermurah hati, akan tetapi kalau engkau masih berpendirian untuk menjadi pemberontak, masih belum terlambat untuk menghukummu!" Kian Bu menyambung. Akan tetapi Tek Hoat tidak begitu memperhatikan ucapan Kian Bu, dia menoleh ke kanan kiri, lalu bertanya, "Di mana dia? Sang Puteri Bhutan....?" Dia lalu memandang kepada Kian Bu dengan penuh selidik, karena dia teringat betapa puteri itu lari memeluk pemuda ini pada waktu itu. "Dia telah selamat dan kini menjadi tamu agung dari Kaisar," kata Milana. Hening sejenak. Kemudian Tek Hoat bangkit berdiri dengan limbung, menjura kepada mereka bertiga dan berkata, "Saya Ang Tek Hoat bukan orang yang tidak tahu terima kasih. Ji-wi telah menolong saya dan saya menghaturkan terima kasih. Saya tidak ingin mengganggu dan merepotkan lebih lama lagi dan sebaiknya kalau saya pergi...." "Nanti dulu, engkau bisa celaka kalau pergi dalam keadaan seperti ini, Ang Tek Hoat. Tubuhmu masih lemas dan lemah." Pada saat itu, seorang pengawal yang tadi diperintah oleh Han Wi Kong datang membawa baki terisi semangkok obat penguat dan bubur. "Engkau minumlah obat ini dan makan bubur ini, baru kita bicara." Tek Hoat mengerutkan alisnya, akan tetapi dia maklum bahwa perutnya kosong dan tubuhnya lemah sekali, mungkin dipakai berjalan pun akan terguling, maka dia mengangguk, menerima mangkok obat dan bubur itu lalu minum dan menghabiskannya dengan cepat. Biarpun tidak berapa banyak, bubur itu menghangatkan perutnya dan tenaganya agak pulih kembali. "Sekarang kita bicara, Tek Hoat," kata Milana setelah pengawal itu pergi. "Engkau berhadapan dengan Puteri Milana, dan ini suamiku Han Wi Kong, dan adikku Suma Kian Bu...." "Ah, kiranya dia ini adik paduka? Jadi.... jadi putera Pendekar Super Sakti?" Tek Hoat tahu bahwa Puteri Milana adalah anak dari Pendekar Super Sakti seperti pernah diceritakan oleh ibunya. "Benar, dan agaknya sedikit banyak engkau tahu akan keluarga ayahku, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Dari siapa engkau mengenal kami?" "Dari ibu, akan tetapi sudahlah.... saya merasa heran sekali akan tetapi juga berterima kasih kepada paduka yang tidak membunuh saya malah menolong saya. Agaknya benar cerita ibu bahwa keluarga Pendekar Super Sakti terdiri dari orang-orang gagah dan budiman, sungguh tidak seperti kami...." Melihat pemuda itu merendah dan hendak pergi, selalu memandang ke pintu seolah-olah tidak betah berada di situ terlalu lama, Milana dapat memaklumi isi hatinya. Pemuda ini jelas adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan kegagahan, hatinya keras dan memiliki harga diri yang tinggi. Namun entah bagaimana terjeblos ke dalam tangan para pemberontak sehingga kini pemuda ini merasa betapa dia kotor dan tidak berharga, merasa malu terhadap diri sendiri sehingga tidak betah berada di antara orang-orang yang dianggapnya gagah dan budiman! "Ang Tek Hoat, terus terang saja, kami bukanlah orang-orang budiman dan terlalu gagah seperti yang kausebutkan tadi. Kita sama saja, hanya kebetulan saja kami berada di pihak yang benar dan engkau terjeblos ke dalam kesesatan. Ketika menolongmu, selain untuk balas jasamu membunuh Pangeran pemberontak dan kaki tangannya serta menolong Syanti Dewi, juga karena kami ingin mengajukan pertanyaan kepadamu yang kuharap engkau akan suka menjawabnya." Ang Tek Hoat menatap wajah yang cantik jelita itu, biarpun usianya lebih tua akan tetapi kecantikannya mengingatkan dia kepada Syanti Dewi, sepasang mata yang bening dan tajam itu, kemudian menjawab, "Asal saja pertanyaan paduka itu pantas untuk dijawab, dan dapat saya jawab, tentu akan saya jawab," katanya singkat. Hemm, pemuda ini benar-benar keras hati dan juga cerdik, pikir Milana. "Pertanyaanku yang pertama adalah pertanyaan yang pernah kuajukan padamu ketika engkau melawanku di hutan itu. Dari mana engkau mempelajari Ilmu Silat Pat-mo Sin-kun dan siapa yang melatihmu?" Tek Hoat sendiri sudah pernah mendengar dari Sai-cu Lo-mo yang pernah menggemblengnya bahwa kakek sakti itu memperoleh kepandaiannya dari Puteri Nirahai, bekas Ketua Thian-liong-pang yang kini menjadi isteri Pendekar Super Sakti di Pulau Es. Maka dia pun tidak merasa heran bahwa Puteri Milana dapat mainkan ilmu silat itu dengan mahir sekali. Karena dia tidak ingin disangka mencuri ilmu orang, maka dia menjawab sejujurnya, "Saya pernah menerima pelajaran ilmu itu dari Suhu Sai-cu Lo-mo." "Aihh, kalau begitu engkau masih murid keponakanku!" Milana berseru. "Maaf, saya tidak berani, karena Suhu Sai-cu Lo-mo pernah berpesan agar saya tidak mengakuinya sebagai guru. Hanya karena paduka bertanya dan saya sudah tahu bahwa antara beliau dengan paduka ada hubungan, maka saya berani berterus terang menyebutnya." Milana mengangguk-angguk. Heran sekali dia mengapa Sai-cu Lo-mo sampai menurunkan ilmu rahasia itu kepada pemuda ini. "Akan tetapi, dibandingkan dengan Sai-cu Lo-mo, kepandaianmu jauh lebih tinggi." Ang Tek Hoat tidak mau menanggapi kata-kata Puteri Milana itu, dan dia diam saja, menanti pertanyaan ke dua. "Sekarang pertanyaanku ke dua, Tek Hoat. Di beberapa tempat, engkau memakai julukan Si Jari Maut dan menggunakan nama Gak Bun Beng. Mengapa begitu? Mengapa engkau begitu jahat dan curang, melakukan kejahatan dengan menggunakan nama lain orang?" Kini dengan suara ketus karena diingatkan kepada musuh besarnya, dia menjawab, "Memang, semua perbuatan itu saya lakukan untuk memburukkan nama Gak Bun Beng, karena jahanam itu telah membunuh ayah! Sayang dia telah mampus, kalau tidak, tentu sudah kucari dan kubunuh dia, tidak perlu lagi saya memburuk-burukkan nama orang yang sudah mati." "Ah keparat bermulut lancang!" Kian Bu sudah bergerak hendak menerjang Tek Hoat, akan tetapi Milana memegang lengannya. "Jangan terburu nafsu, Bu-te!" Kian Bu teringat bahwa orang yang akan diserangnya itu masih lemah, dan memang amat lucu untuk menyerang orang yang baru saja dia tolong dan sembuhkan! Akan tetapi, mendengar kata-kata Tek Hoat tadi dia sudah marah sekali. "Ang Tek Hoat, engkau sungguh kurang ajar, berani engkau memaki suhengku dan mengatakan bahwa sudah mati. Kalau tidak ingat bahwa engkau belum sehat benar kuhancurkan mulutmu!" Tek Hoat terbelalak memandang Kian Bu, Milana, dan Han Wi Kong. "Apa katamu? Dia.... dia.... masih hidup?" Tentu saja dia merasa heran sekali. Bukankah ibunya telah dengan jelas bercerita kepadanya bahwa musuh besar yang bernama Gak Bun Beng itu telah mati terbunuh ibunya? "Engkau memang tukang membohong! Suheng Gak Bun Beng masih segar bugar, bahkan pernah engkau bertemu dengan dia beberapa kali, sudah pernah mengadu tenaga pula. Dia adalah Suheng yang melakukan perjalanan bernama aku, Lee-ko, dan Adik Syanti Dewi." Mata Tek Hoat makin terbelalak dan mukanya berubah. "Aihh.... dia....? Gak Bun Beng pembunuh ayahku? Masih hidup? Kalau begitu...." Dia diam saja tenggelam ke dalam pikirannya yang bergelombang. Memang tidak mungkin kalau ibunya dapat membunuh musuh dengan kepandaian seperti itu! Bahkan laki-laki setengah tua gagah perkasa itu memiliki tenaga sakti Inti Bumi yang amat kuat! Akan tetapi kenapa ibunya mengatakan bahwa dia telah membunuh Gak Bun Beng. Apakah hanya namanya saja yang sama? Dia harus memecahkan rahasia ini. Dia harus menemui laki-laki yang bernama Gak Bun Beng itu dan memaksanya untuk mengaku apa yang telah terjadi dengan ayahnya! "Ang Tek Hoat, benarkah ayahmu dibunuh oleh Gak Bun Beng?" Puteri Milana bertanya sambil memandang dengan tajam penuh selidik. "Saya tidak perlu membohong. Ayah saya dibunuh oleh Gak Bun Beng dan karena saya kira dia sudah mati maka saya sengaja memburukkan nama musuh besar saya itu," jawabnya. "Engkau melihat sendiri bahwa ayahmu dibunuh olehnya?" tanya lagi Puteri Milana dan diam-diam dia mengingat-ingat karena wajah pemuda yang tampan ini mengingatkan dia akan seseorang akan tetapi dia lupa lagi siapa. Mata itu, bibir itu, benar-benar tidak asing baginya! "Hal itu terjadi sebelum saya lahir. Ibu yang memberitahukan saya...." "Ahhh....! Siapa ibumu? Dan siapa ayahmu?" Tek Hoat menggeleng kepalanya. "Maaf, itu merupakan rahasia saya, dan tidak dapat saya ceritakan kepada lain orang. Biarlah saya mencari Gak Bun Beng dan bicara sendiri dengan dia. Saya mohon kepada paduka agar suka memberi kesempatan kepada saya untuk berhadapan dengan musuh besar saya itu, kecuali.... kecuali kalau paduka hendak menghukum saya karena pemberontakan itu.... saya tidak akan dapat melawan...." "Enci Milana, manusia ini berhati palsu dan curang, lagi jahat dan berbahaya sekali kalau dia dibiarkan pergi begitu saja!" Kian Bu berkata dengan alis berkerut. "Benar, sebaiknya dia ditahan dulu, sambil kita menanti kedatangan Gak-taihiap," kata Han Wi Kong. Akan tetapi, ucapan suaminya itu dirasakan oleh Milana seperti ujung belati menusuk jantungnya. Setiap kebaikan sikap suaminya mengenai diri Gak Bun Beng merupakan tusukan baginya, makin baik sikap suaminya, makin tertusuk dia karena dia maklum bahwa dia telah berdosa terhadap suaminya ini. Maka kata-kata suaminya itu membuat dia bangkit menentang. "Tidak, biarkan dia pergi! Pertama, dia adalah murid Sai-cu Lo-mo, berarti masih orang sendiri. Ke dua, dia memang pernah membantu pemberontak, akan tetapi kesesatan itu telah ditebusnya dengan membunuh Pangeran Liong Khi Ong dan tiga orang pengawalnya, juga dengan menolong Syanti Dewi. Tentang urusannya dengan.... Gak-suheng, biarlah dia selesaikan sendiri dengan yang berkepentingan. Ang Tek Hoat, kalau engkau ingin pergi, pergilah. Hanya kuharap bahwa engkau akan selalu ingat bahwa kami tidak mempunyai niat buruk terhadap dirimu, maka jika menghadapi segala urusan, jangan engkau terburu nafsu dan kami selalu siap untuk membantumu memecahkan persoalan yang sulit." Sikap dan ucapan Milana ini benar-benar mengharukan hati Tek Hoat. Selama dia meninggalkan ibunya, dia tidak pernah menemui manusia yang bersikap tulus, jujur dan mulia terhadap dirinya. Kalau toh ada yang bersikap baik terhadap dia, kebaikan itu hanya menutupi suatu pamrih tertentu yang lebih merupakan penjilatan atau juga penggunaan karena tenaganya dibutuhkan seperti halnya kaum pemberontak yang berbaik kepadanya. Akan tetapi baru sekarang dia bertemu dengan seorang yang amat dikaguminya, seorang wanita yang cantik jelita, gagah perkasa, berbudi mulia dan berwibawa. Tanpa disadarinya sendiri, kedua kakinya menjadi lemas dan Ang Tek Hoat pemuda yanp angkuh dan keras hati itu, yang tidak pernah mengenal takut dan tidak pula mau tunduk kepada siapa pun kini menjatuhkan diri berlutut di depan Puteri Milana! Dia merasa betapa dirinya adalah orang yang sudah kotor, yang bergelimang dengan kesesatan, yang membuat dia memandang dirinya amat rendah sekali dibandingkan dengan orang-orang gagah seperti kedua orang saudara putera Pendekar Super Sakti itu, yang membuat dia merasa tidak berharga, akan tetapi yang sekaligus juga memperkeras hatinya, menimbulkan keangkuhannya sehingga sampai mati pun dia tidak akan sudi tunduk kepada "orang-orang bersih" seperti mereka itu. Akan tetapi, sikap Milana mencairkan kekerasan dan keangkuhannya, karena puteri ini bersikap sungguh-sungguh kepadanya, tidak memandang rendah, bahkan sinar mata yang mengandung iba yang mendalam itu membuat dia tunduk dan terharu. Suaranya agak tergetar ketika dia berkata, "Saya Ang Tek Hoat sungguh kagum kepada paduka dan selama hidup saya akan memuliakan nama paduka Puteri Milana." Setelah berkata demikian, dia bangkit berdiri, menjura kepada tiga orang itu dan dengan langkah lebar dia keluar dari kamar dan gedung itu, agak terhuyung-huyung. Milana meneriaki pengawal dan dengan singkat memerintahkan agar pengawal itu terus membayangi dan menjaga agar pemuda itu tidak diganggu dan diperbolehkan keluar dari kota raja tanpa halangan. Pengawal itu memberi hormat, lalu tergesa-gesa mengejar Tek Hoat. "Enci Milana, betapa pun juga, aku masih menganggap dia itu seorang yang berbahaya...." Suma Kian Bu menyatakan pendapatnya, hatinya kurang puas akan sikap encinya yahg demikian lunak terhadap pemuda jahat itu. Milana hanya menggeleng kepala dan menghela napas, memegangi kepalanya. "Bu-te, aku seperti pernah mengenalnya.... dahulu.... ah, biarkan aku mengaso sambil mengingat-ingat...." Dia lalu pergi memasuki kamarnya sendiri, meninggalkan suaminya yang kini duduk bercakap-cakap dengan Kian Bu, membicarakan pengalaman mereka ketika pasukan pemerintah menyerbu Koan-bun dan Teng-bun. Di dalam kamarnya, Milana lalu mengunci pintu dan menjatuhkan diri di atas pembaringan. Kepalanya agak pening, bukan hanya karena urusan Tek Hoat dan bukan hanya karena dia agak lelah mengerahkan tenaga sin-kang selama lima jam untuk mengobati Tek Hoat tadi. Akan tetapi ada hal lain yang lebih mendalam lagi, yang selama beberapa hari ini menusuk-nusuk jantungnya. Teringat dia akan peristiwa itu, peristiwa yang takkan dapat dilupakannya, ketika Puteri Syanti Dewi yang muda dan cantik jelita itu menegurnya dengan hebat sewaktu mereka berdua berada di dalam kamar dan tidak ada orang lain lagi. "Bibi Milana, saya tidak tahu apakah nanti Bibi akan membunuh saya atau menganggap saya kurang ajar setelah saya selesai bicara, akan tetapi bagaimanapun juga, saya akan menanggung semua akibatnya karena hal ini tidak mungkin saya simpan saja dan tidak dibicarakan dengan Bibi. Sudah berada di ujung bibir saya sejak kita saling bertemu, bahkan jauh sebelum pertemuan itu hal ini selalu berada di lubuk hati saya dan sekaranglah tiba saatnya kita hanya berdua saja di dalam kamar ini maka saya akan keluarkan isi hati saya." Melihat Puteri Bhutan yang muda remaja itu berhadapan dengan dia di kamar itu sambil memandang dengan sepasang pipi kemerahan seperti dibakar, mata bersinar-sinar dan bibir penuh semangat, Milana yang selalu bersikap tenang dan sabar itu tersenyum. "Syanti Dewi, kau keluarkan isi hatimu dan bicaralah dengan hati tenang agar jelas karena tidak baik membiarkan hati dikuasai kemarahan." "Bibi Milana, setelah bertemu dengan engkau, maka aku merasa kagum sekali. Engkau seorang puteri sejati, begitu gagah perkasa, bersikap agung dan berhati mulia, akan tetapi sungguh sayang sekali bahwa di balik kebaikan itu semua tersembunyi hati yang amat kejam terhadap pria!" Milana mengerutkan alisnya, akan tetapi dia tidak menjadi marah mendengar tuduhan hebat ini. "Syanti Dewi, aku yakin bahwa orang seperti engkau tidak mungkin mengeluarkan kata-kata seperti itu tanpa alasan yang kuat. Jelaskanlah tuduhanmu itu dan tidak perlu menyimpan rahasia." "Bibi Milana, mengapa Bibi melakukan kehidupan yang palsu ini? Bibi mencinta pria lain, akan tetapi menikah dengan pria lain lagi! Bibi membiarkan pria yang mencinta Bibi dan juga Bibi cinta itu hidup sengsara selamanya, hidup tersiksa dalam duka nestapa setiap saat, padahal pria yang sampai sekarang masih mencinta Bibi dengan seluruh tubuh dan nyawanya itu adalah orang yang sebaik-baiknya orang, dan yang tidak ada keduanya di dunia yang penuh dengan manusia palsu dan jahat ini!" Syanti Dewi mengeluarkan kata-kata itu dengan cepat karena kata-kata itu sudah lama tersimpan di hatinya, matanya berapi-api dan mukanya kemerahan. "Bibi Milana sungguh kejam sekali! Nah, puaslah sudah hatiku mengeluarkan umpatan yang sudah lama terkandung ini dan kalau Bibi marah dan hendak membunuhku, silakan!" Wajah cantik Puteri Milana menjadi pucat sekali, kemudian berubah merah, dan pucat lagi. Dia memandang Syanti Dewi dengan mata terbelalak dan bibir gemetar, kedua tangan dikepal dan andaikata yang bicara itu bukan Syanti Dewi, agaknya puteri ini tentu sudah menggerakkan tangan untuk melakukan pukulan maut, dan kalau hal itu dilakukan, tentu Syanti Dewi sudah menggeletak tak bernyawa lagi! "Bibi marah, akan tetapi aku tidak menyesal mengeluarkan semua ucapanku tadi, karena aku menuntut agar Bibi Milana suka mengambil keputusan dan tidak membiarkan hidup seorang pria yang kujunjung tinggi itu dalam keadaan hidup tidak mati pun tidak." "Syanti Dewi...." suara Milana gemetar dan serak, seperti bisikan. "Siapa.... siapa yang kaumaksudkan dengan pria itu....?" Dia bangkit perlahan, tidak peduli betapa kedua kakinya menggigil. "Siapa lagi kalau bukan Paman Gak Bun Beng? Kalian saling mencinta dengan sepenuh jiwa raga, akan tetapi Bibi telah begitu tega untuk meninggalkannya dan menikah dengan orang lain, membiarkan dia merana sepanjang hidupnya." "Oohhh...." Tubuh Milana menjadi lemas, dia memejamkan matanya dan jatuh terduduk lagi di atas kursinya. Kemudian dia membuka lagi matanya yang menjadi kemerahan dan basah air, mata. "Syanti Dewi.... dari mana.... engkau mengetahui semua tentang kami....?" "Paman Gak Bun Beng yang bercerita kepadaku." "Ahh....? Tak mungkin....!" Milana meloncat ke depan dan memegang pundak Syanti Dewi, jari-jari tangannya yang kecil lembut halus itu kini mencengkeram seperti cakar harimau dan Syanti Dewi menggigit bibir menahan sakit. "Kau.... kau mencintanya!" Ucapan Milana yang menuduh ini mendatangkan semangat dan mengusir rasa sakit di pundaknya. Syanti Dewi juga bangkit berdiri dan berkata dengan gagah, "Memang! Aku pernah mencintanya, Bibi. Dan seandainya di dunia ini tidak ada Puteri Milana, tentu aku akan tetap mencinta Gak Bun Beng sampai aku mati! Akan tetapi aku tahu bahwa cintaku sia-sia dan aku yakin bahwa dia tidak dapat mencintaku. Cinta kasihnya hanya untukmu, Bibi Milana! Karena itu, aku mengubur cintaku, cinta seorang wanita terhadap pria yang semulia-mulianya orang, dan kupaksa menjadi kasih seorang anak terhadap ayah atau seorang murid terhadap guru. Hanya engkaulah wanita pujaan hatinya yang akan dicintanya sampai dia mati, dan dia bahkan berbahagia di dalam kesengsaraannya asalkan engkau hidup bahagia! Betapa kejamnya engkau, Bibi Milana!" Tanpa disadarinya lagi, air mata bercucuran dari kedua pelupuk mata Puteri Bhutan itu. "Ouhhhh...." Milana terisak, menggigit bibirnya, memejamkan matanya menahan kepedihan hati yang seperti ditusuk-tusuk rasanya. "Aihhh.... Syanti Dewi.... kau tidak tahu.... kau tidak tahu.... betapa selama belasan tahun aku hidup dengan hati remuk-redam.... betapa aku hidup sengsara dan merana.... yang mungkin tidak kalah pahitnya dengan penderitaannya...." Wanita cantik itu kini menundukkan mukanya dan memejamkan mata, menggoyang-goyang kepala untuk mengusir semua kepedihan yang menghimpitnya. Kini Syanti Dewi membelalakkan matanya, dan cepat dia menghapus air matanya. Lalu dia maju berlutut di depan Milana, memeluk pinggang puteri itu. "Syanti....!" Milana tak dapat menahan keharuan dan kepedihan hatinya, dia memeluk kepala Puteri Bhutan itu sambil menangis sesenggukan. Betapa belasan tahun ini dia menahan kesengsaraannya, tak pernah dikeluarkan sehingga kini bagaikan air bah memecah bendungannya, air matanya mengalir membasahi kepala dan rambut Syanti Dewi. Puteri Bhutan ini mengejap-ngejapkan matanya menahan tangis, lalu dengan sikap halus dan lemah lembut dia mengeluarkan saputangannya, menghapus air mata dari pipi Puteri Milana seperti orang dewasa menghibur seorang anak kecil yang sedang menangis. Dia membiarkan Milana menangis sesenggukan sampai beberapa lamanya, kemarahannya berubah menjadi perasaan kasihan sekali terhadap puteri gagah perkasa ini, yang kini oleh kekuatan cinta kembali ke asalnya, seorang wanita yang lemah dan hanya bergantung kepada tangis dan rintihan hatinya. "Bibi Milana," suara Syanti Dewi kini penuh kesungguhan, penuh kedewasaan, dan penuh teguran. "Bibi Milana mengapa telah bertindak begitu bodoh? Jelas bahwa sesungguhnya Bibi amat mencinta Paman Gak Bun Beng, sejak dahulu sampai saat ini, akan tetapi mengapa Bibi memaksa diri menikah dengan pria lain? Apa sebabnya tindakan yang amat bodoh ini?" Milana sudah dapat menekan perasaannya. Tangisnya tadi, yang baru sekali ini dapat dia curahkan keluar, sedikit banyak melegakan hatinya. Dia mengangkat Syanti Dewi bangkit dan mengajak dara itu duduk berdampingan di pinggir pembaringannya. "Engkau anak baik, pertanyaanmu sungguh tidak tepat! Engkau sendiri tahu akan keadaan wanita-wanita yang tidak kebetulan menjadi puteri-puteri istana seperti kita ini! Apa daya kita menghadapi perintah junjungan kita, dalam hal ini Kaisar yang menjadi kakekku dan Raja Bhutan yang menjadi ayahmu? Engkau sendiri menerima saja ketika dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong yang sudah tua!" "Aih, Bibi Milana. Keadaan saya lain lagi dengan keadaan Bibi! Andaikata saya seperti Bibi, sudah mempunyai seorang kekasih di Bhutan, sampai mati pun saya tidak akan sudi! Kalau saya mentaati perintah ayah, adalah karena hati saya masih bebas dan betapa pun saya tidak suka dikawinkan dengan orang yang belum pernah saya lihat, namun demi kebaktian terhadap ayah, terutama terhadap negara karena ayah menyerahkan saya demi negara, terpaksa saya menyetujuinya. Jauh bedanya dengan Bibi yang telah mempunyai seorang pujaan hati sehebat Paman Gak! Mengapa Bibi begitu bodoh?" Demikianlah, percakapannya dengan Puteri Syanti Dewi itulah yang terus menghantui hatinya. Kini Puteri Milana rebah seorang diri di atas pembaringannya di dalam kamarnya yang tertutup, mengenangkan semua percakapannya dengan Syanti Dewi dan baru terbuka matanya betapa dia telah berbuat kesalahan besar terhadap Gak Bun Beng! Pernikahannya dengan Han Wi Kong juga tidak mempunyai arti apa-apa bagi Kaisar atau kerajaan, dan yang jelas dia telah merusak kehidupan Gak Bun Beng, merusak kebahagiaan hiddpnya sendiri! Teringatlah dia akan semua pengalamannya di waktu dahulu, belasan tahun yang lalu dan makin diingat, makin menyesallah dia karena sejak dahulu, Bun Beng selalu bersikap baik dan penuh cinta kasih kepadanya, sebaliknya, telah beberapa kali dia menyakiti hati kekasihnya itu! Bahkan yang terakhir sekali, dia menuduh Gak Bun Beng sebagai seorang pria jahat dan keji, tukang memperkosa wanita! Dan dia telah bersekutu dengan wanita-wanita lain yang disangkanya menjadi korban kebiadaban Gak Bun Beng untuk membunuh pria itu! Dan hampir saja maksud kejamnya ini terlaksana (baca cerita Sepasang Pedang Iblis). Kemudian barulah dia tahu, baru terbuka matanya bahwa Gak Bun Beng adalah pria yang bersih, gagah perkasa, mulia, karena si jahat itu bukanlah Gak Bun Beng, melainkan Wan keng In! "Ahhh.... Wan Keng In, benar dia....!" Tiba-tiba Puteri Milana meloncat turun dari atas pembaringannya, memandang terbelalak ke arah pintu kamarnya. Ketika dia mengenangkan masa lalu dan terbayang wajah Wan Keng In, tiba-tiba saja dia melihat wajah Ang Tek Hoat! Mengapa dia begitu bodoh? Wajah Ang Tek Hoat persis wajah Wan Keng In! Han Wi Kong dan Kian Bu terkejut sekali ketika melihat Milana memasuki kamar di mana mereka berdua bercakap-cakap itu dengan muka berubah agak pucat. "Mana dia? Bu-te, lekas kau kejar dia! Ang Tek Hoat itu adalah putera Wan Keng In!" Kian Bu terkejut. Tentu saja dia telah mendengar siapa adanya Wan Keng In yang disebut oleh encinya itu. Wan Keng In adalah putera ibu tirinya, ibu kandung Kian Lee, anak tiri ayahnya yang telah lama meninggal dunia dan kabarnya dahulu amat lihai akan tetapi juga menyeleweng. "Bagaimana kau bisa tahu, Enci?" "Aku bodoh, telah lupa wajah Wan Keng In yang persis benar dengan wajahnya. Lekas, Bu-te, susul dia dan suruh dia kembali, aku akan bicara dengan dia. Kini aku tahu mengapa dia memusuhi Gak Bun Beng." Kian Bu cepat berlari keluar dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, pengawal tadi menceritakan bahwa pemuda itu telah keluar dari pintu gerbang kota raja dan entah pergi ke mana, Kian Bu menyusul dan mengejar sampai jauh di luar kota raja, keluar dari pintu gerbang selatan, namun hasilnya sia-sia dan terpaksa dia kembali kepada encinya dengan tangan hampa. Milana merasa menyesal sekali. "Di dalam kamar tadi, baru aku teringat. Memang tadinya aku merasa mengenal wajah Tek Hoat, hanya sayang aku lupa bahwa wajahnya itu persis wajah Wan Keng In, kakakmu Bu-te. Dia she Ang pula, siapa lagi dia kalau bukan anak Ang Siok Bi yang dahulu diperkosa oleh Wan Keng In yang menyamar sebagai Gak Bun Beng? Ahh, tentu akan terjadi hal-hal hebat kalau mereka saling bertemu!" "Sebaiknya aku kembali ke Teng-bun atau Koan-bun, mencari Gak-suheng dan memberitahukan hal Tek Hoat itu kepadanya agar dia dapat berjaga-jaga, Enci!" kata Kian Bu. "Tidak perlulah, Bu-te. Kurasa dia dapat menghadapi pemuda itu, apalagi Tek Hoat masih lemah tubuhnya dan perlu mengumpulkan tenaga sampai belasan hari lamanya. Pula, kita menanti datangnya kakakmu, Kian Lee, dan yang lain-lain. Mengapa mereka belum juga datang?" Hanya Han Wi Kong yang dapat menduga bahwa yang dimaksudkan "yang lain-lain" oleh isterinya itu, bukan lain adalah Gak Bun Beng yang amat diharap-harapkan kedatangannya. Dan pada keesokan harinya, benar saja Gak Bun Beng dan Suma Kian Lee muncul di istana Puteri Milana itu! Han Wi Kong dan Milana bersama Kian Bu menyambut mereka dengan gembira, akan tetapi Milana hanya sekilas saja bertemu pandang mata dengan Bun Beng, kemudian wajahnya berubah merah sedangkan wajah Bun Beng berubah pucat dan mereka tidak bicara apa-apa kecuali menyapa. "Gak-suheng!" "Sumoi....!" Han Wi Kong maklum betapa kedua orang itu merasa sungkan dan tidak enak, maka dia bersikap ramah sekali. "Gak-taihiap, sudah amat lama saya mendengar nama besar Taihiap dan sungguh merupakan suatu kehormatan besar bagi saya dapat berjumpa dengan Taihiap ini!" Gak Bun Beng menatap wajah yang tampan dan gagah itu, dan hatinya ikut gembira bahwa Milana ternyata menikah dengan seorang pria yang tidak mengecewakan. "Terima kasih, Han-ciangkun, dan karena saya adalah suheng dari isterimu, harap kau jangan menyebutku taihiap (pendekar besar)." Han Wi Kong tertawa dan begitu bertemu saja dia sudah merasa suka kepada pendekar besar yang sederhana sekali ini. "Kalau begitu, baiklah saya menyebutmu Gak-twako saja. Akan tetapi saya pun bukan lagi menjadi seorang perwira maka jangan menyebut saya ciangkun, Gak-twako (Kakak Gak)." "Baiklah, Han-laote (Adik Han)." Karena sikap Han Wi Kong, maka rasa sungkan dan tidak enak di pihak Bun Beng dan Milana perlahan-lahan berkurang dan Han Wi Kong lalu menjamu tamu yang dihormatinya itu dengan pesta kecil. Sambil bercakap-cakap, Han Wi Kong, Milana, Suma Kian Lee, Suma Kian Bu, dan Gak Bun Beng menghadapi meja bundar dan makan minum. Karena sedang makan, mereka tidak membicarakan urusan penting dan setelah mereka selesai makan dan duduk di ruangan tamu, barulah mereka bicara tentang hal-hal yang lebih penting menyangkut diri mereka. "Lee-ko, mengapa kau kelihatan pucat dan tidak bersemangat?" Kian Bu bertanya dan Milana juga memandang adik ini dengan penuh perhatian. "Engkau kelihatan seperti orang sakit, Adik Kian Lee," dia juga berkata. "Ah, tidak ada apa-apa," jawab Kian Lee. "Jangan-jangan karena kakimu yang terluka dahulu itu, Lee-ko? Sekarang sudah sembuh ama, sekali, bukan?" "Sudah, Bu-te." Kian Lee menjawab singkat dan ketika adiknya itu bertanya tentang pengalamannya dan ketika kakinya terluka dan mereka terpisah, Kian Lee hanya menceritakan dengan singkat saja bahwa dia kebetulan bertemu dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo dan mendapatkan obat sehingga mudah sembuh. "Heran...., heran....!" Kian Bu berkata sambil tertawa. "Ayahnya iblis akan tetapi puterinya bidadari agaknya!" Kini tiba giliran Bun Beng yang bertanya, tidak langsung menghadapi Milana melainkan pertanyaannya ditujukan kepada Han Wi Kong, "Saya mendengar bahwa ada seorang tahanan bernama Ang Tek Hoat. Apakah benar dia berada di kota raja dan apakah dapat saya bertemu dengan dia?" "Ahh, Gak-suheng, memang terjadi hal yang hebat sekali dengan pemuda itu!" Milana berkata. "Dia.... dia.... itu.... putera Wan Keng In....!" "Ehhh....?" Bun Beng demikian kagetnya sehingga dia bangkit berdiri, lalu duduk kembali. Sementara itu Milana sudah teringat akan peristiwa dahulu, maka dia menjadi pucat dan menunduk, tidak mampu melanjutkan kata-katanya. "Bu-sute, apakah yang terjadi?" tanya Bun Beng, menoleh kepada Kian Bu. "Gak-suheng, kami tadinya bertanya kepadanya mengapa dia berjuluk Si Jari Maut dan menggunakan nama Suheng untuk melakukan kejahatan. Dia menjawab bahwa Suheng telah membunuh ayahnya dan dia tidak melanjutkan keterangannya, hanya tadinya menyangka bahwa Suheng telah mati maka setelah mendengar bahwa Suheng masih hidup, dia menyatakan ingin bertemu dan ingin membalas dendam kematian ayahnya." "Hemm...., sungguh aneh...." Bun Beng berkata. "Akan tetapi Enci Milana lalu teringat akan wajah Keng In...." "Bukan mirip lagi, Suheng, melainkan persis seperti pinang dibelah dua! Dan dia she Ang, siapa lagi kalau bukan anak Ang Siok Bi?" Milana berkata, dan ketika Bun Beng memandangnya, mereka bertemu pandang dara Milana menunduk, karena menyebut nama Siok Bi sama dengan menggali kenangan lama yang membuat dia merasa berdosa sekali. Bun Beng mengangguk-angguk. "Hemm, sekarang aku mengerti! Pantas dia memusuhi aku...." "Enci Milana khawatir sekali kalau sampai terjadi sesuatu yang hebat apabila Suheng bertemu dengan dia," kata pula Kian Bu. "Aku dapat mengatasinya. Ahh, sungguh kejadian yang amat luar biasa aneh, dan sekaligus terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan...." Bun Beng menghela napas panjang. "Gak-suheng, apa maksudmu?" Milana bertanya, karena dia merasa bahwa ada sesuatu yang penting terkandung dalam ucapan pendekar itu. Bun Beng memandang kepada Milana, sedikit pun tidak memperlihatkan penyesalan ketika dia bertanya, "Sumoi tentu masih ingat kepada Lu Kim Bwee, bukan?" Pertanyaan ini amat mengejutkan hati Milana, karena tidak disangka-sangkanya, padahal dia selalu membayangkan dua orang wanita, Ang Siok Bi dan Lu Kim Bwee, dua orang wanita yang dahulu bersama dia mengeroyok Bun Beng dan hampir saja membunuh pendekar ini (baca cerita Sepasang Pedang Iblis). Milana menelan ludah, memandang kepada Bun Beng tanpa dapat menjawab dengan kata-kata, hanya mengangguk. "Nah, Lu Kim Bwee itu pun ternyata mempunyai seorang anak dari Wan Keng In, dan anaknya itu adalah Lu Ceng." "Ooohhh....!" "Aihhhh....!" Kian Bu terbelalak dan menoleh kepada Kian Lee. Melihat Kian Lee menundukkan muka, Kian Bu membungkam mulutnya lagi, tidak berani mengeluarkan suara. Maklumlah dia sekarang mengapa Kian Lee begitu pucat dan muram. Kiranya dara yang dia tahu telah mencuri hati kakaknya itu ternyata adalah anak dari mendiang Wan Keng In, kakak mereka sendiri, yang berarti bahwa Ceng Ceng adalah keponakan mereka sendiri. Keadaan menjadi sunyi karena semua orang tenggelam dalam lamunan masing-masing. Han Wi Kong yang pernah mendengar cerita tentang Ang Siok Bi dan Lu Kim Bwee, yang tadinya disangka menjadi korban kebiadaban Gak Bun Beng yang kemudian ternyata adalah perbuatan Wan Keng In, memecahkan kesunyian itu sambil berkata, "Kiranya dua orang yang menggemparkan itu adalah keponakan-keponakan Adik Kian Lee sendiri." to be continue. . .
Posted on: Sun, 01 Sep 2013 17:15:35 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015