MENUJU GEREJA YANG TERBENTUK KEMBALI DARI KANCAH - TopicsExpress



          

MENUJU GEREJA YANG TERBENTUK KEMBALI DARI KANCAH INDONESIA Pengantar Makalah kecil ini bermaksud mengantar pembaca untuk masuk ke dalam alam pikiran para Uskup Asia dari kurun waktu 40 tahun, masa setelah berakhirnya Konsili Vatikan II sampai sekarang. Tentu ada perkembangan pikiran dalam kurun waktu tersebut, namun kiranya masih mungkin untuk melihat garis-garis pokoknya. Di sini penulis tidak bermaksud bicara mengenai “sistem pemikiran” para Uskup Asia, karena mereka tidak bermaksud membuat sistem. Namun kiranya lebih tepat untuk bicara tentang “alam pemikiran” teologis yang mendasari orientasi pastoral para Uskup untuk benua ini. Ada beberapa fokus dan penekanan yang bisa diidentifikasi, yang pada umumnya merupakan arah yang serba terbuka ke depan dan terbuka untuk terus diperkaya oleh refleksi dan interaksi dengan macam-macam pihak. Kemudian akan dibahas bagaimana Gereja katolik Indonesia lewat para uskupnya menanggapi situasi aktual di tanah air, dan dilihat sejauh mana ini juga mencerminkan keprihatinan FABC. A. ORIENTASI PARA USKUP ASIA SEJAK PASCA-VATIKAN II 1. Visi Besar Para Uskup Asia Tentang Gereja dan Misinya Seusai Konsili Vatikan II, Gereja-gereja di Asia tidak menunggu lama untuk menyatakan arah-arah misioner Gereja bagi benua Asia. Konteks Asia yang khas dan berubah cepat tidak membiarkan para Uskup untuk lama berkanjang dalam apa yang dicapai oleh Konsili. Mereka merasakan urgensi untuk segera menempatkan visi Konsili kedalam situasi Asia. Para Uskup Asia, yang disatukan dalam wadah Federasi Konferensi-konferensi Uskup Asia, merumuskan orientasi ini sebagai pembentukan “Gereja Lokal” yang sungguh bercorak Asia lewat “tri-dialog”, yaitu dialog dengan budaya-budaya Asia, dialog dengan agama-agama di Asia, dan dialog dengan kaum miskin Asia , sebagai pelayan bagi terwujudnya Kerajaan Allah di benua ini. Sebagaimana telah terjadi di abad-abad yang silam, keterbukaan terhadap budaya-budaya serta agama-agama setempat telah menimbulkan reaksi ketidaksetujuan dari wewenang pusat Gereja. Ditakutkan bahwa keterbukaan ini akan menimbulkan relativisme tentang keunikan dan peranan keselamatan Yesus Kristus, sikap kompromi yang mengurangi semangat misioner, yang dalam hal ini dipahami sebagai upaya mempertobatkan orang menjadi kristen. Dilihat dari luar Asia orang tidak begitu saja mudah memahami sudut pandang orang-orang Asia terhadap saudara-saudaranya yang beragama kristiani. Karena pengalaman dijajah yang lama, pada umumnya orang Asia akan memandang agama kristiani yang penganutnya amat minoritas sebagai simbol kekuatan kolonial; paling sedikit orang-orang kristiani dipandang sebagai kelompok yang terlibat dalam melangsungkan kekuatan-kekuatan kolonial di Asia, dalam bentuk macam-macam dominasi sampai saat ini. Situasi ini, khususnya persepsi tentang orang kristiani, tentu membentuk sikap defensif yang amat kuat dalam minoritas kristiani sendiri, di samping perasaan keterasingan dari siapapun dalam masyarakat. Upaya dialog yang tulus dari pihak umat kristiani tidak akan mudah dipercayai oleh pihak lain; kalaupun ada, dirasakan kesan belum adanya sikap dialog atas dasar kesamaan derajat. Semua kenyataan ini harus diakui dengan rendah hati terlebih dahulu sebelum evangelisasi sejati bisa mulai. Ini pun belum bisa menjadi motif yang betul bagi dialog, paling-paling bisa dianggap sebagai langkah perbaikan saja. Kecurigaan bahwa dialog merupakan upaya terselubung untuk “kristianisasi”, yaitu penambahan jumlah orang kristiani lewat proselitisme dari agama-agama yang sudah ada di Asia, masih tetap ada. Memang disadari bahwa motif yang benar untuk dialog yang tulen harus dicari dalam cara Allah sendiri bergaul dengan umat manusia. Setiap situasi umat manusia, di mana manusia mewujudkan kebebasannya, selalu mempunyai nilai dalam rangka terwujudnya rencana ilahi. Di zaman sekarang kesadaran ini semakin mendesak, mengingat bahwa dunia pada umumnya sudah menjadi semakin asing terhadap kristianitas; kristianitas terancam bahaya irrelevansi bila tetap tertutup dalam kepentingan-kepentingan partisan atau sektarian. 2. Wawasan Teologis Wawasan teologis dari para Uskup Asia dapat dirumuskan dari pelbagai perspektif: kristologis, eskatologis, ekklesiologis, Kerajaan Allah, pneumatologis meskipun tidak dengan kadar kejelasan yang sama. Para Uskup Asia berupaya melihat kenyataan benua ini seutuh mungkin dari kekayaan teologis tradisi kristiani. Tidak berarti bahwa FABC sudah menyediakan sistem pemikiran teologis yang komplit. Dalam perspektif pastoral yang dominan dalam dokumen-dokumen mereka, di sini akan dipilih perspektif ekklesiologis dalam hubungannya dengan Kerajaan Allah, dan ini mengandaikan suatu pneumatologi yang universal. Dalam situasi yang dilukiskan di atas, para Uskup Asia tidak dapat mengadopsi gambaran atau pemahaman diri Gereja yang terlalu triumfalistik maupun terlalu eksklusif. Gambaran diri yang diambil harus memperhitungkan situasi Gereja yang minoritas tanpa jatuh dalam sikap rendah diri, sekaligus dalam kesadaran akan perutusan yang diterima dari Kristus, tanpa jatuh dalam kesombongan. Dan Injil menyediakan gambaran macam ini, yaitu gambaran ragi : ragi mengubah adonan dengan lebur di dalamnya, pengaruhnya nyata tanpa terlalu pusing akan keberadaannya sendiri. Gambaran ini dipandang bisa menangkal solusi yang akan memicu perlawanan, yaitu solusi bahwa Gereja hanya akan bisa berdampak bilamana berusaha menambah pengikutnya dan menjadi mayoritas. Gambaran ragi ini tentu membawa tuntutan-tuntutannya sendiri. Pertama-tama, bila gambaran ini diambil secara konsekuen, ekklesiosentrisme yang berlebihan harus ditinggalkan. Cara berpikir serta bertindak yang sadar atau tidak sadar menempatkan Gereja sebagai pusat dunia harus semakin dijauhi. Gereja ada dalam dunia, dan merupakan pelayanan bagi sesuatu yang lebih besar, yang lebih mondial, yang diistilahkan dengan “Kerajaan Allah”. Tuntutan berikutnya adalah bahwa Gereja harus mencari dan menemukan wujudnya sendiri yang asli dari dalam aneka konteks di kawasan dan luas d an beragam ini. Tidak dapat lagi Gereja mengandaikan dan mengandalkan wujud yang selama ini sudah ada, yang sebagian besar merupakan warisan dari sesuatu yang asing. Kreativitas dalam Roh, yang menjadi salahsatu corak Gereja yang tulen, hendaknya juga menandai Gereja di Asia, sebagaimana telah tampak dalam teladan Gereja Perdana di zaman dahulu. Mendapatkan wujud dari interaksi dengan konteksnya itulah yang diringkas dalam rumusan “Gereja yang hidup”. Gereja hidup itu tidak terlalu pusing tentang status minoritas; malah sebaliknya, Gereja seperti itu selalu akan mencari jalan bagaimana menjadi persekutuan-persekutuan injili di tengah masyarakat yang selalu majemuk. Jalan yang ditunjukkan adalah menjadi persekutuan yang hadir bersama dan bagi orang-orang lain. Dengan kata lain, persekutuan ini terbuka untuk meluas dan merangkul seluas mungkin kalangan. Di sini disiratkan dua hal: pertama, konteks akan ikut membentuk pengertian diri Gereja; kedua, keragaman yang mewarnai konteks hidup Gereja itu bukan sesuatu untuk disesalkan atau untuk dihilangkan, melainkan sesuatu untuk disyukuri sebagai kekayaan tempat hadirnya Kerajaan Allah. Gereja diadakan untuk memberi suatu kualitas baru pada keragaman yang menandai umat manusia dan dunianya; kualitas yang berakar pada Allah sendiri itu tidak menghapus keragaman, melainkan memperindahnya dengan kasih. Pada tataran yang lebih operasional, dianjurkan untuk membentuk persekutuan atau paguyuban kecil yang sungguh berakar, yang keterbukaannya meluas menuju persekutuan-persekutuan lain semakin universal. Komunitas-komunitas kecil pada akar rumput ini kemudian menyadari serta menempatkan diri dalam suatu “peziarahan bersama” orang-orang lain menuju gerbang Kerajaan Allah. Di sinilah pentingnya menyimak bagaimana para Uskup Asia melukiskan hubungan antara Gereja dengan Kerajaan Allah. Gereja erat kaitannya dengan Kerajaan Allah, namun keduanya tidak dapat diidentikkan begitu saja, dalam teori, apalagi dalam praktek. Gereja mendapat perutusan untuk ikut mewujudkan Kerajaan Allah mulai di dunia ini, sesuatu yang pada hakekatnya merupakan pekerjaan besar Allah dalam dunia. Kita memang tahu tentang Kerajaan Allah dari Yesus Kristus, namun di situ kita justru mendapat pewahyuan betapa luas dan dalamnya rencana ilahi yang dirangkum dalam istilah Kerajaan Allah itu. Kerajaan Allah adalah rencana Bapa bagi seluruh dunia dan semua manusia; ini karya besar yang menanti pemenuhannya pada akhir zaman. Roh Tuhanlah yang mengerjakan semua ini menuju pemenuhannya; dan itu adalah Roh yang sama yang telah menjiwai Yesus dan karya-Nya di dunia. Benar bahwa Kerajaan Allah tak pernah bisa dimengerti lepas dari Yesus dari Nasareth; namun benar pula –dan ini lebih kentara dalam konteks Asia—bahwasanya Yesus dari Nasaret hanya bisa dipahami dalam relasinya dengan Kerajaan Allah sebagai karya ilahi universal. Semua ini mengandaikan kesadaran yang hidup akan peranan Roh Kudus: Ia adalah Roh yang hadir dalam penciptaan semesta alam, Ia pulalah yang membawa segalanya sampai pada penyelesaian akhir. Dalam hal yang disebut terakhir itulah kita bisa meletakkan misteri Sabda yang menjelma dan misteri Gereja beserta misinya. Di Asia, yang ditandai oleh kehadiran agama-agama yang sudah berabad-abad sebelum kehadiran agama kristiani, ditandai oleh keragaman budaya yang luar biasa, orang-orang kristiani mendapati dirinya sebagai rekan sepeziarahan yang sama-sama berjalan bersama orang-orang lain, selalu siaga menyimak dan mendengarkan suara serta isyarat Roh yang hadir dalam keragaman itu. Roh dalam tradisi kristiani adalah Roh keragaman sekaligus Roh kesatuan. Ia adalah Roh pewartaan, sekaligus adalah Roh interiorisasi pemberi citarasa terhadap pewartaan. Ia menyadarkan orang akan Bapa Pencipta; Ia pula yang menarik orang kepada Yesus dan menggerakkan hati untuk mencecap ajaran-Nya. Ia pula yang memberi kekuatan, keteguhan hati dan ketekunan bagi orang untuk melaksanakan ajaran Yesus. Dialah realisasi dari janji Yesus “Aku akan besertamu sampai akhir zaman” [Mat 28:20]; namun dalam konteks Asia, kenyataan ini lebih tepat dirumuskan “Roh Allah terus berkarya sampai akhir zaman”, tanpa menyangkal rumusan Matius tersebut. Para Uskup Asia mengenali kehadiran Roh Kudus dengan gerak-Nya yang amat kreatif telah mendahului prakarsa para misionaris di Asia, dan akan tetap mendahului gerak jemaat kristiani yang ada di situ. Di situ Roh berkarya dalam keragaman sistem religius dan budaya yang semuanya mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Dalam keragaman yang menakjubkan dan luput dari upaya kategorisasi apapun, Roh memperlihatkan kuasa ilahi dalam pemciptaan, sekaligus menyingkap apa dambaan dan rencana Allah dengan itu semua. Roh inilah yang disadari sebagai Roh Kristus, yang dalam peristiwa Paskah telah dilimpahkan secara istimewa kepada Gereja, dan kepada dunia pada umumnya. 3. Kesadaran Asia Dalam Menggereja Dokumen-dokumen FABC, ditulis oleh para peserta (Uskup, para penasehat) dalam semangat ini: persaudaraan, solidaritas satu sama lain, saling mendengarkan, kemauan belajar dari situasi aktual dan kongkret, dan tetap memelihara komunikasi dengan Gereja-gereja dari bagian lain di dunia, khususnya dengan Roma. Semangat ini tercermin dalam isi maupun nada dari dokumen-dokumen yang dihasilkan. Para Uskup menyadari diri mereka sebagai yang berziarah dengan terus menerus mencari kehendak Allah dan arah gerak Roh Kudus lewat situasi yang terus berubah. Oleh karena itu, bila orang menyimak dokumen-dokumen itu tampaklah bahwa dokumen-dokumen tersebut tidak terlalu terobsesi untuk kelihatan konsisten antara satu dokumen dengan dokumen lainnya. Kebiasaan mengutip dokumen-dokumen yang dikeluarkan terdahulu, yang menjadi ciri dokumen-dokumen Vatikan, tidak terlalu tampak di sini. Maka agaknya bukan konsistensi rumusan yang dianggap penting. Bahkan pendekatan yang ditempuh dokumen yang satu dengan yang lain tidak selalu seragam. Keanekaragaman ini justru merupakan kekayaan dari dokumen-dokumen FABC yang memang tidak mendudukkan diri sebagai “pusat” yang harus mengkoordinir kehidupan Gereja-gereja di Asia. Yang khas Asia justru terletak pertama-tama pada keragaman dan berubahnya situasi yang ditanggapi oleh dokumen-dokumen tersebut; kemudian juga tampak dalam pola tanggapan dan pola refleksinya. Selain itu, dokumen-dokumen itu tidak keluar dari suatu “biro” sentral; pengarang-pengarang serta redaktor dari dokumen itu berubah dari saat ke saat. Ini semua berarti bahwa para penulis dokumen itu tidak pernah merasa harus mengucapkan suatu kata akhir dalam suatu masalah tertentu. Tidak ada kesan suatu obsesi untuk menjadi dokumen yang mengikat. Dokumen-dokumen itu bersuasana terbuka untuk sumbangan pandangan dari macam-macam pihak, maupun juga terbuka untuk pengembangan pemikiran ke masa depan. Agaknya inilah juga yang menjadi sifat khas Asia, bahwa tidak pernah bersikap dogmatis dalam suatu issue pastoral, sekalilagi mengingat kompleksnya situasi di benua ini. B. FOKUS PARA USKUP INDONESIA: GEREJA YANG TERLIBAT DALAM DIALOG BERMASYARAKAT 1. Apakah alam pikiran dan arah yang dicanangkan FABC berlaku di situasi Indonesia? Mengingat bahwa para uskup Indonesia juga ikut serta dalam refleksi-refleksi FABC, dengan mudah dapat disimpulkan bahwa situasi yang sering terlukis dalam dokumen-dokumen FABC tidak terlalu jauh dari situasi Indonesia dewasa ini. Kita juga tidak bisa begitu saja bicara tentang “situasi Indonesia”, oleh karena Indonesia begitu luas dan beragam. Oleh karena itu bilamana para Uskup Indonesia lewat KWI bicara tentang situasi Indonesia, tetap merupakan tugas para gembala umat di tempatnya masing-masing untuk mempelajari situasi daerahnya lebih lanjut, dengan memanfaatkan wawasan yang diberikan KWI itu. Satu hal yang mencolok pada dokumen-dokumen KWI adalah bahwa dokumen-dokumen itu tidak ditematisasi berdasarkan sistematika yang teoritis, melainkan dengan mengikuti sejarah dan gejolak perjalanan bangsa Indonesia dari tahun ke tahun. Metodologi penyusunan dokumen-dokumen itu mengikuti apa yang disebut “lingkaran refleksi pastoral”: pertama-tama para uskup belajar dari sajian gambaran keadaan hidup sosial-politik di Indonesia; selanjutnya, cerminan itu ditelaah melalui kacamata ilmu-ilmu sosial, disusul dengan telaah dari sudut pandang etika politik dan perspektif pastoral. Pembicaraan itu tidak berhenti pada wacana, melainkan sampai pada hal-hal nyata yang sungguh akan dikerjakan. Untuk konteks kita di Indonesia kita bisa memakai skema “tri-dialog” yang dicanangkan oleh FABC: budaya-budaya, agama-agama, dan situasi kemiskinan. Tentang budaya-budaya di Indonesia: Indonesia kaya akan budaya-budaya, namun apakah itu cukup dihargai oleh orang kita sendiri? Agaknya cukup sulit bagi bangsa ini untuk mempertahankan identitas di tengah gempuran budaya global. Di samping itu, sulit juga mengingkari nuansa dominasi budaya tertentu atas budaya-budaya lain di tanah air. Bagaimana suatu “inkulturasi Injil” yang sejati bisa menegaskan martabat macam-macam budaya yang ada di sini, dan tidak sekedar melestarikan barang antik yang mungkin eksotis? Budaya tidak hanya tarian, pakaian adat atau nyanyian, tetapi juga tata nilai, yang membuat orang bisa bertahan hidup, menjaga keseimbangan sosial dan alamiah, dll. Istilah yang sering dipakai sekarang adalah “kebijaksanaan lokal” (local wisdom). Tentang agama-agama di Indonesia: Sejarah Indonesia mengenal tahap-tahap dan lapisan zaman di mana macam-macam agama ikut menyumbang dan membentuk kepribadian kita sekarang. Sampai sekarang pun agama-agama masih hidup subur di tanah air ini. Akan tetapi hubungan antar agama dan para pengikutnya semakin dipolitisasi dan semakin sensitif terhadap provokasi yang sekecil apa pun. Bagaimana membaca gejala ini? Agaknya tugas dialog antar agama di Indonesia adalah membangun suasana hidup bersama yang selaras, dengan menghindarkan segala bentuk fundamentalisme serta ekstremisme. Tentang kemiskinan di Indonesia: Meskipun otoritas keuangan dunia sudah menggolongkan Indonesia ke dalam kelompok negara-negara berpendapatan menengah, namun pada kenyataannya angka kemiskinan masih tetap tinggi, kesenjangan yang mencolok tetap saja ada di depan mata, suatu kenyataan sosial yang tidak jarang memancing konflik-konflik horisontal, meskipun sering dibungkus dengan ide-ide keagamaan. Di Indonesia, kemiskinan ada kaitan eratnya dengan masalah keadilan sosial. Jadi issue kemiskinan di negeri ini bukanlah karena kita hidup di tanah air yang tandus dan gersang, melainkan karena penataan negeri ini masih jauh dari semangat keadilan sosial bagi semua yang menjadi sila kelima dasar negara. Oleh karena itu agaknya penanggulangan kemiskinan tidak dapat tidak melalui jalur penegakan hukum dan keadilan, kemerataan akses terhadap sumber-sumber daya alam dan budaya negeri ini. Di sini setiap proses kebijakan yang menyangkut orang banyak, entah itu produksi undang-undang di parlemen, entah itu kebijakan pemerintah tentang tarif dasar listrik, harga dasar gabah, harus selalu mendapatkan perhatian penuh dan kritis dari para pengikut Kristus. 2. Pendekatan dan beberapa topik dokumen KWI a. Dialog terus-menerus dengan macam-macam eksponen kebangsaan Di masyarakat Indonesia ada keragaman yang luar biasa. Khususnya setelah tumbangnya rezim Orde Baru, keragaman itu mencuat keluar minta diakui eksistensinya, seringkali tanpa mempedulikan lagi apa yang masih harus mempersatukan bangsa ini. Orang ingin meraih apresiasi dan pengakuan terhadap kekhususannya dengan kadar yang belum pernah dialami selama ini, karena pemerintah-pemerintah otoriter, mulai dari kerajaan-kerajaan di zaman dahulu, kemudian pemerintah kolonial, disusul dengan pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, semua berobsesi ingin menyatukan dengan menyeragamkan, karena agaknya Indonesia belum mempunyai sarana budaya untuk mengelola keragaman secara konstruktif dan kreatif. Dalam konteks inilah dokumen-dokumen KWI menunjukkan sikap bijak dengan konsultasi seluas mungkin dengan banyak pihak dalam menyusun tanggapan Gereja setiap tahunnya terhadap situasi aktual. Dalam penyusunan dokumen-dokumennya, KWI selalu mencari masukan yang kompeten dari macam-macam fihak, tidak hanya dari kalangan Gereja saja. Dalam bangsa ini masih banyak eksponen yang terbuka untuk bertukar pandangan dan gagasan; hanya saja mereka ini tidak banyak membuat berita, dibandingkan dengan kelompok-kelompok ekstrem-fundamentalis yang anti-dialog. b. Keadilan bagi semua (Nota Pastoral 2003) Dalam Nota Pastoral ini para Uskup membahas salah satu sila dasar negara, yaitu sila kelima. Nota ini ditulis setahun sebelum Pemilihan Umum 2004, yang seperti diketahui memulai era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Diprihatinkan di situ kehidupan politik yang mengabaikan prinsip-prinsip fundamental moral dan demokrasi, di mana bahkan agama pun amat rentan terhadap penggunaan bahasa kekerasan (n. 6). Akar-akar permasalahan yang ditunjuk dalam dokumen ini adalah tidak relevannya lagi iman bagi kehidupan nyata, kerakusan akan kekuasaan dan kekayaan, nafsu mementingkan kelompok atau diri sendiri, sikap bahwa tujuan menghalalkan cara. Untuk menanggulangi akar-akar masalah ini, dokumen mengingatkan pentingnya etika politik dan tanggungjawab akan kepentingan bersama. Beberapa prinsip etika politik yang diajukan dalam dokumen adalah: hormat terhadap martabat manusia, kebebasan (“dari” dan “untuk”), keadilan, solidaritas, subsidiaritas, fairness, demokrasi, dan tanggungjawab. c. Pendidikan Katolik (Nota Pastoral 2008) Kendati masalalu yang cukup gemilang dalam peranannya membangun masyarakat Indonesia, lembaga-lembaga pendidikan katolik di zaman sekarang menghadapi tantangan yang berat untuk bisa melanjutkan pelayanannya, yaitu keberanian untuk berubah demi kesetiaan pada visi dan misinya sendiri dan demi suatu pelayanan modern yang relevan untuk zaman ini. Para Uskup mengingatkan hal itu secara cukup tegas dalam Nota Pastoral 2008, Lembaga Pendidikan Katolik: “Media Pewartaan Kabar Gembira, Unggul dan Lebih Berpihak kepada yang Miskin”. Perubahan itu meliputi pembenahan mutu di dalam lembaga sendiri, maupun kesediaan untuk membangun jaringan yang memungkinkan upaya saling mendukung. Tak lupa pula KWI mengingatkan lembaga-lembaga pendidikan katolik untuk memperlihatkan keberpihakannya dengan orang-orang miskin. Dengan demikian secara tidak langsung para Uskup Indonesia menantang lembaga pendidikan katolik untuk meninggalkan sikap defensif dan kompleks minoritas, dan berani bersikap atas dasar prinsip yang bersumber pada iman. 3. Arah mana yang ditunjukkan? a. Komunitas Basis: mengapa demikian? (SAGKI 2000) Komunitas Basis dilihat oleh SAGKI 2000, dan ini didukung oleh para Uskup Indonesia, sebagai cara yang jitu untuk menjelmakan cita-cita Gereja yang sebagai “kehidupan beriman yang lebih aktif dan lebih siap untuk berperan di tengah masyarakat kita.” Komunitas basis memang tidak didefinisikan secara ketat dan kaku, namun selalu mengandung ciri “satuan umat yang relatif kecil dan mudah berkumpul secara berkala untuk mendengarkan firman Allah, berbagi masalah sehari-hari, baik masalah pribadi, kelompok ataupun masalah sosial, dan mencari pemecahannya dalam terang Kitab Suci [bdk. Kis 2:1-47]. Komunitas basis seperti ini terbuka untuk membangun suatu komunitas yang juga merangkul saudara-saudara beriman lain.” Pembentukan komunitas-komunitas basis ini memerlukan perubahan mendasar pada mentalitas menggereja dari seluruh umat, termasuk para pastor dan para biarawan-biarawatinya. Orientasi pada persoalan masyarakat bukanlah sesuatu yang fakultatif sifatnya, melainkan sesuatu yang harus menyertai setiap tahap pembinaan para petugas gerejani maupun para religius. Pada gilirannya, kaum awamlah –khususnya kaum muda-- yang diharapkan memotori hidup dan kiprah umat basis ini, karena kaum awam mengemban ciri-ciri yang menandai tugas Gereja di Asia dan Indonesia dewasa ini. b. Membentuk budaya berbangsa yang beradab (Habitus Baru, 2004; SAGKI 2005): Orang kristiani di Indonesia hidup di tengah suatu bangsa yang sedang berusaha menerima jatidirinya, sebagaimana dicanangkan oleh para pendiri negara pada tahun 1945. Oleh karena setiap generasi anak bangsa dipanggil untuk mengambil sikap terhadap jatidiri bangsa itu, bisa dipahami pula bahwa setiap generasi mempunyai sikap, tafsiran dan kualitas yang berbeda dalam menghayati jatidiri yang sudah disepakati tahun 1945 itu. Ternyata jatidiri itu bukan sesuatu rumus yang mati, melainkan sesuatu yang selalu terbuka untuk mendapatkan wujud baru sesuai dengan perkembangan dan keadaan zaman. Zaman kita sekarang agaknya merupakan zaman yang cukup sulit untuk menemukan titik temu bersama tentang apa yang disebut “Negara Kesatuan Republik Indonesia” itu. Tampaknya orang malah mundur dari kesepakatan yang sudah diresmikan, dan kembali pada situasi tawar-menawar di mana identitas bangsa dari 1945 dipersoalkan kembali. Harus diakui, bahwa langkah mundur ini dipicu oleh kegagalan dari eksponen generasi-generasi sebelumnya untuk mewujudkan cita-cita Republik 1945, khususnya dalam menyejahterakan rakyat secara merata di seluruh tanah air. Yang terjadi justru sebaliknya, macam-macam ketimpangan terjadi, baik antar pulau, antar kelompok etnis, antar kelompok agama. Ketimpangan ini berkisar pada kesejahteraan manusiawi yang dicapai dalam bentuk akses terhadap sumber-sumber daya alam, ekonomi, pendidikan dan kesehatan, serta akses terhadap proses pengambilan keputusan-keputusan yang menyangkut semua orang. Situasi ini ditandai dengan penolakan terhadap nilai-nilai kebangsaan yang pernah dicanangkan bersama, sekaligus disertai merosotnya sopan-santun dalam hidup berbangsa dan bermasyarakat. Aturan lalulintas tidak ditaati, macam-macam salah urus di segala instansi, dan yang terutama penyalahgunaan wewenang dan dana masyarakat untuk kepentingan pribadi yang biasa disebut korupsi. Ini membawa serta dampak berupa perusakan lingkungan dan budaya kekerasan. Tampaknya orang-orang negeri ini sudah kehilangan kepercayaan satu sama lain oleh karena pengalaman ditipu begitu lama, sehingga masing-masing berebut bagiannya dengan segala macam cara. Dalam konteks ini, tidak ada lagi moralitas untuk berbagi, untuk mendahulukan yang lemah, untuk menjunjung tinggi kepentingan orang banyak di atas kepentingan sendiri atau golongan. Kepentingan umum merupakan suatu konsep yang abstrak bagi banyak orang. Oleh karena itu suatu keadaban bermasyarakat perlu dibangun kembali, sesuatu yang jauh lebih daripada sekedar sopan santun, melainkan sesuatu yang muncul dari naluri untuk selalu mendahulukan kepentingan umum dan untuk selalu berupaya meningkatkan kualitas hidup bersama sebagai masyarakat. C. KONSEKUENSI-KONSEKUENSI PASTORAL 1. Pembentukan Etos Menggereja Etos menggereja yang unsur-unsurnya disebutkan di bawah ini merambah seluruh bidang kehidupan umat: paroki, keluarga kristiani, pembinaan kaum muda, lembaga-lembaga pendidikan dan diakonia kristiani lain seperti pelayanan kesehatan, advokasi perburuhan, dll. a. Umat yang Bersatu (ad intra): Kesatuan umat di dalam dirinya sendiri tidak sama dengan keseragaman, melainkan berlangsungnya dialog internal yang menandai keragaman dalam jemaat katolik sendiri. Persatuan yang otentik ditandai oleh dialog, bukannya tekanan ke arah keseragaman. Umat sendiri diharapkan lambat laun menyadari bahwa menggereja itu bukan masuk organisasi, melainkan masuk ke dalam persekutuan, di mana yang beraneka ragam itu bisa dipertemukan satu sama lain ke arah keselamatan bersama. Simbol dan pengikat persatuan ini adalah para pemimpin Gereja yang melambangkan persatuan ini dalam liturgi yang dipimpinnya. Di sinilah kelihatan konsekuensi bagi para pemimpin Gereja untuk tidak memecah jemaat, melainkan menyatukannya. b. Umat yang Berdampak (ad extra): Memang, memeluk agama antara lain dan seringkali paling didorong oleh motif mencari lingkup nyaman untuk berkembang sebagai manusia: adanya komunitas, pengakuan akan martabat dan harkat diri, penampungan akan pertanyaan-pertanyaan eksistensial, kebutuhan ritual untuk “menjamin keselamatan”, dll. Namun hakekat kekristenan tidak berhenti sampai di sini. Kekristenan mengandung misi untuk membagi pengalaman keselamatan yang dialami, dan untuk mengubah dunia selaras dengan desain ilahi. Beruntunglah situasi Indonesia di mana umat kristiani bisa hidup berdampingan dengan orang yang berbeda keyakinan. Ini akan membentuk “spiritualitas tapalbatas” yang dari satu pihak kurang nyaman, namun dari lain pihak memberi kesempatan untuk berbagi iman dan keyakinan, sekaligus untuk belajar dan mendengarkan kekayaan pengalaman orang lain. Spiritualitas ini mendorong untuk menjelajahi kawasan dan kemungkinan-kemungkinan baru yang belum dikenal, berani mencoba sesuatu yang berbeda dari yang sudah lazim dijalankan. c. Penghayatan Sakramental yg kontekstual : Umat memang sibuk mengurusi urusan kesehariannya. Namun pastoral Gereja dapat menolong memberikan kedalaman pada aktivitas mendunia ini, antara lain dengan merujuknya pada makna hidup sakramental Gereja dalam konteks hidup umat ybs. Agar sakramen-sakramen tidak berhenti melulu menjadi “upacara ritual” belaka, perayaan sakramen perlu dihubungkan dengan kondisi yang sedang digulati masyarakat. Masyarakat kita sedang dilanda korupsi di segala tingkatan. Orang takut tidak kebagian, maka mereka mencuri atau merampas hak milik publik. Sejauh mana kemunafikan yang menjadi buahnya akan mempengaruhi suasana perayaan sakramen Tobat, dan khususnya Ekaristi? Dalam Ekaristi mereka yang merugikan mereka yang dirugikan berkumpul dalam satu perjamuan. Tidak perlukah ada rekonsiliasi? Dengan demikian sakramen-sakramen tidak hanya menjadi peristiwa agama, tetapi juga peristiwa sosial yang jelas dampaknya. Penghayatan sakramental secara kontekstual itu adalah menemukan relevansi bahasa simbolik yang dijumpai, baik dalam liturgi dan tradisi Gereja, maupun yang dipakai dalam interaksi manusia kontemporer. d. Pembinaan bahasa bermasyarakat yang irenik dan dialogal: Kesenjangan dan jurang-jurang perbedaan lainnya ternyata mengembangkan bahasa kekerasan di antara kelompok-kelompok masyarakat; bahasa yang dialogal dan irenik semakin jauh dari kosakata angkatan zaman ini. Maka suatu pastoral yang kontekstual mencakup pula membentuk habitus berkomunikasi yang membangun, saling menghormati dan menghargai, tanpa jatuh ke dalam basa-basi yang munafik. Umat sendiri dalam lingkupnya perlu dibiasakan untuk membangun budaya komunikasi yang manusiawi, di tengah merebaknya kebebasan untuk mengungkapkan isi hati lewat internet. Sangat ironik bahwasanya kawasan kita, yang dahulu amat menjunjung tinggi harmoni dalam pandangan hidupnya, sekarang semakin mudah menjurus pada pemakaian bahasa kekerasan untuk menyelesaikan soal. Kebiasaan ini dipupuk mulai dari dalam keluarga, dan di sini kaitan dengan pembinaan anak serta remaja menjadi semakin jelas. Kalau dari kecil seseorang hanya biasa mendengar bahasa kekerasan dalam keluarganya, tidak mengherankan bahwa di masa dewasanya dia hanya mengenal bahasa itu sebagai sarana pengungkapan isi hati dan pencapaian maksudnya. 2. Pembenahan Pola Penggembalaan a. Menggalakkan paradigma pelayanan berikut konsekuensi sikap-sikapnya: Peran yang dijalankan oleh para petugas gerejani sering dirumuskan dengan istilah “pelayanan”. Istilah ini memang indah, namun beresiko memperindah kenyataan yang pada dasarnya tidak indah, yaitu dominasi dan ketergantungan, feodalisme gaya baru atas nama tertib birokratis-administratif. Suatu peran pantas disebut pelayanan bilamana kenyataannya menunjukkan ciri-ciri ke arah itu: keramahan yang memandang semua orang sebagai pribadi yang bermartabat; keseriusan dalam menunaikan fungsi yang dibebankan; prioritas alokasi waktu yang jelas; tidak mengharapkan imbalan penghargaan dan ucapan terima kasih; akuntabilitas serta transparansi yang wajar tentang segala yang dibuat dan menjadi tanggungjawab, dst. Perusahaan-perusahaan modern telah menganut pendekatan pelayanan ini demi mempertahankan pelanggan-pelanggan dalam persaingan pasar yang semakin ketat; mereka memperlakukan klien dengan ramah, bahkan seringkali cakap mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan klien. b. Pola partisipatif: Aspek pola penggembalaan ini mengandaikan orang sadar akan keragaman karisma yang dianugerahkan Roh Kudus kepada Gereja-Nya, termasuk jemaat lokal. Setiap warga jemaat berpeluang sama untuk menyumbangkan kebisaan dan kemampuannya demi pengembangan jemaat. Yang harus diatasi di Indonesia adalah klerikalisme, yaitu menggantungkan segalanya kepada pastor atau biarawan-wati. Budaya ini sudah mendarah daging, namun mereka yang menikmati privilese sosial darinya sekarang justru harus berusaha memberikan kemungkinan luas untuk partisipasi orang-orang lain. Kita perlu sadar bahwa di balik klerikalisme ini ada pengaruh dominasi sumber-sumber keuangan dan kepentingan-kepentingan politik juga. Di samping itu di Indonesia juga perlu disadari bahwa kaum perempuan mengemban bagian tugas terberat dalam kehidupan, termasuk kehidupan Gereja. Oleh karena itu pola partisipatif juga berarti menjalin kemitraan yang konstruktif dengan kaum perempuan dalam mengelola hidup menggereja. c. Pentingnya momentum refleksif – kedalaman rohani : Masyarakat Indonesia ada dalam ancaman materialisme dan pragmatisme dangkal: segalanya diukur dengan uang, dan pertimbangan-pertimbangan didominasi oleh azas manfaat dan kepentingan semata-mata. Padahal di sekitar kita ada banyak tradisi religius yang hidup berabad-abad; keheningan, laku tapa dan hidup prihatin menjadi warisan nilai tradisi yang amat berharga. Hidup yang terpecah-pecah dalam macam-macam sektor, membuat integrasi pribadi menjadi sulit. Di sinilah pentingnya suatu pastoral yang bisa membantu orang untuk mencapai integrasi diri yang memadai untuk hidup sebagai orang kristiani di tengah masyarakat majemuk dan kompleks. Memang, orang kristiani lebih dikenal sebagai aktivis karya-karya pendidikan dan sosial daripada sebagai orang rohaniwan. Dan benar juga bahwa kedalaman rohani seseorang di zaman sekarang justru harus dihayati dalam keseharian yang ramai dan sibuk, bukan hanya dalam keheningan pertapaan. Mampukah pastoral kita menyediakan lahan dan suasana hening bagi umat untuk menimba sekedar kedalaman bagi hidupnya? D. PENUTUP Pada umumnya kita punya cukup ruang gerak pastoral di wilayah maupun tempat kerja kita masing-masing. Gereja tidak menganut sistem militer di mana segalanya sudah digariskan dan tinggal dilaksanakan dari jenjang atas sampai bawah. Para pastor dan pendeta masih mempunyai ruang di mana suatu visi bisa dikembangkan, suatu perencanaan bisa digariskan, dan suatu sistem evaluasi karya pastoral bisa dirancang. Alam fikiran FABC meupun dokumen-dokumen KWI bukan merupakan “petunjuk-pelaksanaan”, melainkan sebagai pedoman arah, yang penerapannya dalam situasi kongkret tergantung pada kita masing-masing. Terserah pada kita untuk mengolahnya menjadi visi pastoral kita di konteks konkret kita sendiri-sendiri. Yang jelas adalah bahwa ini adalah suatu visi yang besar, yang memerlukan pertobatan atau perubahan paradigma berpastoral. KEPUSTAKAAN Eilers, Franz-Josef, S.V.D., (Ed.) (2002). For All the Peoples of Asia: Federation of Asian Bishops’ Conferences Documents, from 1997 to 2001, volume 3., Quezon City: Claretian Publications. Fox, Thomas C., (2002). Pentecost in Asia: A New Way of Being Church. Maryknoll, N.Y.: Orbis. Konferensi Waligereja Indonesia, (2003). Nota Pastoral “Keadilan Bagi Semua”, Jakarta: KWI. Konferensi Waligereja Indonesia, (2004). Nota Pastoral “Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa, Keadilan Sosial Bagi Semua: Pendekatan Sosio-budaya”, Jakarta: KWI. Konferensi Waligereja Indonesia, (2008). Nota Pastoral “Lembaga Pendidikan Katolik: ‘Media Pewartaan Kabar Gembira, Unggul dan Lebih Berpihak kepada Yang Miskin’”, Jakarta: KWI. Phan, Peter C., (2003). Christianity with an Asian Face: Asian American Theology in the Making, Maryknoll, N.Y.: Orbis. Phan, Peter C., (2003). In Our Own Tongues: Perspectives from Asia on Mission and Inculturation. Maryknoll, N.Y.: Orbis. Purwatma, M., Pr., (2005). “Mengembangkan Dialog dengan Agama-agama Lain dan Tetap Mewartakan Injil”, dalam Hartono Budi, S.J. & M. Purwatma, Pr (Eds.), Sentire Cum Ecclesia: Bakti Membangun Gereja yang Hidup, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, pp. 165-180. Putranto, Carolus, S.J., (2005). “Dialog Dalam Dokumen-dokumen FABC: Panggilan Bagi Gereja Indonesia” dalam Hartono Budi, S.J. & M. Purwatma, Pr (Eds.), Sentire Cum Ecclesia: Bakti Membangun Gereja yang Hidup, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, pp. 139 – 163. Quatra, Miguel Marcelo, O.M.I., (2000). At the Side of the Multitudes: The Kingdom of God and theMissionof the Church in the FABC Documents, Quezon City: Claretian Publications. Rosales, G. And C. G. Arevalo, S.J.. (Eds.) (1992). For All the Peoples of Asia: Federation of Asian Bishops’ Conferences Documents, 1970 to 1991.Maryknoll, N.Y.: Orbis, and Quezon City: Claretian Publications. Wilfred, Felix, (1995). From the Dusty Soil, Trichy: University of Madras.
Posted on: Fri, 02 Aug 2013 14:46:48 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015